11 minute read

2. Masukkan untuk RUU PKS

Perlindungan Pemaksaan Perkawinan/Forced Marriage Protection Orders (FMPO) yang dapat mencegah pemaksaan perkawinan terjadi.355

Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk memberikan solusi perdata bagi mereka yang menghadapi perkawinan paksa, dan korban perkawinan paksa. Banyak usulan dalam undang-undang ini muncul dari konsultasi dan laporan Pemerintah berikut ini, "A Choice by Right", sebuah laporan yang dikeluarkan oleh kelompok kerja yang dibentuk oleh Pemerintah pada tahun 2000 untuk melihat masalah perkawinan paksa; dan " Forced Marriage, A Wrong Not a Right", sebuah dokumen konsultasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah pada bulan Desember 2005.356 Undang-undang ini juga muncul dari konsultasi yang dilakukan oleh Odysseus Trust, yang kemudian mendukung Lord Lester dari Herne Hill memprakarsai undang-undang ini di House of Lords.357 Atas dasar banyaknya kasus terkait pemaksaan perkawinan, dokumen konsultasi dan laporan dari pemerintah, undang-undang ini kemudian dibentuk.

Advertisement

Semenjak diundang-undangkannya Forced Marriage (Civil Protection) Act 2007, terkhusus dengan adanya Pasal 4 Forced Marriage Protection Orders (FMPO) banyak korban yang melapor dan meminta perintah perlindungan ini. Setiap tahunnya, terdapat lebih dari seribu kasus terkait pemaksaan perkawinan yang masuk dalam laporan Forced Marriage Unit, dari perempuan maupun lakilaki dari segala usia, etnis dan agama, termasuk dari komunitas LGBTQ+.358 Berikut ini kisah nyata yang menunjukkan bahwa perkawinan paksa dapat terjadi pada siapa saja, tanpa memandang usia, jenis kelamin, agama, atau etnis (nama yang diberikan bukan nama asli mereka.)359

1) Kisah Aisha

Aisha berusia 15 tahun dan baru saja akan menyelesaikan ujian sekolah menengah (General Certificate of Secondary Education atau GCSE) ketika ia

355Popy Begum, “Should ‘forced marriage’ be criminalised?”, The Howard League for Penal Reform John Sunley Prize, hlm. 10-12. 356Parliament UK, Forced Marriage (Civil Protection) Bill 2006-2007 https://publications.parliament.uk/pa/cm200607/cmbills/129/en/07129x--.htm diakses pada tanggal 9 Juli 2021.

357Ibid. 358Foreign and Commonwealth Office UK, “What Is Forced Marriage?” 20 April 2020, https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/879929/What _Is_Forced_Marriage_leaflet.pdf diakses pada tanggal 8 Juli 2021. hlm. 8. 359Ibid., hlm 9-12.

menyadari bahwa ayahnya berencana mengirim Aisha ke luar negeri untuk menikahi sepupunya yang lebih tua. Ayah Aisha selalu marah dan terkadang memukulnya dan ibunya. Padahal Ibunya tidak ingin Aisha menikah begitu muda, tapi dia terlalu takut untuk menolak keinginan Ayahnya. Aisha memberi tahu seorang guru di sekolahnya, yang memanggil Forced Marriage Unit. Forced Marriage Unit bekerja dengan perawatan sosial anak-anak untuk mendapatkan Perintah Perlindungan Kawin Paksa atau Forced Marriage Protection Orders (FMPO), yang diberikan pada ayah Aisha. Perintah tersebut mencegah perkawinan paksa terjadi karena ayah Aisha tidak dapat membawa Aisha ke luar negeri dan tidak dapat mengajukan paspor atas namanya. Aisha takut tinggal di rumah sehingga diberikan penempatan asuh yang aman untuk sementara. Ibu Aisha bekerja dengan perawatan sosial anak-anak dan didukung untuk meninggalkan ayah Aisha. Aisha sekarang tinggal dengan aman bersama ibu dan adik laki-lakinya dan mampu menyelesaikan GCSE-nya.

2) Kisah Mandeep

Mandeep, orang dengan ketidakmampuan belajar yang parah, dinikahkan di India oleh Ibunya karena ia berpendapat bahwa ia sudah terlalu tua untuk merawatnya, sehingga ia berpikir akan lebih baik jika Mahdeep punya istri untuk melakukannya. Padahal, Mahdeep tidak mengerti apapun mengenai perkawinan. Kakak perempuan Mandeep menghubungi Forced Marriage Unit untuk menyoroti kekhawatirannya tentang situasi saudara laki-lakinya dan kemampuannya untuk memahami apa yang akan terjadi padanya. Forced Marriage Unit membuat rujukan ke tim perawatan sosial dewasa setempat untuk menjelaskan situasinya dan menanyakan apakah Penilaian Kapasitas Mental untuk Mandeep dapat diselesaikan, memastikan sumber informasi tetap anonim. Mandeep sudah menerima dukungan dari tim ketidakmampuan belajar, tetapi mereka tidak mengetahui perkawinan yang akan datang. Melalui penilaian, mereka menemukan bahwa dia tidak memiliki kapasitas untuk menyetujui seks dan kawin. Melalui saran dari Forced Marriage Unit, disusunlah rencana pengamanan, termasuk Perintah Perlindungan Kawin Paksa atau Forced Marriage Protection Orders (FMPO). Tim ketidakmampuan belajar kemudian bekerja dengan keluarga untuk menjelaskan risiko perkawinan dengan Mandeep dan mencari pilihan lain untuk kebutuhan jangka panjangnya.”

Berdasarkan Forced Marriage Unit Statistics, per tahun 2019, Forced Marriage Unit (“FMU”) memberikan dukungan pada 1.355 kasus terkait

kemungkinan perkawinan paksa. Angka ini terdiri banyaknya orang yang telah melapor ke FMU melalui saluran bantuan publik atau melalui email yang berkaitan dengan kasus baru.360 Antara tahun 2011 dan 2018, FMU memberikan dukungan rata-rata 1.359 kasus per tahun.361 Jumlah kasus pada tahun 2019 merupakan penurunan 10% dari kasus 2018 tetapi jumlahnya tetap sama dengan jumlah rata-rata kasus per tahun sejak tahun 2011, sejak awal berlakunya undangundang terkait pemaksaan perkawinan. 362

Tabel 3. 5 Jumlah kasus di mana Forced Marriage Unit memberikan dukungan dari 2011 hingga 2019363

Tahun Jumlah kasus

2011 2012 2013 2014 2015 1,468 1,485 1,302 1,267 1,220

2016 2017 2018

1,428 1,196 1,507 2019 1,355

Statistik tersebut hanya mewakili kasus-kasus yang telah dilaporkan ke FMU, karena perlu diketahui bahwa perkawinan paksa adalah kejahatan tersembunyi, dan angka-angka ini tidak akan mencerminkan skala penuh dari pelecehan.364 Sebagian besar kasus (64%) dilaporkan oleh para profesional seperti di sektor pendidikan, layanan sosial, hukum dan kesehatan, serta seperti dari pihak ketiga lainnya, misalnya organisasi non-pemerintah; 18% kasus dilaporkan oleh korban, dan sisanya 18% oleh teman, mitra, anggota keluarga, dan penelepon anonim. Fakta bahwa kurang dari seperlima dari kasus-kasus yang dilaporkan ke FMU oleh para korban mungkin mencerminkan sifat tersembunyi

360Foreign and Commonwealth Office UK, “Forced Marriage Unit Statistics 2019” https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/894428/Force d_Marriage_Unit_statistics_2019.pdf diakses pada tanggal 8 Juli 2021. hlm. 3. 361Ibid. 362Ibid. 363Ibid. 364Studi yang dilakukan oleh NatCen pada tahun 2009 menemukan bahwa ada antara 5.000 dan 8.000 kasus pernikahan paksa yang dilaporkan di Inggris (tidak termasuk korban 'tersembunyi' yang tidak melapor). http://natcen.ac.uk/our-research/research/forced-marriage

dari perkawinan paksa dan karena fakta bahwa para korban mungkin takut keluarga mereka akan membalas dendam jika mereka melapor.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, The Forced Marriage (Civil Protection) Act 2007 memberikan wewenang kepada pengadilan di Inggris dan Wales untuk mengeluarkan Forced Marriage Protection Orders. Setiap tahun sejak pertengahan 2009, sekitar 130 Forced Marriage Protection Orders telah dikeluarkan untuk korban kawin paksa.365 Walaupun angka tersebut tidak banyak berubah secara signifikan setiap tahunnya, dengan Forced Marriage Protection Orders korban dapat mencari: perintah perlindungan, melindungi mereka dari pelecehan; perintah non-penganiayaan; atau perintah untuk menempati rumah perkawinan.

Hal-hal yang berkenaan dengan bagian Forced Marriage Protection Orders (“FMPO”) dan Forced Marriage Unit (“FMU”) dalam Forced Marriage (Civil Protection) Act 2007 merupakan contoh yang baik untuk diterapkan. Argumentasinya lebih kepada mengingat jumlah perkawinan anak di Indonesia yang cukup tingi karena alasan sosial, alasan agama, ataupun alasan terpaksa. Melalui FMPO, pengadilan dapat membuat perintah terhadap terdakwa dengan tujuan melidungi agar masyarakat dari bahaya serius yang dilakukan oleh terdakwa, atau dalam kasus lain, untuk memenuhi rasa keadilan dan menjaga ketertiban. Sedangkan, untuk FMU sendiri, karena sudah berdiri sejak tahun 2005 dan telah menangani puluhan ribu kasus, fungsi dan deskripsi kerjanya baik untuk diimplemetasikan dalam petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis lembaga pengada layanan yang berkaitan dengan kekerasan seksual, seperti Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah, dan lain-lain.

f. Anti-social Behaviour, Crime, and Policing Act 2014

Anti-social Behaviour, Crime and Policing Act 2014 disetujui Kerajaan Inggris pada tanggal 13 Maret 2014 dan diprakarsai oleh Theresa May dan Lord Taylor of Holbeach.366 Salah satu tujuan dari undang-undang ini adalah untuk

365 European Union Agency For Fundamental RIghts, Addressing forced marriage in the EU: legal provisions and promising practices, https://fra.europa.eu/sites/default/files/fra-2014-forced-marriageeu_en.pdf.pdf diakses pada tanggal 29 Agustus 2021. 366Parliamentary Bills, “Anti-social Behaviour, Crime and Policing Act” , https://bills.parliament.uk/bills/1163 diakses pada tanggal 9 Juli 2021.

membuat ketentuan tentang polisi dan Independent Police Complaints Commission and the Serious Fraud Office atau Komisi Pengaduan Polisi Independen dan Kantor Penipuan Serius.367 Pada tahun 2012, pemerintah Inggris membuat white paper berjudul “Putting Victims First: More Effective Responses to Anti-social Behaviour” yang menguraikan niatnya untuk mereformasi undangundang perilaku anti-sosial. Selain itu, terdapat pula desakan dari aktivis dan politisi untuk lebih menguatkan hukum yang mengatur pemaksaan perkawinan.

Setelah adanya ABCPA 2014, khususnya Pasal 121 ABCPA 2014, pemaksaan perkawinan menjadi tindak pidana di Inggris. Signifikansi/efek yang dibawa oleh Pasal 121 ABCPA 2014 ini dapat dilihat dari jumlah kasus dan laporan pelanggaran terhadap Forced Marriage. Berdasarkan laporan dari Crown Prosecution Service yang berjudul Violence Against Women and Girls Report, terdapat delapan tuntutan atas pelanggaran Forced Marriage di tahun 20182019. 368 Tiga orang di antaranya dinyatakan bersalah, empat orang dibebaskan dan satu masih dalam buronan dengan surat perintah.369 Dari data tersebut dapat ditinjau bahwa tuntutan atas pelanggaran Forced Marriage terbilang berjumlah masih sedikit. Para kritikus berpendapat bahwa hal ini disebabkan karena untuk mendapatkan bukti yang cukup bahwa pernikahan itu 'dipaksa' ini cukup sulit supaya dapat memenuhi beban pembuktian yang diperlukan untuk menuntut tindakan.370

Terdapat beberapa hal yang baik untuk dicontoh, seperti adalah dalam hal pencatatan informasi korban agar korban dapat ditangani dengan cepat dan tepat. Lebih lanjut jika meninjau makalah yang berjudul “Addressing forced marriage in the EU: legal provisions and promising practices” dari European Union Agency For Fundamental Rights, mereka merekomendasikan untuk juga menggali informasi pada korban dari seperti ada atau tidak adanya gangguan, dampak gangguan, persyaratan komunikasi, status perkawinan korban, dan apakah mereka memiliki anak atau tidak (tinggal bersama mereka atau tidak).

367Ibid. 368 Crown Prosecution Service, “Violence Against Women and Girls Report” https://www.cps.gov.uk/sites/default/files/documents/publications/cps-vawg-report-2019.pdf diakses pada tanggal 29 Agustus 2021. 369 Ibid. 370 United Kingdom, Home Office (2012), Forced marriage – a consultation: Summary of responses, https://www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/266968/forced-marriageresponse1.pdf. diakses pada tanggal 29 Agustus 2021.

Jenis informasi ini penting untuk mengembangkan layanan dukungan korban yang holistik.371

g. Modern Slavery Act 2015

The Inter-Departmental Ministerial Group on Modern Slabery menerbitkan laporan tahunannya pada Oktober 2013 yang menyoroti aktivitas untuk memerangi perbudakan modern di seluruh Inggris. serta memberikan informasi tentang latar belakang masalah. The Inter-Departmental Ministerial Group on Modern Slabery menerbitkan pernyataan bersama lebih lanjut pada Oktober 2014 untuk memperkenalkan RUU Modern Slavery Kemudian, dilakukan proses pengumpulan informasi untuk mendukung pemeriksaan pralegislatif terhadap RUU ini yang dipimpin oleh Frank Field MP.372 RUU ini kemudian disahkan oleh House of Lords pada 4 November 2014, dan diratifikasi House of Commons pada 4 Maret 2015, serta disetujui Kerajaan Inggris pada tanggal 26 Maret 2015.

Tujuan dari undang-undang ini adalah untuk memperkuat kekuatan untuk mencegah perbudakan modern dan perdagangan manusia, dan meningkatkan dukungan bagi para korban, dan melindungi para korban pelecehan.373

Pemerintah Inggris menggambarkan perbudakan modern sebagai “bentuk brutal

dari kejahatan terorganisir di mana orang diperlakukan sebagai komoditas dan dieksploitasi untuk keuntungan kriminal”, yang “mengambil beberapa bentuk, termasuk eksploitasi seksual, kerja paksa dan perbudakan rumah tangga”.374

Modern Slavery Act 2015 berlaku di Inggris dan Wales, dan mencakup dua pelanggaran substantif—perdagangan manusia, dan perbudakan, dan kerja paksa atau wajib kerja. Secara garis besar, UU ini membahas tentang:375

1) Memperkenalkan pembelaan hukum bagi korban perdagangan atau perbudakan yang dipaksa melakukan tindak pidana;

371European Union Agency For Fundamental Rights, "Addressing Forced Marriage in The EU: Legal Provisions and Promising Practices", https://fra.europa.eu/sites/default/files/fra-2014-forced-marriageeu_en.pdf.pdf diakses pada tanggal 13 Agustus 2021. 372Parlement UK, “Government's Explanatory Notes to the Modern Slavery Act 2015”, hlm. 2–3 https://www.legislation.gov.uk/ukpga/2015/30/pdfs/ukpgaen20150030en.pdf diakses pada tanggal 9 Agustus 2021.

373Parlement UK, “Queen’s Speech on 4th June 2014”, https://publications.parliament.uk/pa/ld201415/ldhansrd/text/140604-0001.htm#14060430000173 374Parlement UK, “Modern Slavery Act 2015: Recent Developments” https://researchbriefings.files.parliament.uk/documents/CBP-7656/CBP-7656.pdf diakses pada tanggal 9 Agustus 2021. 375Ibid.

2) Mengkonsolidasikan dan mengklarifikasi pelanggaran perbudakan dan perdagangan manusia yang ada dan meningkatkan hukuman maksimum untuk pelanggaran ini; 3) Mengkriminalisasi tindakan persiapan, misalnya membuat aplikasi visa dengan tujuan membawa seseorang ke Inggris atas dasar perdagangan; 4) Memastikan bahwa pelaku yang dihukum karena perbudakan atau perdagangan manusia mendapat hukuman penyitaan aset yang paling berat; 5) Memperkenalkan slavery and trafficking prevention orders (STPOs) atau perintah pencegahan perbudakan dan perdagangan serta slavery and trafficking risk orders (STROs) atau perintah risiko perbudakan dan perdagangan untuk mendorong pengadilan memberikan kompensasi kepada korban di mana aset disita dari pelaku; 6) Memperkenalkan dua perintah sipil dalam bentuk perintah pencegahan perbudakan dan perdagangan (“STPO”) dan perintah risiko perbudakan dan

perdagangan (“STRO”) untuk membatasi aktivitas pelaku yang berisiko

menyebabkan kerugian pada korban; 7) Menciptakan peran Komisaris Independent Anti-slavery Commissioner dengan kewenangan internasional untuk bertindak demi kepentingan korban dan calon korban dengan memastikan bahwa respons penegakan hukum terhadap perbudakan modern terkoordinasi; 8) Menetapkan kewajiban hukum bagi otoritas publik tertentu untuk memberi tahu Kantor Pusat jika mereka memiliki alasan yang masuk akal untuk percaya bahwa seseorang mungkin menjadi korban perbudakan modern; 9) Mengharuskan bisnis di atas ambang ukuran tertentu untuk mengungkapkan setiap tahun tindakan apa yang telah mereka ambil untuk memastikan bahwa tidak ada perbudakan modern dalam bisnis atau rantai pasokan mereka;

Reaksi terhadap Modern Slavery Act 2015 sebagian besar positif, meskipun beberapa pemangku kepentingan mengkritik undang-undang tersebut karena menghilangkan aspek-aspek tertentu. Aspek-aspek di sini seperti bantuan hukum, pekerja rumah tangga, dan transparansi dalam rantai pasokan.376 Setelah dua

376Modern Slavery in The UK; March 2020https://www.ons.gov.uk/peoplepopulationandcommunity/crimeandjustice/articles/modernslaveryintheuk/m arch2020

tahun diimplementasi, Work and Pensions Committee di Inggris menerbitkan sebuah laporan menyusul penyelidikannya terhadap para korban perbudakan modern.377 Ketua komite tersebut, Frank Field, mengumumkan laporan ini dan mengatakan bahwa terdapat kurangnya kesadaran dan koordinasi yang signifikan pada aparat penegak hukum yang berurusan dengan perbudakan modern dan menyerukan desakan untuk melakukan peninjauan kembali dalam memastikan beberapa perlindungan minimum bagi para korban yang berada di tempat kejadian.378 Selain itu, pada 24 Oktober 2017, Inspectorate of Constabulary and Fire & Rescue Services (“HMICFRS”) menerbitkan inspeksi tematik bahwa

polisi menutup kasus perbudakan modern sebelum waktunya dan secara tidak konsisten dan tidak efektif mengidentifikasi korban.379 HMICFRS menyebutkan bahwa polisi dan lembaga penegak hukum perlu berbuat lebih banyak untuk merespons perbudakan modern dan perdagangan manusia. 380 Claire Falconer, Legal Director at the Focus on Labour Exploitation (“FLEX”) charity, menyatakan bahwa korban perdagangan dan perbudakan memerlukan bantuan hukum tanpa penundaan, mengingat hingga saat ini mereka masih menghadapi kesulitan yang signifikan dalam mengakses bantuan hukum.381 Tanpa adanya bantuan hukum dini, para korban akan kesulitan menentukan pilihan dan konsekuensi serta membuat keputusan mengenai kasusnya.382 Juliette Nash, anggota pendiri the Anti-Trafficking and Labour Exploitation Unit (“ATLEU”), memberikan ringkasan tantangan hukum badan tersebut tentang masalah Pemerintah menyediakan bantuan hukum bagi korban perbudakan dan perdagangan manusia.383 Hal ini karena Kementerian Kehakiman dan Badan Bantuan Hukum tidak memenuhi permintaan bantuan hukum pada korban.

Berdasarkan laporan dari Justice & Care dan The Centre for Social Justice yang berjudul “It Still Happens Here: Fighting UK Slavery in the 2020s”, ribuan

377Ibid. 378Ibid. 379Juctice Inspectorates, https://www.justiceinspectorates.gov.uk/hmicfrs/news/news-feed/call-forconcerted-and-concentrated-response-to-modern-slavery/ diakses pada tanggal 9 Agustus 2021. 380Ibid. 381C Falconer, ‘The Modern Slavery Act : What’s in it for migrant workers?’, http://www.barrowcadbury.org.uk/migration-case-studies/the-modern-slavery-act-whats-in-it-for-migrantworkers/ diakses pada tanggal 9 Agustus 2021. 382Ibid. 383The Justice Gap, J Nash, ‘Will Theresa May finally deliver on her promise to tackle modern slavery?’, J Nash, http://thejusticegap.com/2016/07/will-theresa-may-finally-deliver-promise-tackle-modern-slavery/ diakses pada tanggal 9 Agustus 2021.

This article is from: