ANTARA AGAMA DAN KEPERCAYAAN: MENGUJI PRAKTIK KEWARGAAN INGENIOUS PAGUYUBAN NGESTI TUNGGAL (PANGESTU)
kebijakan di tingkat daerah seperti perda syariah yang menjamur (Bagir, 2014: 8). Praktik seperti ini sebenarnya sudah dilakukan sejak masa kolonial. Hefner (2014: 27-29) menyatakan bahwa pemerintah kolonial Belanda menyumbang pengaruh besar pada bagaimana pemerintah Indonesia di kemudian hari menerapkan konsep “politik agama non-liberal.” Sebab, sejak masa penjajahan, Belanda sudah melakukan pengawasan dan kontrol terhadap aktivitas keagamaan, seperti “mesyaratkan agar guru-guru agama Islam memiliki surat resmi, menekan berbagai kelompok politik Islam, dan mendorong program pengkristenan penduduk non-muslim untuk mengurangi kemungkinan pribumi menentang pemerintah kolonial di bawah panji Islam. Tidak hanya kolonial Belanda, Jepang juga turut serta mengenalkan Kantor Urusan Agama (Shumubu), dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) (Maarif, 2017: 16).
D. Kontrol terhadap Organisasi Aliran Kepercayaan dan Aktivitasnya
Di sisi lain, kontrol terhadap aliran kepercayaan dapat dilihat dari bagaimana pemerintah Orde Baru membuat Tim Pakem (Pengawasan Aliran Kepercayaan di Masyarakat) sebagai respon terhadap laporan Depag yang menyatakan adanya 260 agama baru dan aliran kebatinan/kepercayaan di Indonesia (Mulders, 1983: 5). Keberadaan Pakem semakin diperkuat dengan kemunculan UndangUndang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia No. 15/1961, pasal 2 ayat (3) yang berbunyi: “Dalam melaksanakan ketentuanketentuan dalam pasal 1, Kejaksaan mempunyai tiga: ....(3) mengawasi aliranaliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.” Dengan Undang-Undang tersebut, Kejaksaan mengambil alih koordinasi atas Pakem yang sebelumnya berada di bawah Depag.
39