![](https://assets.isu.pub/document-structure/240208095008-ad49aa04f44031202087cd750f4cbf91/v1/0593bcf6c48336f9a96425ff5b094c16.jpeg?crop=&height=766&originalHeight=766&originalWidth=2481&width=720&zoom=&quality=85%2C50)
10 minute read
Liputan Khusus: Pemilu 2024 Warga Kristen Harus Ikut
Jelang batas akhir penentuan calon presiden dan wakil presiden pada Oktober 2023 aktivitas politik amat terasa. Partai A menjagokan si A, Koalisi partai B, C, dan D menjagokan si B dan partai-partai kecil juga mulai bergeliat merapat ke partai besar. Semua wajah calon ditunjukkan di tengah masyarakat.
Pemilu atau pemilihan umum serentak tinggal menghitung bulan saja. Pemilu itu harus dilaksanakan sebagai perwujudan dari tujuan nasional yang tercantum pada Pembukaan UUD 1945. Segenap warga wajib mengutamakan pemilu, termasuk warga gereja.
Kepada redaksi SB Pdt. Victor Rembeth memberi komentar soal ini bahwa sebagai warga negara dan juga warga gereja perlu ikut terlibat dalam pemilu.
“Bukannya tidak peduli tapi memang kita sebagai warga negara dan warga gereja harus ikut ambil bagian. Pemilu adalah langkah penting bagi setiap warga gereja dan negara untuk menentukan perubahan. Perubahan itu tentu saja perubahan baik. Kita selalu berdoa baik saat ibadah di hari minggu untuk bangsa dan negara, praktiknya pada pemilulah kita terlibat mewujudkan doa yang kita panjatkan itu,” katanya.
Dalam sebuah diskusi kebangsaan Para Syndicate akhir Agustus 2023 lalu di Jakarta, Ketua DPP PDIP, Eriko Sotarduga mengatakan, saat ini masyarakat Indonesia sudah rasional menentukan pilihannya. Hal itu disampaikannya ketika Presiden Joko Widodo memberikan pengarahan saat Rakernas tertutup PDIP bulan Juni lalu.
Kata Eriko, data yang dimiliki menunjukan bahwa dari 2/3 angkanya sekitar 18-19 persen penduduk Indonesia mengikuti apa pun yang diinginkan Presiden Jokowi.
Kemudian, ada 49-50 persen mereka melihat apa yang disampaikan Jokowi baik, tetapi mereka rasional untuk memilih. Artinya, orisinalitas, jati diri menjadi yang paling utama karena masyarakat sudah sangat cerdas.
Ia mengakui, endorsement Presiden Jokowi memang sangat penting karena ada 18-19 persen pemilih yang mengikuti keinginannya. Tetapi, itu tidak jadi optimal kalau 50 persen lebih pemilih rasional tidak mendukung.
Saiful Mujani dari hasil riset Survey dan Perilaku Pemilih menjelaskan soal pemilih rasional. Seorang pemilih rasional adalah pemilih yang menghitung untung-rugi dari tindakannya (memilih partai atau calon). Sebuah tindakan dikatakan “menguntungkan” bila ongkos yang dikeluarkan untuk mendapatkan hasil dari tindakan tersebut lebih rendah dari hasil tindakan itu sendiri.
Sebaliknya, sebuah tindakan disebut “rugi” bila ongkos untuk mendapatkan hasil itu lebih tinggi nilainya ketimbang hasil yang diperoleh. Dalam pemilu, hasil yang didapat merupakan barang publik, bukan pribadi. Ia dimiliki dan digunakan secara kolektif dalam masyarakat, bukan secara pribadi.
Pemahaman sederhana pemilih, yaitu setiap warga negara yang berusia 17 tahun dan terdaftar sebagai pemilih dalam pemilu. Dalam hal ini pemilih dituntut untuk aktif memeriksa data setiap calon.
Mengapa orang Kristen harus terlibat? Kata Pdt. Victor karena kita menjadi warga gereja dan warga negara yang bertanggung jawab. “Ketika Kristus menunjukan bayar pajak lewat sekeping uang, maka jawab Yesus dalam Matius 22: 21: Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah. Artinya sebagai warga negara kita juga punya kewajiban politik. Itu sebabnya warga gereja harus terlibat dalam pemilu.”
Sementara itu menurut Pdt. Henrek Lokra Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), warga gereja memang harus terlibat dalam pemilu. “Ini bentuk partisipasi warga gereja secara bertanggung jawab. Kalau tidak memilih, maka kita ikut berdosa dengan kehancuran bangsa
ini jika kedepannya tidak jelas. Itu sebabnya kita harus dorong hal ini.”
Pdt. Lokra menambahkan PGI sudah melakukan safari pendidikan politik bagi warga gereja. ”Safari politik ini disambut baik oleh warga gereja lintas profesi. Kebutuhan informasi akan warga gereja untuk berperan dalam pemilu sangat dibutuhkan. Safari yang telah dilakukan cukup baik menjawab kebutuhan itu.”
Keterlibatan warga Kristen dalam pemilu juga didorong oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen, Kementerian Agama, Jeane Marie Tulung.
“Kita akan hadapi tahun politik. Kita semua harus ikut menyukseskan. Seluruh pendeta dan umat Kristen perlu berpartisipasi aktif dalam menyukseskan penyelenggaraan pemilu 2024 yang bersih, jujur, dan adil,” kata Jeane Marie saat mengikuti Rapat Kerja Nasional PGI Wilayah/SAG se-Indonesia, yang diselenggarakan oleh PGI di Ambon, Maluku, Jumat, (11/08) silam.
Kata Jeane Marie, menjadi tugas pendeta dan umat Kristen, untuk mendukung dan mendoakan seluruh instansi dan jajaran penyelenggara pemilu agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga pemilu dapat berjalan dengan aman dan lancar.
![](https://assets.isu.pub/document-structure/240208095008-ad49aa04f44031202087cd750f4cbf91/v1/a963bae91b880124842ed04ccdf94160.jpeg?width=2160&quality=85%2C50)
“Terkait gereja dan tempat ibadah, saya mengimbau tidak dijadikan tempat melaksanakan aktivitas politik praktis, seperti kampanye atau kegiatan politik lainnya,” pinta Dirjen.
Sebagai umat Kristen, tambah Dirjen, perlu bertanggung jawab penuh menjaga bingkai persaudaraan kebangsaan. “Tetap teguh bersatu menjaga keutuhan NKRI, yang berlandaskan Pancasila, UUD 1945 dan semangat Bhinneka Tunggal Ika,” tegasnya.
“Akhirnya saya meminta agar kita dapat menempatkan diri dalam pewartaan tentang Kasih Tuhan dan Citra Allah yang membawa damai dan pengharapan bagi kehidupan bangsa,” pungkas Dirjen.
Sementara itu dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia (JKLPK) akhir September lalu, mantan anggota Komnas HAM Johny Simanjuntak menjelaskan ada berbagai hal yang perlu diperhatikan sebelum pemilu bagi warga gereja.
“Misalkan untuk kalangan generasi muda. Jumlah pemilih muda yang cukup besar harus diliterasi sehingga mereka tidak salah pilih atau tidak memilih. Sosialisasi oleh gereja dalam hal gereja memberikan fasilitas agar informasi itu sampai ke jemaatnya sangat diperlukan,” katanya.
Apa lagi, tambah Johny, diperlukan informasi yang banyak agar pemilih dapat mengetahui informasi sosok pemimpin yang ideal sehingga pemilih bertanggung jawab pada pilihannya. “Kita perlu semacam panduan bagi pemilih baru atau muda. Panduan ini juga berlaku bagi warga umum/ gereja. Dari panduan itulah kejelian pemilih sangat diperlukan dalam memilah berita agar mendapat kebenaran. Informasi yang sungguh-sungguh dapat dipakai sebagai pegangan dalam memilih. Pemilih juga harus mau menyediakan waktu untuk melakukan pemilahan melalui proses verifikasi,” kata Beny Lumy, salah satu peserta yang juga warga Gereja Kristen Indonesia.
Pemilih Muda Ragu
Bagus (24) warga asal Sumatera yang tinggal di Bandung ketika ditemui SB di sebuah mal mengaku saat pemilu periode 2019 lalu tak mencoblos. “Ya saya tidak tahu sama sekali kalau di tingkat daerah, bener-bener tak tahu.”
Sementara Garce (22) yang tinggal di Soreang, Bandung akan ikut coblos untuk pemilu presiden tahun 2024. “Kalau milih wakil daerah, masih raguragu karena tidak tahu banyak tentang kontestan yang akan dipilih,” katanya sambil tertawa.
Noel (20) seorang mahasiswa yang tinggal di Kota Bogor masih ragu-ragu untuk ikut coblos atau tidak. “Saya tidak banyak tahu politik. Kalau kumpul sama teman-teman di gereja, kita jarang obrolin soal politik,” ujarnya.
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia atau KPU RI menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional untuk Pemilu 2024 sebesar 204.807.222 jiwa. Dari jumlah itu, 52 persen di antaranya merupakan pemilih muda atau berjumlah 106.358.447 jiwa.
![](https://assets.isu.pub/document-structure/240208095008-ad49aa04f44031202087cd750f4cbf91/v1/2ea927eb805ba49551cf9fbcc0799bb7.jpeg?width=2160&quality=85%2C50)
204.807.222 jiwa. Dari jumlah itu, 52 persen di antaranya merupakan pemilih muda atau berjumlah 106.358.447 jiwa.
Rincian DPT :
- Pemilih berusia 17 tahun (0,003 %) = sekitar 6.000 jiwa.
- Pemilih usia 17 tahun-30 tahun (31,23 %) = 63,9 juta jiwa.
- Pemilih usia 31 tahun-40 tahun (20,70 %) = 42,395 juta jiwa.
- Pemilih usia lebih dari 40 tahun (48,07 %) = 98.448.775 jiwa.
Sumber: KPU RI
Dalam diskusi yang dilaksanakan JKPL itu disinggung pula bagaimana gereja ikut berperan bersama lembaga swadaya masyarakat untuk ikut memproses verifikasi informasi khususnya dalam memilih pemimpin daerah dan wakil rakyat bagi anak muda atau pemilh pemula. Pemilihan tingkat daerah mempunyai calon yang berbeda pada setiap wilayah, dari level provinsi hingga kecamatan.
“Bisakah gereja atau LSM membantu agar warga, khususnya pemilh muda atau pemula menjadi lebih cermat dalam memilih calonnya di daerah,” kata Artha Senna mewakili jurnalis. Gereja didorong untuk membantu jemaat dalam berbagai diskusi sebelum pemilu.
Beny Lumi menambahkan bahwa di gerejanya ada banyak kegiatan dalam memberikan edukasi kepada warganya melalui film-film pendek. Sementara Pdt. Lokra menambahkan PGI melakukan safari politik ke berbagai PGI wilayah. “Warga gereja harus terlibat sebagai bentuk tanggaung jawab warga negara yang benar. Sejauh ini responsnya cukup baik,” akunya.
Soal dorongan keterlibatan warga gereja untuk ikut dalam pemliu 2024, menurut Pdt. DR. Stefanus Joko Budiyanto M.Th; telah dilakukan. “Kalau mendorong anggota gereja yang punya hak pilih mengikuti pemilu adalah hal yang seharusnya dilakukan oleh gembala sidang atau pendeta. Tetapi yang tidak boleh adalah mendorong atau mengarahkan atau juga mewajibkan untuk memilih calon tertentu, terlibat dalam politik praktis. Itu yang nggak boleh karena referensi jemaat bisa berbedabeda,” tegasnya.
Mantan Ketua Sekolah Teologi Baptis Bandung (STTBB) dan Gembala Sidang Gereja Baptis Indonesia Bakti, Bandung ini berharap bahwa pemilu 2024 dapat berjalan dengan aman dan lancar dan warga gereja agar terus mendoakannya.
“Secara khusus kita harus terus mendoakan, antara lain KPU dan Bawaslu agar bertindak adil dan tegas, juga kita bawa dalam doa partai politik untuk mencalonkan orang yang punya jejak rekam baik. Kita sebagai rakyat diberi hikmat bijaksana memilih pemimpin yang baik, yang memikirkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Lalu ini juga tak kalah penting untuk mendoakan agar kita tidak mudah termakan dengan berita-berita hoaks
Sementara itu pada kegiatan Dialog Kebangsaan: Literasi Pemilu 2024 yang diadakan GKI Gunung Sahari, Jakarta Sabtu (14/10) lalu, anggota KPU August Mellaz menyampaikan beragam hal teknis yang perlu diketahui masyarakat soal pemilu, antara lain tahapan daftar pemilih, pencalonan dan kampanye. Terkait daftar pemilih masyarakat perlu untuk mengecek apakah sudah terdaftar dalam DPT.
“Pemilu sejatinya menjadi sarana integrasi bangsa. Suksesnya pemilu tidak hanya menjadi pengalaman berharga bangsa Indonesia tapi juga untuk dibagikan kesuksesannya kepada banyak negara,” katanya.
Ia juga menambahkan perlunya terus menjalin kerja sama dengan sesama umat. “Akan lebih baik lagi jika dapat menjalin kerja sama dengan sesama umat yang juga politisi di wilayahnya. Mereka dapat berbagi pengalaman dalam mengurus negara sesuai dengan ajaran gereja. Mereka juga dapat membagikan informasi tentang karya-karyanya dalam memajukan kesejahteraan bersama. Semua memperlihatkan bahwa suara umat untuk memilih orang yang tepat sangat krusial,” tandasnya.
Masyarakat juga perlu tahu beberapa kegiatan, seperti pada 19-25 Oktober 2023 akan dibuka pendaftaran bagi peserta pemilu calon presiden dan wakil presiden. Sedangkan kampanye akan berlangsung pada 28 November 2023-10 Februari 2024.
Yang perlu diwaspadai oleh rakyat sebelum pencoblosan menurut situs KPK 11 September 2023 menyebut beberapa hal, antara lain adalah praktik politik uang jelang pencoblosan atau yang dikenal dengan sebutan “serangan fajar”.
Dalam artikel berjudul Bentuk-Bentuk Serangan Fajar yang Lazim Dibagikan Saat Pemilu, disebut istilah “Mengambil uangnya, belum tentu memilih orangnya”, argumen ini jamak dilakukan di sebagian masyarakat. Sebagian orang berpikir begitu beralasan ingin memberi efek jera pada pemberi serangan fajar. Jika hal ini terjadi maka, secara tidak langsung mendukung pemerintahan yang tidak menganut nilai antikorupsi.
Bentuk-bentuk serangan fajar yang perlu diwasdapai, yaitu pemberian amplop berisi uang umum dilakukan oleh para tim sukses calon legislatif atau calon pemimpin kepada para pemilih. Nilai nominal yang diberikan sangat beragam antara Rp25.000 hingga ratusan ribu. Uang cenderung dipilih karena mudah dibawa dan diberikan secara sembunyi-sembunyi. Selain itu, sifat uang yang umum sehingga tidak terlalu terlihat adanya serangan fajar saat pemilihan.
![](https://assets.isu.pub/document-structure/240208095008-ad49aa04f44031202087cd750f4cbf91/v1/2db7ef1327026de03523963872ee5db8.jpeg?width=2160&quality=85%2C50)
Bentuk lain adalah sembilan bahan pokok (sembako) yang juga sering dibagi-bagikan saat pemilu kepada para pemilih. Misalnya beras, minyak, gula pasir, dan sebagainya. Dalam kemasan sembako biasanya diselipkan identitas caleg—strategi agar penerima sembako memilih caleg yang membagikan sembako tersebut.
Dan bentuk yang ketiga, yang umum dibagikan saat serangan fajar adalah barang-barang kebutuhan rumah tangga lain, misalnya sabun cuci piring, sabun mandi, dan sebagainya. Timses juga tak lupa menyelipkan identitas caleg yang didukung ke dalam bungkusan barang yang dibagikan.
Jadi, kata Pdt. Joko, sebagai warga Kristen tentu saja tidak hanya terlibat dalam pemilu sebagai tanggung jawab warga negara dan gereja tetapi juga waspada serta cermat saat pencoblosan berlangsung. Kita perlu mendoakan dan berharap bahwa akhirnya pemilu tahun 2024 ini akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang bisa merawat keberagaman, nasionalis, melanjutkan program pemerintah yang baik.
“Dan yang terpenting juga tidak terindikasi berpihak pada kaum radikal dan korupsi.”
Penulis: Phil Artha
Editor: Fajar