
5 minute read
Sampai Jumpa Lagi di Persimpangan
Ilusi 1
Siapa sangka kegemaran dalam memotret akan menghasilkan warna lain dalam hidup. Suatu hari di taman kota, pagi hari yang penuh dengan orang dari berbagai kalangan berpindah tempat untuk melepaskan kepenatan selama enam hari. Kebahagian itu tentu harus diabadikan, dalam bentuk gambar salah satu alternatifnya.
Advertisement
Di tengah keramaian itu, seseorang yang menenteng kamera analognya yang bisa dibilang harganya akan sangat membuat semua orang pusing mendengarnya. Laki - laki yang berjalan menawarkan jasanya untuk memotret kebahagiaan dalam bingkai frame foto selalu diberikan ruang oleh orang-orang sekitar.
"Wah ini gratis kan mas?" Selalu ucapan itu yang menjadi jawaban saat meminta izin untuk memotret seseorang. Anggukan manis itu selalu ia berikan sebagai tanda kenyamanan.
Langkah kaki yang mencari sebuah harta yang akan dijadikan objek berhenti seketika melihat wanita yang sepertinya sangat tentram memandang pepohonan yang dihinggapi oleh burung - burung cantik.
"Sepertinya udara saat ini membuat anda nyaman."
Lelaki yang sudah termakan oleh paras cantik wanita akan selalu mencoba mendapatkannya. "Bagaimana tidak nyaman, lihatlah kau bisa membayangkan diri kita ada disekitar kebahagiaan tanpa perlu membayar." Matanya yang tak terlihat sayu itu dengan berani menatap lelaki yang gagah. Bagaikan pangeran yang menemukan seorang pujaan hatinya, lelaki itu tampak sangat ingin berkenalan lebih dengan perempuan yang ia temukan kali ini.
Pembahasan itu berlanjut di sebuah coffee shop dekat persimpangan arah rumah mereka. "Besok kalau senggang ajak aku kah potret kota ini." Kalimat perpisahan yang sangat menarik sebagai alasan untuk bertemu kembali. "Ya aku akan membuat warna bersamamu kali ini."
Bak orang yang sedang panas akan energi yang timbul, kedua orang itu menjadi sangat dekat kali ini. Sebuah tiket acara book talk yang tertulis judul yang sangat menarik, "Dari jauh, menjadi
dekat: Cara menarik lawan untuk tak menjadi musuh."
"Buku siapa ini?" Lelaki itu sepertinya tak mengenal soal perempuan yang ia ajak berbicara sekarang. Usia perkenalan yang sudah hampir tiga bulan ternyata tak bisa membuat mereka saling mengenal.
"Perempuan di depanmu." "Kau seorang penulis?"
Tertawa mereka pecah saat privasi masing masing mereka mulai terbuka. Salah satunya pekerja - bukan, yang benar itu hobi - yang harus mereka ceritakan.
"Kadang memang ada saatnya semua pintu akan terbuka." Sautan lelaki itu yang membuat perempuan itu berpikir.
"Bagaimana ya merancangnya." "Kenapa harus merancang kalau langsung mengatakan saja bisa?" "Tidak, semua hal harus dipastikan sudah sesuai pada baut masing - masing." "Harus, tapi tak semua itu harus." "Kau ini. Benar, akan ada waktu kau membuka kancing itu untuk memperlihatkan apa ada tai lalat di balik baju itu."
Seperti sedang diraba, lelaki itu langsung memasang badan dengan tangan menyilang pada dadanya. Candaan mereka memang sangat menyatu, tak harus diberi garam dan gula ataupun lada untuk menciptakan rasa. Keterkaitan antara mereka sudah sangat cukup menjalin suasana bahagia. Tentu ini gratis, tak perlu bayar. Hanya bayar makanan atau minuman sebagai bentuk formalitas jamuan untuk pertemuan singkat.
ini?" "Kamu kapan akan memamerkan hasil potret
"Tidak akan." "Lalu tujuan kamu mengambil gambar semua ini untuk apa?" " – hanya bersenang-senang."
Memang semua omongan orang tidak harus dipercayai, saat ini perempuan itu berdiri dihadapan sebuah lukisan yang sangat cantik. Disampingnya ada sebuat potret foto kecil yang sepertinya sebagai acuan dalam menggambar.
"Kau, memang selalu berbohong…" "Jangan - jangan memang benar ada tai lalat di balik bajumu?"
Perempuan itu giliran yang menghadiri acara pameran karya yang dihasilkan oleh lelaki yang ia temukan setahun lalu. "Simbol apa ini?" Jari lentiknya mencoba untuk memberikan arah maksud dari objek yang ditunjukannya.
"Tak ada arti, hanya sebuah lingkaran." "Aku boleh memberi arti?" "Sudah sepantasnya kau penglihat yang membuat makna sesuai jalan otakmu yang liar itu."
Candaan yang selalu disajikan dalam percakapan membuat semakin nyaman hingga tak mengenal waktu, mereka akhirnya berpacaran. Menjalin kasih memang tidak seperti yang dibayangkan. Adanya keterikatan yang menyatu antar dua orang kadang membuat diri merasa tertekan.
"Kau ingin membuat buku dengan tokoh
aku?"
Baru 3 bulan berjalan umur pacaran, mereka sudah saling beradu mulut dengan intonasi yang tinggi. Sang perempuan ingin mengabadikan lelakinya dalam sebuah buku, sama sepertinya lekaki yang ingin mengabadikan perempuannya dalam foto.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Ketertutupan seseorang tak bisa langsung dikuliti secara langsung, menyakitkan. "Maaf…" Kata maaf dan mohon sekarang mengganti posisi candaan ringan yang selalu mereka sajikan saat sebelum berpacaran.
Tak ada kekerasan fisik dalam hubungan satu tahun pacaran mereka. Penggantinya adalah kelakuan toxic antar pasangan yang membuat gelas indah menjadi runtuh perlahan-lahan. "Aku akan selalu ada disini, jadi maafkan aku, aku tak akan mengulanginya lagi. Tolong maafkan."
Selalu ada kebutuhan seorang perempuan dalam dihidupnya untuk mengisi kekosongan. Memelas di depan kekasih sendiri bukan hal yang bagus untuk seorang perempuan. "Jangan pergi, tinggal disini lebih lama lagi ya. Aku akan berubah."
Berubah. Berubah. Dan berubah. Tak ada objek khusus dalam kata itu. Semua kata dan kelakuan sudah diberikan oleh perempuan. Kebosanan pasangan tak bisa diukur kapan akan datang. Bersujud untuk tak membuat dia pergi tindakan terbodoh yang pernah dilakukan sang perempuan.
Tahun keempat setelah putus.
Hari peluncuran buku keenam sang perempuan setelah hiatus selama dua tahun telah ditunggu para penggemarnya.
Dalam sesi menjelaskan isi bukunya, tak tau kenapa sang perempuan seperti ingin menangis. "Kalian tau? Apa arti sebuah kesedihan? Dia tak datang saat kau ingin menangis saja. Ia juga akan datang saat kau sedang bahagia. Sama seperti hal bahagia, ia akan selalu datang dimanapun kalian."
Pernyataan yang disampaikan oleh sang perempuan merupakan refleksi diri dan penemuan makna dari objek lingkaran yang ia tanyakan kepada mantan kekasihnya dahulu. Sebuah lingkaran seperti kebahagiaan dan kesedihan. Berputar. Tak tau kapan berhenti dititik mana, karena hakikatnya lingkaran tak pernah punya titik.
Kesedihan dan kebahagiaan akan selalu berdampingan. Sama halnya dengan menjalin hubungan. Kau akan selalu dihantui dengan sebuah akhir dari masa. Akan bahagia atau terluka? Dua hal itu menjadi pilihan kalian berakhir seperti apa dan bagaimana.
“Selamat. Bukan hanya aku yang kau jadikan tokoh. Kamu dan momen bersama kita dulu, kau
jadikan pilihan untuk mengakhiri perputaran masa hidup kita.”
“Kau sudah berani ya untuk mengoreksi aku….”
“Hahahaha… itu kebetulan mata sayu kau memperlihatkan ada ruang yang terbuka untuk kau renungkan.”
“Ya kau selalu memberi kalimat yang tak tau artinya apa.” “Baru tau ya, warna dalam foto yang aku ambil saja sudah memberikan maksud siapa aku sebenarnya.”
Perpisahan yang mereka ambil adalah dengan berpura - pura bahagia dan tetap berada pada pilihan untuk sama - sama bersedih. Ya memang itu boleh, asal kuat saja. “Kadang sebuah foto atau lukisan memang harus hadir dalam hidup. Bukan untuk memberikan sebuah kesegaran saja. Tapi sebagai ruang dalam merenungkan diri.”
“Ya benar. Kau bersedih pun akan ketahuan dalam sebuah foto atau lukisan yang kau buat.”
“Berarti kita payah dalam mengekspresikan maksud dong?”
Pria itu mengangguk dan berjalan untuk melambaikan salam perpisahan karena dia akan pergi untuk mencari warna baru lagi. Dan perempuan itu akan pergi juga untuk mencari mangsa yang akan dia jadikan sebagai tokoh dalam karyanya. Seperti judul book talk itu, “Dari jauh, menjadi dekat: Cara menarik lawan untuk tak menjadi musuh". Akan ada pilihan seseorang yang dekat untuk memilih menjauh, agar tak menjadikan lawan sebagai musuh dalam hidupnya.