11 minute read

2. Masukkan untuk RUU PKS

adalah 16 tahun, maka dalam menentukan terjadinya suatu jenis tindak pidana eksploitasi seksual, korban diklasifikasi berdasarkan usia yaitu di bawah 16 tahun dan di atas 16 tahun namun di bawah 18 tahun.

2) Pengaturan mengenai unsur consent (persetujuan) dan hubungan eksploitatif dalam eksploitasi seksual terhadap korban berusia di atas 16 tahun dan di bawah 18 tahun;254 3) Pelaku perbuatan cabul dan tidak senonoh terhadap korban berusia di atas 16 tahun namun di bawah 18 tahun tanpa consent dapat menggunakan alasan “atas kesalahan fakta atau ketidaktahuan fakta dengan itikad baik,

Advertisement

percaya bahwa korban telah menyetujui tindakan cabul atau tidak senonoh itu” sebagai pembelaannya. Pembelaan yang dimaksud adalah apabila saat persidangan nanti pelaku (tertuduh) dapat membuktikan beyond reasonable doubt alasan tersebut, maka hakim dapat menjadikannya pertimbangan dalam memutus perkara; 4) Dalam pembuktian suatu hubungan eksploitatif terdapat beberapa pertimbangan yaitu usia korban, perbedaan usia pelaku dengan korban, sifat dan perilaku dalam hubungan tersebut, tingkat kontrol atau pengaruh yang dilakukan oleh pelaku; 5) Suatu hubungan dianggap eksploitatif hingga terbukti sebaliknya, jika terjadi antara korban di atas 16 tahun namun di bawah 18 tahun dengan seseorang yang memiliki kuasa yang timpang seperti orang tua, wali, guru, tenaga medis, advokat, dan lain-lain. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi pasangan yang menikah secara legal. Dalam artian, meskipun korban yang berusia di atas 16 tahun namun di bawah 18 tahun berada di dalam

hubungan yang memungkinkan hadirnya kuasa yang timpang dengan pelaku, apabila mereka juga memiliki hubungan pernikahan yang sah, hubungan mereka secara keseluruhan tidak serta merta dikatakan eksploitatif; dan 6) Saat menentukan ancaman pidana, digunakan konstruksi usia “anak” dan

“remaja”. Jika korban berusia di bawah 14 tahun (anak) maka pidananya

254Hadirnya peraturan ini ditujukan untuk memberikan perlindungan bagi remaja di atas 16 tahun namun di bawah 18 tahun dari eksploitasi seksual yang terjadi karena hubungan eksploitatif. Sebelumnya tidak ada perlindungan bagi mereka. Padahal, hubungan eksploitatif dapat memengaruhi kualitas dari sebuah persetujuan/consent. Lihat: https://www.straitstimes.com/singapore/penal-code-review-committee-minors-from16-to-18-years-to-be-better-protected-from-sexual.

denda maksimal $10.000 dan/atau penjara maksimal 7 tahun, jika korban berusia di atas 14 tahun namun di bawah 18 tahun (remaja) maka pidananya denda maksimal $10.000 dan/atau penjara maksimal 5 tahun.

Sebenarnya, bisa dikatakan bahwa Pasal 7 CYPA merupakan dasar pemidanaan eksploitasi seksual terhadap anak dan remaja secara umum. Hal tersebut dikarenakan dalam Penal Code, bentuk eksploitasi seksual itu sudah lebih dispesifikkan. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, tindakannya dapat berbentuk penetrasi seksual, sexual grooming, atau komunikasi seksual. Sedangkan, dalam Pasal 7 CYPA unsur yang ditekankan hanyalah “any obscene or indecent act” atau segala tindakan cabul atau tidak senonoh.

Perlu diketahui, amandemen yang dibawa oleh Criminal Law Reform Bill berkenaan dengan eksploitasi seksual terhadap anak dan remaja sebagaimana dijelaskan di atas mulai berlaku pada awal 2020. Sebuah data menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anak—termasuk eksploitasi seksual—yang diinvestigasi dari tahun 2019 hingga 2020, yakni dari 210 menjadi 261. Sebagai tambahan, pada tahun 2018 terdapat 248 kasus yang diinvestigasi.255 Menurut Ministry of Social and Family Development Singapura (“MSF”), adanya peningkatan jumlah kasus disebabkan oleh meningkatnya aduan dan kesadaran masyarakat terkait kekerasan seksual yang terjadi. Peningkatan tersebut juga hadir karena bertambahnya jumlah rujukan dari mitra MSF di masyarakat.256 Selain itu, tidak menutup kemungkinan pula jumlah kasus yang diinvestigasi meningkat karena sudah ada peraturan yang dapat disangkakan dilanggar pelaku,257 dalam hal ini Pasal 7 CYPA yang telah diubah sedemikian rupa untuk menjerat pelaku eksploitasi seksual terhadap anak atau remaja.

Menyambung hal tersebut, akan digambarkan perbandingan pemidanaan terhadap pelanggaran Pasal 7 CYPA sebelum dan sesudah amandemen. Pada tahun 2014, sebelum amandemen, seorang pria berinisial AQW yang berusia 35 tahun bertemu dengan korban (berusia 14 tahun). AQW mengatakan bahwa

255Statista, “Number of child sexual abuse cases investigated in Singapore from 2011 to 2020,” https://www.statista.com/statistics/952027/singapore-child-sexual-abuse-cases/, diakses 6 Agustus 2021. 256Ministry of Social and Family Development, “Child Abuse Investigations”, https://www.msf.gov.sg/research-and-data/Research-and-Statistics/Pages/Child-Abuse-Investigations.aspx, diakses 14 Juli 2021. 257Amarjit Sidhu Law, “A Guide to Sexual Offences in Singapore [Part 1] – Consent,” https://asllaw.com.sg/2021/01/24/a-guide-to-sexual-offences-in-singapore-part-1-consent/, diakses 7 Agustus 2021.

usianya adalah 19 tahun, hal tersebut. Dengan itu, korban setuju untuk bertemu dengan AQW. Saat pertemuan itu, mereka melakukan aktivitas seksual, salah satunya AQW menggunakan tangannya untuk memasturbasi korban sebanyak dua kali (tidak berturut-turut). Meskipun korban tidak menunjukkan penolakan, atas keputusan High Court, AQW telah dua kali258 melanggar Pasal 7 CYPA karena elemen kunci dari pasal tersebut adalah “obscene or indecent act” yang

melibatkan anak di bawah umur. Atas perbuatannya itu, AQW dihukum 6 bulan penjara.259

Di sisi lain, pada tahun 2019, Adrian Choo Yi Cong melakukan obscene or indecent act dengan perempuan berusia 11 tahun, kekasih yang baru saja dia temui beberapa bulan sebelumnya. Pertama, dia memeluk dan mencium perempuan tersebut sebelum melanjutkan dengan melakukan perbuatan yang lebih eksplisit. Kemudian, keesokan harinya, dia menyentuh korban secara tidak senonoh. Meskipun korban telah menyuruhnya untuk berhenti, dia tidak mendengarkan. Pada tahun 2021, korban menceritakan kejadian tersebut kepada keluarganya, Adrian pun dilaporkan kepada polisi. Atas perbuatannya, Adrian dipenjara selama 1,5 tahun di bawah Pasal 7 CYPA.260 Dari kedua contoh kasus sebelum dan sesudah amandemen, dapat dilihat bahwa setelah amandemen, pemidanaan yang diberikan kepada pelaku eksploitasi seksual terhadap anak lebih berat dibanding sebelum amandemen.

f. Protection from Harassment Act of 2014

Pada 13 Maret 2014, Protection from Harassment Act 2014 (“POHA”) disahkan oleh Parlemen Singapura261 dan mulai berlaku tujuh bulan setelahnya, yakni 15 November 2014. POHA merupakan puncak dari upaya kementerian untuk membawa perubahan legislatif terhadap undang-undang yang mengatur pelecehan.262 Pada dasarnya, POHA berusaha untuk menghadirkan kebijakan yang dapat melindungi orang-orang dari pelecehan dan penguntitan yang

258Satu perbuatan memasturbasi dihitung sebagai satu kali pelanggaran. 259AQW v. Public Prosecutor, (19 May 2019) In the High Court of the Republic of Singapore, Magistrate's Appeal No 155 of 2014. 260Louisa Tang, “Man jailed 1.5 years for sexually exploiting 11-year-old girl at staircase landings,” https://www.todayonline.com/singapore/man-jailed-15-years-sexually-exploiting-11-year-old-girl-staircaselandings, diakses 29 Agustus 2021. 261Ministry of Law Singapore, “Protection from Harassment Act 2014 now in force,” https://www.mlaw.gov.sg/news/press-releases/protection-from-harassment-act-in-force, diakses 6 Juli 2021. 262Yip Man, “Protection from Harassment Act 2014: Offences and Remedies,” https://singaporelawblog.sg/blog/article/73, diakses 6 Juli 2021.

melanggar hukum, serta untuk membuat amandemen konsekuensial terhadap undang-undang tertulis lainnya. Untuk itu, POHA berisikan 22 pasal dan terorganisir ke dalam empat bagian utama: Preliminary, Offences, Remedies dan General. 263 POHA mencakup berbagai perilaku, termasuk pelecehan secara online, intimidasi terhadap anak-anak, dan penguntitan.264

Selain itu, POHA juga melingkupi pelecehan seksual di dalam maupun di luar tempat kerja. Sebagai contoh, POHA secara spesifik memberikan contoh mengenai bentuk pelecehan seksual dalam tempat kerja yang dapat dipidana di bawahnya: X dan Y adalah rekan kerja. Di tempat kerja, X secara kencang dan grafik menjelaskan kepada rekan kerjanya yang lain terkait hasratnya untuk berhubungan seksual dengan Y dengan cara yang menghina Y. X tahu bahwa Y akan mendengarnya dan berniat untuk menyebabkan Y tertekan. Y tertekan. Atas perbuatannya, X telah melanggar Pasal 3 POHA.265 Untuk pelecehan seksual di luar tempat kerja, pasal-pasal dalam POHA tidak membatasi di wilayah mana perbuatan harus dilakukan sehingga dapat disebut sebagai tindak pidana, hal ini berarti POHA melindungi korban pelecehan seksual baik di ruang publik maupun privat, baik di jalanan, ruang kelas, maupun rumah.

Terdapat 5 (lima) poin utama dari undang-undang yang disebut sebagai konsolidasi dari seluruh peraturan terkait pelecehan itu:266

1) POHA melindungi seluruh korban pelecehan, termasuk penguntitan. Di dalam POHA, terdapat sebuah unsur yang sama di antara seluruh perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana, yakni “menyebabkan penghinaan, kekhawatiran, atau tekanan”.267 Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa dalam POHA, pelecehan adalah perbuatan apapun yang dapat menyebabkan penghinaan, kekhawatiran, atau tekanan terhadap orang lain.

263Goh Yihan dan Yip Man, “The Protection from Harassment Act 2014”, Singapore Academy of Law Journal 26 (2014), hlm. 704-705. 264Ministry of Law Singapore, “A new Protection from Harassment Bill to be introduced to strengthen the laws against harassment,” https://www.mlaw.gov.sg/news/press-releases/a-new-protection-from-harassmentbill-to-be-introduced-to-streng, diakses 8 Juli 2021. 265Singapura, The Protection from Harassment Act of 2014, Pasal 3. 266Jalelah Abu Baker, “Protection from Harassment Act: 5 things you need to know about the landmark legislation,” https://www.straitstimes.com/singapore/protection-from-harassment-act-5-things-you-need-toknow-about-the-landmark-legislation, diakses 8 Juli 2021. 267Singapura, Protection from Harassment Act of 2014.

2) Korban dapat mengajukan langsung Protection Order (“PO”) kepada

Pengadilan. Pengadilan dapat menetapkan PO tersebut baik sebelum atau sesudah seseorang yang dianggap pelaku dipidana. PO dirancang supaya korban tidak menjadi sasaran lebih lanjut atas pelecehan atau jenis perilaku anti-sosial lainnya. Dengan adanya PO, maka pelaku akan dilarang untuk melanjutkan perbuatan-perbuatannya itu.268 Mengingat PO merupakan perintah dari Pengadilan, maka setelah jangka waktu yang telah ditentukan secara spesifik untuk sebuah PO habis, PO itu sudah tidak berlaku lagi.

Pengecualian terhadap jangka waktu itu bisa diberikan oleh Pengadilan apabila korban, atau siapapun yang berlaku padanya sebuah PO, mengajukan permohonan pengubahan, penangguhan, pembatalan, atau perpanjangan PO.269 3) Korban dari false statements atau pernyataan palsu yang ditujukan kepadanya dapat meminta jalan lain. Jalan lain yang dimaksud adalah apabila korban di muka persidangan dapat membuktikan bahwa pernyataan terhadap dirinya adalah palsu, Pengadilan dapat mempublikasi sebuah notifikasi yang menyebutkan bahwa memang pernyataan itu palsu. 4) POHA berlaku baik untuk pelecehan yang terjadi di dunia nyata maupun dunia maya, dan mungkin juga berlaku di luar Singapura. 5) Hukuman yang dapat dikenakan kepada pelaku termasuk denda dan penjara.

Menurut Menteri Hukum Singapura, sejak berlakunya POHA pada 2014 hingga April 2019, ada lebih dari 1.700 penuntutan dan lebih dari 3.000 pengaduan diajukan. Selain itu, lebih dari 500 orang telah melangkah maju untuk membuat permohonan PO.270 Tidak ditemukan data mengenai kelanjutan dari kasus-kasus tersebut, termasuk pemidanaannya. Namun, ditemukan satu contoh kasus yang dihukum dengan POHA, yakni seorang mantan suami yang dipidana penjara 10 bulan serta denda $5.000 (lima ribu dolar singapura) setelah

268Joyslyn Long, “The Protection Order: A Defence Against Harassment,” https://learn.asialawnetwork.com/2017/09/28/protection-order-a-defence-against-harassment/, diakses 8 Juli 2021.

269Singapura, Protection from Harassment Act of 2014, Pasal 12 ayat (6) dan (7). 270Ministry of Law Singapore, “Enhancements to the Protection from Harassment Act (“POHA”),” https://www.mlaw.gov.sg/news/press-releases/enhancements-to-the-protection-from-harassment-act-poha, diakses 8 Juli 2021.

melecehkan mantan istrinya secara seksual.271 Meski begitu, menurut survei yang dilakukan oleh Association of Women for Action and Research (“AWARE”), kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi—dalam artian berbasis online— menunjukkan tren peningkatan sejak 2016 hingga 2019, termasuk pelecehan seksual. Salah satu contoh kasus yang digambarkan oleh AWARE adalah seorang korban dilecehkan secara seksual oleh bosnya, di mana dia dikirimkan pesanpesan cabul melalui Whatsapp. 272 Sehubungan dengan itu, dalam salah satu panel diskusi yang diadakan oleh AWARE pada tahun 2020, dikatakan bahwa ketika berhubungan dengan jalur hukum setelah mengalami pelecehan seksual secara online, prospeknya bisa cukup kompleks. Meskipun para korban mungkin menyadari beberapa opsi yang ada—seperti mengejar PO di bawah POHA— mereka mengantisipasi bahwa prosesnya akan mahal dan melelahkan secara emosional.273

Kekhawatiran yang ada itu kemudian terjawab, karena per-tanggal 1 Juni 2021, The Protection from Harassment Court (“PHC”) resmi dikukuhkan. PHC akan menjadi Pengadilan khusus yang didedikasikan untuk menangani permasalahan pelecehan, baik online maupun offline. PHC akan mengadopsi proses yang disederhanakan untuk jenis permohonan tertentu, termasuk permohonan untuk PO. Di bawah jalur yang disederhanakan ini, penggugat dapat mengajukan klaim secara online dan dengan biaya lebih rendah. Pemeriksaan di

271Pada 2019, seorang pria yang dirahasiakan namanya demi perlindungan korban (yang merupakan mantan istrinya) setidaknya telah dua kali melecehkan korban secara seksual dengan menyentuh bokong korban, salah satu di antaranya diawali dengan pelaku masuk tiba-tiba ke kamar korban yang sedang tertidur. Saat halhal itu terjadi, korban sedang mengurus perceraiannya dengan pelaku. Bahkan, korban memiliki Personal Protection Order yang berasal dari Women’s Charter terhadap pelaku karena perbuatan pelaku pada 2017 yang melecehkan korban secara seksual dan melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Namun, pelaku melanggarnya, sehingga hukuman yang dijatuhkan kepadanya dihasilkan dari penggabungan POHA dan Women’s Charter. Lihat: https://www.channelnewsasia.com/singapore/man-repeatedly-molested-harassed-wifeamid-divorce-proceedings-gets-jail-and-fine-852181. 272AWARE, “AWARE’s Sexual Assault Care Centre saw 140 cases of technology-facilitated sexual violence in 2019, the most ever in one year,” https://www.aware.org.sg/2020/12/awares-sexual-assault-carecentre-saw-140-cases-of-technology-facilitated-sexual-violence-in-2019-the-most-ever-in-oneyear/?utm_source=rss&utm_medium=rss&utm_campaign=awares-sexual-assault-care-centre-saw-140-cases-oftechnology-facilitated-sexual-violence-in-2019-the-most-ever-in-one-year, diakses 8 Juli 2021. 273AWARE, “A Recap: Violence in a Click, a panel discussion on technology-facilitated sexual violence,” https://www.aware.org.sg/2021/03/a-recap-violence-in-a-click-a-panel-discussion-on-technologyfacilitated-sexual-violence/, diakses 8 Juli 2021.

persidangan juga akan dilakukan dengan lebih cepat, sehingga korban dapat memperoleh bantuan secara tepat waktu.274

Lebih jauh, walau korban pelecehan di Singapura mendapat perlindungan sedemikian rupa di bawah POHA, menurut AWARE, perlindungan terhadap pelecehan seksual, terutama di tempat kerja masih kurang dan perlu ditingkatkan. Pada tahun 2007-2008 sebelum POHA disahkan, AWARE melakukan survei terhadap 500 pekerja perempuan dan laki-laki. Dari 500 orang tersebut, 272 di antaranya—atau setara dengan 54.4%—mengaku mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.275 Dengan hadirnya POHA dan klaim bahwa undang-undang tersebut dapat mengatasi pelecehan seksual, tentu harapannya angka yang ada dalam survei tersebut dapat menurun seiring waktu. Namun, kenyataannya, menurut AWARE dalam survei terbarunya, sejak 2015 hingga 2020, 2 dari 5 pekerja di Singapura masih mengalami pelecehan seksual. Kemudian, hanya 3 dari 10 korban yang membuat laporan. Atas itu, Ms Shailey Hingorani, Kepala Riset dan Advokasi AWARE, menyatakan bahwa “ini (hasil

survei) menggarisbawahi pentingnya mengidentifikasi pelecehan seksual dengan ilustrasi yang jelas — melihat bahwa definisi umum mungkin secara tidak sengaja melanggengkan kesalahpahaman”.276 Dalam artian, menurut Ms Shailey Hingorami, POHA yang tidak secara spesifik mengatur pelecehan seksual belumlah cukup.

g. Prevention of Human Trafficking Act of 2014

Pada 2010, Department of State United States of America mengeluarkan sebuah laporan yang diberi judul “Trafficking in Person Report”. Secara

keseluruhan, laporan tersebut berisi bagaimana negara-negara menangani perdagangan orang, kemudian mengelompokkan negara ke dalam Tier 1, Tier 2, dan Tier 3. Semakin bawah tier yang ditempati, maka negara tersebut semakin buruk nilainya dalam menangani perdagangan orang. Singapura kala itu

274Ministry of Law Singapore, “Quicker, More Effective Remedies Against Harassment with New Protection from Harassment Court from June 2021,” https://www.mlaw.gov.sg/news/press-releases/2021-0531-quicker-more-effective-remedies-against-harassment-with-new-protection-from-harassment-court-from-1june-2021, diakses 8 Juli 2021. 275AWARE Sub-Committee on Workplace Sexual Harassment, Research Study on Workplace Sexual Harassment 2008, (Singapura: AWARE, 2012), hlm. 18. 276AWARE, “AWARE-Ipsos survey reveals high prevalence of workplace sexual harassment in Singapore, low rates of reporting over past five years,” https://www.aware.org.sg/2021/01/aware-ipsos-surveyreveals-high-prevalence-of-workplace-sexual-harassment-in-singapore-low-rates-of-reporting-over-past-fiveyears/, diakses 9 Agustus 2021.

This article is from: