6 minute read

Candi Selogriyo

Rekonstruksi Masa Lampau pada Candi Selogriyo

Hakikat sejarah sesungguhnya bukanlah mengenang masa lalu. Sebaliknya, belajar sejarah sesungguhnya untuk menjalani kehidupan di masa depan dengan lebih baik. Sebab, dari sejarah masa lalu itulah kita bisa banyak belajar tentang hidup, sebagai pangkal tolak untuk melangkah ke masa depan. Hal itu yang menjiwai langkah Perhutani KPH Kedu Utara terlibat dalam penyusunan masterplan Situs Candi Selogriyo bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Jawa Tengah.

Advertisement

Gedung Pertemuan Desa Kembang Kuning, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menjadi tempat pembahasan rencana pengembangan dan rekonstruksi Candi Selogriyo. Di hari Kamis, 10 Desember 2020 itu, Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kedu Utara bersama Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Jawa Tengah, mengikuti rapat penyusunan masterplan Situs Candi Selogriyo. Di dalam rapat pembahasan masterplan tersebut, diuraikan rencana pengembangan situs Candi Selogriyo yang akan menjadi pusat ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu.

Sejumlah tokoh hadir dalam kesempatan tersebut. Di antaranya adalah Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jateng, Sukronedi; Kepala Sub Seksi (KSS) Komunikasi Perusahaan (Kompers) Perhutani KPH Kedu Utara, Riri Osmaroza; Camat Windusari, Subiyanto; Perwakilan DPRD Kabupaten Magelang, Shukur Ahkadi; Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Windusari, Suparman; Komandan Rayon Militer (Danramil) Windusari, Adi Sanyoto; dan Kepala Desa Kembang Kuning, Iwan Asnawi.

Mewakili Administratur Perhutani KPH Kedu Utara, KSS Kompers, Riri Osmaroza, menyampaikan apresiasi dan dukungan Perhutani kepada BPCB Jateng dalam pengembangan situs Candi Selogriyo yang akan menjadi pusat ilmu pengetahuan dari berbagai bidang. Ada banyak disiplin ilmu yang dapat ikut dipelajari dari situs Candi Selogriyo. Di antaranya ilmu Arkeologi yang dapat merekonstruksi masa lampau berdasarkan tinggalan nenek moyang, ilmu Arsitektur yang dapat memelajari bentuk dan struktur bangunan candi yang berbahan batu andesit, juga ilmu Sosial yang dapat memelajari kondisi sosial dan budaya masyarakat pada masa lampau.

“Harapan besar bagi kita semua adalah, ke depan Candi Selogriyo mampu menyerap kunjungan wisatawan domestik maupun mancanegara,” ujarnya.

Sementara itu Anggota Tim Konsultan PT Kala, Prana Idris Akhmaun, dalam paparannya menyampaikan konsep dasar pengembangan situs Candi Selogriyo. Menurut dia, proses pengembangan Candi Selogriyo tidak hanya terbatas pada tata ruang serta kawasan pendukungnya, tetapi juga bagaimana dampak positifnya untuk masyarakat sekitar.

“Dengan design guidelines kawasan berupa strategi dan rencana pelestarian situs, Master Plan pengembangan Candi Selogriyo ini tidak hanya tata ruang serta kawasan pendukungnya, namun harapannya ke depan juga mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat sekitar, yang tetap

Foto : Kompersh KPH Kedu Utara

selaras dengan upaya pelestarian cagar budaya,” jelasnya.

Di Lereng Gunung Sumbing

Candi Selogriyo sendiri berdiri megah di lereng timur kaki Gunung Sumbing. Candi itu terletak di lokasi yang cukup jauh dari pemukiman penduduk. Letaknya terpencil dan tersembunyi di antara Bukit Giyanti, Bukit Condong, dan Bukit Malang.

Konon, Candi Selogriyo adalah sebuah peninggalan purbakala yang diperkirakan dibangun pada masa Kerajaan Mataram Hindu. Diperkirakan, candi tersebut merupakan peninggalan masa kejayaan Hindu abad ke-8 Masehi. Candi Selogriyo ini juga dianggap sebagai bukti perkembangan nilainilai yang ada di agama Hindu.

Candi Selogriyo terletak di puncak sebuah bukit dengan ketinggian 740 meter di atas permukaan laut, pada area seluas kurang lebih 300 meter persegi. Candi itu menghadap ke arah timur. Di dalam Candi Selogriyo ada sebuah bilik yang sudah kosong. Menurut perkiraan, dahulu di bilik tersebut terdapat lingga-yoni yang menjadi simbol dari Dewa Siwa.

Di empat sisi dinding bangunan candi, terdapat lima relung yang menjadi tempat arca-arca perwujudan dewa. Arca-arca tersebut adalah Durga Mahisasuramardini di dinding utara, Ganesha di dinding barat, Agastya di dinding selatan, serta Nandiswara dan Mahakala di dinding timur. Salah satu keistimewaan Candi Selogriyo adalah kemuncaknya yang berbentuk buah keben. Kemuncak tersebut disebut amalaka.

Jika dilihat dari ukurannya, Candi Selagriyo ini relatif kecil. Denah bangunan candi tersebut berbentuk palang dengan ukuran 5,2 m x 5,2 m dengan tinggi sekitar 4,9 meter. Candi Selogriyo juga tidak

Foto : Kompersh KPH Kedu Utara

Konon, Candi Selogriyo adalah sebuah peninggalan purbakala yang diperkirakan dibangun pada masa Kerajaan Mataram Hindu. Diperkirakan, candi tersebut merupakan peninggalan masa kejayaan Hindu abad ke-8 Masehi.

memiliki candi pewara atau candi pendamping. Tidak seperti umumnya candi-candi besar Hindu lainnya yang umumnya memiliki tiga candi pewara.

Namun jika dilihat posisinya, Candi Selogriyo diindikasikan sebagai tempat pemujaan para pendeta Hindu yang dahulu lebih memilih tinggal di tempat terpencil. Hal itu terlihat dari letaknya yang berada di kaki bukit dan dekat dengan sumber mata air juga sungai. Selain itu, keberadaan Candi Selogriyo yang berada di ketinggian ini menunjukkan keyakinan umat Hindu bahwa dewadewa bersemayam di tempat yang tinggi.

Hal-hal tersebut juga harus menjadi dasar bahwa setiap pemugaran yang dilakukan harus dilakukan dengan Arif, agar tidak lalu mengubah keberadaan candi sehingga makna spiritualnya tetap utuh.

Ditemukan Orang Belanda

Candi Selogriyo pertama kali ditemukan oleh orang Belanda bernama Hartman pada 1835. Ketika itu Indonesia masih berada di tengah masa penjajahan Belanda. Ketika pertama kali ditemukan, kondisi candi tersebut tidak utuh seperti sekarang, melainkan masih berupa pecahan–pecahan bagianbagian candi. Berpijak dari kondisi saat ditemukan tersebut, Hartman lantas membentuk sebuah tim yang bertugas menyusun ulang Candi Selogriyo. Tim itulah yang merekonstruksi bangunan Candi Selogriyo.

Di bulan Desember 1998, Candi Selogriyo mengalami hancur, karena bukit tempat bangunan

Foto : Kompersh KPH Kedu Utara

candi tersebut berdiri longsor. Disimpulkan, hal ini disebabkan letak candi yang berada di atas bukit dan dikelilingi oleh lereng-lereng bukit lain. Karena itu, Candi Selogriyo lantas dipindahkan posisinya supaya tidak lagi mengalami hancur karena longsor.

Proses pemindahan tentu menuntut rekonstruksi Candi Selogriyo. Sebelum rekonstruksi tersebut, didahului penelitian dari para ahli arkeologi. Juga disetel sementara untuk dicek pada tahun 2000 melalui pembongkaran dari bawah. Sedangkan rekonstruksi di tempat asal candi mulai dilakukan 2001. Proses rekonstruksi ulang selesai pada 2005. Namun ada hikmah, karena peristiwa runtuhnya candi itu membawa arti penting bagi Candi Selogriyo. Sebab, saat proses rekonstruksi, dilakukan penggalian dan saat itu telah ditemukan bagian atas atau puncak candi.

Potensi Wisata

Ada potensi besar yang dikandung Candi Selogriyo, terutama di sektor wisata. Faktanya, di pelataran candi itu pun sering diadakan pentas kebudayaan Jawa. Setiap Bulan Suro dalam sistem penanggalan Jawa, atau "malam Jumat kliwon" dan "malam Selasa kliwon" dalam kalender Jawa, tempat itu pun lazim didatangi orang untuk "nyuwukke" kuda lumping.

Supaya pementasan kesenian tradisional itu bisa baik, yang melakukan "nyuwukke" di Candi Selogriyo ada yang dari Magelang dan Temanggung. Menurut Ketua Kelompok Sadar Wisata Candi, sebelum runtuh, pengunjung candi itu selalu ramai. Setiap bulan bisa mencapai 400 orang, terutama kalangan anak-anak sekolah.

Di masa liburan panjang sekolah, kawasan itu juga digunakan untuk kegiatan perkemahan anak-anak sekolah baik dari Magelang maupun Yogyakarta. Sedangkan wisatawan mancanegara yang berkunjung ke tempat itu, biasanya setiap bulan sekitar 10 orang. Selain menikmati wisata sejarah dari bangunan Candi Selogriyo yang bersejarah itu, para wisatawan yang berkunjung ke sana juga bisa menikmati keindahan panorama sekitarnya, berupa gunung-gunung, persawahan, dan perkampungan penduduk setempat yang masih asli.

Berbeda dengan candi-candi lain semisal Borobudur, Mendut, Ngawen, maupun Pawon, orangorang asing yang berkunjung ke Candi Selogriyo selalu menyebut perjalanan ini sebagai “hiking”, bukan “visiting”. Sebab, akses menuju lokasi candi dari pemukiman penduduk hanya berupa jalan setapak dengan kontur tanah berbatu sepanjang sekitar 2 kilometer. Hal ini tentu cocok bagi yang suka hiking menjelajah alam sambil menikmati suasana pedesaan nan asri.

Di candi ini terdapat mata air yang berbentuk mirip pancuran. Lokasi pancuran itu berjarak sekitar 10 meter dari posisi candi berdiri. Menurut keyakinan warga setempat, konon air pancuran tersebut dipercaya dapat mengobati berbagai macam penyakit dan memberi efek awet muda.

Pemandangan di sekitar Candi Selogriyo sangat indah dan udaranya segar karena terletak di kaki gunung. Selain panorama persawahan dan candi, kawasan ini sesungguhnya masih menyimpan sejumlah potensi wisata yang lain. Yaitu, sekitar 2 kilometer di sebelah utara Candi Selogriyo, terdapat curug atau air terjun yang belum punya nama. Namun, karena curug itu jarang dikunjungi, para guide atau pemandu wisata biasanya jarang berani mengantar pengunjung sampai ke lokasi air terjun.

Candi Selogriyo memang menyimpan potensi besar untuk dikembangkan. Namun, pengembangannya perlu memerhatikan kelestariannya. Sehingga, kita bisa banyak belajar dari masa lalu, saat candi itu dibangun, untuk cermin dalam menatap masa depan. • DR/Kdu/Eko

This article is from: