
7 minute read
Validasi adalah Teman Manusia
Ilusi 4
"Eh lo tau ga sih?"
Advertisement
Awalan obrolan untuk membahas keburukan orang lain sepertinya memang sudah dipatenkan seperti itu.
"Lo udah tau?" "Lah lo tau juga?"
Mereka sepertinya sudah mengerti rumor yang beredar tanpa harus menunjukkan konteks bahasanya.
Aku yang melihat mereka tak ingin ikut dalam perbincangan itu. Menatap layar leptop untuk segera mengerjakan tugas adalah keharusan, bukan mendengarkan hal yang tak berguna itu.
"Nir, kok lo diem aja sih. Sibuk amat."
Aku yang sedari tadi hanya membaca dokumen - dokumen langsung menutup leptop karena merasa tak enak dengan kedua temanku. "Gimana sih lo aja ga kasih tau lagi bahas apa. Gue kan katro, lo tau sendiri kan."
Mereka berdua tertawa mendengar alasan yang aku sampaikan. Ya memang itu kebenaran. "Gini, gue sejujurnya ga enak sama lo, Nir. Kenapa lo masih demen temenan sama si Fajar." Aku yang tanpa tahu penyebabnya hanya mengernyitkan alis.
"Hm gini…."
Fany yang belum melanjutkan bicaranya, tiba - tiba muncul Fajar dengan rasa melas yang ia tampakkan di mukanya. Aku tak melihat muka Fany, ia hanya berbicara tanpa jelas saat Fajar mulai duduk di bangku sebelah aku.
"Lha, kamu gimana kok sedih jar?"
Dia tak menjawab pertanyaan yang aku sampaikan, entah ada apa yang terjadi. Setelah kehadiran Fajar, meja kita seperti tidak ada kehidupan. Fany dan Sasa yang sedari tadi tertawa dan menunjukkan video lucu sekarang hanya termenung.
3 jam kita duduk bersama dengan kesibukan masing - masing. Fany yang kembali setelah melakukan sholat Maghrib langsung mengajak kita untuk pulang. Tapi ditahan oleh Fajar, "Kok lo pada ga ngertiin gue sih?!" Ucapannya membuat Aku, Fany, dan Sasa saling menatap kebingungan.
"Lah kok gue yang salah." Sasa yang mungkin sudah tidak bisa menyimpan kesabaran akhirnya langsung berdiri dan keluar dari coffee shop. Aku langsung menenangkan Fajar namun malah mendapatkan tolakan sangat keras membuat diriku ingin memakinya juga.
"Kenapa ya ada manusia kaya gitu." Fany mencoba untuk mengeluarkan amarahnya setelah Fajar berjalan jauh dari kita sepertinya sudah memendam lama. "Udahlah mungkin lagi datang bulan dia"
Kami berdua tertawa bersamaan setelah mendengar omonganku sendiri.
"Kenapa hari ini capek banget ya. Perasaan kerjaan dikit."
Aku langsung merebahkan di kasur yang penuh dengan kehangatan. Bagaimana tidak, kamar dan kasur adalah dua hal yang sangat membuat nyaman di hidup. Bermalas-malasan dengan melihat berita atau cerita orang - orang yang dibagikan pada sosial media membuat energi aku ikut terforsir juga. Berhenti di salah satu cerita Fajar yang dibagikannya membuat aku terkejut.
Kenapa ia membagikan foto aku, Fany, dan Sasa dengan tulisan,
"Orang lain memang bodoh dalam mengerti perasaan orang lain."
"Kenapa Fajar gini dah, maksudnya apa ya."
Aku ingin memaklumi tulisan itu sebetulnya, tapi keinginan mencari tahu seakan memenuhi tubuhku. Aku mencoba agar Fajar mau membagikan keresahannya - mungkin kepada aku atau orang lain - namun itu pesan yang aku kirim tak ada hasil. Jawaban singkat, “gapapa” darinya terpampang pada bagan notifikasi gawai aku. “Udahlah orang mau ngebantu tapi gitu. Males mending gue tidur aja.”
Fajar hingga 2 hari hanya murung tanpa ada kejelasan apa yang ia inginkan atau permasalahkan. Kami yang sudah mencoba untuk bertanya, ia masih tetap dengan jawaban kemarin – kemarin. Ya, ‘gapapa’ rasanya ingin memarahi dia tapi apa daya.
“Udahlah, dia butuh waktu sendiri sepertinya,”
“Oke.”
Kami memutuskan untuk tidak menghubungi dia lagi selama keinginannya hanya diam. Tiba waktunya nanti dia akan bicara kepada kita. Tapi pikiran itu dibatahkan lagi. Fajar membuat sebuah postingan yang ia unggah pada akun Instagramnya. Terlihat jelas ada bekas sayatan pisau dengan warna merah yang kami pikir itu darah.
“Ayo kita ke kost dia…”
Kami yang sedang mengerjakan project akhir bersama langsung pergi meninggalkan makanan yang telah kita pesan dan masih belum kita makan.
Tok… tok…
Pintu kost Fajar yang tertutup rapat menambah ketakutan kita. “Fajar! Buka! Kamu sedang apa!”
“Kita minta maaf kalau ada salah ke kamu….”
Masih dengan keheningan. Tak akan menyerah sebelum Fajar keluar dari kamar itu, kami coba untuk bertanya ke semua tetangga kamar kostnya. Semua menjawab tidak tahu keberadaan Fajar sejak kemarin.
“Sialan tuh bocah….”
Kami memilih untuk pulang, Fany yang sudah sangat marah pun akhirnya mengeluarkan semua perkataan yang buruk dan tentunya tak enak didengarkan. “Gue kagak bakal bantu dia lagi. Ini terakhir kalinya.”
Sasa pun ikut mengangguk mengiyakan perkataan Fany. Perkataan yang bisa dibilang sebuah hasutan atau ajakan.
Satu Minggu Setelah Kejadian 1
Pilihan kami untuk meninggalkan Fajar memang ada untungnya. Tapi setiap kali ada seseorang yang bertanya soal Fajar dan kami menjawab tidak tahu, mereka akan selalu merespon dengan omongan yang tak mengenakan, seperti,
“Yah temen deket kok gitu,”
“Gimana sih katanya sahabat kok malah ninggalin.”
Telinga kita seperti dicelupkan ke air mendidih setiap mendengar itu. Pada akhirnya Fajar yang merasa bahwa kita meninggalkan –memang, tapi ulah dia sendiri – akhirnya melakukan sebuah hal yang sangat membuat kita malu. Bukan hanya perasaan itu saja, kami marah. Layaknya anak kecil yang selalu merajuk, tapi dia sudah diluar batas dalam berbuat hal itu.
Postingan di sosial media memang benar selalu jadi senjata tajam seseorang untuk membunuh orang lain. Sama halnya dengan Fajar yang membunuh kita melalui sebuah postingan Instagramnya. Dalam postingan itu, dia menuliskan sebuah keresahan yang ia dapat dari berteman dengan kita. Dia menyebutkan bahwa karena dia laki – laki dan jarang berkumpul dengan kawanan satu gendernya, kami akhirnya dengan iba bukan karena sayang untuk berteman dengan kita.
Mimik Sasa dan Fany saat melihat postingan itu masih biasa saja, sebelum ia membaca postingan selanjutnya.
‘Sesungguhnya sangat menyakitkan mempunyai penyakit mental berteman dengan mereka. Sampai – sampai saat aku mencoba menghilang untuk menguji mereka pun tetap dengan kebahagiaan tanpa merasa bersalah denganku yang disakiti.’
Teman seangkatan kami pun sudah membaca curhatan yang disampaikan oleh Fajar. Bagi kami, semua omongan Fajar adalah kesalahan. Bagaimana bisa dia menuduh kami yang setiap harinya selalu mendukung dan berada disekitarnya.
“Kurang ajar, nih bocah lama – lama.”
“Kita sudah dicap jelek gegara bocah itu. Sia – sia kita berteman dengan dia.”
“Coba ajak dia ke psikolog, berani ga? Atau cuman pura – pura sakit?” Nada Fany yang meninggi membuat selruruh wajah di kantin kampus langsung beralih dan fokus ke arah kita bertiga.
“Udah, Sa… biarin, dia hanya butuh validasi bahwa dia sakit.” Sasa yang sepertinya juga sudah kelewatan memberikan omongan seperti itu pun sebetulnya tak bisa disalahkan.
Empat Bulan Setelah Kejadian 2
Kami masih tak bisa memaafkan kelakuan Fajar yang membuat semua orang pun seperti berhati – hati dengan kami. Aku mulai terbiasa dengan hal itu. “Besok – besok kalau ada yang bicara aneh, diemin aja.” Setiap hari aku selalu berpesan kepada kedua temanku agar tak menimbulkan keributan lagi nantinya.
Memang benar dibalik cobaan tentu ada pertolongan. Disaat kami sedang tak ingin melakukan apapun di awal semester, terdapat ajakan seseorang untuk berlibur di tiga hari liburan panjang nanti. Mereka mengajak untuk bermalam bersama di sebuah Villa di Bali. Kami bertiga
menyetujuinya. Sebelum tanggal ditetapkan tiba, kami masih dengan keluguan bahwa hanya ada enam orang saja yang akan ikut. Tiga perempuan dan tiga laki – laki.
Rencana kita memang tidak selalu tepat. Liburan kita salah satunya. Fajar yang tiba – tiba datang saat kita sudah melupakan kejadian itu membuat kita malas untuk melanjutkan liburan.
“Gimana? Kaget ga?” Kedatangan Fajar ternyata sudah direncakan oleh ketiga teman laki –laki kita. Untuk berbaikan salah satu alasannya. Tapi kita masih tak mau membahas itu di liburan ini, akhirnya kita pindah Villa dan berlibur sendiri tanpa keempat laki – laki itu.
Malam Hari Di Hari Liburan
Sebuah pesan dari keempat orang itu untuk meminta maaf atas kesalahannya dengan mengajak makan malam bersama pun kami terima. Dengan syarat tak mengajak Fajar.
“Lo beneran ngasih syarat gitu, Nir?”
“Tentu. Ngapain coba nanti kita makan harus saling diem atau colak colek misal ada hal yang dirasa ga enak?”
Syarat yang aku ajukan diterima dan ditaati oleh ketiga teman laki – lakiku. Ku pikir memang akan malam saja pertemuan ini, ternyata selalu ada bahasan membicarakan orang lain di setiap pertemuanku dengan teman – teman. Kali ini membahasa tentang Fajar.
“Keren, bro... Kok bisa punya pikiran gitu.”
Salah dari ketiga teman laki – lakiku itu menemukan kebenaran dari permasalahan yang terjadi menimpa kita. Butuh validasi dari seseorang disekitar kita agar selalu mendapatkan perhatian adalah alasan Fajar dibalik postingan yang ia unggah empat bulan lalu,
Intrograsi yang dilakukan oleh temanku itu membuahkan hasil. Fajar akhirnya ingin meminta maaf atas kesalahannya. Tapi apa buat, nasi sudah menjadi bubur. Kami sudah terlalu capek memberikan kesempatan, kesabaran, dan maaf atas tindakan dia. Bukan dua kejadian itu saja yang membuat kita kesal, sudah berkali – kali dia berperilaku seperti anak kecil yang tak punya akal dan perasaan.