4 minute read

AJARAN SANG GURU SEJATI (PANGESTU) SEBAGAI ‘PENDAMPING’ AGAMA

Next Article
BAB 4. PENUTUP

BAB 4. PENUTUP

AJARAN SANG GURU SEJATI (PANGESTU) SEBAGAI ‘PENDAMPING’ AGAMA

Seperti yang telah disebut dalam pembahasan sebelumnya, Pangestu merupakan organisasi spiritual dengan anggota yang berasal dari berbagai macam agama yang diakui secara formal di Indonesia, baik Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghuchu. Hal ini memungkinkan sebab sejak awalnya, Pangestu didirikan bukan untuk menjadi agama baru atau mengambil alih kepercayaan beragama yang telah ada, mengingat bahwa Soenarto sebagai pendiri juga merupakan seorang muslim. Pangestu hadir sebagai “fakultas psikologi,” tempat dan sarana bagi olah rasa untuk membentuk pribadi yang lebih baik.

Advertisement

Seperti yang tertulis dalam kitab Sasangka Jati bagian Tunggal Sabda (1932), Sonarto menjelaskan posisi ajaran Sang Guru Sejati (Pangestu) di hadapan agama sebagai berikut :

“Ketahuilah hai siswa-siswa-Ku,

Bahwa kedatangan-Ku ini bukan karena ehndak merusak dan mengganti peraturan Tuhan yang telah ada, yaitu yang lazimnya disebut sebagai agama baru. Aku hanya hendak menunjukkan jalan yang benar dan jalan simpangan, lagipula memperingatkan kepada mereka yang lupa akan kewajiban suci, juga memberi petunjuk tentang pemeliharaan hati dan cipta kepada kamu sekalian yang percaya, demikian pula kepada mereka yang berhasrat mencari petunjuk dan sinar terang daripada-ku, agar supaya dapat bertemu dengan Aku di dalam hati sanubarinya.

Dengarlah hai siswa-Ku,

Adapun pelajaran-Ku ini dapat dimisalkan sebagai obor yang dipakai untuk menerangi tempat yang masih diliputi oleh kegelapan dan membutuhkan sinar cahaya terang daripada-Ku.

Sebab itu yang merasa telah mempunyai obor dari petunjuk agama Islam atau agama Kristen, tidak perlu memakai obor-Ku ini. Bagi mereka yang tidak menyukai dan tidak percaya kepada petunjuk-ku ini Ku-peringatkan: segeralah mencari obor atau petunjuk yang tersimpan di dalam kitab-kitab suci Al Qur’an atau Injil, yaitu petunjuk sejahtera yang berasal dari tuntunan agama Islam atau agama Kristen, pilih mana yang memuaskan dan membuat hati menajdi tenang karena keduaduanya merupakan agama yang benar-benar dari Tuhan, sebab itu bila dijalankan dengan percaya dan ditaati dengan sungguh-sungguh, lagipula disertai dengan kecerdasan hati (kesadaran), tentu akan samapi pada Kenyataan yang Sejati.”

Menurut penjelasan Kusumo dalam ceramah penerangan pada 21 April 2019, kehadiran Pangestu tidak dimaksudkan untuk mengganti ajaran agama yang sudah ada, namun dapat menjadi obor bagi beberapa siswa yang kesulitan mendapatkan pencerahan batin dari ajaran agama yang sudah dianut. Seperti halnya yang dialami oleh Soenarto, beberapa orang mengalami kesulitan dalam beragama disebabkan beberapa hal, seperti perbedaan bahasa, kultur di mana agama tersebut muncul dan bagaimana penganut dapat bernegosiasi dengan budaya tersebut, serta beberapa hal lain. Pangestu yang lahir di tanah Jawa, melalui perantara orang Jawa dimaksudkan agar dapat menjadi pintu masuk seseorang dalam perjalanan rohaninya, sebelum lebih lanjut memahami

agamanya.

Lebih lanjut, beliau juga memberikan gambaran bahwa posisi Pangestu dengan agama adalah layaknya buku pendamping pelajaran atas buku pokok. Atau seperti Al-Qur’an (dalam konteks ini adalah agama) dan kitab tafsir (Pangestu). Karena hadirnya sebagai pendamping, maka sangat memungkinkan bagi pemeluk agama taat sekalipun untuk menjadi anggota Pangestu, bukan hanya yang bagi kesulitan dalam memahami agama.

Berdasarkan observasi, ada cukup banyak anggota Pangestu yang merupakan penggiat dan kelompok taat di agama masing-masing. Sebagai contoh adalah Kusumo, selaku pemberi ceramah penerangan yang begitu mendalami ajaran Sang Guru Sejati selalu melakukan solat jamaah lima waktu di masjid dan sedang mempelajari tafsir Al-qur’an. Kemudian Ramelan, Ketua Korda Pangestu Cabang DIY merupakan imam masjid di komplek perumahannya, dan memiliki putri seorang aktivis dakwah kampus. Dari penganut Katholik, Darmastuti yang merupakan Ketua Pangestu Cabang DIY mengaku secara aktif terlibat dalam kegiatan gereja dan menjadi lebih religius setelah menjadi anggota Pangestu.

Namun di sisi lain, ada juga beberapa anggota Pangestu yang menjadikan ajaran Sang Guru Sejati sebagai “obor” utama dalam kehidupan spiritualnya. Kelompok tersebut pada dasarnya memiliki keimanan kepada Tuhan YME namun tidak memutuskan untuk memeluk salah satu agama. Salah seorang narasumber dari golongan tersebut menjelaskan bahwasanya pendalaman spiritual dapat dengan mudah ia dapatkan di Pangestu. Baginya yang seorang Jawa, Pangestu yang ajarannya sarat dengan kebijakan-kebijakan Jawa dan dipadukan dengan konsep monoteisme membuatnya semakin yakin bahwa Tuhan adalah Esa, Tuhan adalah dekat dan manusia sesungguhnya dapat menjadi dekat dengan Tuhan jika mau membersihkan jiwanya. Seperti Pakde Narto, Tuntung sudah mengembara mencari pemahaman spiritualisme lewat beberapa agama yang dipelajarinya, yaitu Islam, Kristen dan Hindu. Namun selama pengembaraan tersebut, belum ada yang secara legowo (ikhlas) dapat diterima oleh hatinya.

Pada akhirnya ketika mengenal Pangestu lewat salah seorang rekan kerja, Tuntung merasa telah menemukan jalan spiritualitas yang selama ini ia cari.

Klaim sebagai pendamping agama seperti yang tersebut di atas menunjukkan bahwasanya Pangestu berusaha mendapatkan posisi tersendiri di antara agama dan kepercayaan, tepatnya di dalam third space sebagai “obor” pendamping jalan menuju kedekatan dengan Tuhan, atau juga suplemen batin bagi orangorang yang masih mencari tambahan spiritual di luar agamanya. Dalam upaya mempertahankan diri di dalam third space, Pangestu melakukan mimikri sebagai bagian dari ekspresi ingenious dengan mengadopsi identitas agama dan kepercayaan, yang kemudian diolah sedemikian rupa hingga menjadi identitas independen yaitu spiritualitas Pangestu. Jika ditarik ke dalam konteks kewarganegaraan, Pangestu sebagai kelompok warga dengan identitas organisasi spiritual juga tengah mengusahakan eksistensinya di antara dua kelompok besar yang diakui oleh pemerintah, yaitu agama dan kepercayaan. Berbagai strategi ingenious lain Pangestu dalam menghadapi governmentality pemerintah Indonesia lewat politik agama kemudian akan menjadi pokok pembahasan di dua bab selanjutnya, yaitu di bagian ketiga dari monograf ini.

This article is from: