8 minute read

5.2. Yesus, Anak Manusia (Mat. 25:31 46

menyelamatkan mereka dari kekuasaan dosa. Di kayu salib Kristus bertindak sebagai Imam Besar yang mencurahkan darah-Nya sendiri mempersembahkan diri-Nya sebagai kurban untuk menghapus dosa semua manusia (Ibr. 9:13-14,25-28). Karena dosanya telah dihapus dan ia sendiri telah didamaikan dengan Allah, manusia dipandang layak untuk tinggal bersama dengan Allah di surga.

Kita adalah orang yang dikasihi Allah

Advertisement

Di hadapan Allah yang begitu mengasihi manusia itu, kita dapat melihat diri kita hanyalah orang berdosa yang lemah dan memiliki kecenderungan kepada dosa. Jika kita terus dikuasai oleh dosa, jiwa kita tidak dapat hidup abadi. Tetapi, kita yang berdosa ini dikasihi oleh Allah. Ia tidak membiarkan diri kita dikuasai oleh dosa dan mengalami kematian abadi. Kita begitu dikasihi oleh Allah, sehingga Allah mengutus Anak-Nya untuk menyelamatkan kita. Untuk kitalah Yesus datang ke dunia dan untuk menghapus dosa kitalah Ia mempersembahkan diri di kayu salib.

Dikasihi Allah, maka Mengasihi Sesama

Allah telah mengasihi kita dengan kasih yang sedemikian besar.

Bila kita menyadari bahwa kita adalah pribadi yang dikasihi oleh Allah, kita pun mengasihi sesama. Kasih itu bukan soal kata, melainkan soal perbuatan. Orang yang mengasihi memiliki dua ciri: 1). menghendaki orang yang dikasihinya berbahagia dan 2). berani berkurban demi kebahagiaan orang yang dikasihinya. Kita dapat melihat contoh perbuatan kasih dalam diri orang Samaria yang baik hati yang menolong orang telah dirampok itu. Ia mengasihi korban perampokan itu dengan menolongnya. Ia hanya mengharapkan agar orang itu bisa sehat kembali. Ia rela mengurbankan banyak hal yang dimilikinya supaya keadaan orang itu bisa pulih keadaannya.

5.2. Yesus, Anak Manusia (Mat. 25:31-46)

Perikop ini merupakan bagian terakhir dari

khotbah tentang akhir zaman yang terdapat dalam Injil Matius (Mat. 24-25). Dalam rangkaian khotbah tentang akhir zaman ini juga terdapat perumpamaan tentang hamba yang setia dan bijaksana (Mat. 24:45-51), tentang sepuluh gadis (Mat. 25:1-13), dan tentang talenta (Mat. 25:14-30). Walaupun

merupakan bagian dari khotbah, perikop ini mengandung unsur

perumpamaan, yakni sebuah simile

tentang seorang gembala yang memisahkan domba dari kambing (ay. 32b-33). Karena itu, perikop ini sering kali disebut perumpamaan tentang domba dan kambing. Perumpamaan ini diawali dengan suasana di tempat penghakiman (ay. 31-33). Kemudian disampaikan tindakan Raja yang bertindak sebagai hakim terhadap orang-orang yang ditempatkan di sebelah kanan (ay. 34-40) dan terhadap orang-orang yang di sebelah kiri (ay. 41-46).

Pada akhir zaman, Kristus, Anak Manusia, akan datang dalam kemuliaan-Nya dengan diiringi oleh para malaikat-Nya. Lalu Ia akan bersemayam di atas takhta kemuliaan-Nya. Karena bersemayam di atas takhta, dapat dikatakan bahwa ia adalah seorang raja (ay. 34). Pernyataan pada ay. 31 ini mengingatkan pada Anak Manusia yang dilihat oleh Daniel (Dan. 7:13-14). Ia melihat seorang seperti anak manusia menerima kuasa dan kemuliaan dalam kerajaan yang abadi. Matius menunjukkan bahwa Yesus itulah Anak Manusia yang dinubuatkan dalam Kitab Daniel. Ia memegang kuasa atas kerajaan abadi dan pada akhir zaman Ia akan menggunakan kuasa-Nya untuk menentukan siapa yang layak masuk dalam kerajaan-Nya. Pada waktu itu semua bangsa akan dikumpulkan di hadapan Anak Manusia untuk diadili. Walaupun yang disebut adalah semua bangsa, pengadilan ini dilakukan kepada setiap orang, bukan kepada setiap bangsa. Dengan kata lain, semua orang dari segala bangsa akan dibawa ke hadapan Anak Manusia dan setiap orang akan diadili. Dalam pengadilan itu, Anak Manusia akan memisahkan seorang dari yang lain, seperti seorang gembala memisahkan domba dari kambing: Ia menempatkan domba-domba di sebelah kanan-Nya, sedangkan kambing-kambing di sebelah kiri-Nya. Gambaran ini diambil dari kehidupan peternakan di Timur Tengah. Kambing dan domba memang biasa digembalakan bersama. Tetapi, pada waktu-waktu tertentu mereka harus dipisahkan. Misalnya, ketika kambing-kambing itu harus diperah susunya atau ketika domba-domba harus digunting bulunya. Menempatkan domba di sebelah kanan merupakan tanda bahwa mereka mendapatkan tempat kehormatan. Sebaliknya, penempatan

kambing di sebelah kiri merupakan tanda bahwa mereka jauh dari kehormatan, bahkan mereka akan menerima hukuman.

Anak Manusia, yang juga adalah Raja, menyebut mereka yang ditempatkan di sebelah kanan-Nya sebagai orang-orang “yang diberkati oleh Bapa-Ku.” Ia juga menyatakan bahwa mereka akan menerima Kerajaan yang telah disediakan bagi mereka sejak dunia dijadikan. Mereka layak menerimanya karena selama hidup di dunia mereka telah melakukan kebaikan-kebaikan kepada Tuhan yang hadir dalam diri orang-orang miskin dan menderita. Atau, sebaliknya, kebaikan yang dilakukan terhadap orang yang miskin dan menderita itu dilakukan bagi Tuhan. Ada enam kebaikan yang disebutkan dalam pengadilan ini, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, memberi makan orang yang lapar dan memberi minum orang yang haus. Dua perbuatan ini merupakan kebaikan yang mendasar karena menyangkut kebutuhan dasar manusia. Orang yang kekurangan makan dan minum akan menjadi lemah badannya. Hal ini bisa membuat orang menjadi sakit, dan bila berkepanjangan, orang dapat kehilangan nyawa. Kedua, memberi tumpangan kepada orang asing dan memberi pakaian kepada orang yang telanjang. Tempat untuk berteduh dan pakaian membantu orang untuk bertahan dalam cuaca, apalagi di malam hari atau pada musim dingin. Orang asing tidak mempunyai tempat untuk berlindung dan orang telanjang tidak mempunyai pakaian untuk menutup tubuhnya. Perbuatan baik kepada kedua kelompok orang ini dapat menyelamatkan mereka dari kesulitan yang muncul karena cuaca. Ketiga, melawat orang sakit dan mengunjungi orang yang dipenjara. Kunjungan kepada orang sakit mungkin tidak dapat menyembuhkan si sakit dan kunjungan kepada orang yang sedang dipenjara mungkin tidak dapat membebaskannya dari situ. Tetapi, kehadiran dan perhatian kepada kedua kelompok orang ini dapat mendatangkan kegembiraan bagi mereka dan meringankan penderitaan yang mereka alami. Semangat dan kegembiraan yang muncul dari orang yang datang mengunjungi itu dapat membuat orang sakit dan orang yang dipenjara sanggup bertahan menghadapi kesulitan yang sedang mereka hadapi.

Pada zaman Perjanjian Baru, penjara tidak digunakan sebagai sarana untuk menghukum orang yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan, tetapi hanya untuk menahan orang yang dituduh bersalah sampai ia menjalani pengadilan. Kehidupan seorang tahanan di dalam penjara ini bergantung pada keluarga atau kenalan yang mengirimkan makanan, minuman, dan lain-lain untuk kehidupannya. Mereka yang berada di dalam tahanan boleh dikunjungi dan diurus oleh teman-temannya (Mat. 11:2; Flp. 3:25; 4:18,21; Ibr. 13:3). Orang-orang yang ditempatkan di sebelah kanan Raja itu heran mendengar pernyataan yang diucapkan-Nya karena merasa tidak melakukan semua itu. Mereka tidak melihat Raja itu lapar, haus, telanjang, sakit, atau ditahan di dalam penjara. Yang mereka lihat hanyalah orang-orang yang menderita dan mengalami kesulitan, lalu mereka mengulurkan tangan dan melakukan sesuatu bagi mereka. Karena itu, mereka bertanya kepada Sang Raja kapan sebenarnya mereka melihat Dia lapar dan haus, menjadi orang asing dan telanjang, serta sakit dan dipenjara lalu melakukan perbuatan baik kepada-Nya. Menanggapi pertanyaan itu, Raja menyatakan, “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku“ (ay. 40) Kebaikan yang mereka lakukan selama hidup di dunia, ternyata mempunyai nilai yang abadi. Apa pun yang mereka lakukan terhadap orang-orang yang paling hina sebenarnya mereka lakukan untuk Tuhan karena Ia hadir di dalam diri mereka.

Sebaliknya, orang-orang yang dilambangkan dengan kambing yang ditempatkan di sebelah kiri-Nya itu akan dienyahkan “ke dalam api yang kekal yang telah sedia untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya.” Api yang kekal itu sebenarnya tidak disediakan bagi manusia, melainkan untuk Iblis dan para malaikatnya. Tetapi, apa yang mereka lakukan selama hidup di dunia telah membawa mereka ke tempat itu. Karena, mereka tidak pernah memperhatikan apalagi mengasihi Tuhan yang hadir dalam diri orang-orang miskin dan menderita. Mereka tidak memberi-Nya makan ketika Ia lapar, tidak memberi-Nya minum ketika Ia haus, tidak memberi-Nya tumpangan ketika Ia seorang asing, tidak

memberi-Nya pakaian ketika Ia telanjang, tidak melawat-Nya ketika Ia sakit, dan tidak mengunjungi-Nya ketika Ia di dalam penjara. Mereka merasa bahwa selama hidup di dunia belum pernah melihat Raja itu menahan lapar dan haus, menjadi orang asing, telanjang, sakit, atau berada di dalam penjara. Karena itu, mereka pun tidak melayaniNya. Seandainya mereka melihat Sang Raja dalam keadaan seperti itu, tentu mereka akan melayani-Nya: menyediakan makanan dan minuman, memberi tumpangan, mengunjungi-Nya, dan sebagainya. Tentu saja mereka melihat orang-orang yang mengalami berbagai penderitaan itu, tetapi mereka mengambil keputusan untuk tidak melakukan apa-apa bagi orang-orang itu. Menanggapi perkataan mereka, Sang Raja menjawab, “Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku” (ay. 45). Kepada mereka pun, Raja menyatakan bahwa Ia hadir di dalam diri orang-orang yang sedang mengalami penderitaan, sekalipun mereka tidak melihatnya. Setelah berhadapan dengan pengadilan ini barulah mereka menyadari bahwa keputusan untuk tidak mengulurkan tangan kepada orang-orang yang mengalami penderitaan itu keliru dan membawa konsekuensi buruk bagi mereka. Akhirnya, Sang Raja menyatakan bahwa orang-orang yang ada di sebelah kiri-Nya itu akan masuk ke tempat siksaan yang kekal, yang pada ay. 41 disebut sebagai api yang kekal yang disediakan bagi Iblis dan para malaikatnya. Kedua gambaran ini menjelaskan keadaan orang jahat yang tidak akan tinggal bersama dengan Allah. Mereka akan terpisah jauh dari Allah dan keadaan ini sama sekali tidak mengenakkan. Sebaliknya, orang benar akan masuk ke dalam hidup yang kekal, yang juga disebut sebagai Kerajaan yang telah disediakan bagi mereka (ay. 34). Demikianlah orang benar akan tinggal bersama Allah dalam kebahagiaan abadi.

Dalam Pertemuan I kita telah melihat Allah yang mengasihi manusia dan mewujudkan kasih-Nya melalui Yesus Kristus. Dalam Pertemuan II ini kita melihat kebenaran mengenai Yesus Kristus, yang menjadi kabar

baik bagi manusia.

Dia adalah Anak Manusia yang berkuasa atas Kerajaan Surga. Kesadaran akan kebenaran mengenai Yesus Kristus ini membuat orang beriman sadar akan identitasnya di hadapan Kristus. Orang beriman adalah orang yang percaya kepada Kristus dan setia kepada-Nya. Pengenalan diri dalam hubungannya dengan Kristus ini akan mendatangkan kegembiraan. Pengenalan akan identitas di hadapan Kristus yang diwarnai dengan kegembiraan ini akan menggerakkan orang beriman untuk melakukan kehendak-Nya.

Tuhan kita adalah Raja Surga

Yesus Kristus, Tuhan yang kita imani,

menjadi manusia dan mati di kayu salib untuk menyatakan kasih-Nya kepada kita. Ia mati untuk menghapus dosa kita supaya kita layak hidup bersama Dia di surga. Setelah menyelesaikan tugas penyelamatan ini, Ia kembali ke surga. Kelak Ia akan datang sebagai Raja yang berkuasa atas Kerajaan Surga. Ia berkuasa untuk menentukan siapa yang akan masuk ke dalam kerajaanNya untuk menikmati kebahagiaan abadi Bersama Dia dan siapa yang tidak boleh masuk ke dalamnya. Ia menghakimi setiap orang menurut perbuatan yang dilakukan terhadap saudara-saudara-Nya, yaitu orang-orang yang menderita. Sekalipun memegang kuasa atas Kerajaan Surga, Kristus, Sang Raja dan Anak Manusia hadir di dalam diri orang-orang yang mengalami penderitaan. Ia adalah Raja atas surga dan bumi, tetapi hadir di dalam dunia ini dalam diri orang-orang yang menderita.

Kita adalah hamba-hambanya

Kalau Yesus adalah Tuhan kita, di hadapan-Nya kita yang percaya kepada-Nya menempatkan diri sebagai hamba-hamba-Nya. Kesadaran diri sebagai hamba Tuhan ini mendorong kita untuk melakukan apa yang dikehendaki-Nya dan tidak memandang tindakan kita sebagai jasa yang layak mendapat imbalan. Kita hanya dapat mengatakan bahwa kita adalah orang berdosa yang dikasihi oleh Allah dan percaya kepadaNya. Karena itu, kita melakukan kehendak Tuhan itu dengan kegembiraan tanpa mengharapkan upah.

This article is from: