12 minute read

Tabel 2. 2 Kekhususan Tidak Pidana Pelecehan Seksual

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memetik pelajaran dari negara-negara yang sudah lebih dulu membuat peraturan yang komprehensif berkenaan dengan kekerasan seksual sehingga dapat dijadikan masukkan untuk peraturan di Indonesia, khususnya RUU PKS. Sedangkan, secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Memahami perbandingan antara ketentuan hukum Indonesia dengan negara lain terkait kasus kekerasan seksual.

Advertisement

2. Melihat praktik-praktik baik dan pembelajaran negara lain untuk masukan dalam penyusunan kebijakan pengaturan pencegahan kekerasan seksual di Indonesia.

1.4 Definisi Operasional

Adapun definisi operasional dalam penelitian ini yang bertujuan untuk menyamakan pandangan atau penafsiran antara pembaca dan penulis mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual dipahami sebagai kategori luas dari tindakan yang bersifat seksual. Oleh karena itu, kekerasan seksual sering didefinisikan dengan mengacu pada daftar contoh tindakan seperti pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran paksa, pernikahan paksa, ketelanjangan paksa dan tindakan lain yang bersifat seksual, dilakukan tanpa persetujuan yang tulus dan/atau dengan menggunakan kekerasan atau dalam keadaan memaksa. Setiap tindakan kekerasan seksual adalah pelanggaran integritas fisik dan psikologis individu dan otonomi pribadi, dan merupakan bentuk kekerasan berbasis gender.15

2. Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual mencakup perilaku yang ditekadkan secara seksual yang tidak diinginkan seperti kontak fisik dan rayuan, komentar yang bernuansa seksual, menunjukkan pornografi dan tuntutan seksual, baik dengan kata-kata atau tindakan. Yang mana tingkah laku seperti itu dapat memalukan dan dapat menimbulkan masalah kesehatan dan keselamatan; merupakan diskriminasi bila perempuan memiliki alasan yang masuk akal untuk meyakini bahwa penolakannya akan merugikan dirinya

15International Federation for Human Rights, Sexual and gender-based violence: A glossary from A to Z, hlm. 156-157.

sehubungan dengan pekerjaannya, termasuk perekrutan atau promosi, atau bila hal itu menciptakan lingkungan kerja yang tidak bersahabat.16

3. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

RUU PKS adalah Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Tahun 2017 yang masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2021. Berdasarkan Naskah Akademiknya, tujuan dari RUU PKS adalah melakukan pencegahan terhadap terjadinya peristiwa kekerasan seksual; mengembangkan dan melaksanakan mekanisme penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang melibatkan masyarakat dan berpihak pada korban, agar korban dapat melampaui kekerasan yang ia alami dan menjadi seorang penyintas; memberikan keadilan bagi korban kejahatan seksual, melalui pidana dan tindakan yang tegas bagi pelaku kekerasan seksual; dan menjamin terlaksananya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat, dan tanggung jawab korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.17

4. Pemidanaan

Pemidanaan atau penghukuman berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berchten).18 Pemidanaan mencakup pengaturan mengenai apa saja perbuatan yang dilarang serta apa sanksi yang dijatuhkan atas pelanggaran larangan tersebut.

5. Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu

16United Nation, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women General Recommendation No. 19: Violence against Women, 1992, Pada Artikel 11.18 disebutkan “Sexual harassment includes such unwelcome sexually determined behaviour as physical contact and advances, sexually coloured remarks, showing pornography and sexual demands, whether by words or actions. Such conduct can be humiliating and may constitute a health and safety problem; it is discriminatory when the woman has reasonable ground to believe that her objection would disadvantage her in connection with her employment, including recruitment or promotion, or when it creates a hostile working environment.” 17 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan & Forum Pengada Layanan untuk Perempuan Korban Kekerasan. (2017). Jakarta: Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. Hlm. 5. 18 M. Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), hlm. 16.

lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.19

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.20 Metode tersebut digunakan agar didapat sebuah pemahaman mendalam terkait norma dan sifat hukum dari sumber hukum yang nantinya dikumpulkan. Adapun sifat dari penelitian ini adalah deskriptif komparatif, di mana penelitian ini akan menjelaskan dan memberikan keterangan terkait perbandingan kebijakan tentang kekerasan seksual di Indonesia dengan di Inggris dan Singapura.

Inggris dipilih sebagai objek komparasi karena memiliki peraturan perundangundangan yang secara komprehensif mengatur tentang kekerasan seksual, yakni Sexual Offences Act of 2003. Kemudian, menurut survei, Inggris menempati posisi ke-13 dari 73 negara terbaik untuk dijadikan tempat tinggal bagi para perempuan. Adapun indikator yang difokuskan dalam survei yang dilakukan oleh Insider itu adalah kepedulian tentang hak asasi manusia, kesetaraan gender, kesetaraan pendapatan, kemajuan, dan keamanan.21 Sedangkan, Singapura dipilih karena memiliki kebijakan-kebijakan hukum yang mencakup pemidanaan terhadap berbagai kekerasan seksual, seperti bagian Sexual Offences dalam The Penal Code of Singapore serta Voluntary Sterilization Act of 1974. Selain itu, Singapura juga menempati posisi pertama dari 14 negara di Asia Pasifik yang paling aman untuk perempuan.22 Variabel yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh ValueChampion itu adalah kesehatan, tingkat kualitas hidup/kejahatan, dan pendidikan serta peluang (dalam meningkatkan kualitas hidup). Selain itu, di Singapura perempuan memiliki akses ke alat kontrasepsi, pendidikan

19Jimly Asshiddiqie, “Penegakan Hukum”, http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf, diakses 2 Mei 2021. 20 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo, 2001), hlm. 13-14. 21 Ben Mack, “The 19 best countries to live in 2020 if you're a woman,” https://www.insider.com/bestcountries-for-women-to-live-ranked-2020-1, diakses 2 Mei 2021. 22 Devina Heriyanto, “Indonesia Ranked Second-most Place for Women in Asia Pacific,” https://www.thejakartapost.com/news/2019/03/06/indonesia-ranked-second-most-dangerous-place-for-womenin-asia-pacific-study.html, diakses 29 Maret 2021.

seksual dan keluarga berencana—artinya dalam banyak kasus, mereka tidak akan dihukum karena menjalani gaya hidup yang aktif secara seksual.23

Selanjutnya, penelitian ini akan menerapkan pendekatan kualitatif dengan mengkonstruksikan sebuah pemahaman baru berdasarkan data yang ada. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari:

1. Bahan hukum primer, antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 35

Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga, Sexual Offences Act of 2003, The Penal Code of

Singapore, Protection from Harassment Act, dan Voluntary Sterilization Act. 2. Bahan hukum sekunder, di mana yang akan dijadikan rujukan adalah buku, artikel ilmiah, artikel berita, dan hasil penelitian yang dapat menunjang penelitian ini. Secara khusus, akan digunakan pula Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang

Penghapusan Kekerasan Seksual Tahun 2017. 3. Bahan hukum tersier, antara lain kamus, buku pedoman, dan berbagai bahan hukum lain yang dapat memberikan petunjuk dan pedoman dalam menelusuri bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

1.6 Sistematika Penulisan

Agar pembahasan penelitian tetap terarah dan sesuai dengan tujuan dari penulis, maka perlu dijabarkan dengan jelas mengenai sistematika penulisannya. Sistematika penulisan dari penelitian ini dipaparkan ke dalam empat bab dengan susunan sebagai berikut:

1. Bab I Pendahuluan

Bab ini menjabarkan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, serta sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian.

23 Anastassia Evlanova, “Top 5 Safest Countries in Asia Pacific for Women,” https://www.valuechampion.sg/top-5-safest-countries-asia-pacific-women, diakses 2 Mei 2021.

2. Bab II Komparasi Kebijakan Hukum Indonesia dengan Negara Lain terkait Kekerasan Seksual

Bab ini akan mengkomparasikan berbagai kebijakan hukum yang ada di Indonesia dengan yang ada di Inggris dan Singapura terkait kekerasan seksual. Pengkomparasian dilakukan dengan menjabarkan secara rinci jenis-jenis kekerasan seksual yang dikenal di masing-masing negara serta pengaturan dan pemidanaan terhadap masing-masing kekerasan seksual.

3. Bab III Analisa Penerapan Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual di Negara Lain terhadap RUU PKS

Bab ini akan membahas implikasi dari penerapan kebijakan terkait kekerasan seksual di Inggris dan Singapura. Implikasi yang dimaksud adalah angka kasus kekerasan seksual setelah adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur, angka tersebut mencakup angka pelaporan serta angka putusan kekerasan seksual. Implikasi tersebut juga akan dilihat dari hasil survei, riset, laporan, dan penelitian mengenai penerapan kebijakan terkait kekerasan seksual di masing-masing negara. Setelah itu, akan ditarik hal-hal yang dapat dijadikan pelajaran serta pertimbangan untuk penerapan RUU PKS ketika nantinya disahkan di Indonesia.

4. Bab IV Penutup

Bab ini akan menyimpulkan penelitian secara keseluruhan serta memberikan saran-saran terkait permasalahan yang ada berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan.

BAB II

KOMPARASI KEBIJAKAN HUKUM INDONESIA DENGAN NEGARA LAIN

TERKAIT KEKERASAN SEKSUAL

2.1 Perbandingan Pengaturan dan Pengelompokkan Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Indonesia, Singapura, dan Inggris

Indonesia, Singapura, dan Inggris mengidentifikasi tindak pidana kekerasan seksual secara berbeda-beda. Sebuah perbuatan yang merupakan tindak pidana kekerasan seksual di satu negara belum tentu dirumuskan serupa di negara lainnya. Dengan begitu, pengelompokkan dari tindak pidana kekerasan seksual pun secara otomatis menjadi beragam di masing-masing negara. Bahkan, Indonesia sendiri tidak mengatur mengenai pengelompokkan tersebut. Pengaturan mengenai tindak pidana kekerasan seksual secara begitu saja tersebar di beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia. Secara total, terdapat 8 (delapan) peraturan perundang-undangan yang mengandung pengaturan mengenai pemidanaan kekerasan seksual, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”), UndangUndang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak beserta perubahannya (“UU Perlindungan Anak”), Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”), Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (“UU PTPPO”), Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”), Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (“UU Pengadilan HAM”).

Lain daripada Indonesia, Singapura dan Inggris memiliki pengelompokkan tersendiri mengenai tindak pidana kekerasan seksual. Dalam Penal Code Singapura, terdapat bagian “Sexual Offences” yang setidaknya mengkriminalisasi 38 perbuatan sebagai kekerasan

seksual. Selain itu, 6 (enam) peraturan perundang-undangan lainnya di Singapura, yakni Protection from Harassment Act of 2014, Voluntary Sterilization Act of 1974, Termination of Pregnancy Act of 1974, Women’s Charter, Children and Young Persons Act of 1993, dan Prevention of Human Trafficking Act 2014 juga memiliki pengaturan mengenai kekerasan seksual. Di sisi lain, Inggris dalam Sexual Offences Act 2003 mengenal 21 jenis tindak pidana kekerasan seksual. Terdapat pula 6 (enam) peraturan perundang-undangan di Inggris yang

mengatur terkait kekerasan seksual, yakni Modern Slavery Act 2015, Protection from Harassment Act 1997, Anti-social Behaviour, Crime, and Policing Act 2014, Criminal Justice Act 1988, Forced Marriage (Civil Protection) Act 2007, dan Protection of Children Act 1978.

Berikut akan dijelaskan perbandingan lebih lanjut mengenai pengaturan tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia, Singapura, dan Inggris. Adapun perbandingan akan dilakukan dengan cara mengklasifikasikan pengaturan perbuatan kekerasan seksual di Indonesia, Singapura, dan Inggris ke dalam 9 (sembilan) jenis kekerasan seksual yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Tahun 2017.

1. Pelecehan Seksual

Berdasarkan tinjauan psikologis, pelecehan seksual adalah perilaku atau perhatian yang bersifat seksual yang tidak diinginkan dan tidak dikehendaki dan berakibat mengganggu diri penerima pelecehan.24 Dari pengertian tersebut, maka pelecehan seksual mencakup hal-hal seperti pemaksaan melakukan kegiatan seksual, pernyataan merendahkan tentang orientasi seksual atau seksualitas, dan lainnya. Terdapat tiga elemen kunci dari pelecehan seksual, yakni tindakan-tindakan fisik (body contact) dan/atau nonfisik (no body contact); berkaitan dengan seksualitas seseorang; dan mengakibatkan seseorang merasa terhina, terintimidasi, direndahkan, dan/atau dipermalukan.25 Berikut dipaparkan perbedaan perumusan pengaturan definisi dan unsur pelecehan seksual di Indonesia, Singapura, dan Inggris:

Tabel 2. 1 Pelecehan Seksual

Pelecehan Seksual

Negara

Aspek Perbandingan Indonesia Singapura Inggris

Definisi Definisi pelecehan seksual di Indonesia dapat dilihat dari unsurunsur deliknya Definisi pelecehan seksual di Singapura dapat dilihat dari unsur-unsur deliknya Definisi pelecehan seksual di Inggris dapat dilihat dari unsur-unsur deliknya

24N.K. Endah Triwijati, “Pelecehan Seksual: Tinjauan Psikologis,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik Th. XX No. 4 (Oktober-Desember, 2007), hlm. 303. 25Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan & Forum Pengada Layanan untuk Perempuan Korban Kekerasan, (2017), Jakarta: Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, hlm. 96.

Unsur Melanggar kesusilaan (Pasal 281 KUHP)

Menghina kesusilaan

seseorang (Pasal 377BA Penal Code Singapura) Menggunakan kata atau perilaku apapun yang mengancam, melecehkan, dan menghina orang lain (Pasal 3 dan 4 Protection from Harassment Act of 2014)

Memaksa melakukan atau membiarkan

dilakukan perbuatan cabul

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan (Pasal 289 KUHP) Melakukan rangkaian perilaku yang menyebabkan pelecehan (membuat khawatir atau tertekan) terhadap orang lain (Pasal 1 Protection from Harassment Act 1997)

Menyentuh orang lain secara seksual

tanpa persetujuan orang tersebut (disebut serangan seksual) (Pasal 3 Sexual Offences Act 2003)

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa ketiga negara tidak secara khusus mendefinisikan apa itu pelecehan seksual. Meski begitu, bagaimana masing-masing negara mengartikan pelecehan seksual dapat dilihat dari unsur-unsur deliknya. Pertama, Indonesia melihat pelecehan seksual sebagai perbuatan yang melanggar kesusilaan (menggunakan perspektif kesusilaan), sebagaimana diatur dalam Pasal 281 KUHP. Oleh R. Soesilo, kata kesusilaan pada pasal tersebut diartikan sebagai perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin.26 Sejalan dengan pernyataan tersebut, S. R. Sianturi mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan melanggar kesusilaan pada Pasal 281 KUHP adalah perbuatan yang melanggar kesopanan di bidang kesusilaan yang (harus) berhubung dengan kekelaminan dan/atau bagian badan tertentu lainnya yang pada umumnya dapat menimbulkan perasaan malu, perasaan jijik atau terangsangnya nafsu birahi orang lain.27 Dengan penafsiran-penafsiran tersebut, maka

26R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Pidana serta Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1995), hlm. 204. 27S. R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983), hlm.257.

perbuatan yang disebut melanggar kesusilaan ini dapat mencakup pelecehan seksual baik verbal maupun non-verbal.

Selanjutnya, Inggris memandang pelecehan seksual sebagai sebuah rangkaian perilaku yang menyebabkan pelecehan kepada orang lain. Jadi, berbeda dengan Indonesia yang memfokuskan pelecehan kepada unsur kesusilaan, Inggris lebih menekankan bahwa sebuah perbuatan disebut sebagai pelecehan seksual apabila orang lain, dalam hal ini korban, yang menerima perbuatan tersebut merasa dilecehkan. Adapun seseorang bisa dikatakan “merasa dilecehkan” apabila, termasuk tetapi tidak terbatas pada, orang tersebut merasa khawatir atau tertekan.28

Penekanan unsur yang menggantungkan pelecehan seksual kepada perspektif korban juga dianut oleh Singapura. Pasal 3 dan 4 Protection from Harassment Act of 2014 milik Singapura mengartikan pelecehan sebagai perbuatan yang menggunakan kata atau perilaku apapun yang mengancam, melecehkan, dan menghina orang lain. Dari sana dapat dilihat bahwa salah satu elemen utama tindak pidana pelecehan adalah korban. Jika korban tidak merasa terancam, terlecehkan, atau terhina, maka sebuah perbuatan tidak bisa dikatakan sebagai pelecehan.

Meski begitu, sesungguhnya Singapura menganut dua perspektif dalam melihat pelecehan seksual ini. Pertama, berkaitan dengan perspektif korban sebagaimana telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, kemudian yang kedua adalah perspektif kesusilaan, seperti yang dianut Indonesia. Pasal 377BA Penal Code Singapura mengatur bahwa seseorang yang menghina kesusilaan orang lain akan dipidana. Perbuatan menghina kesusilaan dalam pasal tersebut dikhususkan bagi perbuatan tertentu, yakni mengucapkan kata apapun, membuat suara atau gerakan apapun, atau menunjukkan objek apapun yang mana perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan supaya orang lain (korban) dapat mendengar/melihatnya.29 Dengan itu, jika Indonesia hanya merumuskan perbuatan “melanggar kesusilaan” tanpa merincikannya, di Singapura

setidaknya harus ada dua hal supaya sebuah perbuatan dikatakan sebagai “menghina

kesusilaan”, yakni perbuatan dilakukan dengan cara-cara tertentu; dan perbuatan itu memang ditujukan untuk menghina kesusilaan.

28House of Commons Library, Briefing Paper Number 6648 2017: The Protection from Harassment Act 1997, hlm. 4. 29Singapura, Penal Code, Pasal 377BA.

This article is from: