7 minute read

Lingkaran Sialan

Ilusi 12

Pernah melihat diri kamu dengan dua wajah berbeda? Aku saat ini berada ditengah sebuah lingkaran wajah yang menentukan aku akan melangkan menjadi manusia seperti apa. Bawah kakiku hanyalah pantulan wajah dengan kesedihan dan kebahagiaan. Tentu aku akan memilih kebahagian. Hingga inilah aku. Kebiasaan tersenyum adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan, kata ibu. Beliau selalu bilang, “Kau laki laki termanis yang pernah aku temuin. Terima kasih sudah datang.”

Advertisement

“Kak, ayo main!” Aku mempunyai dua adik yang memiliki kepribadian masing - masing. Mungkin mereka di dunia sana sempat kebingungan melihat pantulan wajah saat akan dilahirkan di dunia. Hanya aku dan adik perempuanku, Nurani yang memilih kebahagiaan. Adik keduaku, Tata sepertinya memilih kesedihan, ia selalu murung tiap saat berkumpul atau berpapasan. Semua terasa pahit dimukanya. Padahal dia ahli dalam riasan tapi mengapa dia

tidak bisa menciptakan wajah serinya.

“Ta, besok kau jaga Rani, ya.” Ia hanya mengangguk “Ta, kau mau makan apa? Aku belikan.” Ia hanya bilang, “Terserah.” Tipikal cewek memang seperti itu. Bilang terserah tapi barang atau jasa yang dikasih hanya dianggurkan. Tak adfa belas kasihan.

Tapi, suatu hari saat aku sedang menjemur pakaian di rooftop aku meihat Tata diantar seorang perempuan dan mereka saling tertawa terbahakbahak. Sangat berbeda jika bersama kami. “Siapa tuh, kok ga diajak masuk?” Suaraku yang mendadak itu paling membuat Tata terkejut. Mukanya berubah secara drastis. Dari muka yang enak dipandang, langsung berubah tanpa pandang situasi. Ibu yang mungkin sudah terbiasa dengan hal itu selalu mengatakan, “Gapapa. Kepribadiannya.”

Ya apa salahnya untuk mengubah kepribadian. Bukannya kebiasaan yang sering dilakukan adalah asal kepribadian seseorang terbentk? Bukan hanya itu, Ibu selalu mengatakan, “Lagi puber dia.” Ya masa setiap hari, setiap waktu, haus selalu puber.

lain.” “Orang kok doyan urusin keperluan orang

“Emanganya apa hak dia mengatur aku. Hanya sebatas Kakak yang tak pernah punya pemikiran dewasa.”

Aku mendengar suara kesal yang disampaikan Tata saat ia aku beri nasehat karena dia tetap ingin diperbolehkan untuk pergi bermain bersama teman - temannya. “Apa salahnya seorang kakak memberikan nasihat, HAH!” Aku yang sudah muak dengan sikap Tata langsung mendobrak kamarnya. “Lo pikir udh dewasa? Dengan ninggalin mamah yang lagi sakit dan sendirian di rumah?” “Lha terus gue harus dikurung juga? Lo juga ga pernah mikir untuk diem di rumah!” Cekcok antara aku dan Tata membuat Rani menangis disudut ruang tamu itu. Ia terbangun mendengar kedua kakaknya beradu. “Kak Tata kenapa jahat ke kamu?” Pertanyaan yang tak tahu aku harus jawab apa. Posisiku memang salah mengatakan dia tak tahu diri, tapi ini untuk kebutuhannya. Melarang dia pergi ke acara party yang akan membuat dia terjerumus di hal yang buruk. Teriakanku sore itu tidak membuat Tata diam di kamarnya. Ia ternyata mencoba kabur dari

berbagai arah. Hingga menemukan jalan keluar. Jendela gudang ia gunakan sebagai pintu keluar. Aku hanya merasa kasihan dia mempunyai kepribadian dengan ego yang tinggi. Aku menyembunyikan perlakuan yang dilakukan Tata dari Ibu. “Gue harus kasih hukuman.” Sudah pukul 7 pagi, dia masih belum muncul di hadapanku. Telepon yang dimatikan itu membuat aku kembali berada di tengah pantulan wajah. Khawatir dan marah. Aku tak bisa memilih, disisi lain aku ingin memukulnya, disisi lain aku takut dia mengalami hal buruk di luar sana.

"Sayang, kamu kenapa?" "Lagi ada masalah, gapapa!"

Suatu ketika aku sedang pergi berdua bersama kekasihku untuk makan malam bersama. Pikiranku kacau masih dengan masalah 2 hari yang lalu. Aku akhirnya memilih untuk menjadi kakak pemarah.

"Aku menampar adikku."

Ditengah perjamuan makanan malam, Friska, kekasihku langsung tak berselera untuk makan. Ia membalikan garpu dan sendok. "Ada apa?" Aku mencoba untuk bertanya kenapa ia seperti merasa kaget.

"Tidak, aku sepertinya sudah kenyang."

"Hmmm? Makanannya ga enak?" "Enak-enak saja." "...Yang tak enak adalah… kau menyajikan makanan lain ditengah - tengah aku sedang menikmati makanan ini."

Napas panjang yang aku keluarkan tidak membuat dia takut. Egoku tergores mendengarkan jawaban kekasihku. 'Wah, memang benar lebih baik diam karena itu emas.' Dalam batinku yang seketika ingin menampar kekasihku tapi tak bisa, ini tempat umum.

Kalau tidak di tempat umum? Ya tentu aku akan menamparnya. Sama seperti aku menampar Tata. Jiwa priaku harus tetap tegak di depan khalayak umum. Hingga suatu saat Friska menelponku dan mengatakan bahwa ia tak ingin lagi bersamaku, "Kita putus ya, aku ga baik buat kamu."

Telepon itu membuat pekerjaan yang sedang aku jalani di Luar Negeri terpaksa banyak hancurnya. Semua orang marah dengan diriku. "KALAU KERJA YANG BENER! DIKIRA KAU KE SINI UNTUK MAIN?!" Suara dari atasanku berbarenga dengan tamparan yang hebat menambah amarahku memuncuk. Ingin aku pukul mulutnya, tapi jika ya aku akan mengalami dua hal. Lagi - lagi aku berada ditengah sebuah lingkaran berisi pantulan. Marah atau meminta maaf.

Kali ini aku memilih minta maaf. "Lo kalau ajak tarung si bos udahlah kelar masa depan." Omongan temanku benar adanya. Semua perusahaan lainnya tentu tidak akan pernah menerima karyawan sekalipun mau digaji rendah tapi punya tingkatan emosi tinggi.

Beribu percobaan untuk merayu Friska agar mau aku ajak kembali berpacaran tetap tidak ada hasil. Kesabaranku sudah diujung tanduk, aku tak pernah berpikir untuk menyelusup ke apartmentnya hingga saat ini aku mencoba untuk membuka ruangan itu. "Ada apa? Kenapa kau sepertinya gugup sekali?" Suara Friska yang ternyata sedang di luar ruangan. 'Sial, dia mengganti password kamarnya." "Fris, ayo kita balikan. Aku minta maaf… aku ga akan lakukan kesalahan lagi…" "Emang kau salah apa? Tau kesalahanmu?"

Pertanyaan Friska membuat aku berpikir ulang. Ya memang aku melakukan hal apa? Aku tak pernah selingkuh. Aku tak pernah bermain wanita lain. Aku tak pernah berbohong. Pikiran itu berputar abstrak seketika dalam benakku. "Hahaha kau tak salah, Bri. Aku yang salah. Aku punya cowo lain…"

Kalimat terakhir dia membuatku yang tadinya ingin sekali mengharap dia akan memaafkan aku, tapi aku yang harus memaafkannya.

Plak….

Tanganku yang sedari kemarin ingin menghajar semua orang dan akhirnya mendarat sebagai tamparan atas perbuatan Friska. Aku bahagia menampar dia. Friska dengan raut amarah tak membalas apapun. Ia berjalan ke dalam kamar. Hingga 6 bulan aku dan Friska tak pernah bertemu kembali.

Selama 6 bulan, aku masih menjadi pria dengan pilihan kebahagiaannya. Disetiap keadaan aku selalu tertawa dan senang, sampai semua orang sepertinya terlalu muak dengan hal itu. Tak ada yang bisa aku ajak bicara sekarang, teman kantor hanya menyapa lalu pergi, kadang acap kali mereka tak pernah memandang sekilas. 'Apa salahnya?'

"Aku pulang!"

Kepergian mamah tepat seminggu aku menampar Friska seperti sebagai hukuman. Di rumah hanya aku dan Nurani. Aku sering meninggalkan dia selepas mamah pergi untuk menghapus kesedihan tiap pulang tak ada suara, "Anak gantengku sudah pulang, ayo makan!"

"Kak, Bri! Aku di sekolah buat ini!" Rani yang sekarang sudah mulai sekolah selalu senang tiap kali aku pulang, menunjukan setiap hal yang ia lakukan disana. Syukurlah dia tidak harus merasa sedih.

Tata? Dia semakin liar. Aku sampai sudah lelah memberikan ia hukuman. Sekarang aku membebaskannya. Suatu hari, dia pulang dini hari dengan pakaian tak enak dipandang. Rok yang sangat pendek, belahan dada terlihat sangat jelas. Dan yah, bau alkohol yang sangat terasa dari tubuhnya. "Hah ini dia pahlawan nasional yang membanggakan! Kapan kau pulang? Tumben sekali." Omongan itu sepertinya memang sangat ingin dikeluarkan oleh Tata, dia melemparkan tas yang sedari tadi menghasut untuk dilempar ke mukaku akhirnya terjadi. Kali ini aku bukan menamparnya. Aku menyeret dia kearah belakang rumah, melilit tubuhnya dengan tali di sebuah pohon besar. "RASAKAN ITU."

Malam itu juga aku membawa Nurani yang sedang terlelap dan perlengkapan lainnya ke apartment yang baru aku beli. "Aku muak mengurusi anak kuranh ajar seperti dia." Dalam benakku, aku hanya akan membesarkan Nurani dengan hati - hati agar tidak seperti kakaknya.

Ya, bukan seperti kakaknya. Tapi dia mempunyai dua kakak. Apa yang aku maksud? Tata atau aku sendiri?

"Rani… ku dengar kamu dipecat dari pekerjaanmu?"

Dia seperti sedang asik bermain game di kamarnya. Kini ia sudah besar menjadi seorang pelajar SMA. Aku yang memilih untuk tidak menikah sekarang seperti menjadi seorang Bapak memakai tubuh seorang Kakak. Ya kakak bagi Nurani. Sudah hampir 10 tahun aku tak bertemu dengan Tata. Aku tak pernah mengunjunginya.

"Iya kemarin aku menampar seorang pelanggan." "Apa… Kenapa kau berperilaku seperti itu!" "Ya karena pelanggan itu merusak mood bahagiaku."

Tunggu, sejak kapan aku menjadikan dirinya seperti diriku. Kali ini aku bukan berada dalam tengah lingkaran pantulan. Nurani seperti cermin dari pantulan sikapku dari dulu. Tertawanya aku bukan sebuah kebahagiaan semata, ada campuran rasa amarah, sedih, dan takut dalam diriku. Tapi aku luapkan itu dalam bentuk tertawa.

"Ran, tolong besok jangan seperti itu ya. Kau belajar dewasa." "Lha sejak kapan kakak memberi nasehat dewasa. Kan kakak sendiri yang bilang, jangan sampai ada yang merusak kebahagiaan aku."

Kata yang kuambil ternyata salah. Aku berdosa menjadikan adik dari anak mamah berubah menjadi seorang monster yang menakutkan. Aku ingin bertemu dengan Tata, aku ingin bertemu dengan Friska. Aku ingin meminta maaf atas perlakuan tangan - tanganku, oh tidak maksudnya atas perlakuan egoku yang tak bisa pandang buruk atau baik. Aku menyesal tak pernah mengerti apa arti pantulan itu. Orang akan memilih kebahagiaan maupun kesedihan, ia akan tetap selalu menyembunyikan rasa lain yang ia ambil.

TAMAT

This article is from: