4 minute read

Liputan SIDANG TAHUNAN SINODE GPIB

UGAHARI, DIGITAL DAN PAPERLESS

Persidangan Sinode Tahunan (PST) Gereja

Advertisement

Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) 2023 resmi dibuka pukul 14.47 WIB di Aula Raja Inal Siregar (RIS), kantor Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Rabu, akhir Februari lalu. Sidang itu dibuka Dr. Naslindo Sirait, Kepala Biro Perekonomian Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara, mewakili Gubernur Sumut. Didampingi fungsionaris Majelis Sinode GPIB, dipimpin Ketua Umum Pdt.Paulus Kariso Rumambi, pembukaan sidang ditandai dengan pemukulan gondang batak. Selain pejabat Provinsi Sumut, hadir pula Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen, Jeane Marie Tulung, perwakilan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) wilayah Sumatera Utara dan tokoh gereja serta tokoh masyarakat lainnya.

Rangkaian pembukaan acara diisi tarian Melayu disusul tarian khas Aceh yang dibawakan sejumlah remaja anggota Persekutuan Teruna GPIB Yope Belawan, Medan. Hampir 1.000 orang memenuhi aula itu dan khusuk mengikuti seluruh rangkaian acara hingga ibadah pembukaan. Sebelumnya, di hari Selasa (21/2), pertemuan 600 pendeta GPIB yang disebut Konven Pendeta dibuka bertempat di Gedung Alfa Omega GPIB Immanuel Medan.

Yang menarik saat pembukaan Konven Pendeta, tarian asal suku Batak Karo turut dimainkan untuk menyertai prosesi persembahan dalam ibadah.

Ketua Panitia dan juga Ketua Musyawarah

Pelayanan Sumut - Aceh Pdt. Johny A. Lontoh memberikan informasi pada redaksi SB, konsep tarian tradisional yang dimasukan dalam pembukaan

Konven dan PST 2023 adalah konsep untuk mengedepankan budaya dan kearifan lokal yang ada di Sumatera Utara.

Selain seni tari daerah Sumut – Aceh yang ditampilkan, panitia juga menyiapkan booth-booth Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) bagi gereja-gereja peserta. Booth-booth inilah yang menarik ratusan peserta. Aneka makanan hingga kain-kain khas dijual di booth-booth itu.

Ketua Panitia Pdt. Johny A. Lontoh menjelaskan mengapa melibatkan UMKM warga gereja. “Hadirnya UMKM adalah bagian konsep dalam Konven dan PST 2023, di mana UMKM itu yang menyediakan sejumlah barang, misalnya makanan khas Sumut, kain atau ulos dan UMKM ini merupakan program diakonia musyawarah pelayanan (Mupel) SumutAceh. Sekaligus juga menjadi ajang promosi hasil pemberdayaan warga gereja secara ekonomi,” tandasnya.

Selain sisi ibadah dengan nuansa etnik, lalu sisi ekonomi yang melibatkan warga gereja, panitia pelaksana Konven dan PST GPIB 2023 patut diacungkan jempol. Mengapa? Karena menggiring semua peserta untuk lebih peduli dan membiasakan menggunakan digitalisasi.

Digitalisasi itu mulai proses pendaftaran online, proses pembayaran keikutsertaan yang nontunai hingga materi-materi sidang dalam link khusus. Belum lagi peserta sidang tidak diperkenankan untuk membawa gelas air mineral namun dengan menggunakan tumbler atau tempat air minum.

Peserta juga ditempat dalam ruang sidang utama dan sidang-sidang kelompok menggunakan area kompleks GPIB Immanuel seluas satu hektare. Hanya hotel saja yang ditempatkan terpisah untuk menampung ratusan peserta.

“Setiap tahun kegiatan seperti ini selalu berada di hotel-hotel berbintang, namun pada tahun ini, kita menggunakan semangat Ugahari atau kesederhanaan, digitalisasi, paperless dan ramah lingkungan. Sehingga kami memaksimalkan venuevenue yang ada di kompleks gereja ini,” terang Pdt. Johny A. Lontoh.

Konsep ugahari pertama kali didengungkan

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) saat sidang raya ke 16 di Nias tahun 2014 silam.

Menurut KBBI, “ugahari” (atau ke-ugahari-an) adalah kesederhanaan, kesahajaan; walaupun harta yang bersangkutan melimpah ruah, ia tokoh hidup dalam “ugahari” dan sangat dicintai oleh rakyatnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa “ugahari” adalah kesiapan untuk hidup sederhana, merasa pada dengan yang ada, tidak serakah dengan yang ada (kendati berlimpah-ruah). Ini juga menyiratkan bahwa seseorang yang hidup dalam ke-ugaharian tidak harus bertarak (asketis) dalam kehidupan. Ia tidak perlu munafik dengan kehidupan ini. Yesus Kristus menjalani kehidupan yang sangat ugahari, sehingga bahkan bantalpun Ia tidak punya untuk meletakkan kepala-Nya (Matius 8:20; Lukas 9:58). Kristus tidak juga tabu menerima undangan makan dari orang-orang kaya.

Dari konsep itulah menurut Pdt. Johny, panitia melaksanakan rangkaian kegiatan hampir seminggu penuh di Kota Medan dengan persiapan-persiapan yang dilakukan. Konsep ugahari juga didukung Ketua Umum Majelis Sinode GPIB. “Ini bentuk penghematan sehingga itu berarti menghemat dana dari jemaat-jemaat,” ujarnya dalam wawancara dengan media yang hadir.

Di lapangan, memang ada riak-riak kecil yang dihadapi panitia, semisal, proses registrasi ulang yang sulit dialami beberapa peserta. “Ya memang budaya digital ini tidak sepenuhnya berjalan mulus awalnya karena belum terbiasa, namun ini menjadi contoh keugaharian di mana teknologi bisa membantu untuk memperlancar kegiatan besar seperti ini. Ini bisa ditiru untuk kegiatan tahun berikutnya,” ujar Pdt.Johny.

Proses Konven dan PST 2023 selama sepekan berjalan lancar. Peserta merasa terbantu dengan proses jalannya sidang dengan semua materi yang dapat diunduh, proses akomodasi dan transportasi hingga konsumsi.

Gereja Harus Bersatu

Pelaksanaan Konven dan PST GPIB 2023 juga diapresiasi oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen (Bimas Kristen), Dr. Jeanne Marie Tulung dalam sambutannya saat pembukaan PST. Menurutnya, gereja harus bersatu dan menyatu di tengah keanekaragaman yang ada.

“Saya menyampaikan suasana batin Kementerian Agama Republik Indonesia bahwa kami menekankan dan menempatkan kerukunan sebagai hal yang sangat penting, menjunjung tinggi kerjasama dan mendeklarasikan kedamaian. Kita menyadari dalam segala perbedaan namun justru berbeda dan beragam, kita penting untuk menyatu dan bersatu. Karena untuk membangun bangsa ini tidak bisa diserahkan pada salah satu atau dua pihak saja tetapi kepada kita semua,” ujarnya.

Ia juga menyampaikan bahwa tema yang diusung GPIB hebat, memberdayakan warga gereja secara intergenerasional guna merawat jejaring sosial dan ekologis dalam konteks budaya digital yang sesuai dengan pesan dari Menteri Agama agar terus memperbarui semangat dan mengikat diri sesama anak bangsa dan anak manusia atas dasar kemanusiaan dalam wadah NKRI.

Tak hanya itu, ia pun mengapresiasi apa yang telah GPIB lakukan sejak berdiri hingga sekarang. “GPIB menjadi mitra strategis dan kami merasa ditemani dan kami berterima kasih akan hal itu. Sepanjang awal berdiri 31 Oktober 1948 (75 tahun) ini. GPIB telah turut aktif menjahit republik ini sejak muda usia, menjaga kerekatan antar anak bangsa, merancang kerukunan internal dan antar umat, memelihara keberimanan, peningkatan literasi umat dan membuka akses yang bermutu pada pendidikan agama dan pendidikan keagamaan di semua lapisan umat.”

Peran sosial kemasyarakatan GPIB, kata Jean Tulung juga terasa. “Peran lain juga dirasakan, seperti, bidang budaya, ekonomi, kesehatan dan lainnya dengan handal. Hal itu harus terus dilakukan dan memberi contoh-contoh hebat untuk kelangsungan bangsa,” tutupnya.

Penulis: Phil Artha

Editor: Juniati

Departemen Pemuda

All Out for Jesus

This article is from: