4 minute read

Penemuan Situs Cagar Budaya

Perhutani KPH Banyuwangi Utara Tindaklanjuti Penemuan Situs Cagar Budaya

Beberapa waktu yang lalu, dilaporkan terjadinya penemuan Prasasti Sejarah di Kawasan Hutan Wilayah KPH Banyuwangi Utara. Menyikapi temuan benda bersejarah tersebut, Perhutani KPH Banyuwangi Utara segera menindaklanjuti dengan berkoordinasi dengan pihak terkait. Rangkaian langkah pun dirancang dan dilakukan bersama instansi terkait, agar temuan itu bisa menjadi kontribusi positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya tentang perkembangan peradaban dan budaya masa silam.

Advertisement

Bertempat di Kantor Perhutani KPH Banyuwangi Utara, Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)

Banyuwangi Utara mengadakan pertemuan bersama Dinas

Pariwisata Banyuwangi, Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan Badan

Penelitian dan Pengembangan, dan

Perbukuan Balai Arkeologi Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pertemuan yang berlangsung pada

Senin, 17 Januari 2021 itu, digelar sebagai tindak lanjut penemuan prasasti sejarah di kawasan hutan

Perhutani KPH Banyuwangi Utara.

Administratur Perhutani KPH

Banyuwangi Utara, Agus Santoso, mengatakan, acara tersebut dilakukan untuk mendukung laporan penemuan Prasasti Sejarah di kawasan hutan yang termasuk wilayah Perhutani KPH Banyuwangi

Utara. Di dalam kesempatan itu, Agus juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Balai

Arkeologi Yogyakarta, yang telah melaksanakan Penelitian Arkeologi di wilayah kerja Perhutani KPH

Banyuwangi Utara, tepatnya di Petak 13 D dan 3 L, wilayah

Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Gunung Waru, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Bajulmati, KPH Banyuwangi Utara.

“Perhutani sangat mendukung upaya pelestarian lingkungan, situs dan cagar budaya sesuai dengan Prinsip FSC (Forest Stewardsip Council) Prinsip 10 Point 10.2, yaitu desain dari kawasan dalam konteks perlindungan lingkungan,” katanya.

Sementara itu, saat menyampaikan pemaparan dari Tim Balai Arkeologi Yogyakarta, Ketua tim tersebut, Sofwan Noerwidi, menyampaikan hasil Survei yang menunjukkan bahwa sebagian besar artefak yang ditemukan adalah artefak gerabah. Artefak gerabah yang ditemukan itu memiliki ciri-ciri teknologi yang sama, yaitu dibuat

Foto: Muzayin Muhammad/Kompersh KPH Banyuwangi Utara

dengan temper berbutir kasar, tebal 5-10 mm, dan tingkat kekerasan gerabahnya mengindikasikan bahwa gerabah-gerabah ini dibuat dengan sistem pembakaran terbuka.

“Situs sejenis pernah ditemukan di tepi Danau Matano Sulawesi Selatan (Abad XIII), di Martapura Kalimantan Selatan (Abad XVIII), dan sejauh ini belum pernah diketemukan di Jawa. Mempertimbangkan aspek kekhasan dari situs tersebut, diperkirakan merupakan situs permukiman dan perbengkelan logam dari sekitar Abad XIII Masehi,” ujar Sofwan Noerwidi.

Sedangkan perwakilan dari Dinas Pariwisata Kabupaten Banyuwangi, Bayu Nugroho, menyampaikan, sesuai dengan UUCB (UndangUndang Cagar Budaya) Nomor 11 Tahun 2020, masyarakat dilarang dengan sengaja melakukan aktifitas pencarian benda cagar budaya maupun benda yang diduga cagar budaya. Menurut Bayu, masyarakat yang menemukan benda cagar budaya maupun benda yang diduga cagar budaya wajib melaporkan temuan itu kepada instansi terkait.

“Khususnya di lokasi Perhutani Petak 13D dan 3L RPH Gunung Waru BKPH Bajulmati yang telah dilakukan penelitian,” katanya.

Museum Situs Terbuka

Situs Watukebo yang terletak di Dusun Maelang, Desa Watukebo, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, itu merupakan situs perbengkelan klasik di masa Kerajaan Majapahit. Pertama kali ditemukan atau satu-satunya di Pulau Jawa. Karena tinggi nilai budayanya, situs itu bakal dijadikan museum situs terbuka (open site museum).

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi, Muhammad Yanuarto Bramuda, mengatakan, dengan dijadikan open site museum, masyarakat dapat belajar tentang bendabenda peninggalan sejarah dengan langsung datang ke lokasi tempat ditemukannya (insitu). "Jadi tidak perlu dibangun gedung baru. Masyarakat bisa melihat bendabenda bersejarah langsung di tempat benda itu ditemukan," kata Bramuda.

Bramuda menerangkan, berdasarkan hasil penelitian dari Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) serta Perhutani KPH Banyuwangi Utara selaku pemilik lahan, diketahui Situs Watukebo pada masa lalu digunakan sebagai pemukiman dan perbengkelan logam selama abad 14 - 15 Masehi di masa Kerajaan Majapahit. Bramuda pun mengapresiasi Perhutani KPH Banyuwangi Utara selaku pemilik kawasan yang telah melindungi situs tersebut.

“Kami bersyukur masyarakat di sekitar situs sangat peduli dan turut menjaga kelestarian. Beberapa benda sudah diselamatkan Perhutani KPH Banyuwangi Utara dan ditaruh di kantor mereka sebagai sampel,” kata Bramuda.

Foto: Muzayin Muhammad/Kompersh KPH Banyuwangi Utara

Cagar Budaya

Tim ahli Arkeologi Disbudpar Banyuwangi, Bayu Ari Wibowo, menjelaskan, bukti yang mengindikasikan bahwa situs tersebut merupakan perbengkelan logam terlihat dari ditemukannya terak besi, tungku perapian, fragmen tanur atau bekas lelehan besi, dan fragmen kowi yaitu alat untuk melelehkan logam. Di samping ada temuan lainnya semisal gerabah, gandik (uleg-uleg), keramik China, susunan batu-batu alam, struktur bata merah, dan bekas galian yang diduga makam Mbah Janur Kuning.

“Situs perbengkelan klasik semacam ini baru pertama kali ditemukan atau satu-satunya di Pulau Jawa. Ada situs perbengkelan serupa di wilayah lain di Indonesia yaitu di tepi Danau Matano Sulawesi Selatan dan Martapura Kalimantan Selatan, namun berbeda periodisasi,” tutur Bayu.

Situs Watukebo ini, imbuh Bayu, telah diregistrasi di Disbudpar Banyuwangi sebagai Obyek Diduga Cagar Budaya (ODCB). Artinya, perlakuan dan perlindungannya dianggap sama seperti cagar budaya. Bayu menceritakan, situs ini bermula saat Perhutani KPH Banyuwangi Utara melaporkan temuan tersebut kepada Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur. BPCB lalu menunjuk arkeolog Disbudpar Banyuwangi dibantu Balai Arkeologi DIY untuk meneliti cagar budaya ini. • DR/Bwu/JY

This article is from: