10 minute read

Penguatan Modal Sosial untuk Tangani Permasalahan Tenurial di Kawasan Hutan Perum Perhutani

Oleh : Ir. Mubarak Nur Alamsyah Sigit, MM

Penulis adalah Tenaga Profesional Madya II Kelola Bisnis, Perhutani Forestry Institute.

Advertisement

Pengaturan akses masyarakat atas sumber daya hutan adalah masalah fundamental yang harus direncanakan dengan baik. Sehingga, masyarakat lokal dapat turut berperan aktif mengelola sumber daya hutan secara baik, berkelanjutan, dan menyejahterakan. Maka, perlu dipikirkan tentang rencana pengelolaan hutan yang seimbang, yang bisa mengakomodasi baik Perum Perhutani maupun Masyarakat Desa di sekitar hutan. Salah satunya dengan penguatan modal sosial (social capital).

Penguatan Modal Sosial

untuk Tangani Permasalahan Tenurial di Kawasan Hutan Perum Perhutani

Pasal 2 Undang Undang Kehutanan (UU Nomor 41 Tahun 1999) menegaskan, “Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan”. Pasal selanjutnya menyebutkan, “Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan”. Namun di sisi lain, eksistensi Perum Perhutani didorong oleh fungsi kawasan hutan yang tetap terjaga dengan baik. Sebab,

Perum Perhutani merupakan BUMN yang bergerak di bidang Kehutanan yang keberadaannya dipengaruhi keseimbangan fungsi ekonomi dan ekologi Sumber Daya Hutan.

Salah satu hal terpenting yang perlu Perum Perhutani perhatikan untuk mengelola hutan yang berkeadilan dan berkelanjutan adalah pengaturan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan. Hal itu terkait dengan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari, sesuai Prinsip 1 Kriteria 5 Forest Stewardship Counsil (FSC), yaitu Kawasan pengelolaan hutan harus dilindungi dari penebangan ilegal, pendudukan ilegal, dan kegiatan lain yang tidak diizinkan. Maka, perlu upaya-upaya sosialisasi guna menyamakan persepsi dan memberikan pendidikan terhadap masyarakat akan pentingnya kelestarian lingkungan.

Kelola sosial akan berjalan dengan baik jika dapat mengintegrasikan pengelolaan hutan dalam bentuk pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Perum Perhutani telah melakukan kegiatan kelola sosial, namun belum sepenuhnya berhasil. Tak sedikit manfaat yang telah dapat dirasakan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Disadari, kelemahan kegiatan kelola sosial selama ini adalah sangat kurangnya koordinasi antara Perum Perhutani dan stakeholders yang lain, sehingga tidak ada sinergitas dan kurang terarah.

Bermacam isu lingkungan dan sosial juga menerpa Perum Perhutani sebagai pengelola hutan di Pulau Jawa dan Madura. Menjawab kondisi tersebut, di masa depan tentu Perum Perhutani tak bisa mengelola hutan dengan paradigma lama yang cenderung represif dan tertutup. Prinsip kelestarian lingkungan dan pelibatan multi stakeholder, terutama masyarakat sekitar hutan, merupakan paradigma baru yang harus dibangun demi menjaga kelestarian hutan.

Konflik tenurial yang banyak terjadi di dalam kawasan hutan adalah persoalan yang sangat kompleks yang dihadapi Perum Perhutani saat ini dalam mengemban tugas pengelolaan kawasan hutan. Timbulnya permasalahan tenurial banyak terjadi pada saat adanya

Foto :Ir. Mubarak Nur Alamsyah Sigit, MM

euforia reformasi. Ketika itu, ada beberapa bagian hutan yang mendapat gangguan intens dari masyarakat dengan melakukan pencurian kayu dan kegiatan penggarapan hutan secara liar, bibrikan lahan dan okupasi kawasan hutan. Selain itu, tekanan sosial yang semakin meningkat karena meningkatnya populasi masyarakat, jumlah angka pengangguran, serta dinamika perubahan sosial politik di masyarakat sekitar hutan, akan memberikan dampak negatif terhadap eksistensi kawasan hutan.

Terjadinya permasalahan tenurial berkembang menjadi konflik tenurial dan konflik sosial. Hal itu merupakan akumulasi dari kegiatan penggarapan lahan di kawasan hutan oleh masyarakat atau pihak ketiga yang tidak mendapatkan penanganan serius. Permasalahan tenurial seperti kegiatan penggarapan lahan secara liar, bibrikan lahan, penambangan liar, kerja sama lahan yang melewati batas waktu, kemudian berkembang menjadi pendudukan/okupasi dan klaim kepemilikan lahan.

Penguatan Modal Sosial

Tindak lanjut penanganan masalah itu adalah dengan melalui pendekatan sosial (Social Approach) atau sosialisasi kepada seluruh pesanggem dan penggarap liar serta Aparat Desa maupun Muspika tentang status dan fungsi kawasan serta dasar hukum penguasaan wilayah Perum Perhutani. Selain itu, sosialisasi diharapkan juga menjadi alat untuk menjaring keinginan masyarakat secara luas dan memadukan dengan kebijakan manajemen, untuk mencari solusi terbaik dalam menyelesaikan permasalahan lahan. Serta membentuk opini dan alur pikir yang sama terhadap permasalahan yang dihadapi, sehingga bisa terbentuk kata mufakat. Jika terjadi konflik tenurial, juga perlu kegiatan manajemen resolusi konflik, dengan melakukan negosiasi/perundingan dan mediasi, agar kesepakatan dan mufakat dapat dicapai.

Secara umum, kapasitas sumber daya manusia masyarakat di sekitar hutan relatif rendah dan marginal. Tetapi masih memiliki potensi budaya yang dapat dibangkitkan dalam rangka penguatan modal sosial (social capital). Di antaranya saling percaya, pengakuan pranata sosial, kemauan belajar, serta tingkat kebersamaan dan solidaritas yang tinggi. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan penguatan modal sosial masyarakat desa hutan dapat melalui proses pendidikan, pelatihan, penyuluhan, penguatan kelembagaan sosial (keberadaan LMDH/KMDH Kelompok Masyarakat Desa Hutan dan Gapoktan diperkuat dengan peraturan desa/Perdes), dan pendampingan masyarakat yang dipandu secara terpadu di dalam Implementasi Perhutanan Sosial

(PS)/Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Proses yang perlu waktu dan biaya ini akan memberikan wawasan dan cara berpikir masyarakat, sehingga dapat membuka akses terhadap informasi dan membebaskan masyarakat di sekitar hutan dari keterbelakangan dan kemiskinan.

Program pengentasan kemiskinan seharusnya memang bukan tanggung jawab Perum Perhutani semata, dan seharusnya di bawah koordinasi Pemerintahan Daerah. Program-program khusus untuk kesejahteraan masyarakat desa hutan dapat disinkronisasikan dengan program-program yang ada di Dinas dan Instansi Pemerintah Daerah. Kegiatan pengentasan kemiskinan untuk masyarakat di sekitar hutan tak dapat dilakukan dengan memberikan bantuan secara subsidi langsung kepada kelompok masyarakat miskin, tetapi harus dilakukan secara terintegrasi dalam sebuah pengelolaan sosial secara partisipatif, komprehensif, dan terencana secara baik, yang mendorong proses pemberdayaan (empowering), memberikan peluang (enabling), dan memberikan perlindungan (protection).

Untuk membina dan melaksanakan implementasi Perhutanan Sosial (PS)/PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), Perum Perhutani harus menginventarisir berbagai organisasi kemasyarakatan yang ada di Desa Sekitar Hutan, baik berbentuk paguyuban maupun kelompok masyarakat (Pokmas), yang secara umum disebut Kelompok Masyarakat Desa Hutan (KMDH). KMDH sebaiknya telah memenuhi syarat untuk diarahkan dan dibina oleh Perum Perhutani, agar secara formal dapat menjalin kerja sama dalam berbagai aspek pengelolaan hutan.

Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, Anggotanya terdiri dari warga masyarakat desa hutan. Diutamakan yang kehidupannya tergantung pada sumber daya hutan dan atau punya kepedulian terhadap kelestarian sumber daya hutan. Kedua, Memiliki struktur organisasi, peraturan dan mekanisme kerja, rencana kerja, rencana pengelolaan dan rencana pemanfaatan hasil berbagi secara partisipatif. Ketiga, Direkomendasi dan diajukan oleh Lembaga Pemerintahan Desa dengan surat permohonan kerja sama kepada Perum Perhutani. Keempat, Bersepakat bekerjasama dengan Perum Perhutani yang dituangkan dalam perjanjian kerja sama (PKS) dengan Pola PS/PHBM.

Langkah pertama dalam membangun kelembagaan LMDH adalah melakukan identifikasi kelembagaan di desa. Hal itu adalah kegiatan inventarisasi kelembagaan yang ada di dukuh/desa baik lembaga formal, non formal maupun informal, yang dapat menjadi mitra kerja dalam kegiatan. Sementara, identifikasi terhadap pihak yang berkepentingan merupakan kegiatan inventarisasi terhadap kelompok/ lembaga di desa dan kota dalam bentuk usaha kecil, koperasi dan perusahaan berbadan hukum yang dapat menjadi mitra usaha.

Foto :Ir. Mubarak Nur Alamsyah Sigit, MM

Peningkatan Produktivitas Hutan

Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang bekerjasama dalam pengelolaan hutan diutamakan yang telah berbadan hukum, dan telah direkomendasikan serta diajukan oleh pemerintah desa dengan surat permohonan kerja sama kepada Perum Perhutani. Pihak lain yang berkepentingan (stakeholder) dapat berperan langsung (sebagai investor) maupun tidak langsung (sebagai motivator, fasilitator, maupun dinamisator) untuk bekerjasama dalam kegiatan pengelolaan sumber daya hutan bersama masyarakat. Bentuk kerja sama bisa dengan skema Tripartit yaitu Perhutani

– Investor – LMDH, dengan pola kemitraan sejajar.

Bentuk kerja sama dengan skema tripartite yang efektif diterapkan di lapangan adalah kegiatan Agroforestry (On Farm) maupun kegiatan Wana Farma, dengan menanam komoditi Agricultural yang bernilai tinggi dalam pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri maupun luar negeri. Semisal kopi, cokelat, cengkeh, porang, jahe, kapulogo, cabe jamu, nanas, jeruk, pisang, nilam, dan lain lain.

Agroforestry merupakan salah satu alternatif yang mampu meningkatkan produktifitas lahan hutan, sehingga mampu meningkatkan pendapatan perusahaan, maupun masyarakat desa hutan dan terjaminnya kelestarian fungsi-fungsi hutan. Sehingga dapat meminimalkan dampak negatif adanya lapar lahan atau ekses penggarapan lahan secara liar.

Peningkatan produktivitas lahan hutan dengan program Agroforestry (Agribisnis) juga diiringi peningkatan kualitas sumber daya manusia MDH dan SDM Petugas yang mendampingi (Human Capital), sehingga kegiatan agroforestry dapat menghasilkan keuntungan bagi Perhutani juga meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian MDH. Sumber daya manusia yang mendampingi kegiatan Agroforestry harus memiliki mutu SDM yang tinggi kapasitasnya dalam penguasaan teknik produksi dan pemasaran.

Fokus pada modal manusia (Human Capital) dalam kegiatan pendampingan PS/PHBM/kegiatan Agroforstry juga sangat menentukan dalam peningkatan kapasitas modal sosial (Social Capital). Sebagai pendamping MDH selain sebagai motivator dan fasilitator, juga berperan menjadi perekat masyarakat (kohesi sosial) dan hubungannya dengan jejaring sosial yang dibangun dengan rasa saling percaya di antara individu MDH. Ini jadi modal dalam membangun kerja sama dan solidaritas. Di dalam kegiatan Agroforestry/Agribisnis, peran petugas pendamping dari Perhutani sangat memengaruhi peningkatan kapasitas modal sosial, yang mana dapat dilihat langsung dalam peningkatan pendapatan bisnis (bisnis yang menguntungkan) yang berdampak langsung terhadap tingkat kepercayaan MDH, tingkat pendapatan masyarakat, yang secara langsung meningkatkan produktivitas MDH.

Peran Petugas Pendamping

Petugas pendamping dari Perhutani tidak terbatas untuk ditangani secara khusus oleh Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM). Tetapi juga perlu peran aktif Jajaran KRPH, Asper/KBKPH, dan KSS Kelola Sosial. Mereka juga harus sering melakukan kegiatan pendampingan kepada MDH melalui kegiatan Komunikasi Sosial, yaitu kegiatan simpatik (Bantuan Sosial dan Kegiatan Sosial), Pendekatan kepada Key Person, Penyuluhan dan Pelatihan maupun kerja sama kolaborasi pola PS/PHBM.

Jika petugas Perhutani tak pernah melakukan kegiatan Komunikasi Sosial semisal Pemberdayaan dan Pendampingan Masyarakat Desa Hutan (MDH), dampaknya akan terjadi deviasi modal sosial MDH. Modal sosial positif akan melemah disebabkan adanya intervensi modal sosial negatif. Terjadinya penggerusan/ pemudaran modal sosial positif pasti akan mengganggu interaksi sosial (keharmonisan hubungan Perhutani dengan MDH), pelanggaran norma sosial (kegiatan illegal logging, illegal mining, maupun konflik tenurial), krisis kepemimpinan, sifat pasif/apatis, dan akhirnya terjadi kerenggangan hubungan sosial.

Modal sosial negatif semisal nilai budaya konsumerisme, individualistik, sentimen individu, primordialisme dan hedonisme (suka bersenang-senang seperti kebiasaan minum-minuman keras/ mo-li-mo) akan dengan mudah menimbulkan pelanggaran norma sosial, perilaku menyimpang, dan konflik-konflik. Rendahnya intensitas dan kualitas kegiatan pemberdayaan dan pendampingan MDH melalui Komunikasi Sosial, mengakibatkan lemahnya fungsi kontrol sosial. Apabila tak ada kepedulian dari Petugas Perhutani, maka akan terjadi krisis kepercayaan dan terjadi pelanggaran sosial yang lebih besar, yaitu Penjarahan Hutan dan Okupasi Kawasan Hutan.

Sehingga, pentingnya Petugas Perhutani melakukan Kegiatan Komunikasi Sosial melalui kegiatan

Rendahnya intensitas dan kualitas kegiatan pemberdayaan dan pendampingan MDH melalui Komunikasi Sosial, mengakibatkan lemahnya fungsi kontrol sosial. Apabila tak ada kepedulian dari Petugas Perhutani, maka akan terjadi krisis kepercayaan dan terjadi pelanggaran sosial yang lebih besar, yaitu Penjarahan Hutan dan Okupasi Kawasan Hutan.

Foto :Ir. Mubarak Nur Alamsyah Sigit, MM

pemberdayaan dan pendampingan MDH. Kegiatan Implementasi PS/ PHBM dan Komunikasi Sosial mampu meningkatkan kapasitas modal sosial positif dan meminimalkan modal sosial negatif.

Ada beberapa pendekatan yang dapat dikembangkan dalam meningkatkan kapasitas modal sosial positif. Pertama, Pendidikan agama, pendidikan sosialisasi keluarga, dan pendidikan karakter sebagai sumber pengembangan nilai-niai luhur untuk membangun sifat kebersamaan dan saling percaya antara sesama manusia, meningkatkan nilai moral kehidupan. Kedua, Pemeliharaan kearifan lokal (local wisdom) memiliki makna bahwa struktur sosial masyarakat masih mengandung sifat arif, nilai-nilai sosial yang digunakan sebagai sumber pemikiran dan pedoman berperilaku untuk menjaga kelestarian sumber daya hutan. Ketiga, Pengembangan komunikasi informasi lewat beragam media dan saluran seni budaya, diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai luhur dari kearifan lokal, kerja sama, saling percaya, dan tanggung jawab.

Sehubungan hal itu, pada dasarnya petugas perhutani sebagai pendamping MDH yang memfasilitasi kegiatan pemberdayaan MDH maupun kegiatan Agroforestry harus memiliki sejumlah peran dasar. Pertama, Teknik Analisa Permasalahan. Pendamping harus memiliki kemampuan dalam mengumpulkan data, menganalisis dan mengidentifikasi masalah, serta merumuskan kegiatan bersama masyarakat yang didampingi (LMDH). Kedua, Pembimbing Kelompok. Pendamping melakukan bimbingan dan memberi masukan yang dibutuhkan kelompok (LMDH) dalam menghadapi permasalahan. Ketiga, Kemampuan sebagai Pelatih. Sebagai pendamping MDH, harus mampu menularkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya kepada MDH/LMDH. Untuk hal tersebut diperlukan pelatihan manajerial, kepemimpinan dan teknis (teknik budi daya, agribisnis, dan lain-lain) juga perlu dilakukan studi banding ke daerah lain. Keempat, Inovator. Sebagai pendamping perlu selalu membuat kajian dan menemukan hal baru untuk dijadikan sebagai input pemberdayaan masyarakat desa hutan, misalnya dalam bentuk inovasi model pembinaan kelompok, metoda penyuluhan, dan manajemen administrasi berbasis kearifan lokal. Kelima, Penghubung/ Mediator. Karena permasalahan masyarakat yang dihadapi multidimensi, pendamping perlu menjadi penghubung/membuka akses kepada para pihak terkait semisal Pemda, Dinas Kehutanan, Dinas Koperasi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Instansi terkait lainnya, tokoh masyarakat, dan lain-lain. Tujuannya agar hambatan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat dapat segera diatasi dan dicarikan solusinya.

Monitoring dan Evaluasi

Pemberdayaan masyarakat desa hutan (MDH) dan LMDH perlu disertai peningkatan kemampuan masyarakatnya (Capacity Building) dan penguatan kelembagaan LMDH (Institutional Building) dalam mengembangkan potensi sumber daya dan jaringan sosial yang ada. Hal ini sangat penting dalam menyediakan dan mengembangkan berbagai akses terhadap sumber dan kesempatan bagi peningkatan keberdayaan masyarakat desa hutan. Penguatan kapasitas masyarakat (Capacity Building) dan Penguatan kelembagaan LMDH (Institutional Building) itu merupakan suatu proses dalam pemberdayaan MDH dengan meningkatkan atau menambah pola perilaku individu, organisasi (LMDH) dan sistem yang ada di masyarakat untuk mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu MDH yang sejahtera dan mandiri.

Di situlah perlu monitoring dan evaluasi. Monitoring dan Evaluasi Permasalahan Tenurial secara terus menerus diperlukan untuk mendapatkan gambaran dan perkembangan detail peta permasalahan tenurial sebagai dasar penetapan dan feed back strategi yang ada dalam penanganan Permasalahan. • DR

This article is from: