
7 minute read
Lanyard Tanda Kelemahan
Ilusi 11
Suasana jalanan pagi sangat membuat sesak bagi pernapasan maupun kesabaran. Semua ingin cepat sampai tanpa memperhatikan keamanan sekitar. Mengendarai kendaraan yang tak mengenal aturan adalah kebiasaan orang - orang yang menyianyiakan waktu berharga. Namun, ada satu orang yang tengah bersantai di ruangan kantornya. Ia sepertinya bukan pegawai penting, terlihat dari tali lanyard yang ia pakai. Warna orange yang dalam aturan perusahaan itu adalah pegawai dengan posisi rendah.
Advertisement
“Sepertinya aku harus merasakan kesejukan kantor di pagi hari sendirian terus.”
Ia memandang jam tangan yang dipakainya masih menunjukan jam setengah tujuh pagi. Padahal jam masuk kantor adalah jam delapan pagi. “Kopi dan kertas di pagi hari memang bukan perpaduan bagus…” Ia sepertinya memberikan kesan kesal dengan intonasi menyenangkan, terlihat dari raut mukanya yang sangat bahagia.
Pegawai lainnya mulai berdatangan, mereka saling menyapa. Tapi, pria itu hanya memandang dan tak pernah menjawab salam dari pegawai lain. Bukan sombong, ia hanya tidak disapa oleh orang orang sini. Hanya satu - mungkin teman - pria yang mempunyai tali lanyard warna sama.
Pria itu tetap dengan pendiriannya. Setiap hari berangkat pagi dan masih belum dianggap ada oleh orang - orang sekitar. Pekerjaan yang ia lakukan memang hanya mengerjakan suatu hal di depan layar dan mencetak dokumen yang nantinya ia letakan di atas meja atasannya. Terlihat mudah, tapi ia selalu pulang hampir jam delapan malam setiap harinya - ya dia berangkat pagi untuk pulang malam hari - “Kapan gue bisa naik pangkat.” Suatu ketika saat kebosanan yang mungkin dia alami karena selalu diperlakukan semena - mena oleh semua orang di kantor. Termasuk temannya yang sama - sama memakai tali lanyard warna orange.
“Heh bagaimana mungkin dia berbuat keji seperti itu.” Suatu hari di pantry kantor divisinya pegawai perempuan berkumpul seperti mendapatkan emas sebagai bahan obrolan. “Aku tiap hari selalu memperhatikan gerak - geriknya. Sampai aku menemukan berita itu.” Tambahnya.
Crrrtttt….
Suara pintu pantry itu membuat semua orang di dalamnya langsung menunduk, seperti ketakukan. Ternyata kepala divisi datang. “Bukannya kerja, malah gosip. Kalian di sini mau ngapain sebenarnya hah!!!” Teriakan itu membuat semua orang dalam ruangan divisi mendadak menghentikan pekerjaannya. Tidak menunggu lama, perempuan yang membawa gosip ke kantor maju dan meminta maaf.
“Maaf, Bu. Kami tidak akan mengulanginya
lagi.”
“Cih…” Jawaban menyakitkan yang pernah didengar oleh perempuan itu. “Gue kalo jadi lo, Sa, udah gue jambak rambut dia.” “Bisa - bisanya dia memperlakukan lo kaya
gitu.”
“Ya gimana dia baru diangkat jadi kepala divisi aja langsung belagu.”
Percakapan tiga perempuan di pantry itu berlanjut saat merek pulang kantor. Selalu ada hal yang harus manusia keluarkan, baik kejadian buruk atau baik. Seperti tiga perempuan itu, mereka memilih jalan mengeluarkan keresahan dengan membicarakan orang lain.
“Halo, Sasa.” Ditengah perjalanan pulang mereka dihadang oleh seorang perempuan yang sepertinya sangat sedang butuh pertolongan. “Nana? Kenapa kamu sangat… berantakan?” Sasa yang sepertinya kaget melihat seseorang yang ia kenali memakai pakaian sangat kacau. Kemeja kantornya tidak teratur, rambut acak dan wajah yang penuh dengan lebam. Ia langsung mengajaknya pulang terlebih dulu dan membatalkan janji bermain dengan kedua temannya.
diri…” “Sa, gue takut masa depan gue…” “Minum dulu terus napas, tenangkan
Setelah dirasa tenang, Sasa menanyakan kembali apa yang temannya alami. Nana dengan gagap menceritakan sesaat pulang kantor ia berniat untuk melewati jalanan kecil ke arah kostnya karena harus mengambil pakaian yang ia laundrykan di arah jalan itu. “Terus terus…” Ketidaksabaran Sasa membuat temannya menangis. “Ih kenapa, sorry banget gue jahat ya?” Pertanyaan Sasa dijawab dengan gelengan kepala dan, “Gue masih takut, Sa…”
“Kenapa gue harus diikuti seseorang. Dia menjerat aku ke suatu tempat. Omongannya sangat aneh.”
“Ngomong apa dia emang, dia minta duit?” “Nggak! Dia bilang….” “Cepet bilang apa?” “Dia tuh menyebut nama kamu terus!”
Sasa yang ikutan ketakutan tetap dengan sikapnya tegar untuk mencoba membantu temannya. Tapi keingintahuan Sasa membuat ia makin takut, sebab cerita dari Nana. Laki - laki yang menculik Nana ingin Sasa yang menggantikannya. Kalau tidak, Nana akan dibunuh olehnya. Bayangan itu selalu dipikirkan Sasa setiap hari hingga tepat pada hari kedua setelah kejadian menimpa Nana, ia sepertinya diawasi seseorang mulai dari keluar kostnya sampai di kantor. Tapi ia tak tau siapa orang itu. Ia hanya memantau dari jauh, tapi kenapa pria itu bisa masuk ke dalam kantor. “Sa…kamu harus fokus, gapapa itu halusinasimu aja.” Sasa terus mengucapkan kalimat - kalimat itu sampai tak terhitung berapa kali membuat mulutnya komat kamit.
“Sa gue anterin lo pulang ya, kayanya lo demam.” Salah seorang temannya mencoba untuk menawarkan bantuan. Tapi Sasa menolaknya. Ia menghabiskan waktu dengan kekhawatirannya hingga waktu pulang kantor.
“Gue pusing banget…”
Dalam perjalanan ia berjalan seperti orang mabuk. Memang buah akan jatuh saat waktunya. Bantuan langsung datang saat Sasa hendak terjatuh di jalan. Seorang pria itu menawarkan bantuan tapi masih dengan pegangan kuat yang dimiliki Sasa, ia menolaknya. “Udah deh gue bisa sendiri!” Intonasi tinggi itu membuat pria yang kemungkinan sedang berbaik hati terluka hatinya. Ia langsung meninggalkan Sasa tanpa memberikan salam.
“Mah… mah… Sasa, Mah….” Dalam panggilan itu, seorang anak mengadu kepada ibunya sesaat setelah mendapati kabar buruk bahwa temannya tergeletak lemas tak berdaya di kamar kostnya. Di sore hari saat Nana hendak memberitahukan bahwa pria itu datang lagi menagih janji agar cepat membawakan Sasa, ia terbujur ke tanah melihat suasana depan kostan Sasa penuh dengan orang dan polisi.
“Pak, Bu ini siapa yang meninggal?” Suara seseorang yang sama paniknya memandang ada kain putih yang diangkat oleh pihak ambulance. “Itu… yang kerja kantor samping jalanan Haryati itu.”
“Oh…Mbak Sasa?” “Iya! Mbak e yang cantik itu.”
“Sayang banget, Bu, anak cantik baik meninggal gitu.” “Kalo baik mah ga bakal bunuh diri, Pak.”
Bisa - bisanya seorang yang sudah meninggal masih tetap dijadikan bahan gosip. Amal dan perlakuan selama hidup akan selalu dibawa hingga mati. Kadang seseorang hanya hidup tanpa memandang seseorang, baik hati atau fisik. Mereka hanya akan keluarkan ego untuk memenuhi keinginannya. Sekalipun bergosip sebagai alat mengungkapkan ego mereka yang terluka ataupun hanya ingin mengajak orang lain untuk membenci.
Sasa dimakamkan di kampungnya. Nana ikut serta dalam pemakaman itu. Kehidupan mewah di kota besar ternyata berbeda dengan kehidupan orang tuanya. Semua tetangga dan kerabat ikut serta menghakimi bahwa Sasa meninggal bunuh diri sebagai bentuk tidak bersyukur atas kenikmatan yang ia dapat.
Dilain pihak sepertinya ada orang yang berpesta dengan kematian Sasa. “Kamu berhutang banyak kepadaku.” “Ternyata kamu seorang pendendam juga, ya, hahaha.”
tertawa yang melengking itu sangat mengerikan. Bagaimana tidak seorang bawahan akhirnya dapat menduduki posisi tinggi dari hasil membunuh yang ia lakukan. Pria dengan setelan jas itu sangat bebas sekarang, tak ada yang dapat memarahinya karena keterlambatan yang ia lakukan.
“Lihatlah orang di sana. Tidak pernah melakukan hal yang membanggakan kenapa ia bisa duduk di bangku yang diidamkan banyak orang. Ruangan yang dimasuki pria dengan tertawa lengkingan itu adalah ruangan wakil kepala divisi. “Kasian Sasa. Dia berusaha keras tapi harus tersingkirkan dengan gampang oleh laki - laki yang tak pernah punya muka.”
Semua orang dalam kantor ini jika dipikir memang sangat bodoh. Kenapa sangat mudah untuk dicuci pikirannya. Kepala divisi menenangkan kejadian kematian partner kerjanya hanya dengan, “Tak apa. Lanjutkan pekerjaan kalian. Posisi Sasa sudah digantikan oleh Pak Hendri.”
Perkenalan Hendri dengan tali lanyard orange adalah penyebab semua orang merendahkannya. Memang betul, banyak pegawai disini yang lebih mumpuni untuk maju
mendapatkan posisi Sasa. Kebetulan semua orang bodoh, tidak mengecek keganjilan kedekatan seorang pegawai bawahan dengan Kepala Divisi semenjak sebelum Sasa meninggal.
itu.” “Bu, tolong bantu untuk menutupi kejadian
“Tentu saja sayangku. Aku tidak akan menembak diriku sendiri.”
Suatu hari percakapan Hendri dan Kepala Divisi terdengar oleh salah satu teman dekat Sasa. Ia kali ini tidak menjadi seorang yang bodoh. Keinginan mencari tahu sebab Sasa meninggal berawal dari kejadian Sasa yang merasa khawatir dan selalu melihat ke arah tempat duduk Hendri sebelum naik pangkat. “Tentu, ini masih ada sangkut pautnya. Dia meninggal setelah seharian dia ketakukan.” Tapi dia tak melihat gerak - gerik Hendri memantau Sasa.
Telinga Tasya yang mencoba mendengarkan percakapan itu tiba - tiba dikagetkan dengan tangan yang memegang bahunya. “Astaga.” Mata Hendri dan Kepala Divisi itu langsung beralih pada sumber suara yang ditimbulkan oleh Tasya. Untungnya tangan yang memegang bahu Tasya dengan sigap mengajak sembunyi dibalik lemari samping pintu ruangan Wakil Kepala.
“Kamu siapa?” Setelah situasi aman, mereka langsung beranjak ke ruangan yang sepi. Sepertinya Tasya sangat terkejut akibat perlakuan pegawai pria itu. “Halo, Bu… Saya Anton.”
“Ada apa kau mengajak diriku kesini?” “Aku hanya ingin menyampaikan pesan saja, Bu. Kalau ibu harus berhati - hati dengan Hendri.”
Tasya yang kebingungan tetap ingin memecahkan permasalahan itu. “Kalau boleh jujur, kamu tau apa soal Hendri?”
“Hahahaha, tentu aku tau. Mana mungkin seseorang akan tegar dicaci maki atas keterlambatan satu menit yang membuat dirinya tidak pernah dilirik orang lain?”
“Bu Sasa telah melukai Hendri. Bu Sasa telah memancing emosi Bu Kepala Divisi dengan menyebarkan rumor mereka melakukan hubungan di kantor.” Tasya mendengar penjelasan dari Anton serasa seperti patung yang membeku. Memang benar jangan pernah sekalipun memberikan pisau kepada orang gila.