10 minute read

Tabel 2. 5 Pemaksaan Kontrasepsi dan Sterilisasi

Perkosaan dalam

rumah tangga

Advertisement

yang

mengakibatkan luka yang tidak memberi harapan akan sembuh

sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi (Pasal 48 UU PKDRT)

Perkosaan dengan benda atau alat dalam incest (Pasal 376G Penal Code Singapura) Perkosaan dengan benda atau alat dengan Penyerangan (Pasal 2 Sexual Offences Act 2003)

Berdasarkan tabel di atas, kategori kekhususan pertama terkait dengan perkosaan ialah mengenai perkosaan dalam rumah tangga yang berkaitan dalam hubungan suami istri. Dalam konteks Indonesia, perkosaan dalam perkawinan sama sekali tidak diakomodasi dalam KUHP. Seperti yang disampaikan sebelumnya, perumusan unsur tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP menggunakan unsur di luar perkawinan sebagai salah satu unsur pembeda dari tindak pidana kesusilaan lainnya. Meski demikian, dinamika reformasi hukum perkosaan global juga mempengaruhi diskursus yang terjadi di Indonesia. Di tahun 2004, Pemerintah dan DPR mengesahkan UU PKDRT dan salah satu poin pengaturannya adalah kriminalisasi kekerasan seksual yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga, termasuk di dalamnya adalah terhadap

istri. Perbuatan tersebut dirumuskan dalam Pasal 8 huruf a jo. Pasal 2 ayat (1) huruf a UU PKDRT, dengan redaksional sebagai berikut:

Pasal 8 huruf a UU PKDRT:

“Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.” Pasal 2 ayat (1) huruf a PKDRT:

(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi: a. Suami, istri, dan anak

Kemudian, tindak pidana terhadap Pasal 8 huruf a jo. Pasal 2 ayat (1) huruf a dirumuskan dalam Pasal 46 UU PKDRT. Seperti yang telah diuraikan di atas, perkosaan dalam rumah tangga di Indonesia dikategorikan sebagai kekerasan (seksual) dan diatur di luar KUHP. Lebih lanjut, terhadap Pasal 46 PKDRT jika mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan, maka berdasarkan Pasal 48 UU PKDRT dipidana sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Lain hal di Singapura, perkosaan dalam hubungan suami-istri perkawinan sah adalah perluasan dari definisi perkosaan yang telah diatur di dalam Penal Code Singapura. Pengaturan ini diatur dalam Pasal 375 (4) Penal Code yang mana jika dilakukan tanpa persetujuan istrinya. Berbeda dengan Indonesia dan Singapura yang peraturan terkait perkosaan terhadap istri dalam perkawinan tertulis eksplisit dalam undang-undang, Inggris mengatur hal ini dalam yurisprudensi The Case of R v. R yang disidangkan di House of Lords pada tahun 1991.58 Kasus ini mengubah hukum Inggris dimana mungkin bagi suami untuk

58 https://www.parliament.uk/lords/

memperkosa istrinya.59 Perkosaan dalam perkawinan di Inggris juga berlaku terhadap pasangan yang hidup bersama.60

Kekhususan kedua ialah perkosaan yang terjadi terhadap orang-orang yang memiliki hubungan perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian. Di Indonesia perkosaan jenis ini diatur dalam Pasal 8 huruf a jo. Pasal 2 ayat (1) huruf b jo. Pasal 46 UU PKDRT yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, istri atau anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga. Dari pengaturan ini dapat dilihat bahwa hubungan seksual terjadi antara ayah dengan anak, ibu dengan anak, antar sesama saudara kandung dan persusuan serta hubungan pengasuhan dan perwalian. Jika melihat dalam pengaturan Singapura, pengaturannya menyebutkan bahwa perbuatan jenis ini ialah penetrasi seksual terhadap cucu, anak, saudara, setengah-saudara, ibu atau nenek (apakah hubungan tersebut melalui atau tidak melalui pernikahan yang sah) dengan atau tanpa persetujuan (Pasal 376G Penal Code Singapura). Penetrasi seksual di sini ialah penetrasi penis atau bagian tubuh selain penis atau apa pun ke vagina atau anus seseorang. Kata apa pun di sini mengindikasikan bahwa benda atau alat yang digunakan untuk tujuan penetrasi seksual dikategorikan sebagai pelanggaran dalam bagian kekhususan perkosaan ini. Dengan demikian, dapat disimpulkan terdapat perbedaan antara penetrasi seksual dalam hubungan sedarah di Indonesia dengan di Singapura, yang mana pengaturan di Singapura lebih luas yakni penetrasi seksual pada bagian tubuh selain penis atau apa pun ke vagina atau anus seseorang. Perbedaan selanjutnya ialah mengenai cakupan hubungan antar pelaku. Di Indonesia cakupannya luas, yakni meliputi hubungan perkawinan (sedarah), persusuan, pengasuhan, dan perwalian, sedangkan di Singapura hanya mengatur hubungan sedarah. Di Inggris, kekhususan perkosaan jenis ini ialah penetrasi seksual anus, vagina, dan mulut terhadap penis atau bagan tubuh lainnya yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki hubungan kakek-nenek, saudara laki-laki, saudara perempuan, saudara tiri, bibi, paman, orang tua angkat dengan orang lain dalam hubungan tersebut. Selain itu juga termasuk hubungan dengan seseorang yang telah merawat dan mengawasi orang lainnya dan tinggal atau pernah tinggal dalam rumah tangga yang sama.

59 What Are The Legal Penalties for Marital Rape https://www.lawtonslaw.co.uk/resources/what-are-thelegal-penalties-for-marital-rape/ 60 ibid.

Inggris membedakan pemidanaan antara penetrasi seksual yang dilakukan kepada anak dan sesama anggota keluarga dewasa yang memiliki hubungan darah. Jika korbannya anak diatur pada Pasal 25 (6) jo. 27 Sexual Offences Act 2003 dan jika dilakukan antar sesama anggota keluarga dewasa yang memiliki hubungan darah diatur pada Pasal 64 Sexual Offences Act 2003. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa pengaturan di Inggris terkait hal ini lebih luas yakni penetrasi seksual pada bagian tubuh selain penis atau apa pun ke vagina atau anus seseorang. Lebih lanjut, cakupan hubungan dalam pengaturan di Indonesia sama-sama mencakup hubungan perkawinan (sedarah), pengasuhan, dan perwalian.

Selanjutnya, kekhususan perkosaan terhadap anak. di Indonesia pengaturan terkait ini diatur di KUHP, UU Perlindungan Anak dan UU PKDRT. Adapun rinciannya adalah:

Pasal 287 ayat (1) KUHP

“Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.” Pasal 288 KUHP

“(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang perempuan yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

Pasal 8 huruf a jo. Pasal 2 ayat 1 huruf a 46 UU PKDRT

Pasal 8 huruf a UU PKDRT

“Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.” Pasal 2 ayat (1) UU PKDRT:

(1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi: a. Suami, istri, dan anak

b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Pasal 46 UU PKDRT

“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).” Pasal 76 jo. Pasal 81 UU Perlindungan Anak

Pasal 76 UU Perlindungan Anak

“Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.” Pasal 81 UU Perlindungan Anak

“(1) Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. (3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah ⅓ (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

Pengaturan-pengaturan yang berkenaan dalam kasus perkosaan atau persetubuhan oleh ayah tiri terhadap anak dibawah umur diatur Pasal 287 KUHP, terdiri atas unsur-

unsur:

a. Unsur-Unsur Subjektif: 1) Yang ia ketahui 2) Yang sepantasnya harus ia duga b. Unsur-Unsur Objektif : 1) Barang siapa 2) Bersetubuh

3) Perempuan yang belum mencapai usia lima belas tahun atau yang belum dapat dinikahi.

Berdasarkan Pasal 287 ayat (1) KUHP, jika pelaku dapat dinyatakan terbukti telah memenuhi unsur-unsur subjektif tersebut, baik penuntut umum maupun hakim harus dapat membuktikan bahwa pelaku memang mengetahui atau setidak-tidaknya dapat menduga bahwa perempuan yang mengadakan hubungan kelamin di luar pernikahan dengan dirinya belum mencapai usia lima belas tahun atau belum dapat dinikahi. Pengetahuan atau dugaan pelaku tersebut ternyata tidak dapat dibuktikan di sidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku, maka hakim akan memberikan putusan bebas bagi pelaku. Unsur objektif pertama dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 287 ayat (1) KUHP ialah unsur barang siapa. Kata barang siapa menunjukkan pria, yang apabila pria tersebut memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 287 ayat (1) KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut. Unsur subjektif kedua dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 287 ayat (1) KUHP ialah unsur bersetubuh di luar pernikahan. Terjadinya persetubuhan saja, belum cukup bagi orang untuk dinyatakan terbukti telah memenuhi unsur objektif kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP, karena disamping itu, undang-undang juga mensyaratkan bahwapersetubuhan itu harus terjadi di luar pernikahan. Yang dimaksud dengan pernikahan di dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam pasal 287 ayat (1) KUHP ialah pernikahan yang sah menurut Undang-Undang nomor 16 tahun 2019 tentang Perkawinan. Selain itu pula terdapat gradasi pemidanaan terhadap perkosaan yang mengakibatkan luka-luka, luka-luka berat, dan kematian yang diatur dalam Pasal 288 KUHP ayat (1), (2), dan (3).

Di Singapura, berdasarkan Pasal 375 (3) Penal Code Singapura disebutkan bahwa setiap orang (A) melakukan penetrasi dengan penisnya pada vagina, mulut, atau penisnya dengan atau tanpa persetujuan B ketika ia berusia 14 tahun. Dengan demikian, perkosaan terhadap anak tidak mempertimbangkan apakah anak tersebut memberikan persetujuannya atau tidak, karena segala macam jenis penetrasi seksual terhadap anak adalah pelanggaran di Singapura. Selanjutnya, di Inggris pemerkosaan terhadap anak merupakan tindak pidana jika dia secara sengaja melakukan penetrasi kepada vagina, anus, atau mulut anak di bawah umur 13 tahun.

Selanjutnya terdapat pula pengaturan terkait perkosaan terhadap anak di luar KUHP, yakni dalam UU PKDRT dan UU Perlindungan Anak. Pada UU PKDRT,

diatur mengenai perkosaan terhadap anak yang dilakukan oleh orang-orang hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pasal 8 huruf a jo. Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 46 UU PKDRT). Kemudian dalam UU Perlindungan Anak, diatur mengenai pelaku yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Ketentuan tersebut juga berlaku terhadap pelaku yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Ditambah lagi terdapat pemberatan pidana jika dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan.

Kekhususan berikutnya ialah mengenai perkosaan yang menyebabkan kematian. Di Indonesia peraturan mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 291 ayat (2) yang berbunyi: “Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285, 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Di Singapura, perkosaan dengan pembunuhan tidak diatur secara eksplisit namun terhadap pelaku yang menyebabkan seseorang takut akan dibunuh atau dilukai dihukum penjara 8 tahun hingga 20 tahun ditambah cambukan minimal 12 cambukan (375 (3) Penal Code). Sama dengan Singapura, Inggris tidak secara eksplisit menyebutkan pemidanaan terhadap perkosaan dengan pembunuhan dalam Sexual Offences Act 2003, hal ini diatur dalam delik lain yaitu, delik pembunuhan.

Kekhususan lainnya ialah perkosaan dengan ancaman kekerasan dan kekerasan, di Indonesia perkosaan jenis ini diatur sebagai unsur dari perkosaan itu sendiri, sesuai dengan Pasal 285 KUHP. Berbeda dengan Singapura dan Inggris yang menggunakan unsur ancaman kekerasan dan kekerasan sebagai perluasan dari ketidaksetujuan. Di Singapura yang digolongkan bahwa seseorang tidak setuju adalah jika ia dalam pengaruh alkohol atau obat-obatan, tertidur, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dan persetujuan berdasarkan paksaan. Di Inggris yang digolongkan sebagai ketidaksetujuan adalah ketika seseorang dalam pengaruh alkohol atau obat-obatan, tertidur, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dan persetujuan berdasarkan paksaan.

This article is from: