
7 minute read
Kata Bagas: Ia Takut
Ilusi 2
Gelas itu pecah bersamaan dengan suara guntur yang tak pernah mereda. Sejak kemarin, hujan menyelimuti kamar Nayla. Dingin dan lembab suasana kamar itu. Nayla perempuan yang tak pernah ingin bermalas-malasan selalu menyibukkan dirinya dikala guling, selimut, dan kasur mengajak untuk bermimpi indah. Keindahan yang tak pernah didapatkan di rumahnya.
Advertisement
"Bagaimana ini, sudah jam 4 kenapa belum reda!" Hentak Nayla saat sedang bersiap-siap entah akan kemana kaki penuh ukiran cantik itu berjalan.
'udahlah besok aja' suara yang tak tau datang darimana seperti ingin membuang Nayla ke genangan air di luar.
'bener nay, daripada lu kesana tapi ga ada orang' suara lain turut bergeming
"Sorry guys aku harus segera kumpulkan ini, nanti kalian akan makan apa?"
Nayla langsung bergegas pergi tanpa menghiraukan suara - suara kemalasan yang tak ingin beranjak dari kasur itu.
Di sudut gerbong kereta Listrik, Nayla hanya menatap buku dengan seksama, ia masih tidak menghiraukan suara temannya yang mengajak ngobrol tanpa henti.
Saat itu matanya hanya berjalan kanan-kiri menerjemahkan kata, kalimat yang membuat dua temannya muak. Hingga, salah satu temannya menyentil kepala Nayla sambil berkata, "Heh itu cowo ganteng amat nay, kata Bima"
Setelah mendengar nama Bima, tanpa sadar Nayla langsung menengok arah jari temannya. Tapi tak ada siapapun yang ia cari. Bima.
Nayla dan Bima sudah 3 tahun tak pernah lagi menyapa semenjak kejadian itu menimpa. Beberapa menit nayla langsung menampar pipinya agar sadar, tanpa basa basi, Nayla langsung mengumpat pada teman - temannya yang mencoba ejek dirinya yang sedang fokus.
Tak berapa lama, Nayla sampai di stasiun tujuan, matanya masih berpaku pada buku yang entah berisi apa. Ia hanya tersenyum dan bersuara
riang seakan ada keajaiban yang terjadi pada buku itu. Kedua temannya hanya mengangguk melihat tingkah temannya itu. Mereka berdua hanya fokus dengan percakapan yang dianggap Nayla tak berguna.
'Jahat banget asli lama - lama Nayla nih' 'Udahlah emang dia lagi sok melupakan kita'
Dua kalimat itu membuat Nayla langsung menutup bukunya, ia memohon sangat keras kepada kedua temannya untuk memaafkan kelalaian dia. Tangannya gemetar hebat, ia menangis bersamaan dengan Guntur dan hujan Deras mulai turun kembali.
Entah berapa pasang mata orang yang melihat Nayla menangis sambil memohon kepada seseorang, tapi tak ada seseorang di depan Nayla. Ia hanya berjongkok menghadap jalanan. Beberapa menit Nayla langsung berdiri, ia seperti tersadar bahwa ia telah melakukan hal gila di tempat umum. 'sudah aku bilang, jangan membuat masalah dengan kita'
Suara itu muncul lagi. Nayla hanya mengangguk dan berlari. Ia seperti meninggalkan seseorang, ia melambai tapi entah kepada siapa.
Ia sampai di coffee shop tempat tujuan yang membuat ia tak bisa menikmati sore dengan tenang. Sepasang matanya seperti mencari seseorang. Memandang satu persatu muka yang ia anggap orang - orang dengan segala kesalahannya.
Di tengah-tengah Nayla sedang memikirkan wajah seseorang, ada lambaian tangan dan panggilan lirih namanya. Ia tersenyum. Begitu pula dengan Nayla. Ia bergegas menemui seorang lakilaki itu.
“Gila ini yang namanya Nayla, Gas?” Suara perempuan cantik itu seperti menjadi pengantar kata - kata yang tidak bisa dikatakan oleh Bagas. Ia terpaku melihat Nayla yang sepertinya tidak ada salah, baik pakaian atau riasan.
“Halo, Kak Nay, kenali aku tasha.” Perempuan itu mengulurkan tangannya kepada Nayla sambil memamerkan senyum indahnya.
“Halo, Tas! Sudah lama nunggunya?”
“Hahaha hampir seabad menunggu Kak Nay, sampai Bagas hampir ketiduran.” Celetuk Tasha yang membuat Bagas kembali sadar.
Tak lama, Bagas segera mengulurkan tangannya untuk menyapa perempuan yang ia puja akan karyanya. Nayla dan Bagas hampir tiga bulan
ini berbincang melalui sosial media tanpa pernah melakukan pertemuan langsung. Kesempatan bertemu ini lebih karena Nayla ingin bergabung dengan suatu project yang diadakan oleh Bagas. Mungkin juga bersama Tasha.
‘Nay ati - ati lu, cowo itu sepertinya brengsek’ suara yang entah darimana membuyarkan kekaguman Nayla saat mendengarkan suara Bagas.
‘heh lu ga usah bikin malu Nayla’ suara lain muncul bersamaan dengan suara Bagas yang menatap aneh Nayla.
“Nay? Kamu baik - baik aja?” Lamunan Nayla pecah saat mendengar dua suara itu.
“Ah, sorry tadi gue sempet mikir pintu udah dicabut belum.” Timpal Nayla dengan kebohongannya.
“Ya udah lanjut ya. Jadi, ini Tasha sebagai asisten dalam project ini. Ada Dimas, Toriq, Alpar, dan Elsa. Tapi mereka berhalangan hadir.’
“Betul, mereka juga titip salam buat kamu.”
“Oke, oke mungkin perkenalannya dicukupkan ya. Kita lanjut bahas soal karya yang akan dipakai nanti.”
Nayla langsung mengeluarkan gambarnya dari drafting tube hitam. Ia langsung menjelaskan bagaimana hal yang nantinya akan dibutuhkan dalam project itu. Properti lukisan sangat dibutuhkan pada project tersebut. Nayla yang dari tadi sempat merasa keberatan akan tugas yang harus ia kerjakan, sekarang ia kembali percaya diri akan omongan yang hadir dari mulut temannya. Bagas.
“Gimana, Nay? Sanggup?”
Berpikir keras untuk mengerjakan 4lukisan dalam satu bulan adalah hal terpayah yang Nayla lakukan. Bukannya menjawab. ia malah mengambil minuman yang dipesan dan pergi ke luar. Bagas dan Tasha sempat kebingungan. Tapi mereka bantah dengan saling menatap yang bermaksud mengatakan “Cari angin”
“Hahahaha” Mereka berdua tertawa akan keanehan yang mereka terima sejak Nayla datang. Hanya beberapa jam saja mereka berbincang, Nayla dianggap memberikan warna atas kehadirannya.
Di luar, Nayla termenung memegang gelas minuman Tropical Blast yang ia pesan. Orang melihat Nayla termenung, namun sebetulnya ia sedang bercakap dengan teman - temannya.
Bertanya, menanyakan saran, dan marah adalah kegiatan Nayla saat termenung.
‘Kali ini sih gue setuju aja ya lu ambil kerjaan itu’ ‘Tapi nih ya… Lu kadang ah udahlah susah’
Suara perempuan itu membuat Nayla semakin berpikir, tak lama ia menimpal perempuan itu dengan berkata, “Ya gue tau, gampang ilang rasa ngerjain.”
‘Nah itu yang gue maksud’ “Sadar dia ndro….”
‘Hahahah’ “Hahahha”
Nayla dan kedua temannya tertawa bersama dalam dunia Nayla yang lain. Semenjak kematian orang tuanya, Nayla memang lebih banyak terdiam. Bagaimana tidak, ia anak tunggal dengan kasih sayang yang selalu bunda dan papanya pergi. Dua perempuan itu tak tau kapan datangnya. Nayla dengan segala keinginan mengubur suara buruk yang selalu berjalan dengannya semakin hari semakin menerima keadaan itu. Anggapan teman yang ia beri kepada suara perempuan itu adalah sebuah rasa menerima dalam hidupnya.
“Nay!” Bagas yang tiba - tiba disamping Nayla membuat percakapannya dengan kedua temannya berakhir.
Bagas melihat Nayla yang tersenyum sendiri dan seperti berbincang sendiri merasa khawatir akan tanggungjawab yang ia berikan tadi.
“Dari sekian bunga yang ada di depan lo, kenapa yang paling cantik mata hingga senyumnya tuh lo sih, Nay.”
Bagas mencoba menghibur Nayla yang kelihatan seperti ingin dikasihani. Sedangkan Nayla hanya merespon senyuman tanpa membalasnya.
“Sumpah, dari tiga bulan ini kita kenal. Gue ga berekspetasi Nayla itu semenarik ini.”
Nayla seperti tertarik dengan kata yang dilontarkan oleh Bagas, ‘menarik’. Ia menoleh dan memandang intens mata Bagas. Di dunia lainnya, Nayla sedang bergembira telah dipandang seorang lelaki yang indah parasnya.
“Berarti, lo belum pernah nyoba minuman manis ini.”
“Apa hubungannya, Nay”
Nayla tak langsung menjawab pertanyaan Bagas. Ia memikirkan kata yang pas untuk disampaikan.
“Semua hal yang menarik dimata kamu akan selalu berganti. Kadang melihat hal baru lebih enak daripada melihat hal yang sudah kau pandang.”
Bagas yang kebingungan tanpa arahan langsung mengambil minuman Nayla. Ia mengikuti omongan teman perempuan baru itu. Memandang. Tapi tak ada hal yang aneh, pikir Bagas.
“Lihat, dalam gelas ini kamu lihat banyak warna bukan?”
Bagas mengangguk sambil melihat lekat minuman itu.
“Kamu mungkin akan merasa kebingungan akan fokus pada apa yang ada dalam gelas minuman ini.”
“Merah adalah warna paling banyak yang ada di gelas itu.”
“Lalu?”
“Ya itu. Lo memposisikan gue sebagai warna merah dalam minuman ini. Padahal ada banyak warna lain. Karena merah melambangkan sebuah energi.”
“coba kalau Lo minum ini. Semua warna akan menyatu, warna merah akan semakin menghilang.”
Bagas terpaku melihat penjelasan Nayla terhadap sesuatu hal baru yang datang pada hidup. Kadang kala, semua yang dipandang indah tidak
akan selalu dikatakan indah. Ia hanya mampir sebentar lalu akan menjauh atau menghilang. Sama dengan Nayla, menganggap Orang tuanya sebuah keberuntungan yang ia dapat dalam hidup harus hilang. Digantikan dengan Bima, cowo kebanggaannya yang menghilang juga tanpa kabar dan salam. Semua hal datang pada Nayla dan semua akan hilang dari genggamannya.
“Kurasa lo butuh teman Nay” Bagas yang sedari tadi diam menafsirkan kata - kata yang terlontar dari Nayla hanya mampu mengucap kalimat yang berisi penuh kasihan.
“Gak juga”
“Gue akan selalu dapat orang baru, lalu akan pergi.”
“Dari sekian banyak obrolan dengan orang lain. Baru kali ini lo ga tersinggung dengan perkataan tadi, Nay”
Nayla tertawa sembari memukul pundak Bagas. Ia tahu maksud Bagas dengan perkataan itu. Teman perempuannya selalu memberikan nasihat soal ini.
‘Orang lain hanya memandang sekilas, lalu memberi saran seakan semua hidup yang kau jalani sudah diketahui mereka.’
Jika diposisi Bagas memang benar. Nayla penuh kehancuran. Ia ceria dibeberapa waktu, lalu akan cepat menhilang jiwanya tanpa butuh waktu lama.
“Gue ga butuh teman, gue butuh orang yang mau hidup tanpa menghilang.”
Kalimat itu membuat Bagas serasa ingin membahagiakan Nayla. Tapi, ia tidak sanggup. Ia takut.