23 minute read

Tabel 3. 4 Jumlah Tahanan Kasus Indecent Photographs Of Children Tabel 3. 5 Jumlah kasus di mana Forced Marriage Unit memberikan dukungan dari 2011

Next Article
hingga 2019

hingga 2019

a. Di dalam naskah RUU PKS, peraturan pemaksaan sterilisasi termasuk ke dalam

Bagian Kelima Sanksi Pidana Pemaksaan Kontrasepsi. Sama seperti VSA, di sana juga diatur mengenai kekhususan-kekhususan tindak pidana pemaksaan kontrasepsi, seperti yang dilakukan kepada anak dan penyandang disabilitas; dan b. RUU PKS dan VSA telah mengakomodasi perlindungan bagi penyandang disabilitas mental, di mana jika akan dilakukan kontrasepsi terhadap mereka, maka dilakukan atas permintaan keluarga berdasarkan persetujuan orang tersebut dan pertimbangan ahli.

Advertisement

Selanjutnya, untuk perbedaan:

a. RUU PKS memberikan pidana yang lebih berat jika pemaksaan kontrasepsi menyebabkan hal-hal yang jauh lebih buruk, seperti mengakibatkan keguncangan jiwa atau kematian; b. RUU PKS tidak hanya melindungi pemaksaan sterilisasi, tetapi juga pemaksaan akan bentuk lain dari metode kontrasepsi. Sedangkan, yang dilarang dalam VSA hanyalah pemaksaan sterilisasi; c. Pidana yang diancamkan dalam RUU PKS lebih beragam daripada VSA. VSA mengancam pemaksaan sterilisasi dengan denda hingga $10.000 atau penjara hingga 5 (lima) tahun. Sedangkan, RUU PKS mengancam pemaksaan kontrasepsi dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan ditambah pidana tambahan restitusi. Jika kontrasepsi berupa pengangkatan organ reproduksi (salah satunya sterilisasi), maka pidana yang diancamkan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun, dan ditambah pidana tambahan restitusi, dan pencabutan hak menjalankan pekerjaan; dan d. VSA memidana pelaksana sterilisasi seksual yang melakukan sterilisasi tanpa adanya persetujuan penuh dan terinformasi dari orang yang disterilisasi, sedangkan RUU PKS tidak.

Berkenaan dengan perbedaan ke-4 antara RUU PKS dengan VSA di atas, poin tersebut dapat dijadikan contoh bagi RUU PKS. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hal ini dapat menjadi kunci pencegahan pemaksaan sterilisasi/kontrasepsi. Jika di Singapura yang dipidana hanya “praktisi medis terdaftar”, maka RUU PKS bisa

saja menyesuaikannya dengan keadaan di Indonesia. Pun bisa juga disesuaikan bukan

hanya pelaksana “sterilisasi”, tetapi juga metode-metode “kontrasepsi” lainnya,

sebagaimana rumusan yang telah ada dalam RUU PKS Tahun 2017.

Dengan diadakannya pengaturan tersebut, maka yang merasa jera, takut, dan pantang melakukan pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi bukan hanya pelaku yang memaksa korban atau orang-orang lain yang berhubungan dengan korban, tetapi juga pelaksana (praktisi medis atau lainnya) yang melaksanakan kontrasepsi/sterilisasi itu sendiri. Sehubungan dengan itu, penting juga dimasukkan peraturan terkait syaratsyarat yang perlu praktisi medis penuhi sebelum melaksanakan kontrasepsi/sterilisasi. Sebagai contoh, di VSA diatur terkait dokumen-dokumen serta persetujuan tertulis yang harus praktisi medis dapatkan dari orang yang akan disterilisasi sebelum melaksanakan prosedur sterilisasi. Hal ini baik jika dapat dimasukkan ke dalam RUU PKS. Dari sana, pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi dapat dicegah secara lebih luas karena nantinya pencegahan tidak hanya bergantung kepada kesadaran pelaku, melainkan juga keengganan sang pelaksana (praktisi medis atau lainnya) untuk melakukan kontrasepsi/sterilisasi tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Kedua, mengenai voyeurisme yang ada dalam Penal Code. Sebenarnya, voyeurisme di Indonesia sudah dapat dipidana oleh Pasal 281 KUHP dan/atau Pasal 27 dan 45 ayat (1) UU ITE. Dalam RUU PKS pun, perbuatan voyeurisme masuk ke dalam definisi tindak pidana pelecehan seksual. Namun, penegakkan hukum terhadap voyeurisme perlu diperkuat. Salah satu kasus yang menstimulasi pemikiran ini adalah penyebaran video karyawan kedai kopi Starbucks. Dalam kasusnya, D sebagai pelaku pengunggah video rekannya sedang mengintip (melakukan voyeurisme) yang berujung viral ditetapkan sebagai tersangka dengan Pasal 45 ayat (1) Jo. Pasal 27 ayat 1 UndangUndang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengenai distribusi konten melanggar kesusilaan. Sedangkan, KH sebagai pelaku yang mengintip tidak ditetapkan sebagai tersangka.285

Berikut akan dijabarkan bagaimana sebenarnya hukum Indonesia dan section “Sexual offences” Penal Code memandang kasus di atas:

285Siti Aminah, “Pelecehan Seksual Non Fisik: Kejahatan yang Tidak Dihukum,” https://bahasan.id/pelecehan-seksual-non-fisik-kejahatan-yang-tidak-dihukum/, diakses 13 Juli 2021.

a. Bagi KH, menurut section “Sexual offences” Penal Code Singapura, sebenarnya perbuatannya secara jelas melanggar Pasal 37BB ayat 1. KH dapat dikategorikan melanggar dengan kualifikasi “orang yang dengan sengaja mengobservasi orang lain melakukan tindakan pribadi tanpa persetujuan orang itu”.286 Atas perbuatannya, jika berdasar pada hukum Singapura, KH sudah pasti akan dipidana. Di sisi lain, Indonesia pun memiliki peraturan yang dapat menjerat perbuatan KH, yakni Pasal 281 KUHP, dimana di sana seseorang dilarang melanggar kesusilaan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab II, Pasal 281

KUHP ini dapat menjerat perbuatan baik fisik maupun non-fisik, yang mana perbuatan KH tergolong dalam pelanggaran kesusilaan secara non-fisik. Namun, akhir dari kasus ini menunjukkan permasalahan dalam sistem hukum seputar

Pasal 281 KUHP: Aparat Penegak Hukum di Indonesia yang kurang mumpuni dalam menangani kasus pelecehan seksual dan rumusan undang-undang yang kurang memadai. b. Bagi D, jika mengikuti hukum Singapura, maka dirinya akan dipidana di bawah

Pasal 377BC dan 377BD karena telah mendistribusikan dan/atau memiliki

gambar hasil voyeurisme. Dari sisi hukum Indonesia, sebagaimana telah diputuskan, D dijerat Pasal 45 ayat (1) UU ITE karena telah mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Lagi-lagi, dari fakta ini ditemukan sebuah permasalahan: Jika yang D sebarkan merupakan video KH sedang melakukan voyeurisme, dan video tersebut merupakan materi yang melanggar kesusilaan, lalu mengapa perbuatan KH tidak dikatakan demikian?

Dari penjabaran di atas, poin yang perlu ditonjolkan adalah bahwa perlu diperkuatnya sumber daya baik formil maupun materiil bagi Aparat Penegak Hukum di Indonesia supaya mereka dapat melaksanakan tugasnya dengan maksimal.

Ketiga, mengenai kekerasan seksual yang ada dalam Women’s Charter. RUU PKS telah memasukkan pemaksaan perkawinan sebagai salah satu bentuk tindak pidana. Namun, berbeda dengan yang ada dalam Women’s Charter, RUU PKS membatasi pemidanaan pemaksaan perkawinan itu hanya apabila dilakukan karena beberapa alasan sebagaimana tercantum dalam Pasal 116 RUU PKS. Menurut hemat

286Singapura, Penal Code, Pasal 377 BB.

penulis, seharusnya pengaturan dalam Women’s Charter yang memukul rata pemaksaan perkawinan dalam keadaan apapun dapat diterapkan pula dalam RUU PKS. Hal ini dikarenakan, dengan membatasi alasan-alasan tertentu untuk pemaksaan perkawinan, mungkin saja korban lain yang dipaksa menikah namun tidak dengan alasan yang ada menjadi tidak terlindungi. Sebagai contoh, di masyarakat seringkali anak perempuan dinikahkan supaya “tidak menjadi beban keluarga”, dalam artian orang tua atau wali

“lepas tangan” dalam mengurus anak perempuan itu. Alasan tersebut belum diakomodasi oleh RUU PKS. Dengan begitu, pelaku pemaksaan tidak mendapat hukuman apapun nantinya. Padahal, pemaksaan perkawinan, dengan apapun alasannya, dapat menuntun kepada kekerasan seksual. Maka dari itu, dalam RUU PKS dapat ditambahkan sebuah pengaturan yang memidana pemaksaan perkawinan dengan denda, penjara, atau pidana lain yang cocok yang ada dalam RUU PKS—belajar dari Women’s Charter, pidananya dapat berupa denda atau penjara. Kemudian, baru lah dihadirkan delik kualifisir dari pemaksaan perkawinan, yakni dengan didasarkannya pemaksaan perkawinan pada alasan-alasan yang telah disebutkan dalam Pasal 116 RUU PKS kini.

Selanjutnya, berkaitan dengan Pasal 140 Women’s Charter. Jika pasal tersebut tidak menyebutkan secara jelas “pemaksaan pelacuran”, RUU PKS sudah

melakukannya. Pasal 140 lebih condong kepada tindak pidana apa saja berkaitan dengan prostitusi. Maka dari itu, memasukkannya ke dalam RUU PKS tidak akan tepat, karena akan membuat RUU PKS kabur dari tujuan yang sebenarnya. Hal tersebut menuntun kita kepada dibutuhkannya sebuah undang-undang yang mengatur mengenai prostitusi. Terlepas dari itu, menurut hemat penulis RUU PKS telah mengakomodasi hak dan memberikan perlindungan korban pemaksaan pelacuran dengan komprehensif.

Keempat, mengenai eksploitasi seksual yang ada dalam CYPA. Peraturan mengenai eksploitasi seksual yang ada dalam CYPA telah dihadirkan pada Bagian Keempat Pidana Eksploitasi Seksual RUU PKS. Di sana diatur secara khusus mengenai eksploitasi seksual yang dilakukan kepada anak. Kemudian, pada Pasal 98 RUU PKS juga dijelaskan mengenai eksploitasi seksual yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki hubungan tertentu dengan korban. Dalam artian, pasal tersebut bisa disamakan dengan pengaturan “hubungan eksploitatif” yang diatur dalam Pasal 7

CYPA, utamanya ayat (8). Meski begitu, masih ada beberapa hal berkaitan dengan “hubungan eksploitatif” yang dapat dimasukkan ke dalam RUU PKS. Dalam Pasal 7

CYPA, bentuk hubungan eksploitatif dijelaskan sedemikian rupa. Penegak hukum

diberikan arahan tentang bagaimana memutuskan apakah sebuah hubungan adalah eksploitatif. Hal tersebut tentunya akan sangat memudahkan penanganan kasus dalam lapangan. Di sisi lain, dalam RUU PKS, pengertian eksploitasi seksual mengandung unsur “penyalahgunaan kepercayaan” yang pada bagian penjelasan diartikan sebagai

“menggunakan kepercayaan yang diberikan oleh seseorang kepada pelaku Kekerasan

Seksual karena ada relasi personal, jabatan, wewenang atau kedudukan”. Memang, dengan sendirinya unsur itu dapat mencakup hubungan eksploitatif yang dijelaskan dalam Pasal 7 CYPA. Meski begitu, jika Singapura mengatur hal tersebut dengan cukup rinci dan angka kasus yang mereka investigasi menjadi bertambah sejak itu, mungkin akan menjadi hal baik jika RUU PKS juga memiliki hal serupa. Kerincian tersebut mungkin dapat memberikan perlindungan yang lebih luas.

Selanjutnya, terdapat sebuah elemen dari Pasal 7 CYPA yang juga dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam RUU PKS, yakni berkaitan dengan consent atau persetujuan. Dalam CYPA, dikatakan bahwa tersangka eksploitasi seksual terhadap anak atau remaja dapat membela dirinya menggunakan alasan bahwa pelaku “dengan alasan kesalahan fakta atau ketidaktahuan fakta dengan itikad baik”

menganggap korban telah memberikan persetujuannya atas perbuatan tersebut. Jika pengaturan ini dimasukkan dalam RUU PKS, maka meskipun RUU PKS merupakan peraturan yang berperspektif korban, RUU PKS tetap dapat menjamin keadilan bagi seluruh pihak. Terlebih, sesungguhnya pengaturan tersebut juga dapat mencegah kasuskasus di mana pelaku menghalalkan berbagai cara untuk membuktikan bahwa korban menyetujui perbuatannya. Hal tersebut dikarenakan bersamaan dengan pengaturan tersebut diatur pula pembatasan kapan pembelaan atas dasar persetujuan itu dapat digunakan. Pembelaan tersebut tidak serta merta berlaku dalam segala kasus, pun tidak dapat sepenuhnya membebaskan tersangka dari segala tuduhan. Dalam CYPA, pembelaan atas dasar persetujuan tersebut hanya bisa diajukan oleh tersangka apabila korban merupakan POremaja yang sudah berusia 16 tahun namun belum 18 tahun. Mengingat di dalam RUU PKS tidak ada konstruksi usia semacam itu, maka bisa saja pembelaan tersebut hanya diperbolehkan dalam kondisi-kondisi khusus, misalnya korban dan pelaku sedang berada dalam ikatan pernikahan. Nantinya, pengadilan akan tetap mempertimbangkan seluruh kondisi yang melingkupi kasus yang ada.

Kelima, mengenai POHA. Mengingat dalam POHA tidak secara spesifik disebutkan tindak pidana pelecehan seksual, 287 maka dapat dikatakan RUU PKS sudah satu langkah di depan POHA. Hal tersebut karena RUU PKS telah mengatur tindak pidana pelecehan seksual secara terperinci dan khusus, mulai dari fisik hingga nonfisik, beserta pemberatan-pemberatannya. Meski begitu, terdapat sebuah hal menarik dari POHA yang mungkin patut dicontoh oleh RUU PKS, yakni mengenai PO. Sebelumnya, di Indonesia, konsep semacam PO hanya diperuntukkan bagi korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, namanya perintah perlindungan.288 Perintah perlindungan itu lahir dalam UU PKDRT dan diartikan sebagai “penetapan yang

dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban”. Namun, kini RUU PKS juga memiliki bentuk perlindungan seperti PO, dikenal dengan perintah perlindungan sementara.

Tujuan dari perintah perlindungan sementara yang ada di RUU PKS dan PO yang ada di POHA pada intinya sama, yakni melindungi korban dari ancaman kekerasan seksual atau pengulangan kekerasan seksual. Meski demikian, RUU PKS hanya menjelaskan mengenai siapa yang dapat mengajukan dan mengeluarkan perintah perlindungan sementara serta bagaimana cara pengajuannya. Di sisi lain, POHA mengatur secara komprehensif terkait siapa yang dapat mengajukan dan memutus, bahan pertimbangan keputusan pemberian PO, bentuk-bentuk perlindungan yang disediakan PO, pelaksanaan dari PO, hingga jangka waktu PO. Dalam hal ini, struktur pengaturan PO yang ada di dalam POHA mungkin dapat dijadikan contoh bagi pengaturan perlindungan sementara yang ada di RUU PKS.

Selain daripada rekomendasi-rekomendasi yang dapat diambil bagi RUU PKS dari per peraturan di atas, terdapat pula beberapa poin dari hasil analisis secara keseluruhan yang dapat dijadikan rekomendasi bagi pengaturan kekerasan seksual di Indonesia:

a. Pemidanaan pelaku tidak serta merta memperbaiki kerusakan yang telah dibuatnya, terutama keadaan mental dari korban. Maka dari itu, akan lebih baik

287Dalam POHA digunakan kata “harassment”, yang mana hal tersebut melingkupi berbagai perilaku pelecehan. Namun, dalam Pasal 3 dan Pasal 4 POHA yang melarang “harassment” itu tidak disebutkan secara spesifik kata “sexual harassment” meskipun dalam contoh kasus digambarkan salah satu bentuk harassment berupa sexual harassment. 288Selvina, “Hal Penting tentang Restraining Order & Perlindungan KDRT,” https://www.hakita.id/blog/restraining-order-di-indonesia-perlindungan-kdrt/, diakses 9 Agustus 2021.

jika diadakan upaya-upaya lain selain dari pendekatan pidana dalam menghadapi kekerasan seksual, terutama dalam bentuk pencegahan. Sebagai contoh, dalam perdebatan TPA dikatakan bahwa cara terbaik untuk menghindari aborsi (yang sangat erat kaitannya dengan kekerasan seksual pemaksaan aborsi) bukanlah dengan pengilegalan tindakannya, tetapi diperluasnya akses kepada kontrasepsi.

Perluasan akses terhadap kontrasepsi inilah yang disebut sebagai bentuk pencegahan; b. Selain tersedianya kepastian hukum dalam bentuk peraturan perundangundangan, penting bagi pemerintah untuk melahirkan mekanisme pelaporan dan penanganan kasus yang berperspektif korban. Mekanisme ini perlu ditanamkan di setiap tingkatan penanganan kasus kekerasan seksual. Berkaitan dengan itu, mengingat tipologi kejahatan saat ini semakin tidak terbatas ruang dan waktu, perlu juga dipastikan bahwa perlindungan korban kekerasan seksual online dapat terakomodasi lewat mekanisme yang ada. Dengan begitu, korban yang mengalami kekerasan seksual apapun akan menjadi lebih berani dan percaya diri dalam melaporkan kasusnya; c. Hendaklah pemerintah membentuk sistem perlindungan bagi korban dalam proses peradilan agar korban tidak mengalami reviktimisasi. Belajar dari PHTA, perlindungan ini dapat berbentuk: pemeriksaan korban yang tidak langsung datang ke ruang sidang (hal ini dapat berkontribusi terhadap kestabilan emosional korban), perlindungan identitas korban, dan pemidanaan terhadap pelanggaran perlindungan terhadap korban. d. Pentingnya keterlibatan berbagai pihak dalam penanganan kekerasan seksual. Hal ini termasuk adanya koordinasi dan kerjasama antara pemerintah pusat dan aparat

Penegak Hukum dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat dan/atau lembaga yang mendampingi korban kekerasan seksual, unit perlindungan perempuan dan anak di daerah, pemerintah daerah, dan lainnya.

3.2 Inggris

1. Perkembangan Pengaturan dan Implementasinya a. Protection of Children Act 1978

Undang-undang yang berlaku sejak 20 Juli 1978 ini hadir untuk mencegah eksploitasi anak dengan membuat foto tidak senonoh dari mereka; dan

menghukum pendistribusian, penayangan dan iklan foto-foto tidak senonoh tersebut.289 Dalam debat parlemen yang mendiskusikan Protection of Children Act of 1978 (“PCA”) dikatakan bahwa undang-undang tersebut diharapkan oleh publik dapat menghapus pornografi anak. Anggota Parlemen dibanjiri dengan surat dari konstituen, orang tua yang cemas, guru, gereja, pekerja sosial dan organisasi yang peduli dengan kesejahteraan moral anak-anak yang mendesak Anggota Parlemen untuk mendukung mereka sehingga perdagangan keji dan kotor yang melibatkan eksploitasi seksual dan korupsi anak-anak dapat dihancurkan.290

Di bawah PCA, mereka yang mengambil, mengizinkan untuk diambil, membuat, memiliki, memperlihatkan, mendistribusikan, atau mengiklankan gambar anak-anak yang tidak senonoh dianggap telah melakukan tindak pidana.291 Dengan kata lain, targetnya bukanlah foto itu sendiri, yang mungkin telah diatur oleh Obscene Publications Act 1959, tetapi proses dari pembuatan fotonya. PCA berusaha untuk menghentikan keterlibatan anak di bawah 16 tahun dalam produksi film atau foto tidak senonoh dengan cara tidak langsung.292

Di tahun-tahun mendatang setelah disahkan, terdapat beberapa amandemen dalam PCA. Pertama, pada tahun 2004 usia “anak” dinaikkan menjadi 18 tahun.

Hal tersebut karena tekanan dari badan amal anak-anak. Akan tetapi, dapat dikatakan pula bahwa usia 18 tahun itu merupakan persyaratan hukum internasional.293 Kemudian, salah satu amandemen yang juga signifikan adalah, selain “foto tidak senonoh”, objek tindak pidananya juga ditambah dengan

“indecent pseudo-photograph”. Pseudo-photograph diartikan sebagai gambar, baik yang dibuat dengan komputer-grafik atau dengan cara lain, yang tampak seperti foto.294 Amandemen itu ditujukan pada kemungkinan bahwa, dengan difasilitasi oleh teknologi komputer baru, sebuah foto dapat dimanipulasi sehingga, misalnya, wajah seorang anak dapat ditumpangkan pada tubuh orang

289United Kingdom, Protection of Children Act 1978. 290House of Common Debate, “Indecent Photographs and Films of Children”, HC Deb 14 July 1978 vol 953 cc1921-60, https://api.parliament.uk/historic-hansard/commons/1978/jul/14/indecent-photographs-andfilms-of, diakses 9 Juli 2021. 291Protection of Children Act 1978, Pasal 1 ayat (1). 292Richard Stone, “Extending the Labyrinth: Part VII of Justice and Public Order Act the Criminal 1994,” The Modem Law Review Limited 1995, hlm. 389. ((389-394))) 293Alisdair A. Gillespie, Child Pornography, hlm. 3. Diakses dari https://eprints.lancs.ac.uk/id/eprint/87956/1/Dangerous_Speech_CP_AAG_Final.pdf, pada 9 Juli 2021. 294Protection of Children Act 1978, Pasal 7 ayat (7).

dewasa atau sebaliknya. Program komputer tersebut juga memungkinkan karakteristik fisik (misalnya ukuran payudara, adanya rambut kemaluan) dari seseorang yang digambarkan dalam foto yang akan diubah. Dengan begitu, gambar yang dihasilkan mungkin tidak dapat dibedakan dari foto asli.295

Data statistik resmi yang dipublikasi oleh Pemerintah Britania Raya merekam jumlah kasus PCA sejak tahun 1998 hingga 2020 di Inggris dan Wales. Meski begitu, tindak pidana indecent photographs of children tidak secara khusus diperhatikan jejaknya, melainkan dimasukan ke dalam golongan yang bernama “obscene publications, etc and protected sexual material” yang terjemahan

bebasnya berarti “publikasi cabul, dan hal lain serta materi seksual yang

dilindungi”. Menurut data yang ada, jenis kejahatan dalam golongan tersebut cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1998-1999, terdapat 603 kasus; tahun 1999-2000 terdapat 643 kasus; tahun 2001-2002 terdapat 665 kasus; dan tahun 2002-2003 terdapat 852 kasus.296 Kemudian, data lain menunjukkan bahwa dari tahun 2019 hingga tahun 2020, terdapat kenaikan angka kasus sebesar 18% dari jenis kejahatan dalam golongan publikasi cabul, dan hal lain serta materi seksual yang dilindungi.297

Secara lebih spesifik, Metropolitan Police Service (“MPS”), kepolisian Inggris dan Wales, memberikan data statistik jumlah kasus indecent photographs of children yang terjadi di London dari tahun 2014-2019 sebagai berikut:298

Tabel 3. 3 jumlah kasus indecent photographs of children yang terjadi di London tahun 2014-2019

Financial Year

2014-15 2015-16 2016-17 2017-18

Grand Total

595 795 1,356 1,941

295Richard Stone, “Extending the Labyrinth: Part VII of Justice and Public Order Act the Criminal 1994,” The Modem Law Review Limited 1995, hlm. 390. ((389-394))) 296United Kingdom Home Office, Recorded Crime Statistics for England and Wales 1898 - 2001/02, dipublikasi di https://www.gov.uk/government/statistics/historical-crime-data, diakses 10 Juli 2021. 297Office for National Statistics, Police recorded crime by offence: year ending March 2003 to year ending December 2020 and percentage change between year ending December 2019 and year ending December 2020, dipublikasi di https://www.ons.gov.uk/peoplepopulationandcommunity/crimeandjustice/datasets/crimeinenglandandwalesappe ndixtables, diakses 10 Juli 2021. 298Mayor of London, “Number of Police Recorded Indecent Images of Children,” https://www.london.gov.uk/questions/2019/12144, diakses 10 Juli 2021.

2018-19 2,310

MPS mengaitkan peningkatan kasus yang tercatat di atas kepada beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut: pencatatan pelanggaran yang lebih baik, kemajuan teknologi, dan pemahaman oleh Lembaga Penegak Hukum yang memungkinkan proses intelijen yang lebih baik untuk mengidentifikasi dan menangkap pelaku.299

Lebih jauh, MPS juga menghadirkan data statistik penahanan yang mereka lakukan atas kasus indecent photographs of children:300

Tabel 3. 4 Jumlah Tahanan Kasus Indecent Photographs Of Children

2015 2016 2017 2018 2019

Number of arrests 652 844 775 760 695 Number of offences 1.957 1.959 1.511 1.155 905 Menurut MPS, jumlah pelanggaran bisa lebih tinggi dari jumlah penahanan karena seorang tahanan dapat ditangkap untuk lebih dari satu pelanggaran.301 Dari data yang disajikan, dapat diketahui bahwa meski sudah ada PCA, kasus-kasus berkenaan dengan pornografi anak-anak tetaplah marak. Dalam menghadapi fenomena meningkatnya kasus kekerasan seksual pada anak di Inggris, maka solusinya adalah penguatan dan pengefektifan fungsi dari lembaga penegak hukum, dalam hal ini dapat dilakukan dengan pendidikan dan pelatihan khusus penanganan korban kekerasan seksual pada anak. Dari sini, dapat ditarik pelajaran bahwa aparat penegak hukum sebaiknya dilatih dalam pelatihan khusus dan disiapkan materi yang kaitannya erat dengan teknologi—mengingat kini pengaksesan dan penyebaran informasi elektronik, dalam kasus foto tidak senonoh terhadap anak-anak, dapat dengan mudah dilakukan melalui sistem elektronik. Sehingga, ke depannya kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak dapat dicegah.

b. Criminal Justice Act 1988

Criminal Justice Act 1988 disahkan oleh Kerajaan Inggris pada 29 Juli 1988. Dalam Section 134 tentang Penyiksaan pada peraturan tersebut, diatur bahwa seorang pejabat publik atau orang yang bertindak dalam kapasitas resmi, apapun kewarganegaraannya, dianggap telah melakukan penyiksaan jika dia

299Ibid. 300Mayor of London, “Indecent images of children arrests,” https://www.london.gov.uk/questions/2020/0540, diakses 10 Juli 2021. 301Ibid.

dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang parah pada orang lain dalam kinerja atau yang diklaim sebagai kinerja tugas resminya.302 Undangundang tersebut disahkan sebagai bentuk komitmen pemerintah Inggris setelah meratifikasi The Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (the “Torture Convention”) dan European Convention on Human Rights (“ECHR”) .303 Mengingat pada esensinya, tidak seorang pun boleh menjadi sasaran penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi. Criminal Justice Act 1988 telah diamandemen satu kali, yakni pada tahun 2010. Amandemen dalam undang-undang ini berisikan bahwa dalam kasus penyiksaan yang dilakukan oleh pejabat publik, maka proses penyelidikan akan dilakukan oleh the Intelligence and Security Committee (“ISC”) dan dipimpin oleh secara independen oleh hakim.

Dalam bab sebelumnya, telah dijelaskan bahwa tindakan penyiksaan seksual sering menargetkan alat kelamin. Misalnya seperti menyetrum testis dan tindakan penghinaan dan penetrasi seksual yang merusak atau menghancurkan identitas korban sebagai manusia.304 Tindakan penyiksaan seksual dilakukan oleh pejabat publik atau orang yang bertindak dalam kapasitas resmi, apapun kewarganegaraannya dan ditujukan baik kepada orang lain, untuk memperoleh informasi secara memaksa dengan cara menjatuhkan penghukuman.305 Dalam praktiknya, Criminal Justice Act 1988 dipakai terhadap kasus-kasus terorisme, ekstradisi, dan deportasi. Misalnya, kasus pemerintah Inggris yang melakukan negosiasi Memoranda of Understanding (“MoU”) dengan negara-negara seperti Yordania, Libya, dan Afghanistan untuk mendeportasi tersangka kejahatan agar disiksa di negara tersebut.306 Selain itu, berdasarkan laporan dari JUSTICE, non governmental organization yang bekerja dalam meningkatkan akses keadilan di Inggris, menyebutkan bahwa terdapat beberapa kasus yang terkait dalam section 134 tentang Penyiksaan Criminal Justice Act 1988, di antaranya adalah kasus

302Singapore, Children and Young Person Act of 1993. 303Ministry of Social and Family Development, “Stronger Support For Children In Need Of Protection AndRehabilitation”https://www.msf.gov.sg/media-room/Pages/Stronger-Support-for-Children-in-Need-ofProtection-and-Rehabilitation-.aspx diakses 13 Juli 2021 304 Report of the Special Rapporteur on torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment, Manfred Nowak, UN Doc. A/HRC/7/3, 15 January 2008, hlm.25-76. 305 Ibid. 306 JUSTICE, Torture in UK Law, https://justice.org.uk/torture-uk-law/ diakses pada tanggal 13 Agustus

2021.

pejabat Inggris yang melakukan penyiksaan saat interogasi, R (Binyam Mohamed) v Secretary of State for Foreign and Commonwealth Affairs di tahun 2008; Kasus kematian Baha Mousa oleh tentara Inggris akibat disiksa saat proses penahanan.307

Hingga saat ini, masih belum ditemukan laporan terkait penyiksaan seksual yang berdasarkan ketentuan Criminal Justice Act 1988. Kebanyakan kasus yang berkaitan dengan penyiksaan seksual dan dilakukan oleh warga sipil di Inggris menggunakan pasal yang ada di Sexual Offences Act 2003, misalnya Section 2 atau Section 72 Sexual Offences Act 2003. Hal ini karena cakupan Criminal Justice Act 1988 terbatas yakni, orang yang melakukan pelanggaran adalah “pejabat publik”, bahwa mereka “dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau

penderitaan yang parah” pada orang lain, dan bahwa mereka melakukannya saat

melaksanakan "tugas resmi".

c. Protection from Harassment Act 1997

Protection from Harassment Act 1997 adalah undang-undang yang dibuat oleh parlemen Britania Raya oleh Lord Chancellor, Lord Mackay of Clashfern, yang mengatakan bahwa tujuan dari undang-undang ini adalah untuk melindungi para korban pelecehan.308 Dijelaskan juga bahwa undang-undang ini akan melindungi semua korban apapun sumber pelecehannya—yang disebut perilaku menguntit, pelecehan rasial, atau antisosial. perilaku tetangga.309 Pada tahun 2012 Pemerintah Koalisi menambahkan dua tindak pidana khusus penguntitan ke Protection from Harassment Act 1997. Lebih lanjut, terdapat panduan hukum tentang “Penguntit dan Pelecehan” yang diterbitkan oleh Crown Prosecution Service. 310 Dalam situs web College of Policing memiliki panduan terkini untuk polisi di halaman “Penguntit dan Pelecehan” dan sedang mengerjakan Praktik Profesional Resmi baru tentang pelecehan dan penguntitan.311

307 Ibid. 308 The Protection from Harassment Act 1997 England and Wales, https://commonslibrary.parliament.uk/research-briefings/sn06648/ diakses pada tanggal 9 Juli 2021. 309 Ibid. 310 The Crown Prosecution Service, Legal Guidance, Domestic abuse , Cyber / online crime, Stalking and Harrasment, https://www.cps.gov.uk/legal-guidance/stalking-and-harassment 311 College Police UK, Stalking and Harrasment, https://www.app.college.police.uk/app-content/majorinvestigation-and-public-protection/stalking-and-harassment/ diakses pada tanggal 9 Juli 2021.

Undang-undang ini awalnya berasal dari upaya Evonne Leonora Von Heussen, yang merupakan korban dari penguntitan.312 Setelah beberapa tahun berusaha, ia membujuk Perdana Menteri John Major untuk mengambil masalah ini sebagai masalah kebijakan pemerintah.313 Ia menulis draf pertama undangundang dan bekerja sama dengan para menteri dan pegawai negeri Home Office serta departemen yang dibawahi oleh Lord Chancellor yang kemudian dibawa ke Parlemen.314 Protection from Harassment Act 1997 mengakomodasi jenis kekerasan seksual berupa pelecehan seksual, yakni sebuah rangkaian perilaku yang menyebabkan pelecehan kepada orang lain (Pasal 1 Protection from Harassment Act 1997). Sebuah perbuatan disebut sebagai pelecehan seksual apabila orang lain, dalam hal ini korban, yang menerima perbuatan tersebut merasa dilecehkan. Adapun seseorang bisa dikatakan “merasa dilecehkan”

apabila, termasuk tetapi tidak terbatas pada, orang tersebut merasa khawatir atau tertekan.315 Undang-undang ini dirancang untuk melindungi korban dari sumber pelecehan apapun, dalam penguntitan, pelecehan berbasis rasial, atau perilaku anti-sosial oleh tetangga seperti perilaku yang mengganggu, misalnya, jika mereka membuat kebisingan dan lain-lain.316 Perilaku demikian dapat menyebabkan hukuman pidana (berdasarkan Pasal 2) serta dapat juga dikenakan ancaman hukum perdata (berdasarkan Pasal 3).

Terdapat ringkasan penelitian Home Office 203 (Harris, 2000) yang meneliti evaluasi penggunaan dan efektivitas dari Protection from Harassment Act 1997.317 Dalam penelitian ini, terdapat 167 kasus Protection from Harassment yang dikirim oleh polisi ke Crown Prosecution Service (“CPS”) selama tahun 1998 untuk keputusan penuntutan serta wawancara dengan pihak kepolisian,

312 Protection from Harassment Act 1997, https://amp.ww.en.freejournal.org/18758446/1/protectionfrom-harassment-act-1997.html diakses pada tanggal 9 Juli 2021. 313 Ibid. 314 Ibid. 315 House of Commons Library, The Protection from Harassment Act 1997, Briefing Paper Number 6648 2017, hlm. 4. 316 Lord Mackay of Clashfern, then Lord Chancellor, Background is in Library Research Paper 96/115, Stalking, harassment and intimidation and the Protection from Harassment Bill. https://publications.parliament.uk/pa/ld199697/ldhansrd/vo970124/text/70124-01.htm#70124-01_head0 diakses pada tanggal 9 Juli 2021. 317 Home Office Research Study 210 The extent and natue of stalking: findings from the 1998 British Crime Survey, http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.527.4457&rep=rep1&type=pdf diakses pada tanggal 9 Juli 2021.

CPS, hakim, dan korban kekerasan seksual.318 Studi ini menemukan bahwa Protection from Harassment Act 1997 digunakan untuk menangani berbagai perilaku selain menguntit, termasuk perselisihan rumah tangga dan antar tetangga, yakni:319

1) Tersangka dan korban saling kenal di hampir semua kasus, baik sebagai pasangan, mantan pasangan atau kerabat (41% kasus), kenalan (41%) atau tetangga (16%). Hanya dalam empat persen pesta itu adalah orang asing; 2) Alasan pelecehan yang paling umum adalah bahwa pelapor telah mengakhiri hubungan intim dengan tersangka; 3) Delapan puluh persen tersangka adalah laki-laki; di antara korban proporsi yang hampir sama adalah perempuan; 4) Studi ini mengidentifikasi beberapa jenis perilaku berbeda yang merupakan pelecehan; termasuk: a) Ancaman (baik tatap muka atau melalui telepon); b) Serangkaian perilaku yang menyusahkan, seperti mengikuti korban, menunggu di luar rumah atau menelepon tanpa suara; c) Merusak properti korban; d) Penggunaan kekerasan; e) Berbagai tindakan lain, seperti mengirim hadiah yang tidak diinginkan atau memesan taksi yang tidak diinginkan atas nama pelapor.

Selanjutnya, ditinjau dari tindakan polisi, korban biasanya memilih polisi sebagai panggilan pertama mereka ketika mereka mengalami pelecehan.320 Namun, banyak yang tidak mengetahui undang-undang ini dan solusi yang tersedia dan telah mengalami perilaku yang tidak diinginkan untuk waktu yang signifikan sebelum mereka melaporkannya.321 Polisi harus menetapkan bahwa tindakan yang termasuk pelecehan telah terjadi sebelum mereka dapat melakukan penangkapan.322 Dalam beberapa kasus mereka mungkin menunggu sampai ada sejumlah insiden, tetapi dalam sebagian kecil polisi menangkap ketika ternyata

318 Ibid. 319 Ibid. 320 Ibid. 321 Ibid. 322 Ibid.

hanya ada satu insiden.323 Sebagian besar tersangka yang didakwa (hampir 90%) diberikan syarat jaminan – biasanya dirancang untuk mencegah mereka mendekati korban, hanya 7 persen ditahan untuk diadili.324 Kemudian, pada proses penuntutan, sebanyak 39% kasus pelecehan dihentikan oleh CPS, yakni lebih besar daripada rata-rata nasional untuk semua pelanggaran, yakni hanya 14%.325 Pada 2013 hingga 2014, CPS mencatat bahwa 743 pelanggaran penguntit dituntut sedangkan 9.792 dituntut karena pelecehan dari 61.175 tuduhan yang dicatat oleh polisi.326 Di tahun 2015, Paladin National Stalking Advocacy Service mencatat bahwa hanya 1% kasus penguntitan dan 16% kasus pelecehan yang dicatat oleh polisi mengakibatkan tuntutan dan penuntutan oleh CPS. Artinya, hanya sebagian kecil dari semua kasus menguntit dilaporkan ke polisi, atau tercatat sebagai menguntit ketika setelah dilaporkan dan hanya sebagian kecil dari semua kasus penguntit yang dicatat oleh polisi. Dengan demikian, maka perlu untuk melakukan lebih banyak pelatihan bagi polisi untuk mengenali kejahatan pelecehan seksual khususnya kasus stalking dan memberikan dukungan kepada korban. Penelitian Paladin, National Stalking Advocacy Service di tahun 2015 mengungkapkan bahwa hanya 11% (n=33) penguntit yang langsung menerima hukuman penjara karena penguntitan Bagian 2a dan hanya 9% (n=14) untuk pelanggaran penguntitan Bagian 4a pada tahun 2013.327 Selanjutnya, penelitian Sheridan menunjukkan bahwa korban cenderung tidak melapor ke polisi hingga insiden ke-100.328 Dengan demikian dapat diketahui bahwa hanya sedikit dari pelaku penguntit yang dipidana dan keberanian korban untuk melapor digolongkan cukup rendah.

Dari proses sidang pengadilan, sebanyak 63% dari terdakwa mengaku bersalah, 18% dihukum setelah disidangkan, 16% tidak diterima, dan 3% lainnya dinyatakan bersalah di Crown Court.329 Sehingga, dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan, 83% dari pelaku dari kasus-kasus ini dinyatakan bersalah. Hukuman yang paling sering dijatuhkan adalah pembebasan bersyarat, yakni

323 Ibid. 324 Ibid. 325 Ibid. 326Ibid. 327Ibid. 328Ibid. 329 Ibid.

This article is from: