
7 minute read
Gunung dan Tumbuhan. Manusia dan Kebohongan
Ilusi 9
Bunyi derit jendela itu tampak tidak ditutup rapat, hampir satu menit sekali bunyi angin menembus ruangan gelap yang penuh dengan tumpukan buku membuat suasana semakin tidak nyaman. Ia hanya menatap bingkai foto yang terpampang di tembok ruangan dapur, tepat sebelah ruang buku itu. Ia menertawakan senyuman seorang perempuan tua yang terlihat senang bisa berfoto bersama dengan anak-anaknya sekian lama. Hilang suara ketawanya yang membuat badanku merinding, sekarang hanya tangisan kecil yang mulai terdengar.
Advertisement
Tak berlanjut lama, ia tiba – tiba menurunkan bingkai foto besar itu dan mengatakan, “Bikin susah saja.”
Hari berikutnya, aku mengunjunginya lagi. Namun, Nampak tidak ada orang. Hanya ada kertas yang menempel di pintu rumahnya. Kertas itu bertuliskan, “Jika penting, tunggu 1 bulan saya akan pulang.” Aneh bukan? Tapi entahlah, aku langsung menempelkan kertas itu lagi ditempat
semua. Berniat menanyakan maksud itu kepada tetangga rumahnya, terdengar suara laki – laki tua yang berteriak kencang, “Jangan kau ganggu dia.” Lelaki tua itu menunjuk diriku, tanpa mengerti maksudnya, aku hanya mengangguk dan segera meninggalkan rumah ini. Aku cepat – cepat ingin menanyakan maksudnya yang tiba – tiba menghilang, namun yang terlihat pada layar gawaiku hanyalah akun yang menghilang. “Sial, kemana jalang itu!” Tak kuasa menahan amarah, aku mengumpat tanpa mengenal tempat.
Disudut taman, terlihat perempuan cantik bersama anak kecil yang manis sedang merawat bunga – bunga yang tampak cantik juga. Mereka tertawa tanpa mengenal waktu sudah mulai malam. Hanya bunyi lonceng dari arah lain yang bisa menyadarkan mereka untuk segera masuk rumah. Pukul 9 malam sebagai waktu istirahat anak – anak membuat rumah itu terlihat mulai sepi. Perempuan itu mulai membuka buku yang berisi cerita untuk menidurkan anak – anak tersebut. Belum sempat ia duduk untuk membacakan cerita, terdengar suara ketukan dari pintu depan. Perempuan itu tak mempedulikannya, ‘kenapa harus membuka pintu untuk tamu yang tidak tahu diri,’ batinnya. Ketukan mulai keras berbunyi membuat semua orang di rumah itu turun untuk melihat siapa yang datang. Tanpa merasa takut, perempuan itu membuka pintu untuk melihat siapa yang datang di waktu istirahat.
Brakk
Bunyi keras berasal dari kepala perempuan yang menghantam sisi kursi jati membuat anak –anaknya menangis keras. Tidak disangka, tamu itu merupakan mantan ayah dari keempat anak – anak tersebut. Laki – laki itu tidak terlihat seperti sedak mabuk, ia sadar. Yang terucap setelah ia mendorong tubuh mantan istrinya hanyalah kata, “Dasar kau jalang!” dan langsung membawa salah satu dari keempat anak yang sedang menangis melihat bundanya terkujur kaku tak sadarkan diri. Ia membawa Lasti, anak sulung yang berumur 10 tahun dengan paras paling manis dari ketiga adiknya. Salah satu adik terkecilnya menjerit meminta bantuan, namun nahas tidak ada yang mendengarkannya.
Berjalan 17 tahun kemudian, Lasti tumbuh menjadi perempuan tercantik di pemukiman barunya. Tidak disangka, ia masih mengingat siapa yang mewariskan kecantikannya. Tubuh langsing dan senyuman indah itu membuat semua orang iri menjadi dirinya. Lasti sudah menikah tapi enggan mempunyai anak. Suaminya sama seperti ayahnya yang memisahkan dirinya dengan bunda, gemar berganti pasangan dan mabuk. Jika dipandang dari jauh, Lasti tumbuh menjadi perempuan kuat.
Berbeda dari dekat, ia selalu menahan diri untuk marah. Kecantikannya akan luntur katanya. Berbagai masalah selalu ia selesaikan dengan mudah dan sabar, salah satunya menjadi budak suaminya. Hingga sekarang, kewarasan dirinya mulai hilang. “Esok aku akan pergi.” Ucap dirinya telepon, entah dia menelepon siapa di malam saat dia sedang bersama suaminya di rumah kecil. Ia tertawa melihat bingkai foto yang terpasang. Melihat senyum perempuan yang tak cantik sama sekali merangkul dirinya dan suaminya. Terlihat juga ayahnya yang bergaya mengacungkan ibu jarinya dengan senyum lebar. Ya, perempuan tua itu merupakan ibu dari suaminya yang menikah dengan ayahnya. Cukup rumit memang. Lasti dendam dengan ketiga orang itu, memisahkan dirinya dengan bunda dan ketiga adiknya.
“Sudah waktunya aku tak diberbudak dengan orang bodoh seperti mereka.” Lasti mulai menyiapkan barang – barangnya untuk kabur dari ketiga orang tersebut setelah suaminya pamit pergi untuk tidur dengan perempuan lain.
“Kemana lagi aku harus cari mereka.”
Sudah lima hari Lasti pergi mencari bunda dan adik – adiknya. Ia lupa dimana rumah lamanya. Hanya berbekal gambar yang ia buat 17 tahun lalu
yang tak sengaja terbawa saat kejadian sial itu. Di kamar hotel tempatnya singgah, ia sibuk mencari keberadaan mereka dan rumahnya melalui sosial media.
“Satu persen aja ga nyentuh kayanya kalau lu cari lewat situ.” Celetuk perempuan yang sepantaran dengannya. Neli, teman kecilnya. Hubungan mereka sangat dekat untuk bertukar cerita pedih masing – masing. Lasti hanya tersenyum melihat Neli yang mulai lelah melihat temannya mengumpat terus menerus.
“Kita cari besok aja ya, Las.” “Gue udah capek.”
Pagi pukul 4 pagi, mereka sudah siap untuk pergi mencari keberadaan keluarga Lasti. Bermodal mobil milik Neli, mereka tempuh misi pencarian keluarganya dengan semangat. “Bodoh sebenarnya gue carinya setelah 17 tahun ga sih, Nel?” Belum setengah perjalanan Lasti mulai pasrah, ia takut tak bisa menemukan keluarganya sampai ia mati.
Di daerah perbukitan sejuk itu Lasti mulai menyadari bahwa ia seperti berjalan saat kecil bersama bundanya.
“Bentar nel, gue harus turun disini.”
Ucapan dadakan itu membuat Neli berada dalam dua situasi, kaget dan senang.
“Disini?!” Ucapan Neli tidak digubris Lasti. Ia hanya langsung turun untuk memastikan. Mata Lasti mulai melihat sekeliling, tidak ada pohon kecil yang mati seperti dulu yang ia lihat. Namun, semangatnya mulai bertambah setelah melihat puncak bukit seperti ada gubuk rotan yang ia percayai bahwa itu salah satu tempat menaruh bunga hasil petikan dia dulu. Lasti langsung menuju bukit itu dengan jalan kaki.
“Nel cepet parkir mobil, gue kayanya nemu.”
Tak lama, Neli cepat mengikuti perintah Lasti. Mereka berjalan kaki menuju puncak bukit itu. Tapi, bukit ini seperti tidak pernah ada yang datang. Tidak ada orang yang bercocok tanam di bukit ini. Neli mulai bergidik melihat sekelilingnya yang gelap.
“Las, bener ini?” Neli menggandeng tangan temannya. Lasti hanya bilang, “Mungkin.” Sudah berjalan hampir 20 menit dengan susah, mereka masih belum sampai di puncak bukit itu. Lasti tidak berkata sedikit pun, ia hanya berjalan lurus membuat Neli bertambah ketakutakannya
“Keknya harus dipastikan dulu deh sama gambar yang lu bawa ke orang – orang dibawah Las.” Lasti tetap diam, tak menoleh dan tak mengatakan satupun kata. Padahal ia naik saat
masih siang dan langit masih cerah tapi kenapa disini terasa seperti hampir maghrib pikir Neli.
“Las gue takut, turun aja yuk.” Lasti yang mulai lelah mendengar keluhnya Neli langsung menarik tangan temannya. Masih tak berbicara, ia hanya menarik dengan menatap sengit pada Neli.
“Lasti kesurupan apa ya,” batin Neli yang takut melihat langkah mereka sangat cepat. Tiba –tiba, langkah itu mulai lambat, tubuh Lasti mulai tumbang karena sudah tak makan selama tiga hari, tak lama tubuhnya terjatuh pingsan terlihat wajahnya sangat pucat.
“Heh lu kenapa anjir, las bangun cepet!”
Neli yang sedang ketakutan mulai tidak bisa berpikir panjang. Ia berteriak kencang meminta bantuan orang, namun hasilnya nihil. Hingga ia hanya meletakan tubuh Lasti disandarkan dengan pohon dan pergi turun mencari pertolongan.
“Kurang ajar Lasti kenapa pingsan begini.”
“Gila gue harus gimana yaa, ga ada orang. Gimana nih.”
Neli turun dengan bergumam ketakutakan. Kaki yang lelah itu mendadak bisa berjalan cepat demi temannya. Setelah 15 menit turun, ia menemukan satu orang yang terlihat sedang menanam. “Pak tolong saya, teman saya pingsan di
atas.” Neli yang belum melihat wajah lelaki itu langsung meminta tolong tanpa berpikir panjang.
“Ha? Pak? Saya masih muda neng!”
“Ngapain kalian ke atas bukit, kalian sudah izin belum!”
Neli menggelengkan kepalanya dan menyuruh laki – laki itu untuk cepat membantunya.
Mereka pun bergegas untuk naik, namun setelah sampai di tempat, Lasti tidak ada. “Hah kok ga ada! Lasti kamu dimana! Las!!!!!”
“Sebentar neng, Lasti? Temen kamu namanya?”
“Iya temen gue Lasti, lu kenal?” Neli mulai ketakutan.
“Kita ngomong di bawah aja deh neng.”
“Hah, terus temen gue gimana, ilang disini.”
Neli dipaksa untuk turun oleh lelaki yang tak dikenalnya. Dan mereka sampai pada tempatnya ia parkirkan mobilnya. Lelaki tua itu sempat kebingungan menjelaskan maksudnya.
“Neng, kamu kayanya nanti setelah aku ceritakan ini harus lapor ke Pak Kades biar bisa dibantu ya.”
“Hmmm, Neng Lasti itu sudah meninggal.” Lelaki itu tampak kaku untuk menyampaikannya
Neli seperti orang bodoh sekarang mendengarnya. “Kang ga usah bongong, please anjir gue pukul lu. Temen gue td pingsan di atas!”
“Neng Lasti meninggal 4 hari yang lalu saat mencari bunda dan adiknya. Ia meninggal saat sampai di puncak bukit itu. Benar itu rumah masa kecilnya.”
“Neng Lasti marah melihat rumahnya telah terbakar, rumahnya lenyap. Hangus saat neng Lasti dibawa ayahnya saat kecil.”
“Kemungkinan dia tak sadarkan diri saat dibawa ayahnya, tapi itulah ulah ayahnya membakar rumah beserta istri dan anak – anaknya yang masih di dalam.” Neli termenung, ia berpikir siapa Lasti yang 4 hari ini bersamanya dan membawa dirinya kesini. “Ga, gue ga percaya. Gue harus kesana bawa Lasti kesini cepet Kang.” Neli mulai menangis menyadari bahwa ia tidak menyadari bahwa temannya membutuhkan dirinya di saat waktu hendak mengambil nyawanya. Lasti sebenarnya sudah tahu rumah lamanya, dia meminta Neli datang untuk menemaninya menjenguk keluarganya. Tapi ia menolak karena ada urusan lain. Malam saat Lasti menelpon Neli, ia sedang bermesraan bersama seorang laki – laki yang dari parasnya tidak tampak baik, lelaki itu adalah suaminya Lasti. Neli yang mulai sadar dirinya menjijikan berteriak kencang seperti orang gila baru.