3 minute read

Kembali dan Menang

Dok. Kom PHT®2020

Wahyu Kuncoro Direktur Utama Perum Perhutani

Advertisement

Setelah berpuasa satu bulan lamanya di Bulan Suci Ramadhan, umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri. Sebelum merayakan Idul Fitri, umat Islam terlebih dahulu menunaikan zakat fitrah. Semua itu merupakan salah satu perintah agama.

Selanjutnya, umat Islam pun merayakan Idul Fitri sebagai hari kemenangan. Menang dari pertarungan mengendalikan hawa nafsu. Dan setelah menang dari upaya mengendalikan hawa nafsu selama satu bulan penuh, pada hakikatnya umat Islam akan kembali ke fitrah. Kembali suci dan bersih. Itulah makna Hari Raya Idul Fitri yang di tahun 2021 kita rayakan di bulan Mei.

Insan-insan Perhutani yang saya cintai.

Di Indonesia, kita mengenal Hari Raya Idul Fitri juga dengan sebutan Lebaran. Nama “Lebaran” itu berasal dari bahasa Jawa. Kata dasarnya adalah “lebar” yang artinya tuntas atau selesai. Jadi, maksudnya di hari “Lebaran” itu kita telah menuntaskan ibadah puasa Ramadhan dan di hari “Lebaran” itu kita merayakan kemenangan kita karena telah menuntaskan perjuangan melawan hawa nafsu selama puasa. Di bahasa Sunda, sebagian masyarakat menyebut hari itu “Boboran” atau “Boboran Shiyam” (Shiyam artinya adalah puasa). Maknanya sama, yaitu “tuntas sudah puasa”. Dan inilah hari kemenangan.

Ada satu hal yang perlu diperhatikan. Bangsa Indonesia tidak hanya memaknai Idul Fitri atau Lebaran sebagai hari raya atau hari kemenangan saja. Tetapi umat Islam Indonesia juga memaknainya sebagai bentuk penguatan silaturrahim di antara keluarga, tetangga, dan masyarakat. Hal itu diwujudkan dengan saling memaafkan dari lubuk hati yang paling dalam.

Tradisi maaf-memaafkan ini tidak lepas dari makna Idul Fitri itu sendiri. Kelapangan dada untuk meminta maaf dan memberi maaf untuk kemudian memulai hidup dari kebersihan hati dan jiwa. Tradisi saling berkunjung dan bersilaturrahim ini tidak terdapat pada umat Islam di negara lain. Di negara lain, setelah menunaikan ibadah shalat Idul Fitri, mereka langsung beranjak ke rumah masing-masing dan hanya merayakannya dengan keluarga. Berbeda dengan di Indonesia yang masyarakatnya mampu menciptakan harmonisasi kehidupan untuk memaknai Idul Fitri sebagai hari kemenangan dan kembali suci bersama masyarakat banyak.

Alasan kuatnya menyambung silaturrahim di momen Idul Fitri turut menciptakan tradisi mudik atau pulang kampung menjelang lebaran tiba. Berkumpul bersama keluarga, saudara, dan handai taulan di kampung kelahiran. Bahkan yang belum sempat pulang kampung menjelang lebaran karena tidak mendapatkan tiket mudik maupun masih harus bertugas di kota, mereka melakukannya pasca lebaran. Suasana seperti itu tahun ini dan tahun lalu sedikit berbeda. Masyarakat tidak mudik dan berkumpul bersama keluarga di kampung halaman karena kondisi

kita masih di tengah berjangkitnya pandemi Covid-19. Tetapi, silaturrahim tetap dijalin lewat telepon atau video call.

Insan-insan Perhutani yang saya banggakan.

Idul Fitri sebagai salah satu hari besar agama Islam ini menyatukan berbagai unsur, yaitu nilai-nilai agama, penguatan identitas bangsa, serta penumbuhan tradisi dan budaya positif melalui silaturrahim. Muara dari hari kemenangan selain meningkatkan kesalehan transedental, juga menguatkan kesalehan sosial sebagai tujuan utama manusia dalam beragama. Kesalehan sosial ini akan membentuk keterbukaan pola pikir, keluasan pandangan, tenggang rasa, dan toleransi terhadap seluruh umat manusia, apapun suku, etnis, budaya, ras, dan agamanya.

Hal itu juga terlihat dari penganan khas Hari Raya Lebaran. Misalnya ketupat yang dalam bahasa Jawa disebut kupat. Secara filosofis, kupat merupakan kepanjangan dari “ngaku lepat” yang berarti “mengakui kesalahan”. Mengakui segenap kekhilafan, dosa, dan kesalahan, merupakan hakikat dari makna “kembali kepada kesucian” sesuai esensi Idul Fitri. Sebab itu, meminta maaf dan memberi maaf harus menjadi kesadaran bersama untuk memaknai hakikat Idul Fitri dalam arti yang sebenar-benarnya.

Insan-insan Perhutani yang saya cintai dan banggakan.

Berpijak dari makna Idul Fitri itu, perkenankan saya untuk mengucapkan “Selamat Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriyah. Mohon Maaf Lahir dan Batin.”

Semoga kita semua dapat memahami makna hari kemenangan. Sekaligus kian mengerti hakikat kemanusiaan kita. Semoga ibadah puasa Ramadhan juga dapat lebih memanusiakan kita semua.

Hakikat kemenangan itulah yang perlu kita tanamkan di dalam diri kita semua. Maka, kita telah kembali dan menang. • DR

This article is from: