10 minute read

Tabel 2. 9 Eksploitasi Seksual Terhadap Anak

Unsur Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya (Pasal 347 KUHP) Seorang perempuan yang menggugurkan anaknya (aborsi) tanpa persetujuan dari perempuan yang bersangkutan (Pasal 313 Penal Code Singapura) Tidak ada pengaturannya.

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa unsur dari pemaksaan aborsi paksa ialah dengan sengaja, menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan, dan tanpa persetujuannya. Namun, jika ditelaah kembali, KUHP sebenarnya tidak memperbolehkan pelaksanaan aborsi di Indonesia tanpa terkecuali, baik itu tanpa persetujuan perempuan maupun dengan persetujuannya. Hal ini dapat dilihat dari rumusan Pasal 348 KUHP yang menyebutkan “menggugurkan kandungan

Advertisement

dengan persetujuan perempuan”. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa aborsi yang dilakukan baik secara konsensual ataupun secara paksa adalah ilegal di Indonesia. Akan tetapi, pasal ini tidak mengatur lebih lanjut terkait dengan perempuan yang menjadi korban pemaksaan aborsi tersebut. Oleh karenanya perempuan penyintas aborsi paksa rentan di pidana.

Di Singapura, pemaksaan aborsi diatur dalam Penal Code dan Termination of Pregnancy Act of 1974. Dalam Penal Code Singapura, khususnya dalam Pasal 313 telah diatur unsur-unsur yang berkaitan dengan aborsi paksa. Sebelum mengurai unsurunsur tersebut, adapun bunyi redaksional dari Pasal 313 Penal Code Singapura adalah:

“Setiap orang yang melakukan kejahatan yang didefinisikan pada Pasal 312 tanpa persetujuan dari perempuan bersangkutan baik yang berada dalam tahap kehamilan di mana pergerakan janin telah terasa maupun tidak, dipidana dengan pidana penjara untuk jangka waktu yang dapat diperpanjang sampai 10 tahun, dan dikenakan denda.”

Berdasarkan rumusan di atas, dapat diketahui bahwa tindakan aborsi paksa merupakan tindak pidana yang ilegal menurut Penal Code Singapura. Unsur-unsur dalam rumusan pasal di atas adalah unsur pada Pasal 312 Penal Code Singapura, yakni yang menyebabkan seorang perempuan untuk menggugurkan anaknya, tanpa persetujuan dari perempuan bersangkutan, dan dalam tahap kehamilan di mana pergerakan janin

telah terasa maupun tidak. Namun, jika melihat dalam Pasal 312 Penal Code Singapura disebutkan bahwa:

“Tunduk pada ketentuan pada Termination of Pregnancy Act Act Cap. 324, setiap orang yang secara sukarela menyebabkan seorang perempuan untuk menggugurkan anaknya, dipidana dengan pidana penjara untuk jangka waktu yang dapat diperpanjang hingga 3 (tiga) tahun, atau denda, atau keduanya, dan jika perempuan tersebut berada dalam tahap kehamilan di mana pergerakan janin telah terasa, dipidana dengan pidana penjara untuk jangka waktu yang dapat diperpanjang hingga 7 (tujuh) tahun, dan juga akan dikenakan denda.”

Pasal-pasal yang berkaitan dengan aborsi tunduk pada ketentuan yang ada pada Termination of Pregnancy Act Act Cap. 324. Selain itu juga aborsi walaupun tidak dipaksa (sukarela) tetap merupakan tindak pidana di Singapura. Namun, tindakan aborsi diperbolehkan apabila dilakukan dengan niat baik untuk menyelamatkan hidup perempuan hamil. Tindakan legislatif pertama yang dirancang untuk meliberalisasi hukum aborsi disahkan pada 20 Maret 1970.

Tindakan aborsi yang diizinkan antara lain dengan alasan medis, eugenic, yuridis, dan sosio-ekonomis. Tindakan aborsi yang dilakukan dengan alasan medis dan eugenic dapat dilakukan selama 24 minggu pertama kehamilan, sedangkan aborsi dengan alasan yuridis dan sosio-ekonomis hanya dapat dilakukan dalam 16 minggu pertama kehamilan. Undang-Undang Aborsi 1974, 91 sebagaimana telah diubah dengan Act No. 12 of 1980, meliberalisasi tindakan aborsi di Singapura lebih lanjut. Di dalam undangundang ini dinyatakan bahwa seseorang tidak akan dipidana yang berkaitan dengan aborsi selama kehamilan tersebut diakhiri oleh dokter yang berlisensi dan bertindak atas persetujuan tertulis perempuan hamil tersebut selama 24 minggu pertama kehamilan. Di luar waktu tersebut, aborsi hanya dapat dilakukan untuk menyelamatkan nyawa perempuan hamil dan mencegah cedera permanen besar bagi kesehatan fisik dan mental dari perempuan hamil. Kecuali dalam kasus-kasus di mana aborsi segera diperlukan untuk menyelamatkan nyawa perempuan hamil, ia harus memenuhi residensi atau persyaratan kewarganegaraan tertentu. Undang-undang yang baru ini menghapuskan Termination of Pregnancy Authorization Board dan persyaratan yang menyetujui tindakan aborsi.92 Termination of Pregnancy Act ini tidak hanya mengatur mengenai persyaratan untuk melaksanakan aborsi. Terdapat pula beberapa ketentuan pidana di

91Singapura, Penal Code, Pasal 312-316. 92 Kaan-Sheung Hung Terry, At the Beginning of Life, Singapore Academy of Law Journal (2010) 22 SAcLJ, hlm. 894.

dalamnya yang terdiri dari beberapa jenis kejahatan yang terkait pelaksanaan aborsi tersebut.

Mengenai pengaturan aborsi paksa, Inggris tidak memiliki pengaturan yang secara eksplisit menyebutkan apa itu aborsi paksa dan bagaimana ancaman pidana terkait aborsi paksa. Namun berdasarkan presedennya, pemaksaan aborsi pernah dilakukan oleh Court of Protection pada perempuan disabilitas meskipun tanpa persetujuannya ataupun keluarganya.

Tabel 2. 7 Perbandingan Peraturan Aborsi

Negara

Aspek Perbandingan Indonesia Singapura Inggris

Kekhususan Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut. (Pasal 347 ayat (2) KUHP) Aborsi tanpa persetujuan dari perempuan hamil dan menyebabkan kematian pada perempuan tersebut (Pasal 314 Penal Code Singapura) Tidak ada kekhususan, tetapi berdasarkan preseden di Inggris, pemaksaan aborsi pernah dilakukan oleh Court of Protection pada perempuan disabilitas meskipun tanpa persetujuannya ataupun keluarganya.

Aborsi yang dilakukan di luar institusi yang telah disetujui dan praktisi medis resmi (Pasal 2 Termination of Pregnancy Act of 1974)

Aborsi terhadap setiap orang yang, dalam arti memaksa atau mengintimidasi, memaksa atau mempengaruhi perempuan hamil berlawanan dengan kehendaknya (Pasal 5 Termination of

Pregnancy Act of 1974)

Berdasarkan tabel di atas, Indonesia memiliki satu kekhususan yakni pada Pasal 347 ayat (2) KUHP dalam hal jika aborsi paksa tersebut menyebabkan kematian pada perempuan yang bersangkutan. Kekhususan terkait aborsi paksa yang menyebabkan kematian juga terdapat pada Pasal 314 Penal Code Singapura. Dengan demikian Indonesia dan Singapura sama-sama mengatur pemidanaan aborsi paksa yang menyebabkan kematian pada perempuan yang bersangkutan. Sedangkan, Inggris tidak ditemukan satupun pengaturan yang terkait dengan aborsi paksa. Namun dalam preseden Inggris, Court of Protection pernah memerintahkan aborsi kepada perempuan cacat mental walaupun ia dan ibunya tidak ingin menggugurkan kandungannya.93 Hakim Nathalie Lieven yang menjatuhkan putusan tersebut berpendapat karena perempuan tersebut didiagnosis sebagai penyandang disabilitas mental yang cukup parah dan memiliki gangguan dengan suasana hati. Dengan demikian ia tidak memiliki kemampuan untuk mengambil keputusaan.94

Kekhususan lainnya hanya terdapat pada peraturan di Singapura, yakni pada Pasal 5 Termination of Pregnancy Act of 1974. Adapun rincian bunyi dari masingmasing pasal tersebut adalah sebagai berikut:

Rumusan Lengkap Pasal 5 Termination of Pregnancy Act of 1974:

“Setiap orang yang, dalam arti memaksa atau mengintimidasi, memaksa atau mempengaruhi perempuan hamil berlawanan dengan kehendaknya untuk melakukan perawatan untuk aborsi bersalah atas kejahatan dan dipidana denda maksimal $3000 atau pidana penjara dalam jangka waktu maksimal 3 tahun, atau dipidana dengan keduanya.”

Pasal 5 Termination of Pregnancy Act of 1974 menjelaskan terkait pemidanaan bagi setiap orang yang memaksa atau mengintimidasi, memaksa atau mempengaruhi perempuan hamil di luar dari kehendaknya untuk melakukan perawatan untuk aborsi.

5. Eksploitasi Seksual

93Yonette Joseph, “UK Court Says Mentally DIsabled Woman Must Have Abortion” https://www.nytimes.com/2019/06/23/world/europe/abortion-mentally-disabled-uk.html diakses pada tanggal 26 Juni 2021. 94Ibid.

Eksploitasi seksual didefinisikan sebagai penyalahgunaan atau upaya aktual atas posisi kerentanan, kekuasaan, atau kepercayaan, untuk tujuan seksual, termasuk, namun tidak terbatas pada, mengambil keuntungan secara moneter, sosial atau politik dari eksploitasi seksual orang lain.95 Eksploitasi seksual dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk perdagangan seks, pelacuran paksa, kawin paksa, atau penggunaan gambar atau video telanjang dalam pornografi tanpa persetujuan asli dari orang yang digambarkan.96 Eksploitasi seksual adalah bentuk perdagangan manusia yang paling terdeteksi dan terutama menargetkan perempuan dan anak perempuan, yang mewakili lebih dari 70% korban kejahatan ini.97 Lebih dari empat dari setiap lima perempuan yang diperdagangkan, dan hampir tiga dari setiap empat gadis yang diperdagangkan, diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual.98 Meskipun dapat mempengaruhi semua individu, tanpa memandang usia, jenis kelamin, jenis kelamin, agama, budaya, kebangsaan, etnis, disabilitas, dan kategori lainnya, eksploitasi seksual merupakan praktik yang terus menerus digunakan terhadap anak.99 Dengan evolusi akses internet global, anak-anak tidak hanya dipengaruhi oleh eksploitasi fisik tetapi juga dapat mengalami bentuk eksploitasi online lainnya, seperti online grooming, pornografi anak online, atau “pemerkosaan”.100 Hal ini terjadi ketika seorang anak dibujuk untuk membuat foto atau video eksplisit tentang dirinya, yang kemudian digunakan untuk memeras anak tersebut terutama untuk kepentingan seksual, tetapi juga materi, di bawah ancaman untuk membagikan materi.101

Tabel 2. 8 Eksploitasi Seksual

95 United Nations Glossary, Sexual Exploitation and Abuse, 2016, hlm. 6. https://hr.un.org/sites/hr.un.org/files/UN%20Glossary%20on%20SEA.pdf diakses pada tanggal 29 Mei 2021. 96 Stop The Traffick, “Types of exploitation”, https://www.stopthetraffik.org/about-hu- mantrafficking/types-of-exploitation/ diakses pada tanggal 29 Mei 2021. 97 Children, supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime, 15 November 2000, Article 3(a); UNODC, Global Report on Trafficking in Persons, 2018, hlm. 10, https://www.unodc.org/documents/middleeastandnorthafrica/organisedcrime/UNITED_NATIONS_CONVENTION_AGAINST_TRANSNATIONAL_ORGANIZED_CRIME_AND _THE_PROTOCOLS_THERETO.pdf diakses pada tanggal 29 Mei 2021. 98 Ibid. 99 ECPAT, “Online child sexual exploitation”, https://www.ecpat.org/what-we-do/online-child-sexualexploitation/ diakses pada tanggal 20 Mei 2021. 100 Interagency Working Group, “Terminology Guidelines for the Protection of Children from Sexual Exploitation and Sexual Abuse”, 2016, hlm. 52, https://www.ohchr.org/Documents/Issues/Children/SR/TerminologyGuidelines_en.pdf diakses pada tanggal 29 Mei 2021. 101 UNICEF, “Strategy on Preventing and Responding to Sexual Exploitation and Abuse and Sexual Harassment”, https://www.unicef.org/sites/default/files/201905/UNICEF%20Strategy%20Preventing%20SEA%20SH%20summary_0.pdf diakses pada tanggal 29 Mei 2021.

Negara Eksploitasi Seksual

Indonesia Singapura Inggris

Aspek Perbandingan

Definisi Segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan (Pasal 1 ayat (8) UU PTPPO). Sehubungan dengan individu, dalam hal pelibatan individu dalam prostitusi, perbudakan seksual atau penyediaan segala bentuk layanan seksual lainnya, termasuk pelaksanaan tindakan cabul atau tidak senonoh oleh individu atau penggunaan individu dalam audio atau rekaman visual atau representasi dari tindakan tersebut (Pasal 2 Prevention of Human Trafficking Act of 2014). Sesuatu yang dilakukan atau sehubungan dengan orang yang melibatkan pelanggaran berdasarkan Pasal 1 (1)(a) Protection of Children Act 1978 (foto anak-anak yang tidak senonoh) atau Bagian 1 Sexual Offences Act 2003 yang berlaku di Inggris dan Wales yang akan melibatkan pelaksanaan pelanggaran seperti demikian di Inggris dan Wales (Pasal 3 Modern Slavery Act 2015).

Unsur Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia. (Pasal 2 ayat (1) UU PTPPO). Setiap orang yang merekrut, mengangkut, memindahkan, menampung atau menerima seseorang (selain anak) dengan cara ancaman atau penggunaan kekerasan, atau segala bentuk pemaksaan lainnya; penculikan; penipuan atau penipuan; penyalahgunaan kekuasaan; penyalahgunaan posisi kerentanan individu;atau pemberian kepada, atau penerimaan oleh, orang lain yang memiliki kendali atas individu tersebut atas uang atau manfaat lain untuk menjamin persetujuan orang lain itu untuk tujuan eksploitasi (Pasal 3 (1) Prevention of Human Trafficking Act of 2014). Tidak ada pengaturan spesifik tentang eksploitasi seksual, tetapi Pasal 2 Modern Slavery Act 2015 mengasosiasikan eksploitasi dengan perbuatan perdagangan manusia yang unsurnya adalah mengatur atau memfasilitasi perjalanan orang lain dengan maksud dieksploitasi orang tersebut.

Dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (“UU PTPPO”), pengaturan ketentuan pidana mengenai

perbuatan eksploitasi seksual diatur dalam Pasal 1 ayat (8) dan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU PTPPO.

Pasal 1 ayat (8)

“Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan”.

Pasal 2 ayat (1) UU PTPPO “Melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik

Indonesia.

Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”

Pasal 2 ayat (2) UU PTPPO “Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi,

Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”

Unsur perbuatan yang dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (8) adalah bentuk pemanfaatan organ tubuh oleh orang lain terhadap korban untuk tujuan seksual agar mendapat keuntungan, namun kegiatan tersebut tidak terbatas pada pelacuran dan pencabulan. Dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2), unsur perbuatan melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut, yang dimaksudkan dalam pasal ini perbuatan tersebut dilakukan dengan memanfaatkan korban untuk tujuan seksual dan diperdagangkan demi mendapat keuntungan dari hasil kegiatan pengeksploitasian seks. Objek korban dalam pasal ini bisa dewasa atau seorang yang belum dewasa. Barang siapa melakukan perbuatan yang mengakibatkan orang tereksploitasi maka dapat dijerat dengan pasal 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

This article is from: