5 minute read
Kuah Rempah Meruah dalam Semangkuk Coto
Tidak bisa dibantah, bahwa setiap orang memiliki pengalaman dan ekspresi yang ruparupa terhadap cita rasa makanan berkuah yang pernah dicicipi. Beda lidah, maka beda pula versi dalam menilai. Makanan berkuah yang mudah dijumpai dan termasuk favorit bagi orang-orang, khususnya di kota Makassar adalah coto. Selera mencecap coto menimbulkan subjektivitas. Dua orang atau lebih kadang saling sanggah demi mempertahankan warung coto yang
S emangkuk COtO Rempah Meruah dalam mereka gemari, tetap saja Semangkuk kebahagiaan - shutterstock_1982143724 – Tyasindayanti - https:// www.shutterstock.com/g/ Tyas+Indayanti satu warung coto tidak pernah hilang pamornya. Tua-muda datang berkunjung untuk mencicipi makanan ini. Bukan lagi hal aneh, bahwa masing-masing orang memiliki warung coto andalan. Rasa kuah, daging, harga, tempat, dan pelayanan, turut menjadi penentu orang-orang menyenangi satu atau dua bahkan lebih warung coto. Selain rasa, lokasi strategis juga menentukan warung coto dapat bertahan puluhan tahun. Berada di tepi atau tidak jauh dari jalan raya, misalnya, lebih mudah diberkati pelanggan. Di tengah-tengah cengkeraman restoran yang menyajikan aneka makanan daerah dan makanan luar negeri, didukung dengan bangunan megah atau modern, warung coto tidaklah tersisihkan bagi perut para pencinta masakan daging dan jeroan berkuah, kendati tempatnya sederhana. Tiap-tiap warung coto memiliki kuah khas dan keempukan daging yang berbeda. Ada yang menyajikan kuah sangat kental, ada yang tidak. Ada yang dagingnya
Advertisement
begitu empuk, ada yang sedang, dan bahkan agak keras. Hal ini berkaitan dengan durasi pemasakan. Perapian untuk kuah juga harus tetap terjaga. Ada warung yang sejak awal menggunakan kayu bakar dan tetap bertahan hingga kini, karena menyangkut aroma. Ada juga yang memilih kompor minyak, karena enggan repot menyediakan kayu, lagipula warungnya tidak luas. Jika daging dan jeroan belum matang, dan butuh puluhan menit lagi sesuai hitungan juru masak, coto pun tidak jadi dihidangkan, kecuali pengunjung bersedia merelakan waktu untuk sabar menunggu. Menjaga komposisi rasa memang menjadi perhatian utama.
Coto adalah identitas - shutterstock_1695167698 - Musfirahsergi99 - https://www.shutterstock. com/g/Musfirahsergi99
Persebaran Warung
Pasti, mudah saja menemukan warung coto di Kota Makassar. Warung-warung yang dapat disambangi di antaranya di Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan Urip Sumoharjo, Jalan Andi Pangeran Pettarani, Jalan Monumen Emmy Saelan, Jalan Minasa Upa, Jalan Antang Raya, Jalan Sultan Alauddin, Jalan Abdullah Daeng Sirua, Jalan Monginsidi, Jalan Gagak, Jalan Nusantara, Jalan Ranggong, Jalan Sunu, Jalan Merpati, Jalan Harimau. Penamaan warung coto kerap merujuk pada nama jalan (tidak berlaku untuk warung dengan banyak cabang), nama orang, atau nama daerah.
Potensi dagang coto sangatlah besar. Orang tidak akan bosan menyantapnya, meski kerap memasak di rumah juga. Murahnya harga semangkuk coto bukan tolak ukur warung tersebut akan ramai pengunjung. Sebaliknya, warung coto yang mahal bukan jaminan ditinggalkan pelanggan. Lidah seseorang berbedabeda, bukan? Pelanggan tahu warung coto mana yang sesuai untuk lidahnya.
Bagi sebagian warga yang tinggal di kota Makassar, coto kadang menjadi menu sarapan sebelum beraktivitas, sebab warung coto rata-rata buka sejak pagi. Lain hal, beberapa orang percaya makan coto dapat menjadi solusi kala tekanan darah sedang rendah. Sarapan dengan coto memberikan energi positif untuk menjalani hari.
Asal-usul Coto
Coto berbeda dengan soto. Anto (41), pemilik warung di Jalan Perintis Kemerdekaan Makassar mengutip cerita almarhum bapaknya, bahwa babat (orang sering menyebut handuk) itulah inti coto. “Saya tidak ragu pada apa yang dikatakan bapak, mengingat ia puluhan tahun bersentuhan dengan coto. Baik sebagai pelayan di warung coto yang dianggap warung coto pertama di kota ini, hingga jadi peracik dan pemilik warung yang
Dansa (Daging Saja)- shutterstock_1742453021 – Yohanes Setiyanto - https:// www.shutterstock.com/g/ yohanes_setiyanto
diwariskan kepada kami anak-anaknya,” tuturnya.
Banyak orang berargumen mengenai asal-usul makanan berkuah itu, dengan mengamatinya dalam beragam aspek, mulai pemilihan rempah, pemilihan daging, hingga cara penyajian. Tidak terdapat sumber lokal, dokumen, atau laporan bangsa asing sebelum abad ke-20 yang menyebutkan coto merupakan makanan khas atau dikonsumsi oleh masyarakat Sulawesi Selatan. Hal itu karena bumbu rempah merupakan produk mahal di masa lalu. “Keberadaan coto kemungkinan besar baru pada paruh awal abad ke-20. Namun, penelitian lebih jauh mengenai keberadaan kuliner ini belum dilakukan secara mendalam dari aspek sejarah,” tutur Dr. Amrullah Amir, dosen Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin yang sering meneliti dan menulis seputar sejarah abad ke-17 di Sulawesi Selatan.
Seseorang yang mengadakan hajatan kerap memilih memesan coto ke warung langganannya sebagai sajian, karena tak ingin mengecewakan lidah tetamu. Tidak mudah mengolah rempah-rempah untuk membuat kuah coto yang gurih. Bisa gagal jika bukan ahli atau orang yang sudah biasa meracik bumbu-bumbunya. Sudah umum diketahui, bahwa bahan utama coto adalah daging dan jeroan, kemudian bahan-bahan bumbu terdiri dari kacang tanah, serai, ketumbar, jintan, kemiri, bawang merah dan putih, kayu manis, dan lain-lainnya. Namun, dalam eksekusinya, tidak pernah mudah menakar bahan-bahan. Ada yang menyebut kuah coto membutuhkan 40 rempah. Namun, Anto menyanggahnya. “Itu terlalu banyak dan tak tahu jelas apaapa saja,” katanya
Yang menarik dari warung-warung coto di Kota Makassar, hadirnya warung yang menggratiskan ketupatnya, berapa pun hendak dilahap. Strategi jitu untuk meraih pelanggan, sebab satu warung harus bertahan di tengah-tengah banyaknya warung coto yang lebih dulu lahir dan sudah sohor. Selain ketupat, pemilik warung menyediakan pula nasi dan buras.
Hal menarik yang dipandang sebagai strategi pasar daftar menu hidangan coto yang unik, misalnya dengan diakronimkan. Dansa, adalah kependekan dari daging saja (tanpa jeroan). Akronim lain yang bisa membuat senyum-senyum yaitu janda, atau jantung-daging. Jika pelanggan ingin memesan jantungdaging-otak, maka akronimnya adalah janda berpikir. Untuk janda mau mandi, artinya jantung-daging-handuk (babat).
Ada pula japar atau jantung-paru, parto atau paru to’, dan daus atau daging-usus. Tanpa perasaan berarti campur (tidak pakai hati), jahat berarti jantung-hati, dapur artinya daging paru, dan oplosan berarti campur (merujuk pada daging dan jeroan). Pemilik warung memang harus kreatif, harus terus mendulang daya tarik. Dengan pesatnya penggunaan media sosial, warung dapat menjadikan akronim-akronim menu itu sebagai cara berpromosi. Pengunjung dengan senang hati turut pula memublikasikan di akun media sosialnya. Namun, akronim ini sekadar akronim yang dipajang di daftar menu, orang-orang tetap akan memesan yang lazim diucapkan.
Hal-hal menarik tentang coto, terutama campuran rempah-rempah yang menghasilkan kuah khas nan unik, membuat coto tetap eksis di mata penikmat kuliner lokal, Nusantara, hingga mancanegara. (Alfian Dippahatang,
sastrawan asal Bulukumba)
Rempah yang meruah - shutterstock_1915352725 - Hanifah Kurniati - https://www.shutterstock.com/g/ Hanifah+Kurniati