4 minute read

GOLPUT (BUKAN) Pilihan Alternatif

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengimbau tidak golput pada pemilu 2024.

“Menjadi agenda kami untuk meningkatkan partisipasi masyarakat sebagai pemilih, karena besarnya partisipasi pemilih dan kecilnya angka golput tentu mempengaruhi legitimasi secara sosiologis dan politis,” kata Mahfud MD di acara dialog kebangsaan: Sukses Pemilu 2024 menuju Indonesia Maju lewat daring di Jakarta, Selasa (17/10).

Istilah ini selalu muncul mendekati hari-hari pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Golput diidentikkan dengan sikap cuek, apatis, atau tidak mau cawe-cawe dengan kondisi politik; akhirnya tidak memilih untuk berangkat ke TPS untuk mencoblos.

Istilah golput muncul pertama kali jelang Pemilu 1971. Kompas menulis kala itu, Kamis siang (3 Juni 1971), sekelompok mahasiswa, pemuda dan pelajar berkumpul di Balai Budaya Jakarta. Kelompok ini kemudian mendeklarasikan sebagai “Golongan Putih” yang merupakan gerakan moral. Tokoh yang menonjol kala itu Adnan Buyung Nasution dan Arief Budiman.

Apa sebenarnya golput itu? Golput adalah tindakan warga negara yang masuk sebagai daftar pemilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya saat pencoblosan. Kelompok golput inilah yang setiap pemilu selalu muncul dan menjadi persoalan. Golput tidak selalu mempunyai tujuan yang berdasarkan idealisme tetapi ada juga yang disebabkan oleh hasutan dan lainnya.

Menarik dari data Biro Pusat Statistik (BPS) yang menyebut bahwa angka golput di Pemilu 2019 lebih rendah dibanding Pemilu 2014. Angka 2019 sebanyak 34,75 juta atau sekitar 18,02 persen dari total pemilih yang terdaftar. Di 2014, jumlah golput sebanyak 58,61 juta orang atau 30,22 persen.

Pertanyaan selanjutnya, apakah jumlah golput akan bertambah atau berkurang di 2024 ini ? Hasil survei dari Centre for Strategic and International (CSIS), diketahui ada 11,8 % responden memilih untuk golput, khususnya di kalangan pemilih muda. Angka resmi KPU untuk jumlah pemilih muda, yaitu 56,4 % atau setengahnya dari jumlah total Daftar Pemilih Tetap (DPT). Jumlah DPT keseluruhan 204.807.222 pemilih.

Penyebab Golput

Ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang memilih golput atau menjadi tidak mencoblos, antara lain:

Kurang peduli

Sikap kurang peduli terhadap politik dapat terjadi di masyarakat. Ini yang membuat angka golput menjadi naik. Tipe masyarakat seperti ini tidak lagi peduli dengan urusan politik, bahkan tidak juga mencari tahu apa itu golput dan risiko jika memilih untuk golput pada setiap pemilu.

Penyebab ketidakpedulian masyarakat terjadi karena mereka merasakan bahwa tidak ada dampak positif yang terjadi padanya setelah pemilihan. Sementara, informasi lewat berita-berita semakin masif khususnya kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat atau korupsi yang dilakukan para pemimpin serta wakil rakyat sanggat tinggi.

Dengan menghindari golput sebenarnya menjadi salah satu solusi guna menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul. Dengan tidak golput, masyarakat dapat memilih pemimpin yang berintegritas dan antikorupsi sehingga pemerintahan berjalan bersih dan antikorupsi serta pembangunan adil, dan merata.

Masyarakat harus bisa menciptakan pemerintahan yang berintegritas dengan berani menolak politik uang menjelang pemilu. Bersikap jujur pada diri sendiri dan dengan berani menolak politik uang dalam bentuk apa pun akan menciptakan pemerintahan yang lebih bersih dan peduli pada rakyatnya.

Tidak tahu tentang pemilu

Meski sosialisasi tentang pemilu sudah dilakukan jauh-jauh hari, masih ada orang yang tidak mengetahui tanggal pasti diadakannya pemilu. Contoh, data LSI dari hasil Pemilu 2019, terdapat 1.200 responden, yaitu 29,5 persen tidak mengetahui bahwa pada April 2019 diadakan pemilu. Sementara 24,2 persen menyatakan tidak tahu tanggal yang pasti dari pemilu.

Tidak terlayani

Kelompok yang bisa saja tidak terlayani saat pemilu adalah penyandang disabilitas. Kelompok ini mempunyai hak yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya untuk memberikan suara di hari pemilu. Namun, kondisi mereka membuat kelompok ini tidak terlayani. Contoh, tidak adanya sarana bantuan untuk menuju lokasi pencoblosan dan juga tidak tersedia surat suara bagi kelompok ini. Padahal dari segi jumlah, kelompok ini cukup banyak suaranya. Tahun 2019 saja diketahui pemilih disabilitas mencapai 1,2 juta orang.

Mengikuti pemilu tak hanya saat datang mencoblos tetapi juga cermat dalam melihat dan memilih calon pemimpin yang akan dicoblos. Mempelajari dengan baik setiap calon dan partainya memungkinkan pemilih menjadi cerdas. Dan tentu saja memahami lebih dalam tentang golput dan menghindarinya agar setiap warga negara dapat ikut berperan membawa perubahan bagi negara. Cara yang paling mudah adalah kenali para peserta pemilu dan memilih calon pemimpin yang rekam jejaknya baik dan berintegritas!

Penulis: Markus Saragih

Editor: Fajar

This article is from: