3 minute read

Ancaman Resesi Masa Pandemi: Realisasi

PANDEMI : MASA RESESI A NCAMAN

Realisasi Pemulihan Ekonomi Dibutuhkan

Advertisement

Oleh: Ririn Anjarwati | Desainer: Rinda Wahyuni | Ilustrator: R. Satrya Bramantya Semenjak pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) mewabah di Indonesia awal tahun 2020, kata ‘resesi’ menjadi tidak asing terdengar. Sebelum beranjak lebih lanjut, kita harus tahu apa sih resesi itu? Dilansir dari laman tempo.co pada artikel berjudul “Sok Kalem Menghadapi Resesi” dijelaskan bahwa dalam menghadapi ekonomi yang didera resesi, pemerintah harus memiliki langkah strategis. Resesi jelas bukan kabar baik dan fakta itu tidak boleh ditutup-tutupi dengan adanya retorika “ekonomi sudah mulai membaik” – semata untuk menenangkan pasar dan orang ramai. ‘Resesi’ bahkan jadi momok tersendiri bagi masyarakat. Gambaran ekonomi negara yang lesu ini membuat masyarakat berlomba-lomba untuk bertahan. Positifnya, saat ini juga tumbuh ruang kreatif usaha informal. Namun dengan era transformasi serba digital, mereka yang ‘gagap teknologi’ harus dipaksa melek digitalisasi untuk dapat bertahan. Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Jawa Tengah, Soekowardjo menerangkan kondisi resesi sebagai penurunan aktivitas ekonomi dalam jangka waktu yang cukup panjang.

Indonesia pernah mengalami resesi, sebagaimana dikutip dari laman kompas.com artikel berjudul “Apa Saja yang Terjadi Saat Resesi Ekonomi Indonesia Tahun 1998?” dikatakan jika krisis ekonomi Indonesia tercatat yang terparah di Asia Tenggara. Mari kita tengok krisis ekonomi tahun 1998 yang berawal dari krisis nilai tukar Baht Thailand merambat menjadi krisis ekonomi di Asia Tenggara. Saat itu Indonesia sangatlah terpukul, krisis yang terjadi tak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga pada sosial politik negara. Adanya ketidakpercayaan pada pemerintah dan melemahnya sektor keuangan berimbas pada sektor riil, akibatnya banyak perusahaan dan bank yang collapse. Selain itu, Yozi Aulia Rahman sebagai Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang (Unnes) menerangkan pula ekonomi yang didera resesi yaitu penurunan aktivitas ekonomi Produk Domestik Bruto (PDB) minimal dua triwulan secara berturut-turut, hingga mencapai angka minus. Sedangkan, rilis data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 pada triwulan ketiga (per 5 November 2020) mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebesar minus 3,49 persen (year on year), melanjutkan laju kontraksi triwulan kedua minus 5,32 persen. Di sinilah tanda-tanda pemulihan terjadi. Data menunjukkan kontraksi triwulan ketiga lebih kecil dibandingkan triwulan kedua. Artinya, walaupun ekonomi Indonesia sudah memasuki jurang resesi ada harapan dapat membaik kembali. Pada triwulan kedua, adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menyebabkan hampir semua sektor penyumbang PDB pada posisi negatif. Pertama dari sudut pandang ekonomi, pembatasan menjadikan aktivitas produksi industri menurun tajam. Permintaan pun turut melemah, lalu penjualan yang terjadi jauh dari target yang diharapkan. Sehingga, demi menjaga cash flow beberapa perusahaan terpaksa melakukan penutupan dan pengurangan pegawai. Banyak orang kehilangan pendapatan bahkan mata pencaharian. Hal ini menjadikan mereka menahan konsumsinya. Akibatnya, Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PK-RT) juga menurun, padahal sebenarnya mencakup separuh lebih dari PDB Indonesia. Kedua, dampak pembatasan fisik dirasakan pula pada sektor transportasi yang kelabakan karena anjloknya penumpang. Sama halnya ekspor impor yang mengalami penurunan sejalan dengan permintaan global yang melemah. Di sisi lain, ada hal positif dari peralihan aktivitas menjadi daring atau Work From Home semenjak Covid-19 merebak. Dengan teknologi yang serba digital mampu meningkatkan sektor informasi dan komunikasi. Sama halnya dengan jasa kesehatan yang saat ini sangat dibutuhkan mengingat dampak Covid-19 cukup luas di seluruh Indonesia. Lalu bagaimana dengan sektor pertanian? Ahmad Ghulam Zaki, mahasiswa jurusan Ekonomi Pembangunan Unnes mengatakan dikarenakan mengolah barang primer bagi masyarakat, sektor pertanian menjadi paling minim terdampak. Resesi memanglah ancaman sekaligus tantangan yang harus dihadapi dengan penuh optimisime. Realisasi stimulus fiskal telah sejalan dengan meningkatnya Pengeluaran Konsumsi Pemerintah (PK-P). Penetapan sistem kenormalan baru dirasa dapat mendorong aktivitas ekonomi bergerak kembali. Masalahnya, apabila tidak diimbangi dengan protokol kesehatan sama saja meningkatkan jumlah kasus terkonfirmasi. Yozi mengatakan bahwa kita tidak bisa memperbaiki kondisi ekonomi jika banyak orang yang sakit. “Musuh yang kita hadapi sekarang ini invisible enemy,” tambahnya. Oleh karena itu, pemulihan difokuskan pada penanganan kesehatan terlebih dahulu untuk menurunkan angka kematian. Di sisi lain, juga dilakukan penataan ekonomi secara perlahan. Dalam hal ini, BI menjaga stabilitas moneter. Menjaga perekonomian tetap bergerak di tengah ketidakpastian pandemi serta kesejahteraan masyarakat menjadi target utama.

This article is from: