13 minute read

Hazi

Ilusi 5

Hazi

Advertisement

Berawal dari rasa ingin tahu yang besar, Hazi berada disini. Jika benar arti kata lancong adalah perjalanan dengan tujuan bersenang–senang sepertinya benar, saat ini ia pergi ke kota antah berantah untuk bersenang–senang. Sejak ia ditinggalkan oleh kedua orang tuanya saat berada di pulau sebrang, ia merasa kesepian. Pikirnya, ia anak tunggal yang lahir dari keluarga berada, warisan yang berada di tangannya tidak main–main nominalnya. Pada akhirnya ia memutuskan untuk pergi dari kehidupan lamanya. Berada jauh namun tidak sampai ia harus belajar bahasa asing seperti ‘excuse me’.

Benar apa yang dikatakan orang, hidupnya di pulau ini makmur. Ia akan semakin tampak kaya dengan harta yang berlimpah jika terus begini. Jawa, kota yang saat ini ia singgahi. Juga Kalimantan tempat dimana ia lahir dan dibesarkan. Usianya yang menginjak 17 tahun tidak menjadikan ia ragu untuk berkunjung di pulau padi ini. Namun ia salah, ia tak hanya berkunjung. Sudah 3 tahun sejak ia melarikan diri dengan embel–embel penyembuhan dari luka masa lalu sebab ditinggal oleh kedua orang tuanya. Hazi saat

ini tinggal di sebuah kosan mewah, ia membiayai hidupnya hanya dari peninggalan ayah juga bundanya.

Dia memiliki banyak teman disini, dan mulai belajar cara berbicara Bahasa Jawa yang khas terucap oleh masyarakat ibu kota Jawa Timur. Ya, dia berada di Kota Surabaya. Katanya Jawa Barat dan sekitarnya sudah padat, jadi ia pergi ke kutub sebaliknya. Terserah apa kata Hazi, dia bahagia disini. Bertemu Jemi, Juan, Rendi bukan sebuah kesengajaan. Mereka bertemu di Stasiun saat itu.

2017

Hazi pertama kali menapakkan kakinya dengan semangat setelah turun dari keretanya. Jujur, ia sangat bingung sekarang harus kemana. Ia memutuskan untuk duduk di kursi dekat peron, mengeluarkan gitar dan menyanyi, ia memang hobi bernyanyi dan bermain gitar. Saat tiba–tiba seseorang datang dengan senyumannya dan berkata dengan santai “Mas, mbok ya topinya deleh isor ngunu iku. Biar dapet uang,” ujarnya. Hazi lantas memandang orang itu dengan tatapan yang seakan berkata ‘Dia siapa sih? Ngomong apa?’ Orang tersebut kemudian tertawa “Mase ngamen kan?” Sontak terkejut, Hazi bangkit “Maksudnya, kamu anggap saya pengamen? Ngga sopan tau,” Hazi

menggerutu sebal sedangkan orang di depannya tetap tersenyum hingga matanya menyipit.

“Oh, masnya ini bukan orang Jawa ya? By the way, aku Juan,” kata Juan dengan kekehan yang dianggap sangat mengganggu oleh Hazi.

“Iya, bukan. Sok kenal banget sih kamu? Namaku Hazi.”

“Ya ini kan kenalan toh mas, kok sensi banget sih,” Juan masih setia dengan cengiran khasnya.

Setelah perkenalan singkat yang aneh bagi Hazi, mereka saling bertukar cerita di bangku yang sebelumnya hanya ditempati oleh Hazi. Dari sana, mereka entah bagaimana mereka akrab. Hebatnya lagi, Juan merupakan seorang anak dari pengusaha sukses, seperti mendiang ayahnya, namun untuk sekarang Juan tinggal di kosan seorang diri. Beruntung sekali Hazi mendapat tempat tinggal untuk sementara di kosan Juan, tentu ia akan memakai kamarnya sendiri. Ia menyewa sebuah kamar di kosan tersebut untuk sementara tinggal. Selama berada di kota ini, Hazi telah menjalin sebuah hubungan dengan seorang perempuan, Natasha namanya. Sudah sering diperingatkan bahwa hubungan itu tidak baik untuknya, Hazi tetap acuh dan melanjutkannya.

Memang hubungan mereka sangat salah, dimana dalam agama Hazi, hubungan seperti itu dilarang. Mereka adalah dua insan yang berbeda kepercayaan, kalau mendengar kata Rendi kala itu “Heh, Hazi. Natasha iku kaya si Jemi loh, mana anaknya blangsak kaya gitu. Ngga baik buat kamu.” Namun Hazi tetap Hazi.

Bisa dihitung jari pula berapa kali ia melaksanakan kewajiban sehari–hari seorang muslim, yaitu sholat. Itupun harus dengan dorongan yang diberikan oleh Rendi, Jemi, atau Juan yang mana mereka memiliki kepercayaan yang berbeda dengan Hazi. Rendi yang cerewet itu beragama Buddha, sedangkan Jemi yang sama dengan gadisnya beragama Protestan, serta Juan yang menganut Katholik. Toleransi mereka besar, tak segan mengingatkan ibadah yang wajib untuk satu dengan yang lain. Namun teman baru mereka bebal sekali.

2021

Hazi dengan keadaan kacaunya tengah berbaring di sofa, sedang meracau akibat semalam ia meminum minuman haram yang katanya memiliki kekuatan magis untuk membuatnya lupa pada masalahnya. Tiba–tiba Hazi dikejutkan oleh

seseorang berawak kecil yang merupakan temannya yang nampak seperti musuh, Rendi.

"Hazi, tobat ga? Dasar manusia ora eling Tuhannya, mentang-mentang kaya tanpa usaha." Ujar Rendi dengan ekspresi jengah.

“Apasih, Ko? Ganggu mulu kerjaanmu iku.”

Hazi kesal melempari Rendi yang memang dipanggil dengan sebutan Koko oleh temantemannya itu dengan bantal.

“Zi, ga niat tobat? Kamu dah keterlaluan gini nyimpangnya. Sholat ngga dilakoni, ibadah lainpun ngga. Malah hobi maksiat, kasian ayah bundamu, masa anaknya bangor koyo ngene?”

Sebenarnya, Hazi sudah muak mendengar celotehan temannya yang paling cerewet tersebut. Ia juga sudah lelah melakukan segala hal yang dikiranya menyenangkan, padahal ia tidak merasakan kesenangan apapun ketika menjalaninya. Rasanya hampa, begitu cara dia mendeskripsikan apa yang selama ini ia rasakan. Namun, beberapa hari belakangan ia mendapatkan mimpi. Mimpi yang semula ia sepelekan, namun mimpi tersebut nyatanya berulang hingga membuatnya merasa tertekan. Juga, sebenarnya ia mabuk karena ingin menghilangkan mimpi itu. Usahanya gagal, semalam mimpinya tetap sama.

“Ko, panggilin Jemi. Aku pengen cerita sama dia,” Hazi memukul pelan lengan Rendi.

“Karo aku wae ceritanya kenapa sih?” Rendi melihat Hazi tertawa kecil lalu mendapat jawaban “Awakmu cerewet ko, nanti aku ga fokus ceritanya.” Rendi mendengus kecil lalu pergi memanggil partner Hazi untuk bercerita.

Jemi memasuki ruang tamu dengan muka datarnya. Ia memperhatikan sesosok temannya itu terlebih dahulu. Benar-benar kacau dengan kaos putihnya yang lusuh, celana jeans yang dipotong setiap sisinya, serta rambut yang nampak berantakan tentunya.

“Jemi, sini.” Ah, ternyata kawan kesayangan Jemi sudah sadar bahwa ia diperhatikan sejak 2 menit lalu.

“Apa? Males aku krungu curhatan ngga penting,” Hazi tertawa renyah namun dengan segera merubah ekspresinya menjadi serius kembali.

“Je, pernah mimpi aneh ngga sih?”

“Mimpi ya aneh lah, namanya aja mimpi.” Jemi menyela dengan raut herannya. Ia mengira bahwa Hazi akan menceritakan hal-hal random juga seperti biasanya. Kalau kata Juan “Ceritanya Hazi tuh ngga bermutu.”

“Serius, Jemi.” Sekarang atmosfer yang terasa di ruang tamu kosan tersebut menjadi serius kala Hazi merendahkan nada suaranya.

Hazi kemudian bangun dari posisi tidurnya, mengambil segelas air di mejayang tadi sempat dibawakan oleh Rendi, lalu meminumnya seteguk. Ia tampak menyamankan dirinya di sofa dengan melihat sosok Jemi yang tampak kebingungan di hadapannya.

“Aku mimpi semalem. Mimpi ketemu sama orang. Dia perempuan, pakai hijab putih. Pas aku coba deketin dia, dia langsung pergi. Disitu dia ninggalin sesuatu, Je. Kotak warna biru, kotaknya antik. Aku ngga berani buka kotaknya, tapi yakin isinya seuatu yang berharga sih, Je. Menurutmu gimana?” Hazi membeberkan cerita singkatnya pada Jemi yang memperhatikan setiap ucapan yang keluar dari lisan temannya itu.

“Siapa?” Jemi bertanya tentang perempuan tersebut, namun Hazi hanya menghela napasnya lalu menggeleng pelan.

Satu minggu setelah acara mabuknya, Hazi sontak bagai kerasukan berubah. Entah mengapa, ia memiliki perasaan yang kuat atas mimpi yang ia

alami beberapa hari belakangan ini. Jika mengira ia akan merubah diri dengan menjauh dari kemaksiatan, tentu saja salah. Ini sudah larut malam, Hazi sekarang nampak berada di emperan sebuah toko yang telah tutup, lengkap dengan jaket jeans kesayangannya juga penampilannya yang beberapa hari seperti orang gila seperti kata Juan.

Hazi merasakan hampa. Ia bermimpi sesuatu yang sama setiap harinya, hingga ia rasa ia sudah gila saat ini. Ia merasakan semilir angina sepoisepoi yang dihasilkan oleh udara dingin malam ini. Ia sudah lama tidak melepaskan pikirannya. Sebenarnya Hazi melakukan segala penyimpangan itu ada penyebabnya. Tentu saja, hazi merasa Allah tidak adil, Tuhannya terebut mengambil kedua orang tuanya secara bersamaan. Kehidupannya berubah sejak kehilangan orang terkasihnya. Dengan tekad itu pula ia memutuskan untuk pergi dari kampung halamannya dengan dalih bersenangsenang juga melampiaskan kesedihan yang saat itu ia rasakan seorang diri.

Hazi melamun cukup lama hingga ia meraakan suhu dingin dan lembap di pipi kirinya. Seseorang rupanya menempelkan kaleng minuman dingin pada pipi gambulnya. Sosok tersebut hanya diam sembari membuat gesture akan memberikan Hazi minuman yang ternyata kopi dingin tersebut. Lantas orang tersebut tidak pergi dan malah duduk

di samping Hazi dengan meneguk minuman yang sama. Kemudian orang tersebut mulai berbicara pada Hazi.

“Sampeyan lapo, Mas?” Ucap seseorang itu tanpa menoleh.

“Gapapa.” Hazi menjawab pertanyaan tersebut dengan tanpa gairah juga tidak bersemangat.

“Ya ngga mungkin toh. Wong kelihatan sekali kalau lagi stress. Tapi ngga sampe depresi, to?”

“Sembarangan banget. Ngga lah,” Hazi kemudian tertawa kecil.

“Putus cinta?” Sontak mata hazi terbelalak atas pertanyaan dari sosok yang belum ia kenal tersebut.

Hazi sudah lama sekali tidak menghubungi Natasha. Ia seakan lupa bahwa ia memiliki hubungan yang bisa dianggap spesial dengan seorang gadis. Jika dihitung, sudah 2 minggu lamanya ia tidak bersua dengan gadis yang merupakan kekasihnya itu. Ia lalu menoleh pada orang asing yang berada di sampingnya.

“Ngga ada acara putus cinta. Tapi makasih, masnya bikin inget aja sama pacar.”

“Jadi kenapa? Btw, namaku iki Tama.” Orang tersebut akhirnya mengenalkan dirinya dengan cengiran lebar.

“Oh Mas Tama,” Hazi mengangguk pelan lalu meneguk kopi kaleng yang ada di tangannya.

“Sampeyan kenopo? Galau?” Tama mengulangi pertanyaan yang belum dijawab oleh Hazi.

Hazi menghela napas berat. Ia merasa membutuhkan sandaran saat ini. Semuanya mendadak menjadikan dirinya melankolis. Sejak adanya mimpi aneh tersebut, ia sering kali teringat pada masa lalunya. Hazi kecil merupakan sosok anak yang ceria, baik, juga taat dengan agamanya. Hazi merupakan seorang putra tunggal dari pasangan religius, tidak heran jika Hazi diajarkan untuk selalu taat pada agamanya, yaitu Islam oleh kedua orang tuanya. Namun, sejak kedua orang tuanya tiada, jalan pikiran Hazi yang cerah tertutup dengan perasaan marah, sedih, dan gelisah setiap waktu. Perubahan keadaan yang terlalu tiba-tiba juga turut merubah suasana hati dan pikiran seorang Hazi yang saat itu sedang ada dalam fase labil pada remaja. Sekian lama ia berubah, pada akhirnya ia juga merasa lelah dan hampa. Saat ini adalah fase dimana ia merasa kosong, ia merasa ada yang salah dalam dirinya. Tentu saja berkat tekanan yang datang dari segala sisi terutama dari

sosok cerewet Rendi juga mimpi anehnya belakangan ini.

Mereka berdua masih sama-sama diam. Hening menikmati pikiran mereka maisng-masing. Hingga atmosfer tersebut berubah ketika Hazi menceritakan bagaimana ia sampai disini, perjalanan panjang yang ia lewati selama 3 tahun, tentang sosok Natasha, juga yang terakhir adalah mimpi aneh yang mengganggunya. tama menyimak dengan baik apa yang Hazi ceritakan selama 45 menit.Tama tidak berniat menyela karena ia tahu bahwa Hazi butuh mengeluarkan apa yang ada di pikirannya saat ini.

“Tujuan awalmu kesini apa, Zi?”

Hazi mengernyitkan dahinya. Ia sama sekali tidak merespon atas pertanyaan dari Tama. Ia tidak paham dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Tama. Bukan, bukannya tidak memahami pertanyaan tersebut, ia sekarang tidak tahu apa tujuannya kemari, pergi ke kota ini. Pada awalnya, ia mungkin bertujuan untuk melupakan semua kesedihan dan penderitaan yang ia alami lantaran ia ditinggalkan sendirian. Namun, setelah 3 tahun ini ia baru menyadari bahwa ia tidak memiliki tujuan pasti. Ia kemari dengan perasaan kacau, ia tidak melanjutkan pendidikan lalu hanya bersenangsenang dengan harta peninggalan orang tuanya.

Untung saja, selama 3 tahun belakangan ia dapat bertahan hidup, akhir-akhir inipun ia juga merasa kekurangan harta karena lama-kelamaan harta akan habis. Ia baru menyadari bahwa dia telah hilang arah saat ini.

“Ngga punya tujuan ya? Sebenarnya keputusan awalmu itu udah ngga benar, Zi. Orang iku kalau buat keputusan pas kacau yo ngunu iku. Kacau, Zi. Kacau.” Tama berujar sambil sedikit terkekeh.

“Jadi manusia itu kudu liat peluang, liat jalan hidupnya bakal kaya apa. Manusia kan emang ngga tau takdir mau bawa dia kemana. Sekali manusia itu ambil keputusan, disitu juga awalnya. Awal yang harus dia terima juga perjalanan sama akhirnya nanti. Kalau sekarang kamu cuma diem aja, cuma nyesel yo percuma. Kamu isih labil, isih bocah kan pas rene? Saiki wes gede.Wes ngerti. Mimpimu itu bisa jadi petunjuk kalau kata aku. Jadi rencanamu kedepan gimana?” Hazi diam sambil berusaha mencerna perkataan yang diucapkan Tama.

Hazi menyesal sekarang. Tapi ia tidak tahu bagaimana cara memperbaiki takdirnya saat ini. Satu mimpi berhasil merusak suasana hatinya. Nyatanya mimpi tersebut adalah sebuah guncangan besar bagi jiwanya. Ia merasa penasaran, sungguh.

Mimpi tersebut menggantung dalam pikirannya, namun tidak pernah selesai. Ia selalu bangun saat perempuan dalam mimpinya beranjak pergi dengan meninggalkan sebuah kotak antiknya.

Sekarang ia berada disini dengan orang asing yang sudah mengetahui cerita hidupnya. ia saat ini kehilangan semangat hidupnya, istilah yang tepat adalah kehilangan jiwanya. Lantas tak lama, air matanya perlahan jatuh. Ia menangis, entah menangisi apa. ia merasa sedih, teringat masa lalunya yang bahagia, juga meratapi nasibnya bertahan hidup seorang diri disini tanpa ada tujuan. Ia juga baru merasa beruntung dan bersyukur memiliki teman-teman seperti Juan, Rendi, dan Jemi. Mereka bertiga sering menegurnya bila melakukan hal yang dilarang oleh agamanya. Hazi baru sadar jika teman-temannya itu menyayanginya dengan bentuk seperti itu. Saat ini juga mungkin mereka khawatir karena Hazi belum kembali ke kosan mereka.

Tama dengan rasa tak teganya merengkuh Hazi, ia merasa remaja di hadapannya ini sangat rapuh. Karena itu pula, ia menghampiri Hazi dan memang berniat untuk mendengarkan keluh kesahnya.

“Wes gapopo, Zi. Semua itu takdirnya Allah. Kamu disini juga karena Allah. Mungkin Allah

pengen naikin derajatmu, makannya dikasih ujian kaya gitu.” Tama berusaha untuk menenangkan Hazi sebisanya.

“Tapi, Allah itu ga adil sama saya. Pas saya seneng, semuanya dibalik. Makannya saya berbuat maksiat seperti itu,” Hazi masih sedikit merasa sesak setelah menangis saat mengatakan itu.

Tama kemudian hanya tersenyum mendengar ucapan yang keluar dari lisan Hazi. Ia rasa perasaan seperti itu wajar dimiliki oleh Hazi. Ia adalah sosok yang belum tau makna hidupnya sendiri. Ia juga kehilangan sesuatu yang besar pada masa pencarian jati dirinya, wajar jika ia tak mengerti maksud Sang Maha Kuasa. Oleh karena itu, Tama hanya berusaha memberikan pengertian kecil pada Hazi. Hidupnya memang berat, tapi Tama yakin sebentar lagi Hazi akan menemukan jati dirinya yang sebenarnya Hazi berusaha untuk mendapatkannya tanpa ia sadari.

Hazi saat ini berhadapan dengan sebuah kotak biru. Kali ini, ia tidak bertemu dengan sosok perempuan seperti sebelumnya, ia juga merasa aneh karena mimpi kali ini berbeda. Ia kemudian berjongkok lalu berusaha untuk meraih kotak tersebut. tetapi tiba-tiba ada tangan lain yang meraih kotaknya. Tangan tersebut membuatnya

terkejut tentu saja, dari awal sama sekali tidak ada orang lain. Ia masih belum berani untuk menatap sosok tersebut, tangannya juga masih berada di atas kotak itu. Namun ebuah suara lembut berhasil menghancurkan fokusnya, “Hazi, lihat Ummi.” Tangan Hazi bergetar mendengar suara tersebut, itu suara yang ia rindukan selama ini. “Ummi?” Hazi kemudian mencoba untuk meluruskan pandangannya, itu adalah sosok ibunya. Perempuan yang selama ini ada dalam mimpinya adalah orang yang membawanya ke dunia.

Saat Hazi menatap Ummi, ia langsung menangis. Ibunya terlihat sangat cantik dengan balutan hijab putih bersih. Ia lantas memeluk ibunya yang berada di hadapannya sekarang. ia sama sekali tidak menyangka bahwa selama ini ia telah bertemu dengan orang yang paling ia rindukan.

“Nak, gimana kabarnya?” Ummi bertanya dengan nada yang terdengar lembut.

“Hazi ngga baik, Ummi. Hazi ngga patuh, Hazi banyak bawa dosa. Hazi menyesal. Menyesal,” Hazi membalas pertanyaan Umi dengan suara yang bergetar penuh nada penyesalan.

Umm hanya diam, ia seperti membiarkan anaknya itu melepas rindu dan mengadu padanya. Hingga ia melepaskan pelukan tersebut. Hazi

menatap Umminya, hingga ia merasakan tangannya diusap lembut kemudian ia diberi kotak yang selama ini menghantuinya.

“Ini buat kamu, Hazi. kenapa ngga diambil?” Ummi bertanya sembari terkekeh.

“Hazi ngga tau. Hazi lebih penasaran sama Ummi, kenapa Ummi pergi terus? Hazi aja ngga tahu kalau itu Ummi. Terus, Abi kemana?” Hazi menjawab pertanyaan tersebut sembari menanyakan hal yang lain pada sosok ibunya.

“Ummi pengen kamu kejar Ummi, tapi kamu selalu diam. Kalau Abi, dia di tempat yang aman kok. Abi sama Ummi cuma berharap dapat doa dari Hazi.” Ucapan Ummi berhasil membuat Hazi kembali menangis.

Hazi menerima kotak tersebut, lalu membukanya perlahan. Kotak itu kosong, hanya berisi sebuah kertas lusuh tanpa ada tulisan apapun. Ia kemudian menatap ibunya, bermaksud untuk bertanya lewat tatapan matanya. Namun, ibunya hanya tersenyum lalu berdiri lalu berkata “Assalamu’alaikum, anak Ummi.” Ibunya lalu melangkah. Sosok itu meninggalkannya lagi. Tetapi Hazi lega, ia sudah merasa jika mimpi ini tidak akan datang kembali padanya.

Hazi terbangun di atas kasurnya. Ia kemudian melihat sekelilingnya. Ia masih tidak percaya siapa yang baru saja ia temui dalam mimpi aneh yang selama ini mengganggu hari-harinya. Tak lama kemudian, sosok Jemi masuk berniat membangunkan Hazi untuk menunaikan sholat shubuh. Jemi kemudian heran melihat Hazi yang sudah bangun.

“Tumben, Zi?” Jemi sepertinya menyindir Hazi yang selalu susah dibangunkan untuk sholat shubuh. Namun, Hazi tidak merespon dan malah tersenyum padanya.

“Jemi, nanti antar aku ke Natasha. Aku mau putus. Aku ngga bisa terus koyo ngene, Je.” Hazi beranjak dari ranjangnya menuju kamar mandi dengan raut yang sulit ditebak lalu meninggalkan Jemi dengan raut kebingungannya. kemudian tak sadar, Jemi tersenyum karena sepertinya sahabatnya satu itu sudah berubah. Tentu saja, berubah menjadi lebih baik.

TAMAT

This article is from: