
8 minute read
Tepuk Tangan Kepada Kesedihan
Ilusi 6
Suatu hari, di sebuah sudut kota terdapat restoran yang menjual makanan asal Korea Selatan. Kurasa memang akhir - akhir sedang banyak yang tersanjung akan budaya Negeri Ginseng itu. Salah satu meja di restoran itu terdapat sepasang kekasih yang sedang menikmati kebersamaanya setelah pulang bekerja. Terlihat dari dandanan mereka yang masih memakai pakaian kantor lengkap dan layard yang mereka simpan di atas meja. Aku termenung melihat banyak orang dengan kepala yang berbeda kumpul dalam satu ruangan.
Advertisement
Kehadiranku tentu saja bukan sekedar untuk makan. Aku menunggu kekasih ku juga. Perempuan cantik berasal dari kota kecil di utara Jawa. Ia manis seperti namanya, Deinia. Seorang mahasiswi jurusan arsitek. Katanya ia ingin membuat rumah kecil yang jauh dari kebisingan. Ntah dimana. Makanan datang, Deinia pun ikutan datang, seperti biasa ia memesan makanan yang sama sepertiku.
“Halo sayang. Apa kabar?” Salam pembuka setiap kita bertemu. Padahal kita baru bertemu tadi
dijam sarapan. Ya itulah salam khas dari dirinya. Aku langsung mengambil barang yang ia bawa, sangat banyak, untuk membantunya agar duduk dengan nyaman.
“Oh ya, esok kamu mau kemana?”
“Zar, kita aja baru ketemu berapa detik udah langsung tanya plan besok.”
“Nggak lho. Jadi, gue mau ngajak lo ke suatu tempat gitu. Asik pemandangannya.”
Percakapan pembuka itu berlanjut hingga perjalanan pulang mengantar ke kostan Deinia. Tepat setelah mengantar, ntah kenapa ingin sekali membuka WhatsApp seperti ada feeling ga baik. Benar sekali. Sahabat kecilku, Classy mengirimkan pesan hingga 15 pesan. Salah satunya sebuah foto yang terlihat tangannya penuh luka dan darah. Telepon dia sepertinya sedang tidak aktif, aku yang kebingungan akhirnya mendapatkan jawaban untuk menelpon salah satu sahabatnya. Tak kusangka hari yang indah ternyata harus ada hari yang menyedihkan. Classy tertabrak oleh mobil saat ia hendak menyebrang jalan. Mata minusnya yang selalu ia benci ternyata membuat keburukan datang kehidupnya.
“Gimana, Jel? Mana Classy?!” Ejel yang ikutan panik dan mungkin ia sempat menangis langsung mengantar diriku ke
sebuah ruangan operasi. Tidak, ternyata aku masih belum bisa melihatnya. Bunda Classy sudah di sana. Aku langsung teringat pesan Bunda kemarin saat mengantar Classy selepas kerja kelompok bersama. Bunda hanya tersenyum sekilas melihat diriku. Tidak seperti biasanya. Aku merasa bersalah karena Classy dijam 4 sore mengajak aku dengan Deinia untuk makan bareng. Namun, apa daya aku ingin menghabiskan waktu dengan Deinia berdua.
“Jel, ceritain dong ini masalahnya gimana?”
“Ya lo tau sendiri. Sassy anaknya gimana, kelupaan kacamata dan ga pake softlens. Intinya doi mau nyebrang di jalan besar depan indomart deket Gramedia mau ke mobil ceritanya.”
“Lah udah tau dia ga pake kacamata sama soflens kenapa lo masih aja ngebiarin dia jalan sendiri.”
“Dengerin dulu. Gue lagi ada meet dadakan. Doi kagak mau nunggu gue selesai meet. Asal nyebrang aja.”
Ejel dengan intonasi tingginya membuat orang - orang disekitar langsung menoleh ke arahku. Aku langsung menarik ke sudut yang lebih tenang agar Ejel bisa melanjutkan ceritanya. “Udah habis itu gue mau jemput doi biar nyebrang bareng, Zar. Tapi ntah yang ada diotaknya kenapa tetep nyebrang sendiri.”
“Dia langsung pingsan?”
“Iya pingsan seketika. Posisinya gue lagi megang dua handphone dan dipikiran aku langsung nyalain handphone milik dia buat ngehubungin lo sama keluarganya.”
“Zar, Jel sini.” Suara ayah Classy yang ternyata mengetahui keberadaan kita.
Kami seperti orang kebingungan saat mengikuti beliau. Tak tau akan ke arah mana kita berjalan, hanya saja berbeda dengan arah menuju ruang operasi tadi. Sepertinya ada kebahagian yang datang. Aku sekilas melihat papan petunjuk arah, dimana ayah Classy berjalan kesuatu tempat yang membuat kebahagian tadi langsung berubah dengan kepanikan.
Ejel yang mungkin mempunyai perasaan yang sama denganku ikutan gementar memegang tangaku dengan kuat. Benar saja seperti apa yang aku takutkan. Di ujung tempat itu tertulis ruang jenazah membuat langkah kakiku semakin berat. Ayah Classy menengok ke belakang saat mendengar tangisan Ejel yang mulai keras. Ia menghampiri dan memeluk kita.
“Tak apa kuatkan hati kita, ya” Kata penenang itu menyayat kami. Seharusnya aku dan Ejel yang mengucapkan kata penyemangat dan menuntun pada ruangan itu, bukan Ayah Classy. Aku tetap jatuh saat pintu itu terbuka. Tapi…
Aku terbangun dari tidur. Masih pukul setengah dua pagi. Aku buru - buru mengecek gawai. Tidak ada pesan soal kecelakan tadi. Tak berpikir panjang aku menelpon Classy. Ya setelah menunggu hampir 3 telepon tidak terjawab, akhirnya Classy mengangkat.
“Halo, Sy.” “Ah ngapain sih Zar, ini masih pagi banget.”
Aku langsung menangis, itu hanya mimpi. Iya mimpi. “Jaga diri, Sy” Setelah mengucapkan pesan itu. Aku langsung menutup telepon dan melanjutkan tidur.
Kehadiran mimpi itu membuat kehidupanku berubah total. Aku selalu mengingat kejadian itu, rasanya aku harus menjaga Classy setiap harinya. Tentu aku harus memperhatikan kekasihku juga. Hingga suatu hari, Deinia mengirim pesan mengajak bertemu setelah hampir dua minggu kita tidak bertemu. Di taman bunga kota ini, aku mengajk untuk berbincang membahas hal - hal yang tak perlu dibahas juga.
“Nia, gimana kalo kita main petak umpet? Kayanya kamu lagi butuh hiburan?”
Deinia mengiyakan. Kami bermain hampir setengah jam. Bercanda. Tepat giliran dia menjadi penjaga dan aku yang bersembunyi. Tiba - tiba gawaiku bergetar seperti ada suara telepon yang masuk. Telepon dari Ejel. Aku langsung berpikir ke arah mimpi itu, hingga melupakan kekasihku sendiri yang sedang mencariku.
Ejel mengatakan kalau minta bantuan karena Classy sempat tertabrak motor. Ya dengan pikiran tak tentu arah itu aku dijalan hanya berpikir untuk segera sampai di rumah sakit yang ditunjukan oleh Ejel, menutup telepon yang aku pikir harus fokus pada Classy saat ini.
“Sy? Baik - baik aja?” Aku melihat Classy yang sedang diberikan obat dan perban pada lukanya.
Dia hanya mengangguk dan mengatakan, “Jangan bilang mamah ya aku naik motor sendirian.” Aku yang merasa lega Classy baik baik saja langsung melakukan proses pembayaran pemeriksaannya dan melanjutkan untuk mengantar dia ke rumahnya.
“Besok - besok lo kalo mau pergi bareng gue aja. Gimanapun lo udah bisa motoran tetep harus hati - hati Sy.”
“Iya, Zar. Gue cape apa - apa ga boleh sebetulnya. Gue juga mau bisa mandiri.”
Terlihat wajah murungnya yang menandakan dirinya sangat tertekan dengan penderitaan sebagai seorang anak dari orang tua yang tidak membebaskan dia.
sesampainya di rumah Classy, seperti biasa aku mengobrol sebentar dengan orang tuanya dan mengatakan seperti apa yang dikatakan olehnya saat di mobil tadi.
“Nanti lo ngomong ke ayah mamah aku habis kena serempet motor aja ya.”
“Siap, tuan putri.”
Hanya mengobrol sepatah dua kata aku langsung pergi hendak pulang. Tapi kenapa perasaan aku kali ini masih tidak nyaman. “Deinia mana? Kamu ga main sama dia?” Celetuk Classy yang membuat aku langsung melajukan mobil dengan kencang. “Bodoh lo, Zar Anjing.” Makian dalam jalan aku lontarkan kepada diriku sendiri. Sampai taman itu aku langsung menelpon Deinia yang sudah tidak ada. “Ya iyalah bodoh, udah sejam lebih ditinggal.”
Telepon Deinia masih tidak ada jawaban. Dipikiranku harus ke kostnya dan meminta maaf. Tapi tetep tidak ada hasil, ibu penjaga kost masih
dengan keyakinannya bahwa Deinia tidak ada di kost.
Aku yang pasrah memandang gawai menunggu Deinia di kamar, masih dengan makian yang aku lontarkan ke diriku.
Sudah dua hari pesan - pesanku tak ada jawaban. Teman-temannya pun masih dengan ketidaktahuan akan keberadaan Deinia. Aku pikir dia pulang ke rumah karena minggu ini telah masuk waktu liburan. Saat itu aku masih mencari Deinia melalui beberapa teman organisasi dan kawan dekatnya. Hingga ada satu berita tanpa terduga yang membuat diriku lemah tak berdaya. Aku menemukan Deinia melalui sebuah cerita yang dibagikan kerabat Deinia di Instagram. Saat itu, muncullah notifikasi pesan masuk dari Deinia.
Ini saya. Kakak Deinia. Dia sekarang sedang dalam perawatan di rumah sakit akibat penyakitnya yang membuat dia koma.
Dua kata terakhir itu membuat diriku ingin bersujud dan meminta maaf kepada Deinia. Dengan segala kekuatanku mencoba menjawab pesan itu.
"Sorry guys, gue cabut dulu."
Setelah mendapatkan alamat rumah sakit tempat Deinia berada, aku langsung menancapkan gas mobil. Aku seperti merasa dejavu. Mencoba menghilangkan pikiran buruk, mulutku disibukan dengan ucapan do'a untuk kesembuhannya.
Di sini, aku seperti orang baru. Berbeda saat di mimpi itu, semua keluarga Classy sangat tenang. Aku seperti dipandang menjijikan oleh orang orang. Mungkin itu hanya perasaan. Aku melihat tubuh kekasihku yang telah berbaring dua hari. Satu hal yang lebih menyakitkan dibanding melihat Deinia tertidur pulas di ranjang itu adalah ia terkena serangan jantung saat aku dalam perjalanan menjemput Classy di rumah sakit. Kekurangan oksigen akibat berlarian saat petak umpet adalah salah satu yang menimbulkan penyakit dia kumat.
Sepertinya orang - orang disini sudah mengetahui bahwa aku kekasih Deinia. Mereka tak menanyakan diriku siapa. Mereka hanya berjalan dan menatap diriku. Tak lama, perempuan bersama anak kecilnya mengajak aku keluar dari kamar pasien. "Sebelumnya maaf kalau kita terkesan acuh kepadamu. Sejujurnya saya sendiri kecewa saat melihat sebuah bingkisan ini dan menemukan sebuah surat yang ternyata ada nama kamu disini." Perempuan itu yang merupakan kakak Deinia
langsung memberikan aku bingkisan dan waktu untuk membaca surat yang tak tau berisi apa.
Dua Minggu yang ternyata sebuah waktu pendek bagiku, bagi Deinia adalah waktu yang panjang. Selama dua minggu itu, Deinia tanpa memberikan sebuah pengumuman kalau dia sedang sakit membuat diriku seperti seseorang yang berdosa. Dalam dua minggu aku hanya berfokus pada Classy, dalam pikiranku hanya Classy yang harus aku jaga.
"...Sehat - sehat ya. Aku harus sehat juga, agar kamu tak perlu memikirkan diriku, jagain Classy juga biar kamu tenang hidupnya."
Salah satu kalimat yang membuat aku ingin menghakimi diriku sendiri. Aku tak bisa membagi waktu antara sahabat dengan kekasih, hingga salah satu dari mereka harus aku alihkan fokusnya.
Di malam hari, aku menikmati suguhan kopi dengan rokok untuk melepas penat. Aku masih belum menyangka, aku kehilangan dua orang sekaligus dalam satu bulan.
Kejadian yang aku pikir itu mimpi adalah sebuah pengalihan. Aku hanya bermimpi bahwa
Classy baik - baik saja sampai tidak bisa menghabiskan waktu bersama Deinia. Surat itu nyata, aku terbangun dan mendapatkan panggilan dari Kak Seila, kakak perempuan Deinia memberikan kabar buruk setelah satu minggu kehilangan Classy, bahwa aku juga kehilangan Deinia. Ia meninggal tanpa mengetahui bahwa Classy juga sudah terlebih dahulu pergi.
Kejam memang dunia. Tidak ada kebahagiaan yang abadi dihidup ini.