
2 minute read
Tangan Untuk Meminta. Mulut Untuk Berdusta
Ilusi 10
Suara klakson yang tak pernah berhenti di persimpangan jalanan kota sudah tidak asing ditelingaku, mungkin orang lain juga. Sore yang penuh kebisingan membuat aku merindukan suara kicauan burung – burung, ayam berkokok, dan sapaan orang – orang di desa. Sudah lebih dari 5 tahun hidup di kota yang sesak ini, namun aku masih merindukan suasana kampung halaman.
Advertisement
Hanya gawai sebagai teman setia hidup di kota yang acap kali membuat kebosanan semakin meluap.
“Hari kok cepet banget sih.” Ucapku saat sampai di apartemen yang telahku beli 3 tahun yang lalu. Terdapat 3 ruangan yang sudah cukup luas untuk diriku yang selalu menyukai kesendirian. Tidak ada orang yang menggelegar memarahiku atau merisaukan jika aku ingin berdiam diri merupakan poin bagus tinggal di perkotaan. Selepas membersihkan tubuh, saatnya untuk melihat segala informasi hari yang berat ini.
Belum sempat membuka layar kunci gawaiku, muncul pemberitahuan telepon dari nomor yang tak ku kenal.
“Ya? Dengan siapa…” belum sempat menyelesaikan ucapanku terpotong dengan suara yang sedikit ku kenal berteriak meminta pertolongan. Aku terbujur kaku setelah mendengar berita itu, aku sudah lama tidak pulang kampung hampir
8 tahun membuat diriku seperti anak tak ada guna. Adikku menelepon setelah sekian lama tak pernah menyapa, Ibu, salah satu seseorang yang berharga di duniaku jatuh sakit sejak satu tahun lalu, ia sedang kritis. Sangat bodoh aku memutuskan hubungan dengan orang kampung karena permasalahan yang hebat menimpaku 8 tahun lalu. Tanpa basa basi, aku segera berangkat pulang ke desa untuk melihat keadaan ibu. Menempuh 7 jam perjalanan, aku hanya termenung mengingat nasih buruk yang sudah terkubur rapat kembali terbuka. Tak kuasa menahan tangis, mengingat kejinya orang – orang mengatakan buruk saat hendak mencari kehidupan di kota membuat aku enggan pulang. Rindu akan kampung tapi keganjalan dan dendam itu terus singgah di hati.
“Permisi, ibu… bapak?”
Suara yang dirasa sudah keras tetap tak menimbulkan sebuah jawabannya. Hanya angin yang berlalu lalang melihat diriku mengetuk pintu tanpa balasan.
Desa ini mulai sepi. Khas para tetangga yang yang selalu berlomba suara siapa yang paling keras pun sekarang tak terdengar.
Sekeliling rumah ini, aku melihat taman yang bagus dan asri berkat bunga yang seperti menyapa kedatanganku. Rindu sekali. Sudah 5 menit lebih berlalu, tidak ada orang yang keluar menyambutku.
Aku tanpa malu mencoba masuk rumah kecilku yang masih sama saja seperti 8 tahun lalu. Tetap tidak ada orang. Aku lekas pergi ke sawah bapak untuk melihat bagaimana keadaannya.
“Pak!”
Panggilku setelah melihat wajah tegasnya yang terlihat gagah di bawah sinar matahari. Namun, ia tak membalas, hanya melihat sekilas dan melanjutkan pekerjaannya. Aku hanya terpaku melihat bapak, tanpa mengetahui bahwa ada adikku yang berlari ke arahku.
“Mbak!” Aku menatap mata adik perempuanku yang terlihat manis.
“Mana Ibuk? Di rumah sakit mana?”
Adikku hanya terdiam tanpa menjawab kata apapun.
“Masa ya harus ngomong ibu meninggal atau sakit biar kamu pulang, nduk.” Terdengar suara Ibu dari belakang. Ia bugar tanpa cacat. Ia sehat. Adikku hanya tersenyum tanpa bersalah. Benar, harusnya aku yang merasa bersalah terlalu merasa sukses di kota dan melupakan keluarga.