
9 minute read
Batas Garis Kebebasan
Ilusi 7
Sebulan, tiga bulan, enam bulan, sembilan bulan, satu tahun berlalu dengan cepat. Tapi perasaan aku masih berpaku pada dirinya. Penyesalan telah meninggalkan mantan kekasih adalah sebuah kegiatan sia - sia. Suatu ketika, ada sebuah perkataan yang muncul disaat aku memandang langit, mensyukuri pemandangan biru dan putih yang jernih.
Advertisement
"Tuhan ini sepintar apa ya, kenapa pandai melukis keindahan seperti ini."
Tanpa sadar aku seperti memandang diriku yang kini telah bebas dari belenggu kehidupan yang katanya orang - orang adalah kesesatan. Hari itu aku berniat untuk pergi ke sebuah Perpustakaan Nasional di pusat Jakarta. Hendak mengerjakan sebuah tanggung jawab perkuliahan. Skripsi.
"Sulit juga harus mengubah style." Semua lemari pakaian aku berisi dengan pakaian warna warni dan pendek. Seperti outfit perempuan pada umumnya. "Sudah pas ini." 3 kata itu kujadikan pujian untuk diriku sendiri.
Hanya menempuh 10 menit jalan kaki ke Perpustakaan Nasional, tapi kenapa tubuh aku mengeluarkan keringat yang sangat banyak.
"Payah." kata diriku.
Padahal ya memang udara Jakarta dengan polusinya membuat semua orang akan merasa ingin segera turun hujan es untuk mendinginkan kepala dan badan di terik siang ini.
"Aduh kenapa panas banget sih, untung gue ga meleleh." Sesaat setelah masuk perpustakaan dengan udara yang segar dengan bau harum buku yang merebak di seluruh ruangan. Lantai 21 adalah sebuah pilihan tepat sebagai tempat mengerjakan tugas.
Tapi, bangku favoritku telah ditempati seorang perempuan berhijab yang terlihat sedang serius dengan IPad dan laptopnya. Aku meminta izin untuk duduk di depannya, tapi aku hanya mendapatkan anggukan dan ia tak menoleh ke arahku sebagai jawaban yang ia berikan. Seakan aku hanyalah bayangan yang tak tampak.
Diam - diam aku selalu mencuri pandang ke arahnya. Ia tampak manis dengan matanya selalu
tersenyum padahal ia hanya menatap lurus pada kerjaannya.
Sempat membaca salah satu judul buku yang ia pinjam. Seperti judul salah satu buku pegangan perkuliahanku. "Kakaknya anak bahasa?" Tanpa takut aku membuka percakapan dengannya.
Ia kembali mengangguk. Jawaban itu membuat pikiranku mengarah bahwa ia bisu. Oh my god kalau benar, aku sangat merasa bersalah. Hingga setelah saling diam, ia memberikan sebuah kertas berisi tulisan, "Semangat. Kamu pasti bisa." Perempuan itu kenapa seperti bisa membaca diriku dengan kepasrahan yang aku hadapi.
"Ah! Mungkin wajah gue kali ya yang keliatan melas banget!" Aku ingin mengucapkan terima kasih kepadanya, tapi mengapa ia langsung menghilangkan pikiran seperti seorang yang bisa teleportasi saja, anggap diriku.
Sudah 5 jam aku duduk dibangku ini, tak terasa hari mulai petang. Aku harus segera pulang untuk mengisi tenaga kembali. "Gak deh gue langsung pulang aja, pesan makanan online."
Salah satu pikiran yang selalu tampil terdepan disaat mengerjakan tugas adalah makanan.
'Hari ini masak apa ya?' 'Kira - kira di kulkas ada bahan makanan
apa?'
Di tengah perjalanan, aku harus berhenti karena mencium harum makanan yang terlihat sangat menggoda. Ujung mataku bukan hanya melihat sebuah makanan, tapi aku melihat perempuan perpustakan itu.
"Hai, maaf ya tadi sepertinya aku mengganggu kamu."
Perempuan perpustakan itu sepertinya sudah mengenali diriku, dia melemparkan senyum. Indah sekali. "Iya." Satu kata membuat jiwaku berbunga bunga.
Sehari, seminggu, sebulan, dua bulan kegiatan kita selalu bersama tiap sore rabu. Pergi ke perpustakaan. Ya, aku dengannya seperti sedang menempuh perjalanan panjang. Sempat mengobrol sepatah dua kata, tak banyak tapi membuat diriku bahagia walau sedetik.
Suatu hari, di bulan ketiga minggu pertama. Dia tidak terlihat, dalam perjalanan pulang pun aku tak menemui dirinya. "Ah mungkin ada urusan."
Hingga bulan - bulan berikutnya, ia masih tidak hadir di perpustakaan ini. "Oh dia udah lulus mungkin." Sebuah pernyataan yang tak ada landasan mencoba menghibur diriku dari mulut diriku sendiri.
Waktu telah berakhir, aku mendapatkan giliran untuk mengakhiri masa studi sarjana selama 4 tahun dengan predikat bagus. Beban terangkat seketika, tapi aku masih belum tau akan berjalan kemana setelah ini.
"Kirim email ke perusahaan apa lagi ya." Suatu hari saat lamaran pekerjaanku tak pernah mendapatkan jawaban. Melamun memandangi orang - orang di coffee shop dengan segala kesibukannya membuat aku iri. "Kapan ya gue bisa sibuk kerja juga."
Kalimat yang keluar dari mulut itu memang seperti doa dan harapan. Tiga hari setelah mengucapkan kalimat harapan itu, undangan datang melalui email, tertulis bahwa aku bisa lanjut ke tahap selanjutnya. Persiapan aku lakukan dengan matang dengan membaca semua buku, melihat video dengan judul, "Tips and Trick: Lolos Tahap Focus Groups Discussions", lucu memang tapi itu harus dikerjakan.
Sampai pada waktunya, aku sampai tepat waktu dengan pakaian yang sudah sopan dan rapi menurutku. Tapi…"Ini orang-orang kenapa ngelihat aku kaya orang aneh?!" Batinku memandang orang - orang tersebut.
Giliran aku dengan 4 orang lainnya masuk dalam ruangan tahap Focus Groups Discussions atau FGD. aku duduk di depan seorang perempuan yang sepertinya aku kenal dengannya. "Ah fokus!" Perempuan itu membuat pikiranku buyar.
Belum sempat keluar aku dipanggil salah satu pegawai disana. "Kau nih laki, kenapa harus pakai warna merah muda." Suara lantangnya membuat aku merinding. Memang benar, aku memakai setelan jas warna merah muda. Tapi apa salahnya seorang laki-laki harus memakai warna itu. “Dasar tidak tahu malu.” Intonasi pria itu mulai meninggi. “Sudah, Pak. Ga sopan.” Pegawai perempuan yang sedari tadi membuat aku tak fokus mencoba menenangkan pria bodoh yang ada di depanku. “Apa? Kau kata aku tak sopan? Kurang ajar!!!” Tangan pria itu yang sedari tadi mengepal tiba - tiba memukul pipi perempuan itu.
plak…
Suara nyaring dari pukulan kulit tangan pria dengan pipi halus pegawai perempuan membuat semua orang tertuju pada kami. “Waduh.” Suara salah satu pegawai yang menuju ke arah kami. Perempuan itu lari terbirit - birit seperti orang ingin menangis karena menahan malu. Tentu saja aku harus mengejar dia. “Karna gue jadi ribut gini.”
“Bu… Ibu…” Suara panggilanku tidak membuat dia berhenti. Dia hanya berlari ke arah keluar kantor dan sepertinya menuju tempat sepi untuk mengeluarkan kesedihannya. Memang sudah sepatutnya kesedihan dan kemarahan harus dikeluarkan, tidak harus mengenal tempat bagus atau seorang teman diposisi ini. Seseorang akan lebih membutuhkan waktu untuk bersedih dan marah, ya itulah waktu untuk memaki diri sendiri.
“Hm tamat riwayat gue gak bisa kerja di sini.” Hanya kalimat itu yang mampu aku keluarkan kali ini. “Dasar tak tahu diri.” Aku kembali mengucapkan kalimat makian untuk diri sendiri.
Dua bulan setelah kejadian itu, aku sepertinya takut untuk melamar pekerjaan kembali. Melihat seorang bawahan yang diperlakukan tanpa
belas kasih membuatku takut. “Aku pria pengecut ternyata.” Kesadaran diriku yang hari ini berkutik dengan layar laptop mengerjakan project dari perusahaan besar. Aku sekarang hanyalah pria dengan pekerjaan freelancer menulis konten promosi, mendesain untuk kebutuhan postingan suatu perusahaan, dan masih banyak lagi. Rasanya ingin hidup normal memang sangat sulit. Kegiatanku masih bersinggungan dengan masa laluku. mengerjakan tulisan persoalan kebebasan gender dan seksual memang sangat sulit. Tapi lebih sulit menjadi bagian dari kehidupan itu.
“Sudah lama aku tak menemuinya.” Rasa bosanku membuat keinginan melihat foto - foto lama, khususnya saat berfoto bersama dengan mantan kekasihku.
Sampai hari ini aku tidak bisa melupakan Brandon. Sudah banyak berkenalan dengan perempuan, tapi tak ada yang membuat aku melupakan mantanku. Hanya membuang waktu. batinku.
Hingga suatu hari aku mendapatkan pekerjaan di Bali, ya bekerja sambil liburan juga pikirku. Tepat hampir satu bulan aku di pulau indah ini, keinginan aku segera pulang memudar. Rasanya ingin selalu ada di sini, tenang. Kepenatan pekerjaan yang aku lakukan membuat aku jarang berkeliling untuk liburan adalah suatu alasan agar
aku bisa tinggal beberapa bulan ke depan di Bali. Laman Insagramku sekarang juga mendukung untuk berlibur, banyak postingan penawaran wisata alam.
“Silakan, Kak.” Suara manis dari waitress restoran yang baru aku kunjungi ini membuat keinginan berkenalan memuncak.
Tapi… mengapa waitress itu seperti kaget melihat diriku. Setelah memberikan makanan dan minuman yang aku pesan, ia langsung berlari ke arah dapur restoran tanpa menatap wajahku.
“Ah sudahlah, dimana - mana orang selalu takut dengan diriku.”
Memang tidak mengenal tempat orang akan selalu merasa bingung melihat seorang pria dengan dandanan perempuan. Aku terbiasa dengan make up. Kenapa orang seperti melihat hantu di siang bolong.
Aku yang merasa kurang nyaman dengan pelayanan itu membuat keinginan makanan lezat di hadapanku hilang. Tanpa menyentuh makanan itu, aku langsung membayar dan pergi.
“Bodoh juga aku kenapa masih memakai lipstik ini.” Sangat susah untuk memulai menjadi pria seutuhnya menurutku. Aku buru - buru menghapus riasan bibir, tak lama gawaiku berdering, “Perasaan gue lagi ga ada urusan kenapa ada telepon.” Oh ternyata itu hanyalah pesan direct
message dari akun seorang perempuan yang sepertinya aku mengenal dia. “Lha? ini kan waitress tadi. Kenapa dia tahu akunku?”
‘Halo, Kak Rian. Perkenalkan aku Farah, pegawai dari restoran yang Kak Rian datangi tadi sore. Niat aku menghubungi Kak Rian untuk mengajak bertemu agar permintaan maaf aku dapat tersampaikan dengan baik. Kalau berkenan, nanti akan aku informasikan tempat untuk pertemuannya.’
Begitulah isi pesan darinya. Tentu aku berat hati untuk bertemu orang asing, tapi sepertinya dia telah dimarahi oleh atasannya akibat perlakuan dia terhadapku.
Tepat pukul empat sore aku sudah ada ditempat yang Farah infokan. Di salah satu restoran kecil pinggir pantai. Hanya menunggu lima menit, Farah datang membawa banyak paperbag warna merah muda dan biru muda yang tak tahu barang apa yang ada disitu.
“Halo Kak…” Senyum lebarnya mengingatkan aku ke dua orang yang berbeda.
“Oh ya…Halo juga. Sepertinya kau terlambat hahaha…”
“Maaf, Kak…” Ia menunduk seperti orang ketakutan
“Eh…Tidak apa - apa. Aku hanya bercanda.”
Rambut pirangnya sangat cantik, sama halnya wajahnya seperti ukiran indah. Farah langsung berdiri saat seorang waiters menyajikan makanan, sepertinya insting dia sebagai waitress sudah tertanam. Bukannya duduk, ia malah memberikan paperbag yang sedari tadi aku perhatikan.
“Sebelumnya maaf kalau lancang, kak. Ini hadiah sebagai tanda minta maaf atas kelancangan yang aku buat kemarin di restoran.”
“Ah ya ampun, tak apa, aku hanya sedang merasa tidak pantas untuk diperhatikan sebagai orang normal…”
“Oh sorry, kenapa aku malah curhat.”
“Bukan tidak pantas, semua orang akan selalu punya hak untuk diperhatikan secara normal. Kemarin aku tidak berniat untuk melukai Kak Rian tentang hal itu. Aku sungguh paham, tapi kasus kemarin aku merasa kaget melihat kamu berada di sini.”
Aku merasa kaget saat Farah mengatakan itu. Ia seperti sudah bertemu denganku sangat lama.
“Tunggu…”
“Iya, Kak. Aku Farah, perempuan yang kau ajak bicara dan pegawai yang ditampar atasannya.”
Mukaku seperti orang yang kebingungan melihat kebetulan ini. Farah akhirnya bercerita tentang kehidupannya menjadi seorang mualaf tapi semua keluarga dan orang terdekatnya merasa dirugikan. Ia malu harus berpura - pura telah keluar dari Islam dengan memakai pakaian terbuka kembali. Sampai saat ini pun ia tetap tidak punya kebebasan dalam memakai pakaian yang tertutup dan menyatakan bahwa ia masih berada pada agama Islam. Tentu aku yang mendengarkannya sangat kasihan, seperti sedang berkaca mengenai penerimaan seseorang terhadap diri kita.
“Kau sepertiku, Kak Rian.”
“Aku melihat kamu sudah lama sebelum kita bertemu di perpustakaan. Kamu malu dengan masa lalumu. Aku pun malu dengan niatku masuk agama ini ternyata belum kuat. Aku ingin diterima tapi takut.”
Kalimat akhir seorang perjuangan seseorang terhadap penerimaan dari pandangan masyarakat adalah makanan keseharianku juga. Bagaimanapun aku pergi dari masa lalu, selalu ada orang atau momen yang menyakitkan datang untuk mengingatnya. “Mungkin, mulai dari diri kita untuk tidak malu dan takut adalah solusinya, Far”