7 minute read

SEMANGAT PEMUDA YANG MULAI PUDAR

Hal apa yang paling menarik dari agama Kristen bagi anak muda? Anda mungkin akan menemukan jawaban, seperti ibadahnya yang menggugah, musik yang hebat (full band), lighting yang memukau, multimedia yang canggih, bisa menjalin relasi dalam komunitas dengan kegiatan yang keren, khotbah yang memotivasi, atau lokasi tempat ibadah di pusat perbelanjaan yang strategis. Jika Anda berkesempatan menanyakan ini kepada anak muda di sekitar Anda, hitunglah berapa orang yang menjawab: Injil.

Tak dapat dipungkiri semakin banyak pemuda yang terjebak hanya pada euforia dari tampilan luar gereja dan agama, namun tidak sungguh-sungguh memahami alasan mengapa mereka mengikut Yesus. Ibadah akhirnya hanya menjadi rutinitas, bagian dari gaya hidup modern di mana di luar gedung gereja mereka juga menikmati kesenangan duniawi dan bebas melakukan segala sesuatu. Mengaku percaya, tetapi terus-menerus berbuat dosa tanpa ada usaha yang nyata untuk mengkalibrasi hati dengan kebenaran Injil.

Advertisement

Dalam upaya mempertahankan iman, kaum muda juga berhadapan dengan tantangan yang unik, yaitu logika mereka sendiri. Jika Anda adalah orang tua, barangkali Anda setuju dengan pernyataan bahwa anak-anak saat ini punya pemikiran yang cerdik. Jika ada yang tidak mereka sukai, ada saja alasan dan strategi mereka untuk tidak melakukannya. Demikian juga dengan Firman Tuhan. Berbagai rasionalisasi terhadap perintah Allah diyakini sebagai kebenaran demi kenyamanan hidup di dunia ini, salah satunya adalah Amanat Agung untuk mengabarkan Injil.

“Mengabarkan Injil bukan tugas saya, itu tugas para hamba Tuhan yang telah berkomitmen sepenuh waktu dalam pelayanan gereja.” Ini adalah rasionalisasi paling umum yang diungkapkan banyak umat Kristiani. Berikutnya, para pemuda akan mengatakan “Tugas saya adalah belajar dengan baik, lulus, bekerja di bidang yang saya citacitakan, berusaha sebisa mungkin untuk sukses, atau setidaknya hidup mapan. Selama saya rajin ke gereja, tentu Tuhan berkenan.”

Injil tidak pernah bicara tentang kemapanan dan rasa nyaman. Sebaliknya, Yesus dengan jelas mengatakan sejak awal bahwa mereka yang ingin mengikut-Nya harus meninggalkan segala sesuatu, termasuk kebutuhan dan keinginan diri sendiri. Pernyataan ini sangat keras, sehingga dengan jelas membuka mata bahwa banyak murid Kristus tidak benar-benar memberikan segala sesuatu bagi Dia. Apa yang bisa dilakukan agar kaum muda Kristen memahami semua ini?

Salah satu jawabnya adalah dengan kegiatan dari Departemen Pemuda Gabungan Gereja Baptis Indonesia, yaitu Indonesian Baptist Youth Conference (IBYC) 2023 yang akan diadakan di Surabaya pada tanggal 29 Juni-1 Juli 2023. Acara ini mengangkat tema “All Out”, sebuah idiom yang dalam bahasa Indonesia punya arti beberapa, yaitu “dengan seluruh tenaga”, “berusaha mati-matian” atau “memberikan segalanya”. Bersama dengan 2000 peserta lainnya, kaum muda akan diberkati melalui ibadah dan kebaktian kebangunan rohani (KKR), talkshow, pameran dari berbagai bidang profesi, serta kegiatan-kegiatan fellowship lainnya. Ini adalah kesempatan bagi para pemuda untuk merenungkan kembali Injil sebagai dasar dari iman, meneguhkan komitmen untuk menjadi militan di tengah dunia yang semakin tidak karuan, dan memenangkan semakin banyak jiwa bagi Tuhan.

Memang setiap individu dikaruniai dengan bakat dan minat di berbagai bidang. Allah pun menciptakan beragam profesi untuk ditekuni oleh manusia. Meski demikian, Injil dan profesi bukanlah dua hal yang sama sekali terpisah. Allah menanamkan misi Injili dalam setiap pekerjaan di dunia. Sayangnya, hal ini relatif jarang diajarkan kepada kaum muda baik itu di rumah maupun di komunitas gereja.

Gereja lokal saat ini bisa jadi tidak kekurangan jumlah anggota pemuda, namun gereja Tuhan memerlukan kaum muda yang memahami dan menghidupi kebenaran Injil serta militan mengabarkannya, apapun konsekuensinya. Rindukah Anda untuk melihat pemulihan dan perubahan terjadi atas generasi penerus?

Dua Kecenderungan Yang Harus

‘DIWASPADAI’ DARI SEKOLAH MINGGU

Bagian 2

*)Iswara Rintis Purwantara

Ketika sebuah gereja sedang menyelenggarakan RUG (rapat urusan gereja) sekarang menjadi musyawarah gereja (muger) untuk mengambil keputusan tentang setuju atau tidaknya memanggil seseorang menjadi gembala sidangnya, ada sebagian orang protes, “Kenapa anak-anak kecil itu dilibatkan dalam rapat sepenting ini?” Memang benar, beberapa anak usia pra-remaja tampak hadir dalam rapat. Namun sebagian yang lain menyanggah, “Memangnya kenapa? Mereka kan anggota gereja juga.”

Pertanyaannya adalah: siapa yang salah, orang-orang yang protes, atau orang-orang yang menyanggah itu? Jawabannya adalah: bisa keduaduanya.

Keputusan Terpenting dalam Hidup Seseorang

Di satu pihak, orang-orang yang protes itu jelas salah. Apa keputusan terpenting yang seseorang harus ambil di dalam hidupnya? Memilih universitas, atau fakultas di perguruan tinggi? Bukan. Memilih bidang pekerjaan? Bukan. Memilih pasangan hidup? Benar, ini sangat penting, namun bukan yang terpenting. Lalu apa? Jawabannya adalah: menerima atau menolak Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadinya – inilah keputusan yang akan menentukan nasibnya dalam kekekalan. Kalau anak-anak usia pra-remaja itu benar-benar anggota gereja, mereka pasti sudah dibaptis. Kalau mereka sudah dibaptis, mereka seharusnya sudah pernah mengambil keputusan untuk menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi mereka. Lalu kenapa Anda meragukan kemampuan mereka terlibat dalam pengambilan sebuah keputusan yang kurang penting dari itu? Kenapa Anda meragukan beroperasinya Roh Kudus di dalam diri mereka?

Keputusan Terburuk Sebuah Gereja

Di lain pihak, orang-orang yang menyanggah itu juga bisa salah. Bukan rahasia lagi bahwa banyak guru Sekolah Minggu (SM) yang terlalu menganggap serius jawaban ‘ya’, atau pengakuan verbal anakanak kelas Madya, atau Pratama, bahkan Indria, tentang iman dan percaya mereka. Ketika diingatkan orang, “Anak-anak itu masih terlalu kecil, kenapa Anda merekomendasikan mereka kepada Gereja untuk dibaptis?” mereka akan menukas, “Loh, anakanak itu sendiri kok, yang mengaku percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi mereka. Kita kan harus menghargai keputusan mereka. Lagi pula,” demikian tambah mereka, “tidak ada kok, yang memaksa-maksa mereka”. Gereja bisa salah mengambil keputusan hanya karena ingin menghormati atau tidak mau mengecewakan guruguru itu.

Keliru memanggil seseorang untuk menjadi gembala sidang bukanlah keputusan terburuk sebuah gereja. Tergesa-gesa, gegabah atau ceroboh, dan asal-asalan memutuskan untuk membaptis orang yang belum sungguh-sungguh percaya, bertobat dan dilahirkan kembali, itulah keputusan terburuk sebuah gereja. Dan, inilah kecenderungan yang harus selalu diwaspadai dari SM.

Akibat-akibat Tidak Mewaspadai

Kecenderungan Ini

Pertama, pengambilan keputusan yang prematur, yang berujung pada pertobatan yang dangkal. Seringkali, ‘pertobatan dari dosa’ yang dangkal, justru malah menghasilkan ‘pertobatan dari Kekristenan’. Seperti pengakuan Erwin Lutzer: “Saya telah mendapati bahwa pertobatan yang tidak menyeluruh sering kali membawa kepada penolakan dan perlawanan terhadap Allah.” Bahkan gereja-gereja yang membaptiskan bayi-bayi mereka mengakui persoalan ini. Ketika bayi-bayi itu beranjak remaja, muda, mereka malah menjadi nakal, jahat, bahkan pemeluk agama lain. Itulah sebabnya, muncul praktik ‘upacara sidi.’ Seseorang berkata, sidi adalah pengakuan secara diam-diam kalau praktik baptisan bayi itu tidak sah.

Kedua, tanpa kita sadari, kita sedang menggiring anak-anak itu ke neraka. Mereka tidak akan pernah diselamatkan. Kenapa? Karena kita sedang membuat mereka mengira – memiliki keyakinan yang palsu – kalau dirinya sudah diselamatkan, padahal sebetulnya tidak. Terhadap orang-orang yang suka ‘menipu diri sendiri’ dalam hal keselamatan, Yesus sendiri berkata: “Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” (Mat 7:23). Cara Yesus menghadapi Nikodemus (lih. Yoh 3:1-12) seharusnya mengingatkan kita bahwa tidak ada yang lebih buruk daripada memperlakukan orang yang belum selamat sebagai sudah selamat.

Ketiga, dihasilkannya ilalang di antara gandum (lih. Mat 13:24-30). Ada orang-orang yang namanya terdaftar di buku induk keanggotaan gereja, tetapi tidak pernah di dalam kitab kehidupan (Why

20:12). Jadi bukan hanya seminari. Gereja pun bisa ‘kecolongan’.

Harold L. Fickett, penulis buku A Layman’s Guide to Baptist Beliefs menulis, “Persoalan terbesar yang dihadapi gereja masa kini adalah anggota yang belum bertobat (unregenerated church membership).” Dalam Pengakuan Iman Baptis tahun 1677, gereja-gereja dengan anggota-anggota yang belum dilahirkan kembali digambarkan sebagai ‘rumah ibadat setan’.

Keempat, gereja akan menderita akibat keputusan buruknya sendiri. Ingat, syarat menjalankan tata pemerintahan kongregasional adalah anggotaanggota gereja yang sudah benar-benar dilahirkan kembali. Hanya melalui orang-orang yang sudah benar-benar bertobat, diperbaharui hidupnya (batubatu hidup, imamat yang rajani – 1 Pet 2:5, 9), Allah bisa menjalankan pemerintahan-Nya di dalam gereja.

Sebab-sebab dari Kecenderungan Ini

Banyak guru SM kelas Indria, Pratama, Madya yang tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang psikologi anak-anak.

Tentu saja, hampir tidak ada anak-anak kelas Pratama, bahkan Indria, yang ketika ditanya oleh gurunya (apalagi ketika secara beramai-ramai), “Apakah anak-anak mau menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat anak-anak?” akan menjawab, “Tidaaaaak”. Mereka cenderung akan menjawab “Mauuu.” Ketika melihat teman-temannya yang lain mengacungkan tangan, seorang anak akan cenderung ikut-ikutan.

Ketika anak-anak saya masih berusia empat tahun, tiga tahun, bahkan segera setelah mereka mulai bisa berbicara, kadang-kadang mereka saya tanyai: “Apakah adek mau tinggal di surga selamalamanya dengan Tuhan Yesus?” “Adek mau atau tidak, percaya dan mengikut Yesus?” “Adek mau, menjadikan Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat adek?” dan seterusnya. Mereka selalu menjawab ‘Iya, mau.” Lalu, bagaimana saya merespons mereka? Apakah saya akan berkata, “Ah, adek melucu deh. Adek kan belum tahu apa-apa tentang hakikat penciptaan, dosa, maut, kekudusan Allah, inkarnasi, dua natur Yesus, penebusan, pembenaran, adopsi, apalagi penghakiman. Papa nggak percaya dengan jawaban adek!” Tentu tidak! Memang, isi kata-kata saya itu betul. Tetapi bukan seperti itu caranya merespon kepolosan anak-anak.

Saya pasti akan menjawab, “Wah, bagus sekali,” atau “Adek pintar sekali,” atau “Itu baru namanya anak papa.” Namun saya tidak lantas berkata, “Kalau begitu, besok papa beritahu gereja supaya adek dibaptis ya?” Tidak! Kenapa? Karena saya memahami psikologi anak-anak. Saya tahu cara menghadapi dan menyikapi mereka.

Ada penyebab lain yang lebih krusial, yaitu persoalan teologi: kurang ditekankannya, bahkan diabaikannya doktrin Alkitab tentang kelahiran kembali, baptisan orang percaya, dan syarat keanggotaan gereja.

Filsafat yang keliru seperti pragmatisme juga bisa menjadi penyebabnya. Beberapa gereja terburuburu membaptiskan anak-anak anggota gereja mereka demi mengejar target/gol program PI gereja setempat, atau gabungan gereja-gereja sedaerah atau Nasional di mana gereja berafiliasi (karena malu dengan gereja lain). Ada persoalan dengan fungsi keluar (penjangkauan) dari gereja.

Bagaimana Mencegah Kecenderungan ini?

John MacArthur pernah menasihatkan, “Jangan menahan pengajaran kepada anak Anda dengan anggapan mereka belum siap. Meskipun mereka mungkin tidak mengerti sepenuhnya beberapa konsep rohani yang lebih sukar, anak-anak dapat memahami inti dari hampir semua kebenaran. Sebenarnya, mereka diperlengkapi dengan lebih baik sekarang ini untuk mencerna kebenaran rohani daripada ketika mereka lebih dewasa.” MacArthur benar. Itulah yang membuat iman seorang anak berbeda dari iman orang dewasa: mereka menolak dibingungkan oleh apa yang tidak dapat dimengerti (lih. kata-kata Yesus dalam Mrk 10:14-15).

Namun, perhatikan. Apa yang MacArthur katakan di atas adalah “jangan menahan pengajaran kepada anak-anak,” bukan “jangan menahan diri dari memaksa mereka menerima Yesus!” Intinya adalah: jangan cepat-cepat memaksa anak-anak mengambil keputusan untuk menerima Tuhan, namun, secepat mungkin ajarkan firman Tuhan kepada mereka.

MacArthur juga mengingatkan: “Jangan mengharapkan anak-anak dapat menyerap pelajaran untuk pertama kali. Anak-anak jarang menangkap pesan secara benar untuk pertama kali. Itulah sebabnya mengapa kurikulum SM untuk kelas Indria, Pratama, Madya yang terbaik mempunyai banyak pengulangan dan review. Alkitab berkata, “…haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu…” (Ul 6:6-7).

Kita harus seimbang: jangan menghina pengakuan seorang anak, tetapi juga jangan mudah ‘mengambil di hati’ pengakuan seorang anak begitu saja. Ingat, pengambilan keputusan yang bisa dipertanggungjawabkan adalah yang dilakukan dengan kesadaran dan pengakuan penuh akan dosa, akan akibat-akibatnya, akan kebutuhan untuk diselamatkan.

John Piper pernah mengeluh, “…saya merasa ada banyak pendeta yang demi menghindari kontroversi ini (baptisan), mengesampingkannya hampir secara total dan tidak memanggil umat-Nya untuk ‘bertobat dan dibaptis’.” Itulah sebabnya, dalam bukunya Brothers, We are Not Professionals, satu dari 30 permohonannya kepada para gembala untuk kembali melayani secara radikal adalah: “Saudaraku, tinggikanlah makna baptisan!”

*)Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Teologi Baptis Indonesia (STBI) Semarang

Editor: Juniati

This article is from: