7 minute read

Tabel 2. 11 Penyiksaan Seksual

aktivitas seksual menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual dapat dijerat dengan Pasal 4 ayat (2) Jo. Pasal 30:

Pasal 4 ayat (2) UU Pornografi:

Advertisement

“Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, menyajikan secara eksplisit alat kelamin, mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual alat kelamin atau Pornografi”.

Pasal 30 UU Pornografi:

“Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliyar rupiah)”.

Perbuatan yang diatur dalam Pasal 4 ayat 2 dan Pasal 30 UU Pornografi dapat dilakukan dengan live action atau langsung maupun tidak langsung. Jika langsung biasanya terjadi di tempat hiburan malam atau night club dan karaoke bebas, apabila tidak langsung biasanya dilakukan menggunakan media komunikasi online. Di Singapura jenis eksploitasi seksual yang berkaitan dengan pornografi diatur dalam Pasal 376EE Penal Code Singapura. Dalam pasal ini menyebutkan bahwa termasuk tindak pidana jika seseorang melakukan aktivitas atau gambar seksual eksploitatif di hadapan anak di bawah umur atau di atas 16 tahun tetapi di bawah usia 18 tahun (Pasal 376EE Penal Code Singapura). Pasal ini secara spesifik mengatur bahwa yang menjadi korban adalah anak di bawah umur atau di atas 16 tahun tetapi di bawah usia 18 tahun.

Selain itu, Singapura juga memiliki aturan pidana terkait tindak pidana eksploitatif terhadap komunikasi seksual dengan anak di bawah umur atau di atas 16 tahun tetapi di bawah 18 tahun (Pasal 376EC Penal Code Singapura) yang menjadi korbannya pun sama seperti sebelumnya, yaitu anak. Lebih lanjut, menurut Pasal 377BL Penal Code Singapura, disebutkan bahwa termasuk tindak pidana eksploitasi terhadap materi yang melecehkan anak di bawah umur atau di atas 16 tahun tetapi di bawah 18 tahun. Sama dengan pasal di atas, korban dalam ketentuan pasal ini adalah anak-anak. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa Singapura memiliki pengaturan kekhususan eksploitasi seksual yang berkaitan dengan pornografi yang lebih menekankan pada perlindungan anak serta lebih bervariasi, yakni yang mencakup aktivitas atau gambar seksual, komunikasi seksual, dan materi yang melecehkan serta

bersifat eksploitatif. Di Inggris, kekhususan terkait eksploitasi seksual yang berhubungan dengan pornografi terdapat pada Protection of Children Act of 1978. Dalam Pasal 1 (1) Protection of Children Act of 1978 dijelaskan mengenai aturan pidana foto anak-anak yang tidak senonoh, yaitu merupakan pelanggaran bagi

seseorang—

a. untuk mengambil, atau mengizinkan untuk diambil, setiap foto tidak senonoh dari seorang anak; atau b. mendistribusikan atau memperlihatkan foto-foto tidak senonoh; atau c. untuk memiliki foto-foto tidak senonoh itu, dengan maksud untuk didistribusikan atau diperlihatkan oleh dirinya sendiri atau orang lain; atau d. untuk mempublikasikan atau menyebabkan diterbitkannya iklan apa pun yang mungkin dipahami sebagai menyampaikan bahwa pengiklan mendistribusikan atau menunjukkan foto-foto tidak senonoh; atau bermaksud untuk melakukannya.

Sama dengan Singapura, peraturan terkait pornografi di Inggris khusus ditujukan pada saat anak menjadi korban.

Kekhusuan berikutnya adalah eksploitasi seksual dengan penetrasi seksual. Di Indonesia, tindak pidana dengan jenis kekhususan ini diatur pada Pasal 12 ayat UU PTPPO. Adapun bunyi Pasal 12 UU PTPPO adalah sebagai berikut:

“Menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang.

Mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi.

Mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang. Pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.”

Dalam rumusan tersebut, terdapat unsur menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang yang menandakan adanya aktivitas penetrasi seksual melalui persetubuhan. Selain itu dalam lingkup rumah tangga, Indonesia dalam Pasal 8 huruf b UU PKDRT juga mengatur bahwa seseorang dapat dipidana jika melakukan pemaksaan hubungan seksual dalam

rumah tangga untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Di Singapura, Penal Code Singapura mengatur mengenai eksploitasi seksual dengan penetrasi seksual dalam Pasal 376AA Penal Code Singapura yang pada intinya menyebutkan bahwa termasuk tindak pidana jika seseorang melakukan penetrasi seksual terhadap anak di bawah umur atau di atas 16 tahun tetapi di bawah usia 18 tahun dengan tujuan eksploitasi. Dengan begitu, Singapura mengatur tindak pidana eksploitasi dengan penetrasi seksual berkaitan dengan anak sebagai korbannya. Sedangkan Indonesia lebih luas dan juga mencakup ranah khusus, yakni pada ranah eksploitasi seksual dengan penetrasi seksual yang terjadi dalam rumah tangga. Lain halnya dengan Indonesia dan Singapura, Inggris tidak mengatur jenis kekhususan ini dalam peraturan perundang-undangannya.

Kekhususan berikutnya adalah eksploitasi seksual dengan tujuan komersial. Indonesia memiliki pengaturan terkait dengan tindak pidana ini, yakni dalam UU PKDRT dan UU PTPPO. Dalam UU PKDRT, ialah suatu tindak pidana jika seseorang melakukan pemaksaan hubungan seksual dalam rumah tangga untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Selain itu, menurut Pasal 12 UU PTPPO, disebutkan bahwa termasuk tindak pidana jika mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang berdasarkan Pasal 12 UU PTPPO. Selaras dengan Pasal 12 UU PTPPO di Indonesia, Singapura menyebutkan pada Pasal 6 Prevention of Human Trafficking Act of 2014, yakni dengan menerima pembayaran sehubungan dengan eksploitasi korban perdagangan orang. Selanjutnya di Inggris, juga terdapat peraturan serupa, yakni mengenai eksploitasi seksual dalam hal mengatur atau memfasilitasi eksploitasi seksual yang diatur dalam Pasal 50 Sexual Offences Act 2003.

Kekhususan yang berikutnya ialah yang berkaitan dengan eksploitasi seksual yang mengakibatkan seseorang mengalami kegoncangan jiwa, kehamilan, luka berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi. Pengaturan ini ditemukan pada Pasal 7 ayat (1) UU PTPPO di Indonesia. Sedangkan Singapura dan Inggris tidak memiliki jenis kekhususan terkait ini. Kekhususan yang terakhir adalah eksploitasi yang mengakibatkan matinya korban. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU PTPPO di Indonesia. Negara Singapura dan Inggris tidak memiliki jenis kekhususan terkait ini.

6. Perbudakan Seksual

Perbudakan mengacu pada situasi di mana seseorang menjalankan kepemilikan atas orang lain. 102 Perbudakan seksual adalah salah satu bentuk perbudakan yang melibatkan tindak kekerasan seksual dan pencabutan otonomi seksual korban.103 Tidak membutuhkan keuntungan finansial apa pun bagi pelakunya.104 Perbudakan dilarang keras menurut hukum internasional.105 Perbudakan seksual juga merupakan kejahatan internasional dan dapat, kapan pun elemen kontekstual yang diperlukan terpenuhi, dituntut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan sebagai kejahatan perang, baik dalam konflik bersenjata internasional maupun non-internasional.106

Menurut Elements of Crimes to the Rome Statute of the International Criminal Court (ICC), kejahatan perbudakan seksual dicirikan oleh dua elemen utama: (1) Pelaku menjalankan salah satu atau semua kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan atas satu atau lebih orang, seperti dengan membeli, menjual, meminjamkan atau menukar orang atau beberapa orang tersebut, atau dengan memaksakan kepada mereka perampasan kemerdekaan yang serupa; dan (2) Pelaku menyebabkan orang tersebut melakukan satu atau lebih tindakan yang bersifat seksual.107 Berkenaan dengan kekuatan kepemilikan, ICC menemukan bahwa tidak ada daftar lengkap situasi yang tercakup dalam istilah khusus ini.108 Namun, beberapa faktor dapat dijadikan pertimbangan untuk menilai apakah kekuatan ini digunakan atau tidak, "seperti kontrol gerakan korban, sifat lingkungan fisik, kontrol psikologis, tindakan yang diambil untuk mencegah atau menghalangi pelarian, penggunaan kekuatan atau ancaman penggunaan kekerasan atau bentuk lain dari pemaksaan fisik atau mental, durasi, pernyataan eksklusivitas, tunduk pada perlakuan kejam dan pelecehan, kontrol seksualitas, kerja paksa, dan kerentanan korban”.109

102 UN Convention to suppress the slave trade and Slavery (“Slavery Convention”), 25 September 1926 (entry into force 9 March 1927), Article 1(1): “Slavery is the status or condition of a person over whom any or all of the powers attaching to the right of ownership are exercised”. 103 I. Bantekas, “Chapter 7.3.3 Sexual Slavery”, in International Criminal Law, Hart Publishing, 2010. 104 UN Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR), Abolishing Slavery and its Contemporary Forms, 2002, at https://www.ohchr.org/Documents/publica- tions/slaveryen.pdf. 105 Slavery Convention, op. cit., Article 1(2). 106 Rome Statute of the International Criminal Court, A/CON.183/9 (“Rome Statute”), 17 July 1998 (entry into force 1 July 2002), Articles 7(1)(c), 7(1)(g), 8(2)(b)(xxii). and 8(2)(e)(vi). 107 ICC Elements of Crimes, op. cit., Article 7(1)(g)-2, Crime against humanity of sexual slavery. 108 ICC, Trial Chamber VI, Prosecutor v. Bosco Ntaganda, Judgment, ICC-01/04-02/06, 8 July 2019, hlm. 952. 109 Ibid., hlm 954-961.

Berikut dipaparkan perbedaan perumusan pengaturan perbudakan seksual di Indonesia, Singapura, dan Inggris:

Tabel 2. 10 Perbedaan Perumusan Pengaruran Perbudakan Seksual di Indonesia, Singapura dan Inggris

Perbudakan Seksual

Negara

Aspek Perbandingan Indonesia Singapura Inggris

Definisi Perbudakan

seksual

merupakan salah

satu bentuk

eksploitasi yang merupakan salah satu tujuan dari perdagangan orang (Pasal 1 angka 7 UU PTPPO)

Praktik perbudakan

merupakan salah

satu bentuk dari

eksploitasi (Pasal 2 Prevention of Human Trafficking Act of 2014) Peraturan di Inggris tidak ada memberikan definisi.

Unsur

Perbudakan

seksual sebagai salah satu bentuk kejahatan manusia (Pasal 9 UU Pengadilan HAM) Melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang Setiap orang yang merekrut, mengangkut, memindahkan, menampung atau menerima seseorang (selain anak) dengan cara ancaman atau penggunaan kekerasan, atau segala bentuk pemaksaan lainnya; penculikan; penipuan; penyalahgunaan kekuasaan; penyalahgunaan posisi kerentanan individu; atau pemberian kepada, Seseorang

memperbudak

orang lain atau

mengharuskan orang lain untuk melakukan kerja paksa atau kerja

wajib (Pasal 1 Modern Slavery Act 2015)

This article is from: