SALAM
Syukur Alhamdulillah, dengan penuh kepayahan kami berusaha untuk menyelesaikan Majalah edisi ke-55 ini. Meskipun kami menyadari masih jauh dari kata sempurna. Kami mengakui dan musti meminta maaf sebesarbesarnya kepada segenap pembaca dan mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) atas keterlambatan dan keteledoran kami.
Edisi kali ini, kami berusaha mengulik sebuah teka-teki adanya kekerasan seksual di lingkungan kampus. Menurut catatan tahunan (catahu) Komnas Perempuan pada tahun 2019, secara umum kekerasan seksual menembus angka 4.898 kasus. Beberapa kasus terjadi pada lingkungan kampus. Seperti kekerasan seksual yang dialami oleh Aghni, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada. Penanganan kasus yang lamban dan tidak adanya regulasi yang jelas untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual membuat Aghni merasakan depresi, trauma, dan mesti menjalani konseling traumatik.
Kekerasan seksual di kampus ini bagai fenomena gunung es. Banyak kasus kekerasan seksual yang disembunyikan sebab klaim buruk kepada para penyintas. Selain itu, juga adanya bungkaman dan intimidasi dari pihak kampus yang tidak berpihak kepada penyintas. Umumnya, pihak kampus memilih menyembunyikan demi ‘nama baik’ dan tidak melakukan proses hukum secara serius atas kasus kekerasan seksual yang terjadi. Sebabsebab tersebut menjadikan penyintas memilih untuk diam dan memendam ketakutan dalam diri mereka sendiri.
Pembahasan lebih spesifik kami uraikan pada laporan utama yang menyoroti tentang keberadaan kekerasan seksual di kampus serta penerapan regulasi yang berada di lingkungan UIN Walisongo. Kami membahas beberapa penyintas yang mengalami kekerasan seksual di kampus, namun tak ada tindak lanjut dari pihak birokrat kampus. Selain itu laporan utama yang ke dua, kami juga membahas tentang peliknya pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK) pada masa pandemi Covid-19.
Pada rubrik artikel, kami membahas terkait beberapa solusi yang bisa diterapkan untuk menangani kasus kekerasan seksual di kampus. Sedangkan untuk memperkaya majalah ini, kami menyertakan pula rubrikrubrik lain. Dari mulai kolom hingga sastra.
Demikianlah majalah edisi 55 ini kami sajikan kepada pembaca. Kami mengakui bahwa dalam penulisannya, penyampaian ide, dan gagasan memiliki banyak kekurangan. Tersebab kami sedang bersama-sama dalam tahap belajar. Tentu keinginan kami, supaya majalah ini bisa menjadi salah satu referensi terkait kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Kami berharap majalah edisi ke- 55 ini bisa bermanfaat untuk penulis dan secara umum kepada seluruh pembaca. Tabik!
IZIN TERBIT SK Dekan No.IN/D-3/ HK.005/1021/1992 PELINDUNG Dekan FITK UIN Walisongo Semarang PEMBIMBING Dr. Abdul Wahib M.Ag., Prof. Dr. Fatah Syukur, M.Ag., Dr. Syamsul Ma’arif, M.Ag. Ubaidillah Achmad M.Ag., M. Rikza Chamami, M.SI. PENANGGUNG JAWAB (Pimpinan Umum) Asifatun Hidayah PEMIMPIN REDAKSI AA Prayoga SEKERTARIS REDAKSI Amalia Fariza. TATA LETAK Ahmad Aam, Fatimatur R. @ Ulfi Ramadhani ILUSTRASI Udin REDAKTUR PELAKSANA M. Lutfi Hakim, Siti Sa’adah, Putri Sonia, M. Fahrurozy, Khoirun Nisa’, Khafidatul Hasanah, Siti Arikha Mauliya, M. Khoirul Umam G. H, Fatkhiya Mubarokah, Iftahfia Nur Iftahani, Anna Muhimmah, Novi Karisma, Ela Agustina, Zamrud Naura Orchida, Fina Tamala, Catur Krisna, Prianik Anjarwati, M. Syafiq Yunensa, Nila Rustiyani, Burhan Ch, M. Khoirul Anam, M. Nasrullah, Almaidah, Nurul Arifah, Asmahan Aji R, Nurul Afrida Izzah, Sholahuddin, Risma Alfiani
ALAMAT REDAKSI Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Lantai 2 Kampus II FITK
UIN Walisongo Jl. Prof. Hamka KM. 01 Ngaliyan Semarang 50158 | TELEPON 024 7601296 | SUREL eduonline9@ gmail.com | WEBSITE www. lpmedukasi.com | FACEBOOK LPM Edukasi | TWITTER @ LPM_edukasi
Dilema Perkuliahan Daring di Masa Pandemi
Kepada Yth, Dosen FITK
Mau tidak mau, akibat pandemi perkuliahan juga beralih dari pertemuan offline menjadi online. Dilema perkuliahan online dimulai ketika ada dosen yang latah dengan sistem perkuliahan online
Seperti yang saya alami pada mata kuliah Filsafat Kesatuan Ilmu. Kegiatan perkuliahan yang berlangsung hanya berisi tentang pemberian tugas dan presentasi makalah oleh mahasiswa. Sedang, dosen tidak memberi penguatan materi perkuliahan atau menengahi apabila terjadi perdebatan ketika diskusi makalah. Di sini, dosen hanya masuk ke dalam pertemuan online, lalu memberi salam dan pengantar, lalu keluar dari forum perkuliahan. Akibatnya, saya sebagai mahasiswa baru yang masih beradaptasi dengan lingkungan kampus menjadi semakin tidak tahu.
Terlebih saya, mahasiswa baru angkatan 2020 mendapat besaran UKT yang tinggi. Bila karena pandemi covid-19, tidak dapat menggunakan fasilitas dari kampus seperti wi-fi, ruang kelas yang komprehensif, dan alat penunjang lainnya, maka setidaknya kegiatan perkuliahan harus dimaksimalkan.
ACNT, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, UIN Walisongo
SURAT PEMBACA
Mahasiswa Cuti Tidak Bisa Mengajukan Keringanan UKT
Kepada: Pemegang kebijakan kampus peradaban, UIN Walisongo
Kondisi keuangan keluarga yang memburuk merupakan salah satu dampak dari masa pandemi COVID-19. Pendapatan yang diterima tidak sepadan dengan pengeluaran. Sebab itulah kondisi keuangan keluarga saya kollaps. Menyikapi permasalahan tersebut, pada semester 7 saya mengajukan cuti kepada birokrasi UIN Walisongo.
Setelah berjalan hampir satu semester berikutnya, saya mengetahui edaran pengumuman dari Senat Mahasiswa tentang adanya banding dan pengajuan keringanan pembayaran UKT. Waktu itu saya sudah turut serta mengurus segala persyaratan untuk melakukan banding dan pengajuan keringanan pembayaran UKT. Saat membuka laman yang disediakan untuk mengunggah persyaratan, akun saya tidak bisa diakses. Setelah konsultasi dengan dosen wali, ternyata ada kebijakan bahwa mahasiswa berstatus cuti tidak bisa mengajukan.
Berdasarkan kebijakan itu saya tidak bisa mengajukan banding dan pengajuan keringanan pembayaran UKT. Saya cuti pada semester sebelumnya sebab tidak memiliki biaya untuk membayar UKT. Tetapi saat ada pengajuan keringanan, saya justru tidak bisa mendapat keringanan tersebut. Jadi, sebenarnya keringanan itu untuk apa?
Saya sekarang berstatus menjadi mahasiswa yang di drop out oleh sistem. Padahal bila kebijakan banding dan keringanan pembayaran UKT bisa juga dilakukan oleh mahasiswa yang berstatus cuti, ada kemungkinan bahwa saya masih bisa bertahan.
Apalagi tidak adanya program Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) pada mahasiswa S1. Sehingga setelah dinyatakan drop out, saya tidak bisa menyelamatkan masa studi yang telah saya lalui untuk lulus.
AP, Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, UIN Walisongo
Redaksi menerima kiriman untuk rubrik surat pembaca berupa pertanyaan, keluhan, dan gagasan seputar kampus UIN Walisongo, sekitar Semarang, atau nasional. Surat yang dikirim dilengkapi dengan identitas diri ke surel: eduonline9@gmail. com, atau bisa datang langsung ke sekertariat LPM EDUKASI di PKM Kampus II UIN Walisongo Semarang.
SURAT PEMBACA
Sistem Pelaksanaan KKN Reguler dari Rumah Membingungkan
Kepada: Para pemegang kebijakan di LP2M
Dampak pandemi COVID-19 yang mulai merebak pada tahun 2020 juga turut mempengaruhi pelaksanaan KKN di UIN Walisongo. Ketidak-siapan sistem yang dibuat membuat mahasiswa bingung. Padahal peserta KKN mencapai ribuan. Apalagi penugasan yang diberikan tidak melalui proses pembimbingan terlebih dahulu. Seperti pada penugasan pembuatan berita secara individu terkait program kerja yang akan dilaksanakan. Saya, sebagai mahasiswa KKN ditugaskan untuk membuat naskah berita sebanyak 5 buah yang musti dipublikasi pada media online yang bergengsi. Padahal, tidak semua mahasiswa memilik skill atau keterampilan dalam penulisan berita. Juga penyaringan berita dari suatu media itu tidaklah mudah, sebab mereka memiliki kriteria atau persyaratan tertentu supaya dapat diunggah.
Tak hanya itu saja, saya juga sampai harus membayar media untuk menerbitkan naskah berita dari program kerja saya. Dan, naskah berita saya justru masuk pada kategori
adsense, bukan pemberitaan.
Saat saya menjadi devisi media pada kelompok KKN, ada kabar dari LP2M yang simpang siur dan tidak konsisten. Saat itu, sudah ada grup WhatsApp sebagai wadah koordinasi dengan pihak LP2M terkait kegiatan yang akan diselenggarakan, yakni pelatihan pembuatan berita. Tentu saja waktu itu, pemateri yang digadang-gadang tidak main-main. Menggait salah satu media bergengsi. Namun sampai 40 hari kemudian, saat masa KKN sudah selesai, kegiatan tersebut nyatanya tidak pernah terlaksana.
Ada lagi penugasan KKN yang perlu disoroti. Selain pembuatan berita, juga ada pembuatan buku bunga rampai. Setelah dibuat, buku ini hanya sebagai formalitas dikumpulkans saja. Tidak ada tindak lanjutnya sama sekali, misalnya dengan diulas atau direview oleh Dosen Pembimbing Lapangan (DPL). Apalagi buku bunga rampai musti terdaftar ISBN yang tentu saja dalam mengajukannya membutuhkan dana.
INI, mahasiswa Pendidikan Agama Islam, UIN Walisongo
Kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi yang marak akhir-akhir ini adalah rahasia umum yang telah banyak diketahui. Namun sayangnya, perguruan tinggi masih belum punya prosedur dan regulasi yang jelas terkait penanganannya.
BACA SELENGKAPNYA DI LAPORAN UTAMA Abu-Abu Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi -12
DAFTAR ISI
Dari Kami - 01 Surat Pembaca - 02 Daftar Isi - 04 Edusket - 05 & 21
FOKUS Tindak Tegas Predator Kampus06 KOLOM Disuit-suit- 08 Perguruan Tinggi untuk Penyandang Disabilitas- 50 MUKADIMAH - 11 LAPORAN UTAMA Abu-Abu Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi -12 Pandemi Uji Pendidikan ABH-22
ARTIKEL Bayang-Bayang Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi- 18 Kematian Kecil Sekolah- 26 Rantai Diskriminatif di Instansi Pendidikan-44 SEMARANGAN Makam Sunan Kuning yang Kian Terlupa 30 KAJIAN ISLAM Islam dan Upaya Menjaga Lingkungan Dari Meja Makan36 LAPORAN KAMPUS Pembangunan Akbar Sepanjang Sejarah UIN Walisongo Semarang - 39 LENSA Tembakau-47 SUARA MAHASISWA Dilema Aktivis Mahasiswa dan Mahalnya biaya Kuliah - 52 BUDAYA Batik Tiga Negeri - 54 PUJANGGA Subagio Sastrowardoyo Pernah Menyair Dulu - 57 SASTRA Ikatan Kecil - 62 Insomnia - 74 DIORAMA - 66 RESENSI Merayakan Keremehtemehan - 68 Tuhan dan Perbudakan - 69 NUSANTARA Bimbel Online - 72 SILUET Mereka Masih Sendirian - 75
TINDAK TEGAS PREDATOR KAMPUS!
Pada akhir 2018 publik digemparkan dengan kasus yang dikuak oleh Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BP2M) Balairung Universitas Gajah Mada (UGM). Balairung menelusuri desas-desus kekerasan seksual yang terjadi saat Kuliah Kerja Nyata (KKN). Dari penelusuran tersebut, mereka menemukan fakta bahwa kasus kekerasan seksual itu benar dialami oleh salah satu mahasiswi, dan pelakunya sesama mahasiswa peserta KKN lainnya. Yang kemudian diterbitkan dalam sebuah laporan dengan judul Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan.
Dari laporan itu dapat dilihat ada nalar pincang yang dipakai UGM dalam menangani kasus kekerasan seksual. Ini juga membuktikan UGM tidak tegas dalam menindak pelaku kekerasan seksual.
Selain kasus di UGM tersebut masih ada banyak kasus kekerasan seksual di kampus lain yang tidak diketahui oleh publik. Hal ini mengundang banyak simpati media untuk menelusuri lebih jauh. Kemudian Tirto.id, The Jakarta Post dan Vice membuat proyek bersama dengan sebuah tagar #NamaBaikKampus. Mereka berupaya mengumpulkan testimoni dari para penyintas kekerasan seksual di kampus.
Ketiga media itu mengacu RUU PKS untuk mengakomodasi bentuk-bentuk kekerasan seksual dalam sebuah testimoni. Bentuk-bentuk tersebut di antaranya pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Lewat formulir testimoni yang telah dibuka akses ke publik dan disebar ke masing-masing media sosial yang terlibat kolaborasi, sejak 13 Februari hingga 28 Maret 2019, terdapat 207 orang yang memberikan testimoni. Dari 207 testimoni itu, tidak semuanya masuk ke dalam kategori kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Ditemukan ada 174 kasus yang berhubungan dengan institusi perguruan tinggi. Yang mengkhawatirkan adalah di antara para penyintas, sedikit sekali yang melaporkan kekerasan yang dialaminya kepada pihak kampus: hanya 29 orang yang melapor, kurang dari 20 persen. Sementara separuh dari 174 penyintas lebih memilih bungkam.
Ini menunjukkan bahwa kampus tidak
menjadi ruang aman bagi para penyintas kekerasan seksual untuk melaporkan kejadian yang dialaminya. Para penyintas hanya bisa bungkam dan menutupi kejadian yang dialami. Pengalaman buruk itu disimpan sendiri, tak ada yang tahu. Alasan utamanya karena malu, takut, tidak punya bukti, atau khawatir dianggap berlebihan. Selain itu, relasi kuasa yang timpang juga menjadi pemicu, apabila yang menjadi pelaku memiliki jabatan lebih tinggi atau senior dalam sebuah organisasi, otomatis penyintas tidak memiliki kekuatan untuk melindungi dirinya.
Semua itu karena Perguruan Tinggi tidak mempunyai regulasi yang jelas terkait penyelesaian kasus kekerasan seksual. Bahkan tak jarang kampus masih menganggap bahwa kasus kekerasan seksual merupakan hal yang tabu dan harus diselesaikan dalam ranah privat. Seringkali pihak kampus sengaja menutupi agar tidak mencoreng nama baik kampus. Alhasil alih-alih melindungi korban, kampus lebih terkesan melindungi pelaku.
Sementara itu Kemenristekdikti sebagai pemangku kebijakan paling tinggi absen terhadap permasalahan ini. Mereka masih beralasan bahwasanya sistem pendidikan tinggi yang dianut Indonesia bersifat otonom. Artinya, penyelesaian persoalan kemahasiswaan, termasuk kekerasan seksual, merujuk pada statuta kampus masing-masing, yang di dalamnya berisi kode etik seluruh civitas academica, seolaholah mereka saling lempar tangan. .
Dari laporan-laporan yang kami kaji ada tiga faktor yang membuat kasus pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan kampus terus terjadi. Pertama, pihak kampus tidak memiliki posko pengaduan untuk melapor terkait kasus kekerasan seksual. Kedua, tidak ada sanksi yang jelas terhadap pelaku. Dan ketiga, tidak ada pendokumentasian. Ketiga hal inilah yang absen di perguruan tinggi.
Harusnya Kemenristekdikti bersama dengan civitas academika kampus mulai mengisi kekosongan aturan tersebut. Dari membuat regulasi yang jelas hingga advokasi terhadap para penyintas. Karena perlindungan korban dan penindakan secara tegas predator kekerasan seksual adalah kunci utama untuk menciptakan lingkungan kampus yang ramah dan aman.
LAPORAN UTAMA:
Ada dua penyintas kekerasan seksual yang redaktur LPM Edukasi temui di UIN Walisongo. Penyintas pertama adalah mahasiswa, sedangkan pelakunya merupakan mahasiswa kakak tingkat yang juga seniornya di sebuah organisasi. Akibatnya penyintas mengalami trauma, dan akhirnya sudah tidak lagi aktif di organisasi yang diikuti. Penyintas kedua adalah mahasiswa yang dilecehkan oleh dosen pembimbingnya pada pertengahan 2019 ketika bimbingan skripsi. Sayangnya, karena kedua korban tidak tahu regulasi yang jelas terkait penanganan kasus kekerasan seksual di UIN Walisongo keduanya belum mendapatkan keadilan hingga kini.
Selain laporan utama tersebut kami juga memperkaya bahasan tentang kekerasan seksual di perguruan tinggi dengan jenis tulisan lain. Selamat membaca!
DISUIT-SUIT
“
Suit-suit, cewek, mau ke mana?, duh manisnya, senyum dong”. Apakah kamu pernah dilontari ungkapan semacam itu oleh orang yang tidak kamu kenal? Di jalan atau di mana saja. Jika pernah, itu namanya catcalling. Dalam hidup saya pernah mengalaminya lebih dari sepuluh kali. Bahkan terkadang tidak hanya disuitsuit, diberi siulan, dipanggil Mbak, Mbak, diminta tersenyum atau dikedipi saja, tapi juga pernah dilempari kata-kata cabul.
Yang getir dan pahit memang sulit dilupakan. Begitulah, luka psikis korban pelecehan seksual mungkin akan diingat seumur hidup. Sampai sekarang, saya masih ingat betul kalimat demi kalimat itu. Saya paling banyak mengalami catcalling di jalan, di bus, saat bepergian menggunakan motor juga saat berbelanja ke toko kelontong yang hanya sepelemparan batu dari indekos. Padahal saya tidak pernah mengundang untuk dilecehkan. Saya menutup semua tubuh saya kecuali wajah, tangan dan kaki.
Saya rasa-rasa, akan ada dua kemungkinan jika saya bercerita tentang kejadian itu pada orang lain. Kemungkinan pertama, seseorang akan berada di pihak saya. Mereka akan berkata, perbuatan itu sama sekali tidak bisa dibenarkan. Kemungkinan kedua, saya akan dinasehati, “makanya jadi perempuan jangan pergi sendiri, dan bla bla, bla”. Bahkan tidak menutup kemungkinan, saya akan disalahkan.
Hingga pada suatu hari, saat minum
kopi bersama salah satu teman perempuan semasa kuliah, saya menceritakan tumpukan pengalaman pahit itu padanya. Teman saya memberi respon yang tak terduga. Ia malah menceritakan kejadian pahit yang dialaminya. Ia juga pernah mengalami catcalling saat pulang kerja, dan bukan itu saja, pelecehan verbal itu disusul dengan pelecehan secara fisik. Tentu kejadian itu menimbulkan trauma. Ia terpukul. Tapi karena malu dan takut, ia tak pernah menceritakan kejadian tersebut pada siapapun sebelumnya Malu dan takut itu tentu saja beralasan, kita tahu bersama bahwa masyarakat memang masih sering melakukan victim blaming atau menyalahkan korban. Tak jarang masyarakat juga masih mengaitkan pelecehan seksual itu terjadi karena gaya pakaian yang dikenakan oleh korban, fenomena ini biasa disebut dengan culture rap
Faktanya, pada sebuah eksebisi yang dilakukan oleh Koalisi Indonesia untuk Seksualitas dan Keberagaman (KITABISA) pada 2019 lalu, menunjukkan tidak ada korelasi antara gaya berpakaian dengan penyebab seseorang bisa mengalami pelecehan seksual. Gelaran tersebut menunjukkan pakaian korban pelecehan seksual, ada yang saat itu memakai rok mini, kemeja, baju kerja, seragam sekolah, juga pakaian muslimah dengan kerudungnya. Mundur beberapa waktu, Belgia juga telah
melakukan eksebisi semacam. Rata-rata pakaian korban pelacehan seksual adalah pakaian sehari-hari yang biasa dikenakan, bahkan ada juga pakaian anak-anak. Hal itu juga ditegaskan oleh survei yang dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman (2019), bahwa memang tak ada kaitan antara pakaian yang dikenakan dengan pelecehan seksual.
Gap Antar Gender
Dari pembicaraan itu, kami sepakat bahwa catcalling tidak bisa dianggap enteng. Apalagi pelecahan dan kejahatan seksual. Hal itu dibenarkan oleh sebuah data bahwa, hampir semua perempuan pernah mengalami pelecehan verbal.
Catcalling paling sering terjadi di jalanan dan ruang publik, atau istilahnya street harassment. Tentu bukan iseng, bukan canda, bukan ungkapan menunjukkan kekaguman melainkan pelecehan. Hal itu tentu sangat mengganggu. Di sisi lain, bisa saja menimbulkan ancaman bagi korban.
Lantas siapa yang bisa menjadi korban? Catcalling memang paling banyak dialami oleh perempuan. Tapi tidak menutup kemungkinan, bahwa kejatahan verbal itu dapat dialami oleh laki-laki, mesti kasusnya sangat jarang. Bahkan, ketika hal itu terjadi, korban yang seringkali perempuan merasa tidak tahu bagaimana mereka harus bereaksi. Lebih banyak dari mereka memilih diam.
Seseorang melakukan catcalling karena ada ketimpangan relasi kuasa dalam
suatu masyarakat tersebut. Alasan lain, karena ada dorongan hasrat untuk mencari perhatian. Ditambah lagi Indonesia masih lekat dengan budaya machoisme dan patriarki. Sehingga catcaller, pelaku catcalling, dengan enteng menganggap perbuatannya sebagai suatu keisengan dan itu sah-sah saja dilakukan. Bahkan diujarkan secara spontan dan setelah itu mereka akan segera melupakan perbuatannya. Ironisnya mereka melakukannnya dengan sangat bangga.
Catcalling merenggut rasa nyaman dan aman di ruang publik, serta menimbulkan was-was jika bepergian sendiri. Perempuan sebagai korban yang paling banyak akan merasa paling dirugikan, karena kebebasannya berada di ruang publik menjadi lebih sempit dibanding dengan laki-laki. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan hak semua orang terhadap ruang publik, baik laki-laki maupun perempuan. Di sini dapat kita lihat ketimpangan gender atau juga disebut sebagai diskriminasi terhadap kesetaraan gender masih saja tumbuh subur di Indonesia. Payung Hukum di Indonesia
Jika diam-diam saja, bukan tidak mungkin jika catcalling berisiko menjadi kebiasaan dalam lingkungan sosial di Indonesia. Maka dari itu pekerjaan rumah kita bersama adalah bagaimana negara bisa membuat payung hukum yang tegas dan khusus.
Kita semua mungkin bisa sebentar menengok bagaimana negara seperti Belgia, Portugal, Argentina, Kanada, New Zeeland, Amerika Serikat menaggapi serius kejahatan ini. Sederet negara tersebut menetapkan tindakan catcalling sebagai bentuk kejahatan pidana. Tak tanggung-tanggung, negara seperti Perancis juga menetapkan denda bagi pelaku.
Lantas bagaimana di Indonesia? Permasalahan ini menjadi kompleks karena catcalling tidak dapat dikatakan sebagai kekerasan dan kejahatan seksual sebagaimana yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 289-296. Perundang-undangan tersebut masih sangat terbatas bentuk dan lingkupnya.
Rancangan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang digadang dapat menjawab fakta kekerasan seksual yang makin berkembang di masyarakat tak kunjung juga diteken dan disahkan. Dirasarasa negara memang terkesan setengah hati
untuk melindungi dan memberi keadilan korban pelecehan seksual.
Dalam rancangan undang-undang tersebut kekerasan seksual dibagi menjadi sembilan jenis tindak pidana, salah satunya adalah pelecehan seksual yang di dalamnya terdapat pelecehan secara verbal atau non fisik. Siulan, kedipan mata, ucapan dan komentar yang bernada sensual, dan lainnya merupakan bentuk dari pelecehan seksual yang dikategorikan sebagai tindakan non fisik. Hal itu tertuang dalam pasal 11 ayat 2, kemudian dijabarkan pada pasal 12 ayat 1.
Namun, RUU tersebut dianggap liberal oleh beberapa kubu. Mereka menganggap bahwa ada pasal-pasal yang tidak sesuai norma ketimuran. Hal itu berbanding terbalik dengan fakta makin menggunungnya kasus kekerasan seksual yang terjadi. RUU PKS genting untuk segera disahkan. Butuh digodok lagi, begitu kabar terakhir. Doa baiknya, semoga yang berwenang tidak jumud, lalu pelan-pelan rancangan RUU yang menurut Yenny Wakhid bisa melindungi perempuan itu tidak hilang perlahan.
Lalu kita tunggu saja, bagaimana negara ini akan mengurus soal itu. Sambil menunggu, kita mungkin punya alternatif untuk menyerukan penolakan terhadap segala macam bentuk pelecehan secara verbal. Contoh saja Noa Jansma, seorang remaja asal Amsterdam yang selalu mengajak catcaller berswafoto lalu mengunggahnya ke media sosial. Dalam unggahannya ia menjelaskan bahwa mereka (catcaller) telah melakukan pelecehan padanya. Semoga saja saat kamu membaca tulisan ini, RUU PKS sudah selesai diteken.
Yang kadang jadi anekdot, satu dua suara mengajak agar kita semua melakukan upaya preventif untuk menghindari catcalling pun kekerasan seksual lainnya. Misalnya nasihat lama ini, perempuan jangan keluar sendiri, perempuan jangan keluar malam, perempuan jangan pakai baju ketat-ketat. Lagi-lagi perempuan disudutkan.
Coba sekarang kita ubah. Beberapa kali
saya menemukan meme menampar tapi dibuat lucu tentang tips menghindari pelecehan seksual. Begini bunyinya, jika ada seseorang berjalan sendirian jangan diganggu atau diperkosa, jika memberikan seseorang tumpangan jangan memerkosa, selalu berpergian bersama teman Anda! Agar mereka mengingatkan Anda untuk tidak memerkosa. Memang begitulah semestinya. Jadi orientasinya bukan ke korban yang mayoritas perempuan, melainkan titik fokusnya ke pelaku. Tabik untuk pembuat meme itu.
Tidak ada pemakluman untuk pelaku, catcaller,predator dan entah apa sebuatan yang pantas. Karena setiap bentuk kekerasan seksual adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihapus.
Jadi, jika RUU PKS sudah disahkan, besok-besok jika kamu pergi sebentar untuk membeli gula di gang sebelah, kemudian segerombolan orang bersiul, menyeru suitsuit sambil tertawa merendahkan dan kamu merasa terganggu, kamu bisa menuntut keadilan untuk itu. Sekali lagi, bukan semata iseng, disuit-suit, catcalling atau semacamnya itu pelecehan, perbuatan itu melanggar HAM. Titik. [E]
Fitri Ulya Dewi
Jika ada seseorang berjalan sendirian jangan diganggu atau diperkosa, jika memberikan seseorang tumpangan jangan memerkosa, selalu bepergian bersama teman Anda! agar mereka mengingatkan Anda untuk tidak memerkosaLulusan sarjana Pendidikan Bahasa Inggris. Pernah menjabat sebagai sekertaris LPM Edukasi.
MUKADIMAH
Mendapat rasa aman adalah hak yang mutlak harus didapatkan oleh setiap orang. Hak merupakan segala sesuatu yang harus diperoleh dan melekat pada individu sejak lahir. Oleh sebab itu, hak seseorang untuk merasa tetap aman di mana pun ia berada adalah sesuatu yang mesti dilindungi. Tanpa terkecuali di lingkungan perguruan tinggi yang harusnya aman dari segala bentuk kekerasan seperti ancaman, paksaan, dan serangan dari predator seksual.
Menurut World Health Organization (WHO) kekerasan seksual merupakan segala tindakan yang bertujuan dan diarahkan pada seksualitas seseorang dengan paksaan tanpa memandang status korban. Maksudnya adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku tidak melalui consent atau persetujuan dari korban. Sehingga, korban mengalami kerugian dan merasa menderita baik secara fisik, psikis, ekonomi, maupun sosialnya.
Berdasarkan catatan dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, dari tahun ke tahun laporan terkait kekerasan seksual di perguruan tinggi mengalami kenaikan. Pada 2015 tercatat ada 3 laporan kasus kekerasan seksual. Meningkat pada 2016 menjadi 10 laporan, dan pada 2019 ada 15 aduan yang terlapor. Meskipun demikian, mereka mengamini bahwa masih banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi pada lingkungan perguruan tinggi yang tidak dilaporkan. Indikasi lain bahwa perguruan tinggi belum menjadi tempat aman adalah temuan dari survei Mendikbud Ristek pada 2019, perguruan tinggi menempati urutan ke 3 lokasi yang sering terjadi kekerasan seksual setelah di jalanan dan transportasi dengan persentase 15 persen.
Kekerasan seksual di perguruan tinggi sering diibaratkan sebagai fenomena gunung es. Di mana kasus yang mencuat di permukaan tak sebanding dengan yang berada di dalam. Artinya masih ada banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dilaporkan. Lemahnya penanganan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi disebabkan pelaku merupakan orang terdekat, seperti dosen, mahasiswa, maupun karyawan. Mengatasnamakan “nama baik kampus”, kasus-kasus kekerasan seksual sering berakhir dengan ancaman dan agresi dari pelaku yang memiliki relasi kuasa untuk diselesaikan secara kekeluargaan alih-alih di jalur hukum. Terlebih lagi, budaya masyarakat yang misoginis dan seksis membuat penyintas yang kebanyakan adalah perempuan memilih diam dan tidak melapor atas kekerasan seksual yang dialaminya.
Selain itu, sebab tidak adanya regulasi hukum yang jelas untuk mengatur kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi turut memperumit penyelesaian kasus. Tidak semua perguruan tinggi memiliki aturan terkait penanganan kasus kekerasan seksual. Minimnya tempat pengaduan yang memihak penyintas, serta sering disamakannya kekerasan seksual dengan pelanggaran kode etik di perguruan tinggi membuat aturan semakin tidak jelas.
Akibatnya, penyintas tak memiliki akses untuk melakukan pemulihan atau penanganan psikologis atas trauma yang dialaminya. Apalagi tekanan dan teror yang diterima penyintas sebab relasi kuasa pelaku menimbulkan ketidakberdayaan dari para penyintas. Tentu saja ini berdampak dan menganggu penyintas ketika mengikuti proses perkuliahan yang berlangsung. Dalam hal ini, pelaku kekerasan seksual telah melanggar dan merebut ruang aman bagi penyintas sebagai hak asasinya dan sebagai peserta didik.
Sebab-sebab itulah, perlu adanya regulasi atau aturan yang mengatur tentang tindak kekerasan seksual khususnya di perguruan tinggi. Sehingga, perguruan tinggi yang merupakan lembaga pendidikan tempat para civitas academica berhak mendapatkan ruang belajar dan ruang aman yang bebas dari kekerasan dan predator seksual.[E]
Kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi yang banyak disorot akhir-akhir ini adalah rahasia umum yang telah banyak diketahui. Namun sayangnya, perguruan tinggi masih belum punya prosedur dan regulasi yang jelas terkait penanganannya.
Di suatu waktu yang sudah ia lupakan, sekitar awal tahun 2016, M-bukan nama sebenarnyamendapatkan pesan dari seseorang. Pesan itu berisi ajakan untuk bertemu di sebuah gedung kegiatan mahasiswa. Si pemberi pesan adalah kakak tingkatnya yang merupakan seniornya di salah satu organisasi yang diikuti oleh M.
Malam itu--tidak seperti biasanya--M pulang les privat sendirian. Biasanya ia bersama dengan seorang teman: sebab arah pulang dan tempat memberi les yang kebetulan sama. Dengan tak menaruh curiga apapun, ia pergi menemui
senior yang baru saja memberinya sebuah pesan.
Gedung tempat berjanji bertemu adalah sebuah gedung dengan dua lantai. Gedung itu selalu ramai, meski di malam hari sekalipun. M memarkir motornya di depan gedung dan melihat banyak mahasiswa sedang bersenda gurau di sekitar gedung.
Berdasar pesan, si pemberi pesan meminta bertemu di lantai dua dan di ruangan paling pojok sebuah kantor organisasi. M mulai timbul curiga. Tapi karena M menganggap si pemberi pesan adalah seniornya yang harus dihormati, ia menyakinkan diri dan
menepis sedikit keraguan yang ada di pikirannya. “Mengapa bertemu di ruangan pojok?” M hanya membatin.
Tidak berbeda dengan lantai satu, lantai dua juga ramai dengan mahasiswa di masing-masing ruangan. Tapi di ruangan paling pojok kala itu sepi. M mulai raguragu, akan tetapi lagi-lagi ia menepis segala keraguan. Tanpa rasa khawatir, ia masuk ruangan.
Pada awalnya, M dan seniornya hanya berbincang-bincang dalam keadaan berdiri berhadaphadapan. Selang beberapa waktu, seniornya mulai memegang tangan M dan
menggenggamnya. M mencoba menepis. Namun karena genggamannya begitu erat, M tidak bisa melepaskan diri. Berkalikali, M menolak dan ingin melepaskan genggaman. Karena genggamannya yang kuat, M tidak bisa melepaskan diri. M kemudian berpaling, ingin pergi dari ruangan.
Penolakan dari M malahan ditanggapi seniornya dengan memeluknya dari belakang. M ingin berteriak. Akan tetapi ia urungkan. Sebab ia masih merasa kasihan kepada seniornya. Karena jika berteriak, para mahasiswa di lantai satu dan dua bakalan beramairamai mendatanginya dan kemungkinan akan menghakimi seniornya. M tidak tega.
Dengan sepenuh tenaga, M kemudian memberontak dari pelukan seniornya. M
bersyukur akhirnya bisa lepas dari genggaman dan pelukan seniornya. Ia lalu berlari ke bawah sembari meneneteskan air mata. Dengan tergesa-gesa, M menstarter motornya langsung pulang ke indekos.
Begitulah kronologi kejadian yang digambarkan oleh M sewaktu berbincang dengan redaksi. Sampai saat ini, ia masih mengalami trauma atas kejadian itu. Setelah kejadian yang menimpanya, ia sudah tidak ingin lagi mendengar atau melihat apapun tentang seniornya itu.
M merupakan salah satu mahasiswa di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Walisongo Semarang angkatan 2014. Kejadian yang menimpanya itu, ia simpan rapat-rapat hingga sekarang. Ia hanya bercerita kepada beberapa temannya. Dan karena
kejadian yang dialaminya tersebut, M memilih untuk tidak aktif lagi mengikuti organisasi yang ada pelaku.
Sebenarnya M ingin membalas pelaku, akan tetapi ia urungkan. Karena ia ingin melupakan itu semua. “Biar dibalas sama Tuhan,” katanya. Apalagi, M juga tidak tahu-menahu prosedur melaporkan pelecehan seksual di UIN Walisongo.
Kasus serupa tidak hanya dialami oleh M, D mahasiswa Fakultas
Sains dan Teknologi (FST)
UIN Walisongo mengaku pernah mengalami tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen pembimbingnya pada pertengahan 2019. D mengalami trauma setelah kejadian tersebut. Ia mengaku tidak lagi menemui dosen tersebut untuk meneruskan bimbingan.
Atas perlakuan dosen tersebut D memutuskan untuk melaporkannya. Karena, ia tidak ingin kejadian ini dialami juga oleh mahasiswa lain. “Mosok saya tahu kejadiannya tapi aku diem,” kata D.
Namun, karena tidak tahu prosedur pelaporan kasus pelecehan seksual, ia meminta pertolongan kepada dosen FST lain yang dianggapnya mampu menolongnya. Setelah menemui dosen itu, D kemudian menceritakan kejadian yang dialaminya.
Mencoba membantu D, dosen tersebut kemudian melaporkannya kepada Dekan Fakultas Saintek, Ruswan. Yang lantas ditanggapi oleh dekan dengan meminta D untuk bisa bertemu. Namun,
lantaran kesibukan Ruswan, hingga berbulan-bulan pertemuan tersebut tidak pernah terjadi.
Selang beberapa waktu, ia kemudian mendapatkan pesan dari Dekannya yang menjelaskan bahwa pelaku sudah diingatkan. “Dari Pak Dekan katanya sudah menegur yang bersangkutan,” ungkap D.
Sebenarnya kasus kekerasan seksual di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) sudah diatur melalui Surat Keputusan (SK) Pendis Dirjen No 5494 tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual. Namun sayangnya, menurut Lift Anis Ma’sumah, Dekan FITK UIN Walisongo, secara teknis UIN Walisongo memang belum pernah membahasnya secara detail. Namun, pihaknya menyarankan, ketika terjadi kasus kekerasan seksual bisa disampaikan kepada pimpinan fakultas.
Sementara itu Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) UIN Walisongo, Titik Rahmawati menyatakan bahwa dengan adanya SK Pendis tersebut menjadi angin segar terciptanya payung hukum dan ruang aman di perguruan tinggi. “Sementara saat ini SK tersebut masih dalam kajian seperti diskusi, survei, pembuatan SOP (Standar Operasional ProsedurRed) dengan para dosen yang memiliki pemahaman gender. Setelah itu kita akan ajukan kepada rektor untuk dijadikan sebagai aturan resmi kampus,” ungkapnya
seperti dilansir dari majalah Missi Edisi 44 yang berjudul Runtuhnya Ruang Aman Perempuan. Penyintas yang Terus Bertambah
Selain M dan D ada banyak kasus pelecehan seksual lain yang terjadi di berbagai Perguruan Tinggi. Tirto.Id, The Jakarta Post, dan VICE Indonesia mencoba mengungkap itu melalui kerja sama bertajuk #NamaBaikKampus. Media itu membuat suatu testimoni yang berisi aduan-aduan para korban.
Dalam kolaborasi bertajuk #NamaBaikKampus Tirto.Id, The Jakarta Post dan VICE Indonesia menyebar formulir testimoni yang disebar melalui media sosial masingmasing. Dari formulir yang disebar tersebut, terdapat 207 yang memberikan testimoni. Dan kasus yang terjadi di Perguruan Tinggi ada sebanyak 174.
Berdasarkan riset dari #NamaBaikKampus tersebut, pelakunya rata-rata adalah civitas academica baik di dalam ataupun di luar kampus yang masih dalam acara-acara resmi kemahasiswaan. Pelakunya beragam dari mulai dosen, mahasiswa, staf, pastor, warga di lokasi KKN, hingga dokter di klinik kampus.
Berdasarkan data dari #NamaBaikKampus di antara para penyintas sedikit sekali yang melaporkan kekerasan yang dialaminya kepada pihak kampus. Mereka lebih memilih bungkam. Alasan utamanya adalah karena malu, takut, tidak punya bukti, atau khawatir secara berlebihan.
Dilansir dari Tirto.id Nadia Karima Melati, pegiat organisasi pendamping korban kekerasan seksual di Universitas Indonesia menjelaskan, penyebab korban minim melaporkan
kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi adalah: pertama, pihak kampus tidak ada posko untuk melapor. Kedua, tidak ada sanksi, sehingga tidak akan ada timbal balik kepada pelaku ketika sudah melapor. Ketiga tidak ada bukti/pendokumentasian.
Ironisnya, menurut Komisi Nasional Perempuan menyebutkan kasus pelecehan seksual di lingkungan, termasuk perguruan tinggi dianggap minim. Sepanjang tahun 2018, lembaga ini mencatat ada 406.178 laporan kasus pelecehan seksual, meningkat 14 persen dari tahun sebelumnya. Namun, data itu secara makro hanya memisahkan kejadian di ruang publik dan privat. Padahal data yang mereka punya belum menggambarkan sebaran persoalan yang sebenarnya terjadi di tingkat perguruan pinggi. Karena masih ada banyak korban yang memilih bungkam terhadap kejadian pelecehan dan/ kekerasan seksual yang dialaminya.
Minimnya Pengetahuan Gender
Kekerasan seksual di perguruan tinggi penyebab utamanya adalah tidak adanya pengetahuan terkait kesetaraan gender. Hal ini disampaikan oleh Nur Laila Khafidoh, Ketua Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC KJHAM) Semarang.
“Karena mindset dan belum paham terkait pengetahuan gender. Masih menganggap perempuan suatu objek untuk
diperlakukan seperti itu. Jadi tidak memandang orang itu berpendidikan (berilmu) tidak akan melakukan pelecehan dan/kekerasan seksual,” jelasnya.
Tidak hanya minimnya pengetahuan terkait gender, Sri Nurhewati, Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan mengatakan bahwa persoalan utama pelecehan dan/kekerasan seksual yaitu tidak memiliki pengetahuan tentang seksualitas dan pentingnya perlindungan pada organ seksual, organ reproduksi, dan kesehatan reproduksi.
Sri, sapaan akrabnya, juga menganggap selama ini berbicara soal seksualitas masih dianggap tabu. Hal ini berakibat pada pengetahuan soal seksualitas menjadi sangat minim, semua mencari tahu sesuai dengan caranya masing-
masing. “Pihak yang paling punya akses, pihak yang diberi privilege kuasai pengetahuan seksualitas,” ungkapnya.
“Minimnya pengetahuan akan seksualitas juga berakibat pada masyarakat tidak dapat mengendalikan adanya perlakuan salah dan melanggar norma kesusilaan. Namun kesalahan dan dampak ditimpakan pada perempuan dan anak sebagai kelompok rentan,” katanya yang redaksi kutip dari Koran Kompas.
Harus Ada Rumah Aduan Menurut data yang dihimpun redaksi, rata-rata para penyintas tidak berani melaporkan kejadian yang sedang dialaminya. Ada yang karena tidak tahu prosedurnya dan ada juga yang karena takut. Beberapa hal tersebut menjadikan mahasiswa urung untuk
melapor. Padahal untuk kejadian pelecehan dan/ kekerasan seksual harus di laporkan agar tidak terjadi pada korban lain. Nur Laila Khafidhoh menjelaskan, sebaiknya korban melapor. ”Jika kampus sudah ada wadah yang menangani maka akan lebih mudah penyelesaianya, namun jika yang tidak ada boleh melapor ke Polisi dengan syarat kampus tidak menghilangkan hak-hak dari korban,” katanya.
”Kemudian pihak kampus juga harus bergerak, tidak hanya diam saja dengan tujuan tidak ada korban lagi yang mengalami kasus yang sama. Yang perlu dilakukan bagaimana menguatkan pengetahuan kesehatan reproduksi dan upaya kesetaraan gender serta sistem informasi dan layananan terpadu yang memenuhi hak-hak korban,” papar Nur Laila
Menanggapi banyaknya kejadian kekerasan di lingkungan perguruan tinggi, Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Ismunandar seperti dilansir dari Tirto.id mengatakan bahwa Kemenristek dikti belum memiliki regulasi yang jelas untuk menangani kasus pelecehan dan atau kekerasan seksual. Menurutnya, kasus demikian dapat diselesaikan di ranah peguruan tinggi saja.
Lebih lanjut Ismunandar menjelaskan, sistem pendidikan tinggi yang dianut Indonesia bersifat otonom, maksudnya penyelesaian persoalan kemahasiswaan termasuk kekerasan seksual, merujuk pada kebijakan kampus masing-masing, yang di dalamnya berisi kode etik seluruh sivitas akademika.
Pelaku Harus Ditindak Dengan Tegas
Nur Laila khafidhoh memberi masukan untuk publik agar segera menerapkan pendidikan seks, terutama gender agar nantinya mampu menanggulangi kasus pelecehan dan/kekerasan seksual. Pembiasaan terkait penjelasan seks dan gender nantinya mampu memahamkan masyarakat terkait kasus pelecehan dan/ kekerasan seksual, karena disini tidak ada yang tahu atau mungkin bahkan dari kita bisa berpotensi menjadi pelaku atau korban.
Selain itu, seperti dilansir dalam Tirto.id perlu adanya regulasi penanganan dan sanksi yang jelas bagi pelaku, membentuk tim investigasi independen dan impersial yang melibatkan seluruh
elemen perguruan tinggi, menyediakan pendampingan bagi korban yang melapor, juga menyediakan jasa psikolog/psikiater, penanganan kesehatan fisik dan keamanan jika korban diancam.
Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Saras Dewi, dilansir dari Magdalene.com bahwa penting sekali institusi pendidikan punya upaya dalam jangka panjang dan langgeng. Bukan hanya sekadar menyikapi namun juga mencegah kejadiankejaadian kekerasan seksual.
Menurut Saras, perguruan tinggi harus menyediakan rumah aduan yang berfungsi sebagai tempat mengadu kekerasan seksual. Ia mengatakan bahwa hal yang paling utama dilakukan adalah membicarakan dan membuka percakapan, lebih baik lagi membuat sistem tertulis melalui aturan-aturan agar suasana akademik lebih ramah dan berspektif gender.
Dengan M dan D bercerita kepada redaksi, mereka berharap, tidak ada lagi yang mengalami kejadian serupa. Begitu pula, harap mereka, akan ada tindakan tegas dan kejelasan terkait prosedur penanganan kasus kekerasan seksual. Karena jika prosedur penanganan kasus kekerasan seksual masih abu-abu dan tumpul, maka tak mengherankan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi terus bertambah dan tidak akan pernah ada ruang aman di perguruan tinggi. [E]
Menurut Saras, perguruan tinggi harus menyediakan rumah aduan yang berfungsi sebagai tempat mengadu kekerasan seksual.
BayangBayang Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
Kampus, yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi mahasiswa dalam menjalankan aktivitas akademik, ternyata bisa menjadi tempat di mana kekerasan seksual menghantui. Isu kekerasan seksual di kampus bukanlah isu baru bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Dilansir dari Kompas, sebanyak 27 persen dari pengaduan yang ada, kekerasan seksual terjadi di kampus, menurut data Komisi Nasional Perempuan tahun 2015-2020. Selain itu, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan juga telah melakukan survei pada tahun 2020. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa 77% dosen mengiyakan kekerasan seksual pernah terjadi di dalam kampus mereka. Fakta ini tentu sangat berlawanan dengan citra kampus yang semestinya dipenuhi dengan kaum-kaum yang bermoral dan dikenal masyarakat sebagai wadah untuk mencetak cendekiawan.
Merujuk data dari Komisi Nasional Perempuan, berdasarkan terstimoni dari 79 kampus di 29 kota, sebanyak 89% penyintas kekerasan seksual di kampus adalah perempuan. Adapun pelaku pelecehan bisa datang dari mahasiswa sendiri atau bahkan dosen. Angka yang bisa kita lihat dari data tersebut hanyalah permukaan. Artinya, pada kenyataannya masih banyak kekerasan seksual di kampus yang masih belum terungkap, entah karena korban tidak melapor atau pihak kampus sendiri yang menutup-nutupi kasus tersebut.
Adanya Relasi Kuasa Hingga Bungkamnya Penyintas
Asmahan Aji Rahmania, mahasiswa pendidikan bahasa inggris angkatan 2017. Saat ini sedang merawat kaktus dan lain sebagainya.
Pada April 2019, Lembaga Pers Mahasiswa (LPMS)-Ideas Universitas Jember mengungkap kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) berinisial HSN kepada mahasiswinya. Korban yaitu CA, mahasiswi FIB angkatan 2012 pada awalnya diminta untuk bimbingan skripsi di rumah pelaku. Di sanalah kejadian kekerasan seksual terjadi. Pelaku kemudian meminta korban untuk tidak memberitahu siapa pun tentang hal yang dialaminya. CA akhirnya melaporkan hal tersebut, akan tetapi laporan itu mendapat respon yang kurang baik dari fakultas, dan pelaku tidak mendapat sanksi apapun. Korban akhirnya harus berjuang dengan dilema. CA harus
Korban kekerasan
berhadapan dengan trauma yang dialaminya sekaligus harus menyelesaikan tugas akhir dengan orang yang telah melecehkannya, yang merupakan dosen pembimbingnya sendiri.
Kasus yang dialami CA di atas membuktikan bahwa pelaku kekerasan seksual merasa bahwa apa yang dilakukannya tidak akan berdampak apapun terhadap dirinya sendiri. Pelaku memiliki kuasa atas korban, sehingga korban tidak memiliki daya untuk melawannya. Posisi pelaku sebagai dosen pembimbing korban juga akan membuat korban dalam posisi yang serba salah dan harus menyimpan traumanya sendiri.
Pada kasus lain di tahun 2017, kekerasan seksual diungkap oleh Balairung Press Universitas Gajah
•ARTIKEL•
Mada (UGM) dengan laporan berjudul “Nalar Pincang UGM Atas Kasus Perkosaan.” Laporan ini membuktikan bahwa korban kekerasan seksual di kampus juga belum bisa mendapat ruang aman setelah mereka melaporkan kekerasan seksual yang mereka alami. Dalam kronologi kasus yang dialami penyintas, kekerasan seksual terjadi saat korban sedang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Pasca melaporkan pelecehan itu, penyintas disarankan oleh orang-orang di sekitarnya agar menyelesaikan masalah tersebut secara kekeluargaan. Bahkan, Dewan Pembimbing Lapangan (DPL) malah menyalahkan penyintas bahwa ia juga turut bersalah atas pelecehan tersebut, atau dengan kata lain mereka melakukannya karena suka sama suka. Selain itu, penyintas menyayangkan
seksual di kampus juga belum bisa mendapat
ruang aman setelah mereka melaporkan kekerasan
seksual yang mereka alami.
bahwa pelaku, yaitu HS, tidak langsung dikenai sanksi drop out oleh pelecehan yang dilakukannya. Hingga saat KKN-nya telah selesai, ia mendapat nilai C. Pihakpihak yang mengetahui kasusnya tidak sepenuhnya memihak kepada penyintas. Banyak yang menyalahkan dan menganggap bahwa kasus ini bukanlah kasus yang berat sehingga tidak bisa membuat pelaku dikeluarkan secara tidak terhormat dari kampus.
Hal ini menunjukkan bahwa penyintas kekerasan seksual di kampus juga bisa menjadi korban victim blaming; pelaku bisa memutarbalikkan fakta dan membuat penyintas seolaholah juga bersalah dan turut andil dalam terjadinya pelecehan tersebut. Tidak adanya respon oleh pihak kampus, ancaman, dan bahkan hinaan orang-orang sekitar harus menjadi hal yang mau tidak mau harus dihadapi oleh penyintas ketika melaporkan
pelecehan. Oleh karena itu, tidak sedikit penyintas kekerasan seksual di perguruan tinggi memilih untuk bungkam.
Kampus Harus Menjadi Ruang yang Aman
Amat disayangkan jika kampus ternyata tidak bisa menjadi ruang aman dan tidak mampu melindungi mahasiswa dari predator seksual. Baik pelecehan secara fisik maupun secara verbal tetaplah hal yang dapat membuat penyintas trauma dan menganggap bahwa kampus adalah tempat yang menakutkan. Dalam hal ini, regulasi perihal kekerasan seksual di perguruan tinggi harus segera ditindaklanjuti. Menyediakan perlindungan yang seaman-amannya bagi penyintas adalah kewajiban. Begitu pula, pelaku kekerasan seksual harus mendapat sanksi yang berat terhadap apa yang telah dilakukannya.
Penyintas kekerasan seksual di kampus juga bisa menjadi korban victim blaming; pelaku bisa memutarbalikkan fakta dan membuat
penyintas seolaholah juga bersalah dan turut andil dalam terjadinya pelecehan tersebut.
Pandemi Uji Pendidikan ABH
AZZAM merengek di hadapan ibunya. Anak berkebutuhan khusus itu mengaku bosan setiap hari harus belajar meski sedang berada di rumah. Yang dia tahu, namanya belajar ya di sekolah. Padahal, sejak kasus Covid-19 semakin tinggi, pembelajaran tatap muka di lembaga pendidikan ditiadakan.
Meskipun begitu bukan berarti sekolah libur. Pada masa pandemi ini, proses pembelajaran dilakukan secara online, di mana guru dengan siswa tidak bertemu secara langsung demi mencegah penularan virus. Pembelajaran jarak jauh mengandalkan pemanfaatan teknologi digital.
Namun, tidak semua sekolah mampu menyesuaikan sistem pembelajaran tersebut dengan cepat. Apalagi bagi sekolah luar biasa (SLB) yang mempunyai anak didik dengan keterbatasan atau keluarbiasaan, baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional yang berpengaruh secara
signifikan terhadap proses pertumbuhan dan perkembangannya.
Saat pandemi, SLB dihadapkan pada banyak permasalahan baru. Antara lain ketidaksiapan guru sebagai pembimbing anak dalam melaksanakan pembelajaran online yang inovatif. Juga orang tua yang kurang menguasai teknologi untuk menunjang belajar di rumah serta minimnya pemahaman mereka terkait pendidikan anak berkebutuhan khusus.
Salah satu guru di SLB Negeri Semarang, Sklera mengaku sempat kesulitan pada masamasa awal ditetapkannya pembelajaran jarak jauh. Kata dia, saat pembelajaran masih dilakukan dengan gaya konvensional saja, butuh kerja ekstra untuk mendampingi anak memahami suatu materi pelajaran, apalagi pada masa transisi sistem belajar seperti sekarang.
Beruntung sedikit demi sedikit keterbatasan guru mampu teratasi setelah
mengikuti beberapa pelatihan yang digelar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Guru diajari bagaimana menggunakan teknologi digital sebagai media pendukung pembelajaran jarak jauh.
“Lewat pelatihan itu kami mulai memahami fitur penunjang pembelajaran seperti Google Form, Google Classmeet, Ms teems, dan Zoom Meeting. Terakhir diajari membuat video untuk variasi pembelajaran,” ujar Sklera saat diwawancarai pada 24 Februari 2020.
Selama pandemi, pembuatan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) di SLB Negeri Semarang tetap mengacu pada kurikulum nasional. Namun, karena pembelajaran dilangsungkan di rumah, terpaksa kurikulum lebih disederhanakan.
SLB Swasta Miris
Problem yang lebih besar dirasakan SLB swasta. Seperti yang diceritakan guru SLB Dharma Mulia
Semarang, Yudo Waskito. Menurutnya, sekolah tempatnya mengajar mengalami banyak kendala dalam penerapan pembelajaran jarak jauh.
“Permasalahan sejak awal itu banyaknya guru yang kurang menguasai aplikasi pendukung terkait pembelajaran online,” ungkapnya.
Yudo tidak menampik adanya pelatihan yang difasilitasi dinas pendidikan setempat. Namun, pelatihan tersebut sifatnya terbatas, tidak menjangkau semua guru. Apalagi ada guru yang meskipun sudah mendapat pelatihan tetapi masih kesulitan menerapkan metode belajar gaya baru.
“Kemampuan minim, tidak bisa menyesuaikan.
Kebanyakan guru di sini sudah tua-tua jadi penyesuaian teknologi tidak bisa dipaksa,” ujarnya.
Praktis, pembelajaran jarak jauh di SLB Dharma Mulia Semarang lebih mengandalkan aplikasi pesan singkat WhatsApp, kadang memakai Google Form. Sekolah tersebut menyadari pembelajaran seperti itu tidak bisa maksimal, apalagi melihat siswa-siswanya yang butuh pendampingan lebih.
Demi mengantisipasi ketimpangan itu, pihak sekolah melakukan home visit atau kunjungan guru ke rumah-rumah siswa. Sebenarnya terobosan ini bisa menjawab masalah yang ada, hanya saja visit home tidak bisa berjalan maksimal.
“Sesekali kami para guru melakukan kunjungan jika ada tugas dan pembelajaran yang belum maksimal pada anak-anak. Namun, itu tidak ada anggarannya dari pihak yayasan, sementara guru tetap butuh uang bensin dan lain-lain,” ucap Yudo.
Kepala Bagian Pembinaan Pendidikan Khusus pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Djoko N. Witjaksono menegaskan selama ini telah berupaya mendorong kelancaran proses pembelajaran jarak jauh, baik di SLB negeri maupun swasta.
Upaya itu antara lain diwujudkan dengan memberi guru pelatihan menyongsong pembelajaran berbasis digital serta memastikan gaji guru tidak
Dalam surat edaran itu, Mendikbud menekankan bahwa pembelajaran jarak jauh dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang
terhambat. “Home visit yang dilakukan guru itu sebenarnya juga kami beri akomodasi,” papar Djoko.
Ortu Jadi Guru
Selain guru, pihak yang juga harus memahami konsep pembelajaran jarak jauh adalah orang tua siswa. Apalagi siswa berkebutuhan khusus yang dalam proses belajar membutuhkan pendampingan. Saat pembelajaran dilangsungkan di rumah, otomatis orang tua yang paling direpotkan.
Sebagai orang tua sudah saatnya berperan aktif menjadi garda terdepan dalam menjalankan roda pendidikan dalam proses pembelajaran di rumah, menjadi nahkoda yang andal dalam mendampingi buah hati mengarungi masa-masa darurat virus ini.
Penelitian yang dilakukan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, Siti Mubarokatut Darojati mengungkapkan, peran orang tua sebagai pendidik dalam proses pembelajaran jarak jauh belum dapat direalisasikan secara maksimal. Beberapa orang tua terkendala karena harus
bekerja.
Namun, hasil penelitian itu juga mengemukakan bahwa ada orang tua yang masih bisa berperan dengan baik dalam kegiatan belajar anaknya meskipun mereka mempunyai kesibukan bekerja. Kuncinya adalah komitmen orang tua untuk meluangkan waktu.
Siap tidak siap, orang tua memang harus menjadi guru di rumah. Namun bukan berarti mereka kudu memaksakan diri untuk menguasai semua pelajaran anak. Yang harus dilakukan adalah menemani anak belajar dan mengomunikasi dengan pihak sekolah jika dirasa ada yang kurang maksimal.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebenarnya sudah membuat kebijakan agar pembelajaran jarak jauh bisa berjalan lancar tanpa membuat guru, siswa, dan orang tua siswa terbebani secara berlebihan.
Pada 24 Maret 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Di dalamnya ada pembahasan yang fokus mengenai kebijakan pembelajaran dari rumah.
Dalam surat edaran itu, Mendikbud menekankan bahwa pembelajaran jarak jauh dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa, tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas maupun kelulusan.
Pembelajaran jarak
bermakna bagi siswa, tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas maupun kelulusan.
jauh difokuskan pada peningkatan pemahaman siswa mengenai pandemi Covid-19. Adapun aktivitas dan tugas pembelajaran dapat bervariasi, sesuai minat dan kondisi masingmasing siswa. Bukti aktivitas belajar diberi umpan balik yang bersifat kualitatif, tanpa diharuskan memberi nilai kuantitatif.
Pacu Prestasi
Pentingnya peranan guru dan orang tua dalam mendidik anak menjadi kunci suksesnya pembelajaran jarak jauh. Haerudin dkk dalam Pembelajaran di Rumah sebagai upaya Memutus Covid-19 mengungkap, peran orang tua bahkan turut andil dalam meningkatkan prestasi siswa.
Kata Haerudin, orang tua yang tidak memperhatikan pendidikan buah hatinya dapat menyebabkan anak kurang berhasil dalam belajar. Sebaliknya, orang tua yang selalu memberi perhatian, dapat membuat anak lebih giat dan hasil belajarnya optimal.
Tidak bisa dipungkiri, keterbatasan secara kognitif menjadi hambatan terberat bagi anak berkebutuhan khusus untuk dapat menangkap materi yang diajarkan. Belum lagi jika lingkungan pendidiknya kurang mendukung.
Anak yang kadang dipandang sebelah mata ini sebenarnya mempunyai keistimewaan. Namun, guru hingga orang tua harus benar-benar memahami apa kebutuhan mereka serta potensi bakat apa yang bisa dikembangkan. Pendidikan yang tepat dapat mengantarkan anak berkebutuhan khusus mencapai puncak prestasi sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Di Jawa Tengah, ada SLB yang berhasil menyalurkan siswanya yang berkebutuhan khusus menuai prestasi meski di tengah pandemi Covid-19. Ialah SLB Ma’arif Muntilan, Magelang. Ada siswa yang meraih juara 3 hafalan Al-Qur’an MTQ tingkat Jawa Tengah, ada yang juara vokal nasional tingkat SD tahun 2020, ada pula yang mewakili
kejuaraan sepak bola putri sampai di India.
Pada ajang Lomba Keterampilan Siswa Nasional Anak Berkebutuhan Khusus (LKSN-ABK) Tahun 2020 yang digelar Pusat Prestasi Nasional Kemendikbud RI, ada beberapa siswa dari Jawa Tengah yang berhasil menggondol juara.
Siswa SLB Negeri Cilacap menjadi juara 1 cabang lomba membatik; siswa SLB Negeri Kota Magelang meraih juara 1 lomba kecantikan; siswa SLB Negeri Tamanwinangun Kebumen juara 1 lomba merangkai bunga; tiga siswa SLB Negeri Sukoharjo meraih juara 1 cabang lomba kreasi barang bekas, juara 1 lomba hantaran, dan juara harapan 2 lomba teknologi informasi.
Perlu diketahui, para pemenang LKSN-ABK periode sebelumnya telah diikutsertakan dalam kompetisi internasional. Pada ajang 10th Penang International Halal Chefs Challenge 2019 di Malaysia, mereka meraih 3 medali perak dan 1 perunggu. Sedangkan di Chicago Amerika Serikat, satu peserta mendapatkan penghargaan pada acara Education Summit Cidesco World Congress.
Namun, tidak semua hal harus diukur dengan capaian prestasi. Menyitir penyataan Mendikbud Nadiem Makarim, tak hanya prestasi yang membuat seseorang menjadi sukses meraih cita-cita tetapi juga karakter yang kuat, karater dalam bernalar kritis, kreatif, mandiri, gotong royong serta bertakwa, dan berakhlak mulia.
Kematian Kecil Sekolah
Dzihan, adik saya paling kecil, yang kini tengah duduk di kelas tiga sekolah dasar selalu punya beragam alasan untuk tidak menggarap setiap tugas pemberian gurunya; ia bisa tiba-tiba sakit perut, kakinya pegal, punya janji bertemu kawan, dan masih banyak lagi. Pagi ini, tak hanya berdalih janji bertemu kawan, bahkan baru rampung satu nomor soal, air matanya telah menjadi mata air. Tentu saja itu senjata ampuh betul: tak seorang pun akan memaksanya lagi.
Semenjak pandemi, telah berbulanbulan sekolahnya diliburkan dan beralih “belajar di rumah”. Daring dipilih sebagai alternatif belajar. Namun, negara ini begitu pelit (atau miskin?); tak satu pun bantuan teknologi penunjang belajar daring diberikan.
Dzihan masih kelas dua ketika itu, dan selama ujian kenaikan kelas, setiap orang di rumah adalah pengingat: “Besok ujian, kau mesti bangun pagi.” Tapi itu hanya pengingat bernasib sama seperti dering alarm yang sengaja tak diacuhkan. Esoknya ia masih molor hingga pukul sepuluh pagi. Barulah, selepas ribut-ribut kecil, ia mulai menggarap pekerjaannya—tepatnya menuliskan jawaban yang didikte mbakyunya. Tapi ia masih mending mau menulis sendiri; tugas-tugas salah satu temannya malah dikerjakan dan dituliskan sekaligus oleh orang lain.
Meski semasa ujian kenaikan kelas terjadi sedikit “drama”, Dzihan tetap naik ke kelas tiga dengan mudah, semacam beroleh give away—semua berkat Covid-19.
Di kelas tiga—lewat daring—ini, ia dijejali tugas terus-menerus oleh gurunya. Slogan guru itu barangkali seperti ini: “Tidak diberi tugas, maka murid tidak belajar.”
Namun, belajar daring tak semulus yang dibayangkan.
Ahmad Aam, Lulusan sarjana Manajemen Pendidikan Islam. Kini sedang bergiat di bacabukumu.id
Dzihan cukup beruntung, ada tiga ponsel pintar di rumah, jadi ia tak kesulitan beroleh info tugas-tugas dari sekolah. Berbeda dengan murid lain yang betul-betul tak punya ponsel pintar di rumah; tentu saja ia bakal kesulitan,
•ARTIKEL•
Kesenjangan di sekolah amat nyata. Dan kekerasan simbolik— sebuah pemikiran Pierre Bourdieu—itu memang nyata adanya. Meski demikian, sekolah telah kadung digadanggadang menjadi penjamin belajar manusia.
ditambah solusi sang guru yang tak membantu, “Bila tak punya ponsel pintar bisa pinjam milik teman.” Aneh betul kata-kata itu. Ia sertamerta lepas tangan, seperti pemerintah.
Di rumah Dzihan, setiap orang ialah lulusan sekolah— minimal sekolah menengah atas. Itu keberuntungannya yang lain dan sedikit-banyak membantunya memahami setiap apa yang ditugaskan. Namun, bagaimana dengan murid lain, yang orang tua atau kerabatnya tak sekolah sama sekali? Tentu saja urusannya bakal pelik.
Sementara di daerah lain, tak jauh dari rumah saya, ada Dimas, seorang siswa sekolah menengah pertama yang lebih tidak beruntung. Ihwal persoalannya, orang tuanya tak mampu membeli kuota internet—mereka tentu lebih memilih membeli kebutuhan pokok sehari-hari. Walhasil, ia mesti berangkat ke sekolah untuk belajar tatap muka,
seorang diri, tanpa temantemannya.
Telah memiliki ponsel beserta kuota internet, tetapi tak ada sinyal, merupakan masalah lain yang dialami banyak murid di belahan pulau lain—sesuatu yang tampaknya tak diketahui oleh Nadiem Makarim.
Barangkali Dzihan, Dimas, dan banyak murid lain tak seberuntung orangorang kaya—pastilah masalah-masalah di atas tak dirasakan sama sekali—yang enteng saja membeli segala penunjang belajar.
Kesenjangan di sekolah amat nyata. Dan kekerasan simbolik—sebuah pemikiran Pierre Bourdieu—itu memang nyata adanya. Meski demikian, sekolah telah kadung digadanggadang menjadi penjamin belajar manusia. Dan pada hari ini, setiap orang takut tidak sekolah.
Peliknya lagi, orang-orang
kini tidak bisa membedakan antara pendidikan, belajar, dan pengajaran. Orangorang menyamakan ihwal: pendidikan adalah sekolah, belajar adalah pengajaran, dan ilmu adalah tugas-tugas tak ada habisnya.
Sekolah nyatanya tergagap-gagap pada masa pandemi ini. Pelaku dan pemangku kebijakan pendidikan kelimpungan.
Selain masalah di atas, pangkalnya menurut saya adalah sekolah tak mampu menjadikan manusia sebagai subjek belajar. Sekolah masih mendudukkan manusia sebagai objek belajar, dan ketakmampuan berpikir mandiri adalah imbasnya.
Ketika sampai sekarang sekolah tak mampu memerdekakan manusia menjadi subjek belajar, mestinya ia telah ditinggalkan sejak lama. Ia seharusnya umpama barang-barang antik yang layak dimuseumkan. Setiap orang lantas menjadikannya kenangan masa lalu yang dapat sesekali diingat kembali dan diziarahi.
Namun, kenyataan berbicara lain.
Sekolah hari ini masih saja dianggap penentu belajar atau tidak belajarnya seorang manusia. Roem Topatimasang tak berlebihan mengatakan, “Sekolah itu candu,” seolah-olah orangorang demikian bergantung dengan sekolah. Dengan begini sekolah sama persis dengan nasi bagi orang Jawa: tidak makan nasi berarti tidak makan. Sekolah menjelma dewa. Dengan adanya pandemi, semua itu terlihat seperti gajah di pelupuk mata; jelas sekali.
Ivan Illich, pemikir pendidikan, berpuluh
tahun lalu telah menuliskan pemikirannya dalam sebuah buku Deschooling Society—yang telah tersedia terjemahan dalam bahasa Indonesia berjudul Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah. Dalam bukunya, ia ingin melucuti sekolah dari kemapanannya. Harihari ini mungkin pandemi tengah membantu gagasan itu dengan memperlihatkan kegagapan-kegagapan sekolah.
Bila sekolah telah dilucuti dari kemapanannya, Illich menawarkan alternatif lain yang dirangkum dalam terma “empat jaringan”: pertama, jasa referensi pada objekobjek pendidikan; kedua, pertukaran keterampilan; ketiga, mencari teman sebaya yang cocok; dan keempat,
jasa referensi pada pendidik pada umumnya.
Penjelasan sederhana terma itu begini: Dzihan hanya perlu bertemu dengan teman sebaya yang memiliki minat yang sama dengannya. Misalnya, ia berkeinginan menjadi pelukis; ia cukup bertemu dengan temanteman yang sama-sama belajar melukis seraya saling berbagi keterampilan. Bila dirasa perlu, ia bisa menemui orang-orang yang kemampuan melukisnya telah masyhur. Begitu pula Dzihan, dibebaskan seluasluasnya mengakses referensi berkaitan dengan melukis.
Lalu, di masa pandemi ini, Dzihan tak perlu lagi menggarap tugas-tugas “aneh” itu dan memaksa diri membeli perangkat teknologi (sebuah paksaan dari sekolah) yang tak mampu dibeli—Satu contoh kekerasan simbolik disebabkan oleh sekolah. Ia bisa belajar di mana, kapan, dan dengan siapa saja, tak harus lewat “sekolah”.
Akhirnya belajar menjadi kata umum yang bisa dirasakan seluruh manusia, sebab tak lagi dimonopoli sekolah. Begitu pula tak bakal lagi ada kesenjangan ekonomi dan kekerasan simbolik yang disebabkan oleh sekolah.
Dengan demikian, sekolah lebih baik dibubarkan saja. Dan bubarnya sekolah semestinya hanya menjadi kematian kecil yang tak perlu ditangisi sepanjang masa. [E]
Rembang, 24 Juli 2020
Tulisan ini terbit pertama kali di https://www.bacabukumu. id/2020/08/kematian-kecilsekolah.html?m=1
Ketika sampai sekarang sekolah tak mampu memerdekakan manusia menjadi subjek belajar, mestinya ia telah ditinggalkan sejak lama. Ia seharusnya umpama barangbarang antik yang layak dimuseumkan.
Makam Sunan Kuning yang Kian Terlupa
Sunan Kuning lebih dikenal sebagai tempatprostitusi. Padahal, ia merupakan namapendakwah Islam yang dipercaya bermakam didekat lokalisasi.
DI sebuah bukit dekat permukiman padat penduduk berjejal batu nisan. Bukit bernama Pekayangan itu memang jadi kompleks pemakaman umum. Kawasan ini menjadi istimewa karena di punggung bukit terdapat pusara tokoh berpengaruh bernama Sunan Kuning.
Makam tersebut berbeda dibandingkan yang lain. Dari kejauhan tampak mencolok. Bahkan ada gapura berornamen khas Tiongkok yang menjadi penanda sekaligus sekat antara makam Sunan Kuning dengan makam warga setempat.
Di dalam area makam Sunan Kuning terdapat tiga bangunan utama. Bangunan paling dekat dengan gapura difungsikan untuk musala dan tempat menginap para peziarah.
Bangunan di tengahtengah, di dalamnya terdapat tiga makam. Masing-masing makam Kiai Sekabat, makam Kiai Djimat, dan makam Kiai Majapahit. Ketiganya adalah para pembantu setia Sunan Kuning.
Sementara yang paling ujung adalah bangunan utama yang memayungi tiga makam, yakni makam Sunan Kuning, makam Sunan Kali, dan makam Sunan Ambarawa. Ketiga makam diberi rumah-rumahan dari kelambu dan di depannya ada empat patung.
Pekuburan Sunan Kuning dan rekannya terletak di bukit dekat Jalan Taman
SAKRAL: Juru kunci makam, Ki Sentun Benowo menunjukkan pusara Sunan Kuning beserta pusara para pengikutnya.
Sri Kuncoro III, Kelurahan Kalibanteng Kulon, Kecamatan Semarang Barat. Berjarak sekitar 4,5 kilometer dari pusat Kota Semarang.
Akses menuju tempat itu sebenarnya cukup mudah. Hanya saja ada momen di mana harus melewati jalan perkampungan. Salah belok bisa ribet karena berpotensi melewati lokalisasi yang berisi tempat karaoke dan prostitusi.
Lokalisasi dan makam Sunan Kuning posisinya bersebelahan, hanya berjarak sekitar 100 meter. Katakanlah kalau tempat karaoke tidak dipasang peredam suara, kemungkinan nyanyian pemandu lagu akan terdengar dari makam.
Kondisi tersebut ternyata berdampak besar. Penyebutan kedua tempat yang mempunyai orientasi berbeda itu kerap disamakan. Selain merujuk pada sebuah makam, sebutan Sunan Kuning
juga dikenal sebagai nama lokalisasi tempat para penjaja seks.
Kalah Pamor
Juru kunci makam Sunan Kuning, Ki Sentun Songgo Bawono mengaku sedih lantaran branding makam Sunan Kuning kalah tenar dengan lokalisasi. Selama ini pengelola makam berupaya meluruskan kesalahan tersebut.
“Padahal tidak ada hubungannya antara makam dengan lokalisasi. Cuma tempatnya saja yang kebetulan berdekatan,” ujar Ki Sentun saat ditemui di pemakaman pada 2 Mei 2020.
Banyak yang menganggap penyebutan lokalisasi Sunan Kuning berawal dari kesalahpahaman. Jalan masuk menuju lokalisasi adalah Sri Kuncoro yang jika disingkat menjadi SK. Begitupun Sunan Kuning, disingkat SK. Lambat laun SK menjadi julukan
SEMARANGAN
lokalisasi, tetapi artinya dipukul rata menjadi Sunan Kuning.
Namun tampaknya alasan tersebut diragukan. Alasan yang lebih kuat bisa dilihat dari sejarah panjang penamaan lokalisasi yang sudah diganti berulang kali.
Sejarawan Bambang Iss Wirya dalam bukunya yang berjudul “Ough! Sunan Kuning” (1966-2019) menyebut, sebelum mendapat legalitas, lokalisasi ini bernama Sri Kuncoro, sesuai dengan nama jalan masuk menuju area ini.
Namun warga setempat keberatan, sehingga namanya diganti menjadi Lokalisasi Sunan Kuning. Pencatutan nama Sunan Kuning kembali ditolak karena dianggap mencoreng nama tokoh penyebar agama Islam di Semarang.
Saat diresmikan pada tahun 1966, lokalisasi terbesar di Jawa Tengah ini dinamakan Resos Argorejo. Belakangan ada perubahan lagi menjadi Resosialisasi dan Rehabilitasi Argorejo.
Dari kilas balik itu diketahui, ternyata penyebutan lokalisasi dengan diksi Sunan Kuning ada hubungan kesejarahan. Hanya saja, masyarakat tidak mengikuti perkembangan dan kadung nyaman dengan pelafalan lama.
Penyebar Islam
Jika dirunut dari sejarahnya, keberadaan makam jauh lebih dulu daripada lokalisasi. Konon, makam Sunan Kuning ditemukan sekitar tahun 1700-an oleh Mbah Bayat Sabirin, sementara lokalisasi baru diresmikan pada 1966.
Tokoh Islam keturunan Tionghoa tersebut mempunyai nama asli Soen An Ing. Kata storyteller dari Semarang Jongkie Tio, orang Jawa kesulitan mengucap Soen An Ing, sehingga dipelesetkan menjadi Sunan Kuning.
Sunan Kuning ini dikenal sebagai pendakwah yang menyebarkan agama Islam di Semarang serta kawasan pantai utara (pantura) Jawa Tengah. Dia juga dijuluki tabib karena ahli dalam pengobatan tradisional Tiongkok.
Saat mengobati pasien, Sunan Kuning sembari berdakwah. Berkat
kemampuannya, banyak masyarakat yang kagum dan akhirnya tertarik memeluk agama Islam.
Kepopuleran Sunan Kuning tidak hanya tersebar di tanah Jawa, tetapi sudah menyebar ke Sumatera, Kalimantan, bahkan negeri Tiongkok.
Dalam buku berjudul “9 Oktober 1740; Drama Sejarah, Liem Thian Joe” menyebut Sunan Kuning memiliki nama populer Raden Mas Garendi.
Buku itu juga menyebutkan bahwa Sunan Kuning berasal dari kata Cun Ling yang berarti bangsawan tertinggi. Cun Ling adalah
FOTO:
salah satu tokoh yang berperan penting dalam peristiwa Geger Pacinan.
Fakta tersebut dikuatkan dengan pernyataan Daradjadi Gondodiprodjo dalam buku “Geger Pacinan 1740--1743, Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC”. Daradjadi mengungkapkan, Raden Mas Garendi mengobarkan perlawan sengit terhadap persekutuan dagang Belanda (VOC), khususnya di wilayah kekuasaan Mataram.
Perlawanan yang dikomandoi Sunan Kuning ini diklaim sebagai pemberontakan terbesar
SEMARANGAN
yang dihadapi Belanda selama berkuasa di Nusantara.
Sebab itulah para pemberontak Jawa-Tionghoa menobatkan Raden Mas Garendi sebagai raja Mataram bergelar “Sunan Amangkurat V Senopati Ing Alaga Abdurahman Sayidin Panatagama”.
Tokoh Keberagaman
Sunan Kuning telah menjadi simbol keberagaman. Kiai dari Semarang, Budi Sulaiman berpendapat bahwa Sunan Kuning tak hanya milik umat Islam, melainkan juga umat Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, hingga penganut kepercayaan.
Hal itu diungkapkan Kiai Budi saat tausiah dalam acara Haul Soen An Ing yang digelar di area makam. Kegiatan tersebut dihadiri berbagai kalangan tanpa memandang etnis, agama, atau golongan tertentu.
Sunan Kuning sebagai simbol pemersatu antaretnis dan umat beragama juga dapat dilihat dari beragamnya latar belakang para peziarah. Mereka melakukan ritual doa secara berbeda-beda.
Biasanya peziarah pribumi membawa bunga mawar sebagai ritual doanya. Sedangkan orang keturunan Tionghoa memakai persembahan hio (dupa). Banyak juga yang tidak membawa apa-apa, hanya berdoa.
Sehingga di makam ini tersedia fasilitas untuk berdoa lintas keyakinan, mulai dari musala, tempat membakar kemenyan, hingga tempat dupa dan patung mini khas Tiongkok.
Salah satu pengurus
makam, Ibrahim mengatakan, sejak dulu makam Sunan Kuning memang terbuka untuk umum selama 24 jam setiap hari. Peziarah tidak dipungut biaya, tetapi jika ada yang berkenan, dipersilakan mengisi kotak amal.
Peziarah datang dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, beberapa kali ada peziarah yang dari Tiongkok dan Thailand.
Sesuai cerita juru kunci sebelumnya, biasanya peziarah yang pernah berdoa di makam Sunan Kuning kemudian terkabul, dia akan datang kembali untuk sekadar mengucapkan terima kasih.
Bahkan dulu ada yang kembali untuk merenovasi makam. “Ini yang merenovasi orang keturunan China, sebagai bentuk syukur karena doanya terkabul berkat lantaran berdoa di Sunan Kuning,” ujarnya.
Merawat Budaya
Dilihat dari sejarah hidupnya, Sunan Kuning mempunyai peran penting, baik dalam penyebaran Islam maupun perjuangan melawan penjajah Belanda. Sangat disayangkan jika namanya lebih dikenal sebagai tempat pelacuran.
Selama ini ada banyak upaya yang dilakukan untuk mengangkat citra makam leluhur Sunan Kuning. Antara lain menguatkan kepengurusan dengan membentuk Paguyuban Makam Sunan Kuning.
Asa mengembalikan pamor makam Sunan Kuning sebenarnya menguat setelah Resos Argorejo, tempat bernaung ratusan PSK, ditutup oleh
Sunan Kuning telah menjadi simbol keberagaman. Kiai dari
Semarang, Budi Sulaiman berpendapat bahwa Sunan
Kuning tak hanya milik umat Islam, melainkan juga umat Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, hingga penganut kepercayaan.
SEMARANGAN
Pemerintah Kota Semarang pada 18 September 2019.
Setelah menutup lokalisasi, Wali Kota Semarang Hendrar Prihardi sempat menyatakan bakal menata kawasan tersebut menjadi wisata religi, merujuk dengan adanya makam Sunan Kuning sebagai daya tarik wisata.
Sayangnya rencana itu urung diwujudkan. Bekas lokalisasi malah dijadikan Kampung Wisata Karaoke Argorejo. Sehingga stigma Sunan Kuning sebagai tempat hiburan malam masih melekat di telinga masyarakat.
Banyak yang berharap penutupan prostitusi di Semarang tidak sebatas seremonial. Jangan sampai ada prostitusi berkedok karaoke, karena tentu makam Sunan Kuning akan kena imbasnya.
Dalam jagat kebudayaan Indonesia, merawat makam
atau kuburan mempunyai makna penting. Leluhur Nusantara memandang makam bukan sekadar gundukan tanah dan tempat mengubur orang mati.
Dalam pandangan IslamJawa, makam tergolong sebagai “pusaka” yang tak ternilai. Wajar jika dijadikan pedoman para penguasa dinasti Mataram Islam. Sumber klasik Babad Tanah Jawa merekam bagaimana Paku Buwana I melukiskan kesakralan makam Adilangu sewaktu dia mengenang pusaka-pusaka keraton.
“Betapa sedihnya hati saya bahwa semua pusaka telah diambil oleh putera saya raja (Amangkurat Mas). Tetapi, saya tahu bahwa sekalipun semua barang pusaka yang lain pun diambil, namun kalau saja Masjid Demak dan makam Adilangu tetap ada, maka itu sudah cukup. Hanya dua inilah yang merupakan pusaka sejati
tanah Jawa.”
Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot dalam Ziarah dan Wali di Dunia Islam, mencatat bahwa di Pulau
Jawa terdapat puluhan ribu makam orang-orang Islam yang dihormati. Makam para kiai yang disakralkan pun tak terhitung jumlahnya.
Bahkan, penghormatan terhadap makam tokohtokoh terkenal tak hanya terjadi di Jawa. Di Sumatera, pada abad ke-17, seperti dicatat oleh Henk Schulte Nordholt dkk (ed), dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, makam raja-raja Aceh dan ulamaulama terkenal senantiasa dirawat.
Leluhur Nusantara mengajari bahwa mereka yang mati, tidak lantas mewujud menjadi masa lalu yang mudah dilupakan. Merawat makam menjadi bagian dari menjaga budaya.
[
E]
ISLAM DAN UPAYA MENJAGA LINGKUNGAN DARI MEJA MAKAN
Seringkali aktivitas makan dan minum dikaitkan dengan hal yang bersifat ekonomis. Hal itu karena makan dan minum merupakan salah satu aktivitas konsumsi. Apalagi menurut teori ekonomi konvensional, manusia merupakan homo economicus, yaitu homo sapien yang berusaha untuk mendapatkan kesejahteraan setinggi mungkin bagi dirinya sendiri. Salah satunya dengan terpenuhinya asupan perut.
Akan tetapi, ternyata aktivitas konsumsi kita bisa memiliki dampak negatif terhadap kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Secara tidak sadar, meja makan kita menjadi awal dari kerusakan bumi. Sampah plastik kita dapat menimbulkan penyakit berbahaya seperti kanker, gangguan kehamilan, dan kerusakan jaringan tubuh lainnya. Bagi lingkungan, sampah dari plastik sangat sulit diolah dan terurai oleh tanah. Pada akhirnya dapat merusak tanah, mencemari tanah dan sumber air tanah. (R. Andi Ahmad Gunadi, dkk, 2020).
Sedangkan sampah sisa makanan (food waste) yang dibuang begitu saja ke tempat pembuangan sampah atau TPA, tanpa adanya perlakuan yang tepat dapat
menjadi sumber metana yang menyebabkan pemanasan global. Membuang sampah makanan sama dengan membuang sumberdaya. Secara ekonomi, sampah makanan menyebabkan adanya kerugian ekonomi yang digunakan untuk menghasilkan makanan, seperti pengadaan bahan baku makanan, air, energi dan sebagainya (FAO, 2014).
Selain itu, aktivitas konsumsi manusia juga beresiko menjadi penyebab terjadinya wabah penyakit. Seperti wabah Kematian Hitam (Black Death), Flu Spanyol, SARS dan juga COVID-19. Tiga wabah pertama, penyebarannya difasilitasi oleh aktivitas ekonomi khususnya konsumsi dan politik. Wabah Kematian Hitam, berkaitan dengan aktifitas perdagangan antar-negara, Flu Spanyol dipengaruhi oleh perang dan SARS menyebar karena aktifitas wisata dan perjalanan bisnis antar-negara. Sedangkan virus SARS-COV-2 yang menyebabkan wabah COVID-19 (Corona Virus Disease 19), menurut beberapa penelitian juga berasal dari hewan. Virus ini diduga berasal dari pasar hewan eksotis yang ada di Wuhan, China. Atau berasal dari jenis usaha lain
dalam rantai pasokan bisnis makanan hewan eksotis seperti peternakan.
Menjaga Pola Konsumsi
Melihat fenomena di atas, penting kiranya mengubah pola pikir dan perikalu konsumsi kita. Tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan, keinginan dan kepuasan, akan tetapi juga menumbuhkan rasa peduli terhadap kelestarian sumber daya alam dan lingkungan.
Syariat Islam telah mengatur aktivitas konsumsi manusia, khususnya yang berkaitan dengan makan dan minum. Islam memberikan kriteria bagi makanan dan minuman yang layak dikonsumsi, yaitu halal dan baik (QS.2:172). Halal adalah kriteria dibolehkannya sesuatu untuk dikonsumsi, kebalikannya adalah haram. Halal bisa dinilai dari entitas sesuatu itu, atau dari cara mendapatkannya.
Hukum dasar makanan dan minuman dalam Islam adalah mubah (boleh dikonsumsi). Kecuali ada dalil agama yang melarangnya, seperti daging anjing dan minuman beralkohol. Selain itu ada juga makanan yang halal (boleh dikonsumsi) tetapi jika diperoleh dari cara-cara yang dilarang agama-seperti mencuri, maka statusnya berubah menjadi haram.
Sedangkan baik adalah berkaitan dengan manfaat dari sisi medis makanan dan minuman bagi tubuh manusia.
Makan dan minum dalam Islam tidak hanya sekadar memenuhi dorongan hawa nafsu, kebutuhan dan keinginan saja, akan tetapi dilandasi oleh semangat ibadah. Dalam Islam juga terdapat konsep bahwa segala sesuatu tergantung dengan niat (motivasi). Maka, aktifitas makan dan minum jika motivasinya untuk mencari ridha Allah dan agar mampu melaksanakan kewajiban syariat, maka bernilai ibadah.
Berbeda dengan sistem ekonomi konvensional yang menempatkan kepuasan individu sebagai tujuan utama konsumsi, Islam memberikan kontrol atas aktifitas ekonomi manusia. Dalam memanfaatkan sumber daya alam dan mengkonsumsi apa pun, manusia diingatkan agar jangan berlebih-lebihan dan selalu memperhatikan dampaknya.
Selain memperhatikan halal dan baik, Islam, memalui kitab sucinya juga memperingatkan umatnya agar jangan berlebihan (QS 7:31, QS 6:141), jangan melampaui batas (QS 20:81) dan jangan berbuat kerusakan di bumi (Qs 2:60). Manusia juga diperintahkan untuk selalu bersyukur atas karunia yang diberikan oleh Allah (QS 2:172) dan selalu mengerjakan amal saleh (QS 23:51). Hal ini bisa dilakukan dengan mengurangi atau bahkan tidak memakai peralatan makan dan minum sekali pakai, dan tidak membuang sisa makanan.
Menurut Yusuf Qardhawi, aktifitas konsumsi dalam Islam memiliki nilai moral di dalamnya. Qardhawi
menyebutkan beberapa variabel moral dalam aktivitas konsumsi, di antaranya; konsumsi atas alasan dan pada barang-barang yang baik (halal), berhemat, tidak bermewah-mewah, menjauhi hutang, menjauhi kebakhilan dan kekikiran.
Dengan demikian aktivitas konsumsi merupakan salah satu aktivitas ekonomi manusia yang bertujuan untuk meningkatkan ibadah dan keimanan kepada Allah SWT dalam rangka mendapatkan kemenangan, kedamaian dan kesejahteraan akhirat (falah), baik dengan membelanjakan uang atau pendapatannya untuk keperluan dirinya maupun untuk amal saleh bagi sesamanya.
Perilaku memilih makanan yang baik dan halal-sesuai dengan ketentuan syariat Islam, memiliki hubungan yang erat dengan aspek kepentingan lingkungan dan ekosistem, yaitu memberikan implikasi langsung bagi kelestarian spesies dan lingkungan. Salah satu ajarannya yaitu membatasi dan melarang mengkonsumsi pada spesies-spesies tertentu, seperti melarang mengkonsumsi hewan yang bertaring, hewan liar dan hewan yang dilindungi.
Ketetapan dan keputusan para fuqoha (ahli fiqih)
menentukan legalitas suatu makanan telah mempertimbangkan aspekaspek kesehatan dan lingkungan di dalamnya. Berpola konsumsi sebagaimana ditetapkan oleh syariat ini digolongkan dalam urusan ubudiyah. Dengan demikian, menaatinya akan mendapatkan pahala. Hal ini membawa kesimpulan bahwa pola konsumsi manusia dalam skala besar maupun kecil dapat mempengaruhi kelestarian lingkungan hidup. [E]
Perilaku memilih makanan yang baik dan halalsesuai dengan ketentuan syariat Islam, memiliki hubungan yang erat dengan aspek kepentingan lingkungan dan ekosistem
Pembangunan Akbar Sepanjang Sejarah UIN Walisongo Semarang
Sejak berdiri pada 6 April 1970 silam, UIN Walisongo
Semarang telah berupaya memperbaiki infrastruktur kampus dengan melakukan pembangunan gedung. Di sebelah timur lapangan kampus 3, saat ini telah berdiri 2 gedung baru -yaitu gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta Fakultas Psikologi dan Kesehatan- yang baru selesai dan beroperasi tahun 2017 lalu. Tahun 2018, UIN Walisongo kembali melakukan pembangunan akbar di area kampus 3. “Pembangunan 8 gedung baru di UIN Walisongo Semarang ini menjadi pembangunan terbesar sepanjang sejarah UIN” ujar Musahadi, Ketua Project Implementation Unit Islamic Development Bank (PIU IsDB). Dia menambahkan bahwa dari semula IAIN hingga beralih status menjadi UIN, pembangunan ini menjadi pembangunan terbesar yang pernah dibangun hingga saat ini. Dilansir dari laman walisongo. ac.id, delapan gedung itu terdiri dari general library & ICT center, administration building, integrated laboratory,
planetarium, faculty of science and technology, faculty of social and humanities, faculty of tarbiyah and education, and faculty of syariah. Tidak mengheranan pembangunan yang didanai oleh Islamic Development Bank ini menghabiskan banyak dana, tenaga, dan energi.
UIN Walisongo menunjuk PT Adhi Karya sebagai kontraktror yang dipilih untuk menyukseskan pembangunan akbar ini. Dari situ kemudian tebagi menjadi sub kontraktor –merujuk pada spesialisasi pekerjaan misalnya terkait jendela, kosen, plafon dan lain-lain serta mandor –yang merujuk pada pemasangan keramik, pintu, dan lain-lain. “Semuanya masih dalam pengawasan Adhi Karya,” Ujar Fathul Arifin selaku mandor dalam proyek ini.
Musahadi yang juga dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam menyatakan bahwa pembangunan ini dimulai pihak UIN dengan groundbreaking terlebih dahulu bersama kontraktor pada 10 Agustus 2018 lalu. Pernyataan ini sejalan dengan keterangan dari Fathul Arifin”(para
Pembangunan 8 gedung baru di UIN Walisongo Semarang ini menjadi pembangunan terbesar sepanjang sejarah UIN
Musahadi, ketua Project Implementation Unit Islamic Development Bank (PIU IsDB)
pekerja bangunan) mulai kerja September dan secara kontrak pembangunan ini selesai pada Desember tahun 2019. Musahadi menambahkan bahwa proses pengajuan proposal pembangunan ini sudah sejak 2009 yang lalu.
Seluruh tenaga kerja terdiri dari sipil hingga arsitek yang berjumlah kurang lebih 500 orang dibuatkan rumah khusus atau biasa disebut bedeng yang terletak diarea pembangunan belakang Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Di awal pembangunan, mereka bekerja dari pagi hingga terbit pagi lagi. “Kalo sekarang udah diarsitek dari jam 8 pagi sampai jam 10 malam, tidurnya di bedeng semua,” kata Fathul. “Tapi kalau sedang ngejar target kadang bisa dilanjut sampai jam 3 pagi” imbuhnya.
Adanya bedeng juga dimaksudkan karena para tenaga kerja datang dari
mayoritas luar Semarang seperti kabupaten Purwodadi dan Solo. Mereka bekerja dengan sistem rolling tanpa hari libur. “Jadi pas waktu gajian itu ada yang pulang ada yang enggak. Gajiannya per dua minggu sekali. Jadi gak pulang semua, nanti proyeknya kacau,” tandas Fathul.
Dalam proyek ini, semua tenaga kerja diikutkan BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. “Alhamdulillah sejauh ini tidak terjadi apaapa dan semoga tidak,” ucap Fathul. Setiap ada pekerja yang sakit nanti akan dibuatkan rujukan oleh K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) jika memang kondisinya perlu rujukan rumah sakit. “Para pekerjapun masuk proyek sini lewatnya itu kekantor dulu, safety induction dengan K3 baru mereka boleh bekerja,” Fathul menerangkan prosedur awal bagi para pekerja. Mereka diarahkan mengenai keselamatan serta area-area mana yang berbahaya. Selain itu mereka juga dibekali dengan atribut keselamatan seperti helm, sepatu, dan rompi.
Fathul lebih lanjut menegaskan bahwa material yang dipilih untuk proyek ini sudah dipersiapkan sejak awal dalam rencana kerja “Spesifikasi material semuanya sudah jelas, contohnya mebel pakenya spesifikasi yang gimana, merknya apa,” ujar Fathul. “Dari kontraktor sebelum mulai, material itu ada pengajuan dulu ke pengawas. Jika disetujui baru yang diorder kelapangan,” tukasnya.
Pembangunan ini terbagi menjadi dua proyek yakni proyek depan yang bertempat di antara perpustakaan pusat dan masjid kampus 3 serta proyek belakang yang bertempat disekitar Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Musahadi sendiri mengaku bahwa untuk pemetaan gedung baru tergantung Rektor dan pimpinan sekarang. “Saya hanya pada bangunannya, jadi wewenang saya yaa bagaimana proyek ini selesai,” jelasnya. Proyek ini tidak hanya menyangkut pembangunan fisik saja tetapi juga pembangunan non fisik seperti pengembangan kurikulum, akademik, kemahasiswaan,
serta IT dan manajemen perguruan tinggi. Ia juga menambahkan bahwa pemerintah mengambil andil dalam pembiayaan soft component yang masuk dalam struktur tak terpisahkan dari proyek ini dan hard component dibiayai oleh IsDB.
Kabar mengenai pemindahan rektorat juga diiyakan oleh Musahadi. “Karena memang mau bikin rektorat baru. Yang dikampus 1 nanti dibuat untuk paskasarjana rencananya,” katanya. Tapi rencana tersebut kembali lagi tergantung pada pimpinan sekarang dan BLU (Badan Layanan Umum)
“Kemungkinan dibikin hotel atau pom bensin atau yang lain yang terkait BLU karenakan strategis di pinggir jalan,” imbuhnya.
Salah satu dari 8 gedung yang menonjol adalah bangunan Planetarium di mana bagian atasnya berbentuk bulatan tak seperti gedung yang lainnya. Planetarium (dan observatorium) nantinya akan dibuka untuk dua kepentingan yakni kepentingan akademik penelitian dan edukasi untuk masyarakat. Musahadi menambahkan tetapi untuk yang planetarium ada beberapa poin tambahan,”. Ketinggian kubah observatorium ditambah 3 meter karena ada masukan dari para ahli dalam bidang IT supaya bisa lebih optimal untuk melakukan observasi benda-benda langit. “Letaknya, semuanya, sudah dipertimbangkan,” tandasnya.
Fakultas Sains dan Teknologi menjadi satusatunya fakultas yang
kantornya akan ditempatkan digedung baru. “FST ada 4 lantai, nanti yang paling bawah untuk kantor dan tiga lantai nanti untuk kelas, karena FST kan masih pinjam di Tarbiyah,” terang Musahadi. Dalam skema awal, gedung-gedung tersebut memang awalnya tidak dimiliki oleh fakultas. Semua kelas yang didesain memiliki ruang theater class akan dikelola oleh universitas dengan sistem IT sehingga semua jurusan dari semua fakultas dapat berkesempatan kuliah disana. “yaa kayak gedung A (FISIP) dan B (FPK),” imbuhnya. Gedung tersebut akan dilengkapi dengan furnitur yang dianggarkan tahun 2020.
Beberapa gedung sudah mulai difungsikan untuk kelas mulai awal semester lalu. Salah satu yang sudah pernah kuliah di sana adalah Nifa (nama samaran), mahasiswi jurusan Pendidikan Matematika.
Menurut Nifa, dia sama sekali tidak terganggu kuliah tanpa furnitur seperti bangku. Tapi dia menyayangkan penggunaan papan kaca sebagai papan tulis. “Letak papan kacanya itu gak strategis karena berhadapan dengan jendela, jadi misal mau nulis kadang gak keliatan karna kena cahaya dari jendela,” ujar perempuan yang juga menempuh pendidikan dipesantren itu. Terkait hal ini, Musahadi menyampaikan bahwa pemakaian gedung yang belum dilengkapi furnitur ini terkait pencegahan adanya kuliah malam “Karena kan high cost, dari segi lampu, keamanan, kerepotan, maka kuliah malam tidak lebih baik. Berarti dioptimalkan untuk kuliah tidak malam, maka gedung-gedung itu dioptimalkan meski belum ada furniturnya,”.
Pembangunan ini tentu saja menuai tanggapan baik dari mahasiswa. “Bagus
sih tujuannya. Karena kita memang kekurangan gedung,” ujar Lintang pada (30/6), mahasiswa angkatan 2017 jurusan Komunikasi dan penyiaran Islam. Namun, perempuan asal Magelang itu juga mengeluhkan terkait suara bising dan banyaknya debu akibat proses pembangunan tersebut. “Saya kuliahnya kan difakultas Dakwah, fakultas yang paling dekat dengan proyek. Jadi lebih terasa bising dan debunya,” ujarnya. Dia berharap bahwa semua masyarakat kampus dapat merasakan manfaat atas pembangunan ini Hal ini juga sejalan dengan Musahadi yang berharap agar mahasiswa dapat compatible dan support terhadap perawatan gedung. “Kalau bisa dioptimalkan penggunaan dan perawatannya kan pemerintah ‘gak rugi, rakyat ‘gak rugi,” tuturnya.[
RANTAI DISKRIMINATIF
DI INSTANSI PENDIDIKAN
Inggris angkatan 2019. Ia merupakan kru lpm Edukasi.
Agama merupakan tatanan kepercayaan yang dimiliki oleh setiap pemeluknya. Di Indonesia, agama memegang peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini tergambar jelas pada sila pertama Pancasila yang berbunyi: ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Dilansir dari Wikipedia.org, hal tersebut merupakan sebuah kompromi antara dua gagasan besar. Yakni negara islam dan negara sekuler. Sehingga keberagaman agama di Indonesia tak seharusnya menjadi permasalahan yang mendasar di tengah masyarakat. Nilai substantif keberagaman di sini bukan tentang seberapa banyak agama yang ada di Indonesia, namun seberapa sadar masyarakat tentang toleransi beragama. Toleransi beragama sudah diatur dalam Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Berbunyi “setiap orang bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pedoman yang seharusnya menjadi pegangan bagi seluruh masyarakat di Indonesia. Karena kembali lagi, Indonesia merupakan negara yang heterogen dengan segala perbedaan di dalamnya.
Baru-baru ini, isu diskriminasi agama kembali mencuat ke permukaan. Riskannya, terjadi di instansi pendidikan yang notabene -nya merupakan habitus yang kondusif bagi keberagaman sebelum para siswa benarbenar terjun di masyarakat yang lebih heterogen.
Dilansir dari detik.com, terdapat seorang siswi SMK Negeri Padang, Sumatera Barat bernama Jeni Cahyani Hia, yang menolak untuk
mengenakan jilbab di sekolahnya tiap hari Jumat. Dikarenakan ia berpegangan kepada agama yang dianutnya sebagai seorang non-muslim. Memang tidak ada aturan yang mewajibkan seluruh siswi berjilbab, hanya saja dalam peraturan tersebut mewajibkan para siswa berbusana muslim. Realitanya, peraturan penggunaan jilbab sudah menjadi hal yang wajar di lingkungan siswa-siswi SMK Negeri Padang, dan Jeni adalah satu-satunya siswi non-muslim yang berani secara langsung menolak aturan tersebut.
Permasalahan itu sempat viral di media sosial facebook, karena terjadi adu mulut antara pihak orang tua Jeni dan pihak sekolah yang bersangkutan. Mereka berdebat mempermasalahkan tentang peraturan berjilbab yang bertentangan dengan agama yang dianut oleh Jeni dan keluarganya.
Kepala SMKN 2 Padang, Rusmadi mengatakan tidak ada paksaan kepada siswi nonmuslim untuk menggunakan jilbab, hanya saja dalam tata tertib sekolah memang ada disebutkan pada hari Jumat siswa/i memakai baju muslim. Dilansir dari liputan6.com. tata tertib tersebut yang sudah wajar dijalankan oleh siswa/i SMK Negeri 2 Padang merupakan tata tertib yang rancu, baju muslim yang dimaksudkan harus dapat menutup bagian tubuh sesuai dengan syariat Islam atau yang sering kita kenal dengan aurat. Dan terkesan salah sasaran, karena pemberlakuan tata tertib tersebut di dalam instansi pendidikan umum, bukan berbasis Islam. Tata tertib tersebut sangat bertentangan dengan pedoman beragama, sesuai dengan Pancasila dan
•ARTIKEL•
Tata tertib tersebut sangat bertentangan dengan pedoman beragama, sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Yakni kebebasan untuk setiap orang memiliki kemerdekaannya masing-masing untuk memilih.
UUD 1945. Yakni kebebasan untuk setiap orang memiliki kemerdekaannya masingmasing untuk memilih. Rusmadi juga mengakui perlunya merevisi ulang tata tertib tersebut.
Dalam perkara ini, tidak hanya pihak sekolah yang bersalah sepenuhnya. Melainkan hal ini luput dari perhatian Kemendikbud dalam mengawal peraturan yang sifatnya substantif seperti toleran beragama di instansi pendidikan. Bukan hanya tentang kurikulum pembelajaran yang sifatnya penunjang. Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara menganggap tata tertib ini bersifat diskriminatif dan merugikan siswa/i, ia meminta kepada Kemendikbud melakukan review sekaligus merevisi berbagai aturan yang kerap diterapkan pihak sekolah.
Hal ini perlu dilakukan untuk mengembalikan kembali cita-cita pendidikan di Indonesia. Untuk mewujudkan pelajar berkarakter kuat terhadap etika bangsa yang menerapkan segala nilai yang ada di dalam Pancasila.
Lahirnya SKB 3 Menteri
Kekulturan yang mencolok di kalangan masyarakat. Membuat para kaum yang memilki andil besar dalam menetapkan keputusan agar terlihat seragam sangat mungkin terjadi. Tidak heran jika mereka yang banyak akan mendominasinya. Kekuatan simbolik dianggap lebih penting ketimbang kekuatan subtansioanalnya. Padahal, agar terlihat
seragam di muka dapat berakibat fatal jika terdapat kaum yang merasa terbebani akan hal tersebut.
Berangkat dari kasus salah satu siswa SMK Negeri yang menyatakan menolak untuk menaati peraturan yang menyimpang terhadap aturan agamanya. Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri diluncurkan dengan tujuan memberikan jalan tengah terkait soal intoleransi di lingkungan pendidikan. Surat keputusan yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Nadiem Makariem), Menteri dalam Negeri (Tito Karnavian), dan Menteri Agama (Yaqut Cholil Qoumas). Berisi tentang 6 poin penting yang mengatur tentang pemakaian atribut sekolah dengan Pemda maupun sekolah tidak diperbolehkan mewajibkan atau melarang murid mengenakan seragam beratribut keagamaan.
Munculnya peraturan baru yang mengatur tentang toleransi dikalangan siswa menjadi angin segar di tengah masyarakat. Di mana kebijakan – kebijakan lawas yang menekan serta memaksa sasarannya dapat diminimalisir. Namun yang patut disayangkan adalah keterlambatan peraturan yang terbit. Seolah menjadi suatu kebiasaan dalam Negara ini, istilahnya ‘baru merasa tersentil setelah disentil’. Misalkan saja tidak ada siswa yang berani mengungkapkan pendapatnya. Mau berapa lama lagi diskriminasi terus mengakar di dunia pendidikan? [E]
TEMBAKAU
Selalu ada hal yang menarik untuk diabadikan dalam sebuah bingkai foto. Itu yang kutemukan saat berkunjung ke berbagai tempat baru. Meskipun, malam itu, seorang teman yang aku kunjungi mengatakan tak ada yang menarik dan indah untuk difoto di desanya, Desa Kandangan, Purwodadi, Grobogan. “Harus ke tempat lain jika menginginkan pemandangan yang indah”, katanya sambil meyakinkanku. Tapi, setidaknya menurutku, sebuah foto yang indah bukan melulu tentang pemandangan yang indah.
Esoknya, Sabtu (26/10/2019), kuputuskan bangun agak pagi setelah begadang semalaman. Harus ada kenang-kenangan yang kubawa pulang sebagai ganti waktuku yang terbuang, juga perjalanan yang cukup bikin panas pantat itu, pikirku. Itu bukan kampungku, aku butuh teman jalan, tapi rombonganku membalas dengan kata ‘wegah’ ajakanku. Oh, begitu? Baiklah! Kuajaklah Asla, adik perempuan kawanku itu, sebelum ia mandi, lalu pergi ke sekolah. Tak mungkin aku mengajak embaknya, meskipun aku berharap, karena ia harus membantu ibunya untuk menyiapkan sarapan untuk Asla, tentunya untuk kami juga, tamu agung di kediamnya. Hehehe.
Asla, gadis kecil yang menggemaskan itu, mengajakku pergi ke persawahan yang ada di belakang rumah warga. Ia berlarian dengan bahagia di jalan persawahan sembari menunjuknunjuk. Benar saja, ada yang menarik mata, tapi bukan wanita. Hamparan tanaman tembakau terbentang pada sepetak tanah ditengah lahan persawahan, di mana di kanan-kirinya tak bertaman, dan di tengahnya petani tembakau sedang mencabuti tanaman tembakaunya.
Kenapa tembakau yang masih banyak daunnya dicabuti begitu saja? Padahal tanaman tembakau yang memili nilai jual kan daunya, kenapa? Demi menghilangkan dahaga penasaranku, kuputuskan bertanya kepada petani tembakau Desa Kandangan tersebut. Sambil sibuk mencabuti batang tembakau ia menjawab segala keresahanku.
“Ora cucuk mas, yen dipanen” jawabnya sambal mencabut batang tembakau.
Kata Ora cucuk yang dikatakan ia bermaksud adanya ketimpangan antara bea panen dan tetek mbengek-nya yang dikeluarkan sebelum tembakau siap jual tak akan sebanding dengan hasil yang akan didapat. Harga tembakau Kelas C (tembakau yang ditanam dilahan persawahan) yang ada di Kandangan hanya bertengger dikisaran Rp 9000-11000/kg. Tak sepadan dengan bea yang dikeluarkan untuk membayar tenaga untuk memanen, waktu yang tersita untuk ngimbu (proses menunggu dengan didiamkan setelah dipetik sampai siap rajang, yang memakan waktu 3-7 hari), tenaga untuk merajang, menjemur, dan mengemas sebelum diserahkan kepada pengepul.
Dengan adanya ketimpangan antara pengeluaran dan pemasukan seperti itu, petani tembakau Kandangan yang kutemui pagi itu memilih mencabuti tembakaunya, daripada merugi. untuk kemudian, pasca dicabut, dikeringkan dan dijadikan kayu bakar. Lumayan, untuk mengurangi pengeluaran untuk beli gas elpiji. Lebih baik dimanfaatkan daripada merugi sama sekali. Begitu kira-kira.[E]
PERGURUAN
TINGGI UNTUK PENYANDANG DISABILITAS
Tertuang dalam batang tubuh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia ke 4 berbunyi “... dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ...” yang berarti setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Tak terkecuali juga penyandang disabilitas atau difabel. Akan tetapi akses masuk mereka ke dalam perguruan tinggi masih terbatas. Dikutip dari laman Tirto.id, Dina Afrianty, peneliti La Trobe University, Australia, pada 2018 yang meneliti beberapa kampus berbasis Islam di Indonesia, ada penolakan terhadap calon mahasiswa penyandang disabilitas tunanetra yang ingin masuk fakultas tarbiyah (pendidikan). Alasan yang dikemukakan oleh kampus tersebut adalah, “untuk menjadi guru, seseorang tidak boleh buta”. Dukungan masyarakat bagi difabel masih kurang. Hal tersebut dipengaruhi oleh hambatan budaya, kebiasaan di masyarakat memandang bahwa difabel tidak mampu melakukannya. Dampaknya, jumlah difabel yang mengakses pendidikan tinggi masih sangat kecil.
Istilah kampus inklusi mulai sering didengar. Istilah kampus inklusi sendiri merujuk pada pengertian bahwa kampus sebagai lembaga pendidikan tinggi juga mampu memfasilitasi dengan baik para penyandang disabilitas (kelompok difabel) untuk turut mendapatkan hak ilmu di perguruan tinggi. Dalam rangka untuk mencapai status inklusi tersebut, maka kampus perlu menyediakan berbagai sarana, baik sarana fisik maupun non fisik.
Dasar Hukum Hak Difabel
Paradigma perguruan tinggi terhadap
para difabel seharusnya dikembalikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak kaum difabel untuk mendapatkan pendidikan yang layak, termasuk pendidikan untuk memasuki jenjang perguruan tinggi telah diatur dalam perundang-undangan. Melalui UndangUndang (UU) No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah menetapkan pendidikan bagi penyandang disabilitas sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Disebutkan dalam UU tersebut bahwa pendidikan dilaksanakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial agar mendapat pendidikan khusus. Pelaksanaan perguruan tinggi bagi penyandang disabilitas atau difabel diatur dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pasal 42 ayat 3. Di dalamnya mengamanatkan penyelenggaraan pendidikan tinggi untuk memfasilitasi pembentukan Unit Layanan Disabilitas. Bahkan, ditegaskan bahwa penyelenggara pendidikan tinggi yang tidak membentuk Unit Layanan Disabilitas akan dikenai sanksi administratif, mulai dari teguran hingga pencabutan izin penyelenggaraan pendidikan. Meski begitu, pada realitasnya masih terdapat diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas atau difabel. Salah satu contoh yang paling gamblang adalah syarat “sehat jasmani dan rohani” setiap pembukaan pendaftaran mahasiswa baru melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Nasional (SBMPTN). Ketentuan tersebut
dapat menimbulkan persepsi bahwa para difabel tidak diperbolehkan mengikuti seleksi tersebut.
Sederet Kampus Inklusi
UIN Sunan Kalijaga adalah satu dari beberapa universitas yang telah menerapkan kampus inklusi untuk para difabel. Sejak 2007 UIN Sunan Kalijaga sebagai pelopor dalam memfasilitasi jalur pendidikan untuk penyandang disabilitas dengan membuat Pusat Layanan Disabilitas yang berfokus pada layanan dan dukungan akses. Pada tahun 2014/2015 di universitas tersebut terdapat 45 mahasiswa difabel dan menjadikannya sebagai universitas yang ramah bagi penyandang disabilitas di Indonesia. UIN Sunan Kalijaga memulai dengan membangun infrastruktur yang dapat diakses di semua bangunannya dan mengalokasikan anggaran institusionalnya sendiri untuk mendukung siswa difabel untuk terlibat aktif.
Beberapa universitas juga mulai membangun akses ramah difabel seperti membangun lift pada gedung-gedungnya atau perpustakaan universitas dengan standar internasional. Akan tetapi akses ramah difabel baru sebatas akses fisik. Masih ada banyak masalah lain seperti kurangnya kesadaran desain kurikulum inklusi dan pemberian materi oleh dosen.
Di Universitas Brawijaya, dalam penerimaan mahasiswa baru, pihak universitas dalam memberikan fasilitas kepada penyandang disabilitas harus “menjemput” calon mahasiswanya untuk melakukan proses seleksi. Setiap tahunnya, kampus tersebut menerima 20 hingga 25 mahasiswa difabel yang
tersebar di 12 fakultas dari 17 fakultas di Universitas Brawijaya yang menerima mahasiswa penyandang disabilitas sejak tahun 2012. Diantaranya Fakultas Hukum, Fakultas Teknik, Fakultas MIPA, Vokasi, hingga Fakultas Kedokteran. Ada berbagai penyandang disabilitas, dari tuna rungu, tuna netra, tuna daksa, bahkan tuna grahita.
Universitas Brawijaya juga memfasilitasi para penyandang disabilitas sesuai dengan kebutuhannya. Seperti mahasiswa tuna rungu, maka disediakan penerjemah isyarat. Selain itu, di sana juga terdapat 79 volunteer yang akan membantu para penyandang disabilitas dalam melaksanakan proses perkuliahan. Meskipun hanya dibayar Rp. 12.000 per pendampingan, namun banyak yang mendaftarkan diri untuk membantu. Mereka juga diberi arahan bahwa tidak boleh bekerja atas dasar ‘belah kasihan’, karena disabilitas bukanlah sebuah penyakit melainkan identitas. Kampus inklusi akan seimbang jika akses fisik dan akses nonfisik dapat berjalan bersama. Bila hanya salah satu saja, maka masih sama saja terdapat diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.
Menurut Fadillah Putra, ketua Program Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya, Malang, untuk membangun infastruktur yang ramah untuk penyandang disabilitas tak mahal, diantaranya membangun lift untuk gedung perkuliahan bertingkat, membangun toilet disabilitas, guiding block, hingga memberikan relawan pendamping. Seharusnya mereka mampu, di tengah pendapatan atau income perguruan tinggi yang belasan bahkan puluhan miliar pertahun. Butuh kemauan untuk dapat mewujudkan kampus inklusi yang ramah akan penyandang disabilitas.
Asifatun Hidayah
Mahasiswa Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) angkatan 2017. Kini menjabat sebagai PU LPM Edukasi 2020.
DILEMA AKTIVIS MAHASISWA DAN MAHALNYA BIAYA
KULIAH
Nampaknya permasalahan regenerasi menjadi pembahasan lumayan penting dalam setiap internal organisasi kemahasiswaan. Pertanyaan setiap penerimaan mahasiswa baru adalah bagaimana cara membuat mahasiswa baru agar tertarik berorganisasi? Sementara banyak faktor yang membentur mahasiswa untuk tidak mengikuti organisasi. Salah satunya adalah UKT yang mahal, yang secara langsung atau tidak langsung menuntut mahasiswa lulus lebih cepat.
Kita tahu bersama, setiap mahasiswa baru yang datang setiap tahunnya bukan berasal dari keluarga dengan ekonomi berada pada kalangan menengah ke atas, melainkan mereka juga datang dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Karena diakui atau tidak, pendidikan tinggi sudah menjadi hal yang lumrah jadi tujuan.
Dengan latar belakang yang beragam tersebut tak heran mahasiswa juga punya beragam pilihan dalam menjalani kehidupannya menjadi seorang mahasiswa.
Menurut Maman S. Mahayana ada enam tipologi mahasiswa, yaitu: pertama,
mahasiswa underdog; mahasiswa yang umumnya datang dari pedesaan, merasa tidak ada yang dibanggakan, berusaha menjadi mahasiswa yang baik, motivasinya tinggi untuk kuliah. Kedua, mahasiswa salon; mahasiswa yang datang dari kota dan keluarga berada, kuliah sekedar agar tidak menganggur, bersiap melanjutkan usaha orang tua, kampus sebagai tempat pamer kendaraan dan penampilan, tujuan status mahasiswa bukan ilmu. Ketiga; mahasiswa anak mami; mahasiswa yang berasal dari keluarga menengah atas, sungguhsungguh kuliah tapi tidak peduli kegiatan nonakademis, kerjanya hanya tidur dikost, ke kampus, dan pulang kampung. Tujuannya untuk segera menyelesaikan kuliahnya dengan baik agar memperoleh pekerjaan. Keempat, mahasiswa jalan pintas; mahasiswa yang motivasinya hanya memperolah gelar ijazah meskipun harus membayar nilai, melakukan plagiat skripsi atau membayar orang untuk di buatkan skripsi, menghalalkan cara untuk mendapatkan nilai baik, seperti menyontek, copypaste tugas kuliah, dan lain-lain. Kelima, mahasiswa
pekerja; mahasiswa dari keluarga pas-pasan atau karyawan yang ingin merubah nasib, biasanya sungguh-sungguh mengikuti kuliah, sering juga mengikuti kegiatan mahasiswa. Keenam mahasiswa unggulan; mahasiswa yang berasal dari keluarga terpelajar, secara ekonomi dan intelektual bagus, sering memanfaatkan masa kuliah untuk menempa diri di organisasi atau kegiatan ilmiah lainnya.
Berangkat dari tipologi ini sebenarnya para aktivis mahasiswa dituntut untuk membuat sebuah formulasi dalam merekrut anggota baru mereka agar proses regenerasi organisasi tetap berjalan. Mereka harus bisa meyakinkan mahasiswa baru entah bagaimana caranya. Misalnya saja, menunjukkan kelebihan organisasi mereka, prestasi anggotanya, dan lain-lain. Tak sedikit pula ada yang menggunakan cara-cara cerdik. Misalnya dengan cara menculik mahasiswa baru untuk tinggal di kesekretariatan mereka, dengan iming-iming akan difasilitasi apa yang mahasiswa baru butuhkan, atau mungkin dengan rayuan-rayuan maut dari anggota mereka yang tampan dan rupawan.
Hasilnya, tidak sedikit dari mahasiswa baru yang mempan akan usaha-usaha para aktivis mahasiswa itu. Dan tidak sedikit pula yang bodoh amat, seperti aku sendiri. Aku tidak tahu tentang alasan apa mereka yang memilih untuk tidak berorganisasi. Yang pasti mahasiswa baru berasal dari latar belakang berbedabeda. Tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk merekrut mahasiswa baru untuk berorganisasi. Faktornya banyak, terutama karena mahalnya biaya pendidikan yang membuat mahasiswa berpikiran bahwa kuliah harus cepat lulus, agar tidak terlalu banyak membayar. Terlebih biaya kuliah setiap tahun akan
terus meningkat.
Selain biaya kuliah yang setiap tahunnya semakin mahal, faktor-faktor lain penyebab mahasiswa tidak minat berorganisasi di antaranya yaitu kurang menariknya kegiatan organisasi tersebut, gaya hidup mahasiswa yang mulai mewah dan didukung dengan lingkungan sekitar: warung kopi moderen, tempat hiburan, dan restoranrestoran.
Meski begitu, aku tetap yakin ketika mahasiswa bergabung dengan organisasi akan mendapatkan segudang manfaat. Segudang itu di antaranya: melatih kepemimpinan, menyalurkan bakat minat, belajar manajemen waktu dan pengalaman lainnya yang tentu saja dapat menunjang karir. Tak jarang pula kita akan dibenturkan dengan hal-hal akademik yang merupakan kewajiban utamanya. Intinya, aktif di organisasi atau fokus pada akademik adalah sebuah pilihan dan semuanya memiliki resiko tersendiri. Entah, di dalam organisasi baik tapi akademik keteteran atau organisasi lancar dan akademik pun lancar. Semua itu pilihan.
SUARA MAHASISWA
Redaksi menerima kiriman untuk rubrik suara mahasiswa berupa artikel dengan tema seputar dunia mahasiswa. Surat yang dikirim dilengkapi dengan identitas diri ke surel: eduonline9@gmail.com, atau bisa datang langsung ke sekertariat LPM EDUKASI di PKM Kampus II UIN Walisongo Semarang.
Batik Tiga Negeri
Singgah ke daerah Lasem, Rembang. Tidak lengkap rasanya jika kita melewatkan kesempatan untuk menengok tradisi membatik yang masih dirawat hingga saat ini. Anda akan takjub kepada para perempuan berumur asli Lasem yang terlihat lihai meliukkan tangannya untuk membuat batik tulis khas Lasem.
Anda dapat singgah ke Rumah Batik Nyah Kiok untuk sekedar melihat lebih dekat proses pembuatan Batik Tiga Negeri. Atau langsung ke Rumah Merah Heritage Lasem yang berhadapan dengan rumah batik untuk melihat bermacam jenis kain batik dan bisa juga membelinya di showroom yang tersedia di dalam heritage tersebut. Selain showroom batik tiga negeri, tempat ini juga memiliki tempat penginapan untuk pengunjung, dengan arsitektur khas Tionghoa yang masih dipertahankan keasliannya dari tahun 1860.
Anda tak akan mengira rumah joglo dengan sisi depannya yang terbuka dan ruang utama yang luas merupakan Rumah Batik Nyah Kiok. Karena memang rumah batik ini seperti arsitektur rumah penduduk di daerah tersebut. Rumah batik ini memiliki 7 obeng (pembatik) yang sudah renta. Mereka adalah Mbah Suti, Mbah Lasinah, Mbah Kutanti, Mbah Suharmi, Mbah Sabariyah, Mbah Marni, dan Mbah Sumirah. Di sana memiliki produk batik yang fenomenal yaitu ‘Batik Tiga Negeri,’ batik ini memiliki keunikan serta kombinasi warna yang harmonis. Keunikan tersebut tergambar pada motif batiknya. Sedari dulu, batik yang diproduksi oleh Rumah Batik Nyah Kiok tetap konsisten, yaitu Batik Tiga Negeri dengan motif yang bernama ‘Gunung Ringgit Pring’ atau dalam bahasa Indonesia disebut ‘Gunung Ringgit Bambu’. Motif ini sudah mendominasi produksi batik di sana sejak awal berdirinya.
“Yo mbiyen kabeh obeng ning kene gawe batik gunung ringgit pring,(Ya dulu semua pembatik di sini membuat batik gunung ringgit pring).” ujar Mbah Las.
Terkait kombinasi warna, Batik Tiga Negeri memiliki tiga kombinasi warna yaitu
merah, biru, dan cokelat. Walaupun seiring perkembangan selera pasar, warna tersebut semakin berkembang menjadi lebih dari 3 warna. Seringkali tiga warna tersebut dikaitkan dengan sejarah pembuatannya, warna merah berasal dari proses pencelupan tinta di daerah Lasem.
Sedangkan biru di daerah pekalongan. Dan yang terakhir coklat di daerah solo. Selain dari sisi historis, warna-warna tersebut juga melambangkan heterogennya budaya di daerah Lasem yang berdampingan harmonis, yakni antara budaya Tionghoa, Belanda, dan Jawa pada saat awal berdirinya rumah batik tersebut.
Proses Pembuatan Batik Tiga Negeri
Dari namanya saja kita telah memahami, bahwa 3 warna pada batik khas Lasem ini sebagai gambaran dari 3 negeri yang berbeda. Merah yang melambangkan budaya Tionghoa, biru yang melambangkan budaya Belanda, dan cokelat yang melambangkan budaya Jawa. Ketiganya terlihat harmoni dengan sentuhan khas dari para pengrajin batik ini.
Tidak hanya berhenti pada kombinasi warnanya. Batik ini juga memiliki bermacam motif yang berbeda, yaitu motif Latoan, Laseman, Sekar Jagat, Gunung Ringgit, dan masih banyak lagi.
Untuk menghasilkan selembar batik tiga negeri, para pengrajin memerlukan proses yang panjang. Tiap pengrajin memiliki spesialisasi tersendiri, dan merupakan rangkaian proses untuk merampungkan
batik tiga warna yang siap untuk dipasarkan. Pertama, ‘Memolai’ yaitu proses awal untuk pengrajin memberi pola pada kain dasar batik. Kedua, ‘Nglengkreng’ yaitu proses pengisian pola yang sudah dibuat sebelumnya. Dilanjutkan ke proses ketiga, ‘Nerusi’ yaitu membatik kembali pola yang sudah diisi. Proses keempat adalah ‘Nembok’ yaitu pemenuhan ruang kosong pada motif batik. Kelima, barulah proses ‘Warna’ yaitu pemberian warna pada batik. Dan proses yang terakhir adalah ‘Lorot’ yaitu pembersihan sisa-sisa material membatik dengan menggunakan air panas. Semakin banyak warna pada batik, maka prosesproses tersebut akan diulangi sesuai jumlah warna yang akan dibuat.
Seluruh proses tersebut selesai sekitar jangka waktu tiga bulan, untuk menunggu 50 helai kain batik dirampungkan motifnya, baru dilaksanakan proses pewarnaan secara bersamaan. Hal ini yang menyebabkan harga dan kualitas batik tiga negeri digandrungi oleh para pengunjung maupun kolektor batik di dalam maupun luar negeri.
“Paling cepet sak wulanan, oleh 50 lembar kanggo diwarna (Paling cepat satu bulanan, dapat 50 lembar untuk diwarnai),” ujar Mbah Suti.
Akulturasi Budaya di Lasem
Nilai budaya di daerah Lasem sangat lekat terlihat, khususnya di Desa Karangturi, area dimana Rumah Merah Heritage Lasem dan Rumah Batik Nyah Kiok berdiri. Yaitu akulturasi antara budaya Jawa dan Tionghoa.
“Ning kene ono masyarakat asli ambi Tionghoa. Antara dua-duane podo, ora beda-beda (Di sini ada masyarakat asli dan Tionghoa. Antara keduanya sama, enggak beda-beda),” ujar Mbah Suti.
Hubungan antara keduanya terjalin sangat akrab dan tak memandang perbedaan. Bermacam kegiatan kolaborasi yang diadakan di daerah tersebut terlaksana secara harmonis.
“Biasane buka bersama nggih teng rumah merah, halal bihalah nggih cina nggih jawa ting mriku barengan (Biasanya buka bersama ya di rumah merah, halal bihalal ya cina ya jawa di sana bersama-sama),” lanjutnya.
Yang lebih mencolok dari akulturasi budaya ini adalah perpaduan tulisan yang tergambar dari salah satu pos Rukun Tetangga(RT) yang ada di Desa Karangturi. Yang menunjukkan perpaduan bermacam tulisan berbahasa Tionghoa, Arab, dan Indonesia.[E]
Sajak ini melupakan aku pada pisau dan tali Sajak ini melupakan kepada bunuh diri.
Melalui potongan puisi itu, yang tak sengaja saya lihat di beranda Instagram, saya terkesan. Sebab saya mudah memahaminya. Potongan puisi itulah yang kemudian meruntuhkan anggapan saya terkait puisi. Dulu, saya menganggap puisi adalah sesuatu yang asing, puisi adalah sesuatu yang sulit untuk dipahami, puisi adalah ciptaan dewa. Saya selalu ingin menghindar. Saya sama sekali tidak ingin memasukinya.
Namun, sepotong puisi tersebut mendusinkan saya. Saya tiba-tiba ingin masuk ke rimba raya puisi. Seolah-olah ada seseorang yang memanggil. Ada seseorang yang membukakan pintu dan menyilakan saya menetap. Kesadaran saya terketuk. Barangkali, momen inilah awal dari sebuah perkenalan saya yang intim dengan puisi. Dan tentu saja saya tidak seperti Goenawan Mohammad yang mengenal puisi dengan suasana sendu dan sok puitis: “Perkenalan pertama kali saya dengan puisi berlangsung di sebuah sungai dan sejumlah senja,” tulis Goenawan Mohammad dalam esainya, Fragmen: Peristiwa.
Saya bertemu potongan puisi tersebut tidak di suatu senja, di suatu sungai, maupun di tempat-waktu yang sendu-sendu. Saya bertemu puisi itu di sebuah ponsel dan di waktu siang yang amat terik di Semarang. Saya sedang berbaring di kamar indekos, dan sedang tidak ingin melakukan apa-apa. Tapi membaca puisi tersebut, saya geragapan. Lalu saya duduk, dan mengangankannya lebih dalam: saya terbius.
Di bawah potongan puisi tersebut ada judul dan nama penyairnya. Ditulis dengan sangat kecil dan tidak mencolok, di situ tertulis: Sajak, Subagio Sastrowardoyo.
Dari sinilah, saya mulai mencarinya di internet, dan membaca utuh sajaknya:
SAJAK
Apakah arti sajak ini Kalau anak semalam batuk-batuk bau viks dan kayuputih melekat di kelambu. Kalau istri terus mengeluh tentang kurang tidur, tentang gajiku yang tekor buat bayar dokter, bujang dan makan sehari. Kalau terbayang pentalon sudah sebulan sobek tak terjahit. Apakah arti sajak ini Kalau saban malam aku lama terbangun: hidup ini makin mengikat dan mengurung Apakah arti sajak ini Piaraan anggerek tricolor di rumah atau pelarian kecut ke hari akhir?
Ah, sajak ini, Mengingatkan aku kepada langit dan mega
Sajak ini mengingatkan kepada kisah dan keabadian.
Sajak ini melupakan aku kepada pisau dan tali.
Sajak ini melupakan kepada bunuh diri.
Membaca sajak ini, saya seakan ikut serta mengalaminya. Meski saya mengumpamakan dengan kesedihan yang lain: kesedihan yang sedang saya alami kala itu. Melalui sajak itu, saya merasa terselamatkan dari keputusasaan.
Sebab penasaran, saya kemudian memutuskan mencari buku yang memuat sajak tersebut. Bertemulah saya dengan Simfoni II. Sebuah buku yang berisi dua kumpulan puisi: Simfoni dan Simfoni II.
Dari pengantar singkat Subagio Sastrowardoyo yang menyertai buku tersebut, saya tahu, sebelumnya dua kumpulan puisi ini terpisah. Yang terbit lebih dahulu adalah Simfoni (terbit tahun 1957). Dengan disatukan, ia berharap Simfoni, seperti yang ditulis Subagio, menjadi pengantar Simfoni II.
Membaca sajak-sajak di Simfoni, nuansa religius yang penuh gugatan sangat kental sekali. Dari 18 sajak, hanya lima sajak yang tidak memiliki nuansa religius. Perihal sajaksajak religius ini barangkali Subagio mendapat kritik dari H.B. Jassin seperti yang disebutkan oleh Bakdi Soemanto dalam epilognya di kumpulan puisi Dan Kematian Makin Akrab. Yang kemudian ditanggapi oleh Subagio:
Pujangga
“Aku bukan penganut buta suatu ajaran atau dogma agama.”
Bagi saya, jawaban itu adalah sebuah jawaban gugatan selayaknya sajak-sajak religius Subagio yang penuh gugatan. Seperti salah satu sajaknya yang berjudul Afrika Selatan:
Mereka boleh membunuh
Mereka boleh membunuh
Mereka boleh membunuh
Sebab mereka kulit putih dan kristos pengasih putih wajah
Lahirnya Seorang Penyair
Subagio lahir pada tanggal 1 Februari 1924, dua tahun lebih muda dari Chairil Anwar yang lahir pada 1922. Usia mereka terpaut dekat, tapi nasib memang kesunyian masing-masing; Chairil sejak muda sudah mantap dengan dunia kepenyairannya, tapi lain halnya Subagio. Ia masih mencari-cari seni yang tepat baginya dan kemungkinan ia mulai menyair jauh hari setelah wafatnya Chairil.
Saya bayangkan ketika Chairil Anwar berasyik masyuk dengan puisi dan jatuh bangun meramu untuk menulis puisi yang menjadi, Subagio muda sedang asyik
bermain gitar dan mempelajari lagu-lagu. Tapi ternyata itu tidak memuaskannya. Karena menurutnya, bunyi begitu lemah. Dalam esainya berjudul Mengapa Saya Harus Menulis Sajak?, ia menulis:
“Bunyi begitu lemah menghadapi landa waktu. Bunyi begitu mudah menguap tanpa meninggalkan kumandang di udara dan yang tinggal hanya lambang-lambang mati di atas kertas musik.”
Sementara itu ketika Chairil sedang mempersembahkan puisi untuk pelukis Affandi dan Basuki Resobowo, saya bayangkan Subagio sedang menekuni dunia lukis. Ia sedang membuat sketsa-sketsa. Ia sedang memikirkan komposisi. Ia sedang memandangi lukisan karya orang terkenal secara seksama. Tapi, pada akhirnya ia merasa ada yang kurang di dunia lukis. Karena menurutnya, dunia lukis adalah dunia yang bisu.
“Saya rasakan seni ini sebagai seni bisu. Ini adalah seni manusia tanpa lidah dan saya tidak puas dengan seni lukis. Menurut perasaan saya, sarana lukisan tidak cukup lembut untuk mengucapkan gerak perasaaan dan pikiran,” tulisnya dalam esai yang sama.
Melewati beragam dunia kesenimanan tersebut, ia kemudian berlabuh kepada kesusastraan. Dalam dunia kesusastraan ini, ia tak hanya bergulat dengan dunia
puisi. Ia juga mempelajari prosa, yang kemudian menerbitkan kumpulan cerita pendek berjudul Kedjantanan di Sumbing, dan bahkan cerpennya yang menjadi judul tersebut mendapatkan penghargaan pertama dari majalah Kisah pada 1955. Namun, seperti musik dan lukis, dunia cerpen tidak cocok baginya. Ia merasa lebih cocok dengan puisi, karena baginya: “… sajak lebih sanggup memenuhi kebutuhan saya menyatakan pengalaman estetik secara langsung ke dalam tulisan tanpa berpaling pada rencana-rencana yang disengaja mengenai pembentukan watak tokoh-tokoh, kejadian-kejadian, dan plot-plot,” tulisnya.
Dan memang setelah menerbitkan kumpulan cerpen tersebut, sampai akhir hayatnya, ia sama sekali tidak menerbitkan cerpen atau novel. Ia malah kian subur menerbitkan buku kumpulan puisi. Pasca Simfoni, ia menerbitkan Daerah Perbatasan (1970), Keroncong Motinggo (1975), Buku Harian (1979)—yang kemudian disatukan dengan Hari dan Hara dan kemudian diterbitkan pada 1982—Simfoni II (1980), dan terakhir Dan Kematian Makin Akrab (1995).
Goenawan Mohammad menganggap sajaksajak Subagio adalah sajak-sajak dengan nada rendah. Sajaknya seolah dicatat dari gumam. “Ia ditulis oleh orang yang tak memberi aksentuasi pada gerak, pada suara keras, atau kesibukan di luar dirinya,” tulis
Goenawan Mohammad dalam esainya, Subagio Sastrowardoyo dan Diam.
Goenawan Mohammad juga menganggap seakan-akan semua mula dan akhir bagi Subagio Sastrowardoyo adalah diam. “Atau kita berserah saja kepada keheningan yang kita tak tahu kapan bermula dan berakhir. Tetapi sejak saat itu sajak sudah tak perlu lagi,” tulis Subagio dalam pengantarnya di buku Dan Kematian Makin Akrab.
Namun entah, apakah benar Subagio Sastrowardoyo berdiri di pangkuan diam. Saya lebih memahaminya sebagai penyair yang menganggap ketinggian estetis sebuah puisi adalah sesuatu yang ringkas, padat, dan bergaung hingga nanti. Simaklah potongan sajak ini: “Sajak yang indah tak mengandung kejadian, hanya suara yang pernah diteriakan manusia purba di taman firdaus atau yang digumamkan bayi waktu terbangun malam hari: ‘Om!’.”
Selain dikenal sebagai penyair, Subagio Sastrowardoyo juga seorang kritikus handal. Hal ini dibuktikan dengan buku-buku kritik sastra yang telah diterbitkannya. Di antaranya: Bakat Alam dan Intelektualisme (1972), Sosok Pribadi dalam Sajak (1980), Sastra Hindia Belanda dan Kita (1983)— yang memperoleh penghargaan hadiah sastra dari DKJ tahun 1983— Pengarang Modern Sebagai Manusia Perbatasan (1989), dan Sekilas Soal Sastra dan Budaya (1992).
Matinya Seorang Penyair
Tema maut adalah medan perenungan paling menonjol dalam sajak-sajak Subagio. Yang paling terkenal adalah rekuiem Dan Kematian Makin Akrab yang memperoleh kusala dari majalah Horison untuk periode 1966/1967.
Dalam soalan kematian ini, menurut Goenawan Mohammad, ada kesamaan antara Subagio Sastrowardoyo dan Chairil Anwar. Keduanya sama-sama fatalis. Tapi menurut saya, meski fatalis, Chairil punya vitalitas yang besar untuk hidup lebih lama, ia ingin menerjang kematian, ia ingin hidup seribu tahun lagi—meski pada akhirnya Chairil kalah juga: “hidup hanya menunda kekalahan/…/ Sebelum pada akhirnya kita menyerah,” tulis Chairil. Sementara Subagio, fatalismenya— kebalikan dari vitalisme Chairil—menerima kematian sebagai keniscayaan yang tidak bisa dilawan sama sekali.
Ketika Chairil ingin kekal, ingin hidup
Pujangga
seribu tahun lagi, Subagio menyadari diri ini tak bisa kekal, dan tidak ada yang kita punya. Sementara itu, yang kita bisa hanyalah membekaskan telapak kaki,/dalam, sangat dalam/ke pasir. Kesadaran ini membuat Subagio hanya ingin membekaskan telapak kaki di dunia ini. Membekaskan ini barangkali bagi Subagio adalah dengan menulis sajak, karena sajak tak pernah mati.
“…
Kalau aku mampus, tangisku yang menyeruak dari hati akan terdengar abadi dalam sajakku yang tak pernah mati (Sajak Tak Pernah Mati)
Kesadaran akan situasi: dan nyawa ini sendiri/terancam setiap saat, seperti mengilhami Subagio Sastrowardoyo untuk membuat sajak-sajak mautnya sebagai penerimaan yang tenang bahkan karib. Karena baginya kematian hanya selaput gagasan yang gampang diseberangi.
Ia meninggal pada 18 Juli 1995. Kemungkinan tanpa gegap gempita dan gejolak jiwa. Karena seperti yang telah ditulisnya dalam puisi Variasi Pada Tema Maut bagian terakhir yang tertulis ‘wasiat’, ia menulis:
Dalam menyesuaikan diri dengan pergantian musim tidak perlu gegap gempita. Gejala pancaroba tidak selalu diiringi gejolak jiwa. Semua perubahan harus berlaku dengan diam seperti embun yang hilang dari daun tanpa ada yang tahu.
Barangkali, seperti itu pula Subagio menghadapi maut. Seperti embun yang hilang dari daun tanpa ada yang tahu. Meski dengan sangat rendah hati, ia cuma ingin dikenang sebagai orang yang pernah menyair dulu: Hanya sekali waktu ada anak yang berkata:/’orang ini pernah menyair dulu’.[
IKATAN KECIL
Kåre datang ke dunia ini dengan seutas tali pusar yang tak seorang pun bisa potong. Tali pusar itu tertambat pada sebongkah plasenta yang menolak keluar. Berdiam di tempat; tak mau bergerak. Mereka tidak mampu memotong tali pusar, maupun mengambil plasentanya. “Hanya kebingungan kecil,” ucap si dokter. Kecil. Mulanya, ayahnya menganggap ini sebuah kekalahan diri, mengingat ketidakmampuannya memotong tali pusar: pikirnya ia terendah dari yang terendah, seorang ayah paling malang, saat tak mampu melakukan hal sesederhana itu. Sesungguhnya, tali pusar itu tebal sekaligus licin, tapi bukan tebal abnormal. Hanya kuat yang abnormal. Dan leganya ayah Kåre mengetahui bahwa tidak seorang pun mampu memotongnya, tidak para perawat, tidak para dokter, tidak peduli sekeras apapun dicoba. “Kita mesti temukan cara untuk hidup bersamanya, Marianne,” ayah Kåre berkata. “Kau terhubung selamanya, tak diragukan lagi.”
Marianne tidak begitu keberatan. Intinya, jadi lebih mudah untuknya mengawasi si bocah, dan ia hanya perlu menarik tali pusar kalau-kalau kehilangan rupa si bocah, yang kabur atau sembunyi. Kehidupan pribadi dengan ayah si bocah tentu bermasalah, namun mereka membuatnya baik-baik saja: hanya soal melakukannya sesenyap mungkin, dengan sesedikit mungkin gerakan. Ayah Kåre, di sisi lain, merasa tertekan dan makin tertekan mengatasi situasi ini, ia butuh perubahan! Sesekali ia akan teriak saat merasa sangat sumpek, kerap setelah beberapa kali jalan-jalan: berbelanja, atau jalan di taman, saat orang-orang mulai mengamati tali telanjang putih keabuan di antara ibu dan anaknya. Dan pada ayah Kåre, begitu yang diyakininya, saat menunduk, berjalan setengah langkah di belakang mereka. Ia tidak tahan lagi. Ia pergi.
Marianne tidak begitu keberatan. Intinya, lebih mudah untuk hidup dengan cara yang harus ditempuh, saat ia mampu fokus mengimbangi anak lelakinya. Banyak sekali yang harus dilakukan. Ia harus berlari ke mana saja, memanjat pohon, melompati jerami, bersepeda,
main sepakbola, main ke rumah teman anaknya. Dan setiap saat ia berusaha jadi tak terlihat, tak mau menghambat perkembangan anaknya, menyadari ia mesti mempersilakannya berbuat, mencoba banyak hal, ia tak mau seperti bola dan rantai, sehingga saat mereka di luar dan sedang berbuat nakal dan menjurus pada kejahilan, ia menutup mata. Berdiri di luar kamar mandi saat mereka (anak & kawan-kawannya) melumuri tempat itu dengan pasta gigi. Sembunyi di balik pohon saat mereka mengisap sebatang rokok diam-diam di dalam parit. Dan menutupi kedua matanya saat ia harus masuk ke ruang ganti bersama Kåre sebelum dan sesudah berenang. Dan selama debut seksual Kåre, seorang empat belas tahun yang mabuk di sebuah pesta, ia berbaring tersembunyi sebaik yang ia bisa di bawah kasur dan menyumpal telinga.
Saat Kåre menikah, Marianne otomatis ikut pindah bersama pasangan muda itu. Mereka membuat kamar untuknya persis di samping kamar mereka, sebab pengantin itu tidak mungkin tidur dengan Marianne di kamar yang sama, jadi itulah yang dilakukan. Sebetulnya tak lebih dari dinding pemisah dengan bukaan kecil supaya tali pusarnya dapat diulur sebelum pergi tidur. Tapi si pengantin perempuan mengira melihat mata Marianne menatap mereka melalui bukaan itu. Marianne membantah, itu tidak benar, tapi si pengantin perempuan bersikeras, dan membuat gorden yang digantungnya di depan bukaan. Gordennya terhalang tali pusar dan si pengantin perempuan meronta dan jatuh ke lantai. “Ia di mana-mana!” isaknya. “Ia di manapun, Kåre, dan percuma saja, aku tak tahan! Aku tak tahan!” teriaknya, dan dalam keputusasaan ia gigit tali pusar itu dengan segala daya. “Aw!” Kåre dan Marianne berteriak, lalu memandang satu sama lain, terheran-heran, melalui bukaan; mereka tak tahu tali pusarnya sudah jadi sensitif. Si pengantin perempuan hanya terisak. “Aku pergi,” ucapnya. “Aku p-e-e-rgi.” Dan ia pergi.
Kåre tidak begitu keberatan. Intinya, lebih mudah untuk hidup dengan cara yang harus ditempuh; sebab ibunya menua, ia harus mulai
mempertimbangkan kelambanannya. Ia tidak lagi bisa melakukan hal yang ia mau: jalan-jalan dengan temannya-- ibunya cepat lelah, tapi bukan itu, ibunya dengan senang hati bisa duduk di pub dan tidur, ucap ibunya, tapi ia tak mau, balasnya, ia tak lagi perlu ke sana. Sejatinya ia selalu merasa malu saat ibunya tertidur; dagunya jatuh ke dada dan air liur menetes dari ujung mulutnya. Demikian, ia cukup tanpa semua itu. “Selalu saja ibu yang melakukan keinginanku, bu,” ungkapnya. “Sekarang aku bisa melalukan yang ibu inginkan.” Jadi ia ikut ibunya bermain bingo. Ke toko. Dan saat ibunya tertidur di tempat umum, ia tidak lagi terlalu malu, bahkan merasakan sayang padanya, ketika ibunya duduk di sana dengan seutas liur menggantung di dagunya; itu ibunya. Dan ibunya telah pergi ke mana pun bersamanya. Ia mencintai ibunya. Perlahan terbiasa dengan hidup yang sunyi, beberapa jam teka-teki silang dan menyulam, dengan jam-jam tidur siang panjang dan makin panjang, juga berbagai seri televisi dan program radio. Dengan sandal yang diseretnya melintasi linolium. Pergi tidur jam sembilan. Damai sentosa. Menyenangkan.
Namun suatu hari di tengah waktu sarapan, Marianne meninggal. Jantungnya berhenti, ungkap para dokter, dan Kåre amat sangat sedih. Mereka juga berkata sebab ibunya sudah tiada, mereka harus memotong tali pusarnya. Kalau tidak, Kåre harus pindah ke pemakaman. “Tapi sekarang talinya sensitif,” jelas Kåre. “Pasti sakit!” “Pernah dengar soal anestesi, belum?” tanya mereka, dan Kåre tersipu. Tentu ia tahu, gumamnya. Jadi mereka memberinya bius lokal. Mereka akan coba memisahkan Kåre dari mayat ibunya. Namun sia-sia. “Apa-apaan,” ucap para dokter. “Tak mungkin!” Plasentanya telah mengerut jadi sebuah gumpalan berukuran sebutir raisin yang tersemat pada tulang pelvis ibunya; menjadi bagian dari rangka tubuh. Ditambah juga bagian tali pusar yang menghijau tak dapat dipotong dengan gunting, pisau, atau laser. Seluruhnya sia-sia. Ikatannya tidak dapat diputus. “Kåre, kami harus memotong sebagian kerangka ibumu jika kau ingin bebas,” ucap mereka. Kåre menatap mereka, seolah takut akan disakiti. Matanya mendelik, telinganya mengatup seperti anjing; si spesialis berbisik ia akan hidup seperti seekor anjing, saat Kåre berseru: “Tidak, tak masalah, jangan!” “Kalau begitu, kami harus membuat simpul kecil di sana, mencegah kematiannya merambat padamu. Tak ada lagi yang bisa kami lakukan, kami sungguh-sungguh menyesal,” para dokter berucap. Kåre berkata jangan risau. Ia hanya meminta mereka supaya kepala pemakaman melubangi petinya, supaya
MOTHER AND CHILD-PABLO PICASO
tali pusarnya bisa lewat. Dan meminta izin dewan lokal untuk membangun rumah di pemakaman.
Izin diberikan, tapi rumahnya tak boleh lebih tinggi dari kijing tertinggi, atau lebih lebar dari yang dimungkinkan tanpa mengganggu makam lain, tapi itu tak masalah untuk Kåre, tentunya, yang tak punya cukup ruang untuk bergerak, dengan tali pusar yang dipendekkan enam kaki. Tak masalah, ia telah terbiasa dengan hidup yang sunyi dan menghabiskan hari seperti biasanya saat ibunya masih hidup: main tekateki silang, menonton tivi, menyimak radio. Ia mengantuk-ngantuk sandalnya ke dinding setiap saat, menatap keluar jendela pada acara-acara pemakaman yang ada tiap minggu. Melihat kalaukalau ia bisa mengamati si perempuan. Dia selalu jadi bagian dari perkabungan, tapi kelihatan tak mengenal orang-orang yang menangis dan saling menguatkan satu sama lain. Dia selalu berdiri di luar, berbusana hitam-hitam, wajah kecil cerahnya menunduk ke tanah.
Ia sudah memperhatikannya sejak pertama kali melihat acara pemakaman dari rumah barunya; si perempuan mengambil tempat di belakang dan melangkah ringan-- yang bahkan lebih lama lagi berkat hujan--dengan gaun panjangnya. Suatu hari ketika hujan deras dan angin ganas, dia tersandung tepat di luar rumah. Situasi yang
bagus apa adanya, kiranya, tepat di sisi jalan setapak yang berkelok-kelok di pemakaman, sehingga para pelayat harus melewatinya untuk sampai. Dan saat bangkit dan mengusap lututnya, dia menatap langsung padanya. Surga dan bumi terdiam. Dan dia berlalu. Ia melihatnya pergi. Dia melipat tangannya di dada; gadis yang kurus, garis hitam di belakang perkabungan, dengan sepotong gaun basah yang terlampau panjang. Ia berpikir akan dengan senang hati menciumnya di antara angin-angin. Dan ciuman itu akan jadi seperti rambut panjang atau rumput tinggi di terpaan angin, yang akan menjatuhkannya ke tanah dan memerangkap, seolah ingin menghempaskan.
atau yang lain. Sebab mereka menyambutnya, memberi secangkir kopi, berbicara, dan bertanya bagaimana dia kenal si mayat, dan umunnya dia menjawab sesuatu yang baik, sesuatu yang dia dengar selama pemakaman, dan mereka bertanya tentangnya, siapa dirinya, dan apa pekerjaannya.
Ia mengusap rambutnya. “Tapi sekarang kau bisa datang kemari,” ucapnya. “Selama yang tersisa bagiku.” “Apa maksudmu?” dia bertanya. “Lihat tali yang mengulur dari perutku?” tanyanya. Dia mengangkat kepala dan mengusap air mata. “Ya! Apa itu?”
Berceritalah ia, seluruhnya.
Ia menunggunya setiap hari. Dia mulai mengintip sekarang, setiap kali lewat, mereka baru mulai mengenali satu sama lain, hanya saja, dengan mata, namun ada sesuatu, Kåre tak tau apa itu, semacam pemahaman, dan suatu hari ia beranikan diri, ia menulis pesan kecil dan menaruhnya di jendela, dengan harapan akan dilihat: KEMARILAH, tulisnya. Kemari. Ia telah berapi-rapi sebaik yang ia bisa, mengepel lantai, memetik beberapa tangkai bunga dari makam ibunya dan meletakkannya di meja kecil, dan seluruhnya nampak baik pikirnya. Satu-satunya hal yang membuat risau adalah tali pusar: bagian miliknya ke simpul berwarna abu dan baik-baik saja, namun bagian Marianne menghitam dan semakin hitam, mendekat dan semakin dekat ke simpul kecil, dan ia tak tahu apakah simpulnya cukup kuat menahan laju kematian ibunya. Dan ia tak tahu apa yang akan dipikirkan si gadis yang tak ia tahu namanya. Ia sedang berdiri dengan tepung di genggaman kedua tangan tatkala pintu diketuk. Ia berpikir untuk melumuri tali pusar bagian Marianne, namun sekarang membersihkan tangannya cepat-cepat dengan lap piring dan membuka pintu. Itu dia. Di sanalah dia, kecil dan gelap, dengan wajah pucat, begitu pucat. Kedua tangannya terlipat di dada. “Masuklah,” ucapnya, tersenyum. “Mari.”
Dia tak punya keluarga, kisahnya, dan dia amat kesepian! Dia betul-betul sendiri di dunia ini! Dia menangis di pangkuan Kåre. Pemakaman satusatunya tempat di mana dia berani pergi untuk bertemu orang-orang, mereka amat terbuka di sana, mereka terisak dan terbuka, dan kalaupun tak dikenali, mereka mengira dia mengenal si mayat dalam beberapa kesempatan, bahwa mungkin saja dia telah melakukan beberapa pekerjaan kecil untuknya, mencukur rambut
“Ia pergi begitu saja?” dia bertanya, saat Kåre bercerita sedikit tentang pengantinnya. “Ya,” jawab Kåre, dan gumpalan terasa di kerongkongan. Sesuatu sedang diperas di suatu tempat. Menyengat dan menyengat. “Jadi kau tak punya anak,” ujarnya. Kåre menggeleng. “Tepat. Dan aku mau satu! Aku ingin sesuatu yang milikku! Sebuah rumah! Seseorang yang menemani di rumah!” Dia menatapnya. “Kau pikir... Maukah kau denganku, maksudku, kalau dipikir, apa aku sesuatu yang pantas dimiliki, apa aku sesuatu yang seseorang inginkan--kasarnya, bagaimana menurutmu?” dia berucap. “Apa kau menginginkanku?” tanya Kåre. “Bagaimanapun, akulah pria yang terikat pada ibunya yang mati dengan seutas tali pusar yang tak bisa putus!” “Aku tak ingin orang lain,” jawab dia, dan melingkarkan lengannya di leher Kåre. Tubuhnya sungguh kecil dan ia mampu merasakan getarannya. Kåre gemetaran. “Siapa tahu apa yang dihasilkan genku,” balasnya. “Mungkin kau akan dapat seorang anak dengan tali pusar sepertiku.” “Aku tak mau yang lain!” dia berseru bahagia. Dan sekarang ia akan menciumnya.
*) Cerita pendek berjudul bahasa Inggris ‘Small Knot’ karya Gunnhild Øyehaug diterjemahkan dari bahasa Norwegia oleh Kari Dickson. Penerjemahan dari bahasa Inggris dilakukan oleh Achmad Agung Prayoga, bersumber dari buku Knots: stories terbitan Farrar, Straus and Giroux, New York (2017).
**) Gunnhild Øyehaug, lahir 9 Januari 1975 adalah penyair-esais-penulis fiksi kenamaan Norwegia. Tinggal di Bergen, mengajar penulisan kreatif.
SAHKAN RUU PKS!
Diorama
ANTARA LOGIKA DAN PERASAAN
Assalamu’alaikum Bapak, nama saya B. Saya sering kebingungan pak jika disuruh memberikan sebuah keputusan. Lebih tepatnya saya sering mengedepankan feeling saya. Lalu, bagaimana pendapat bapak tentang orang yang lebih mengedepankan feeling dibandingkan logikanya? Dari awal manusia harus sadar bahwa ada yang namanya rasio dan feeling. Yang lazim orang lebih dominan terhadap rasio tapi ada beberapa dimana feeling lebih dominan terhadap rasionya. Ada beberapa yang mengatakan bahwa wanita lebih dominan menggunakan feeling dibanding laki-laki. Namun itu tidak semua belum pasti, terkadang ada laki-laki yang dominan feelingnya dan wanita yang dominan rasionya. Yang jelas siapapun feeling dan rasio harus saling mengontrol, karena apabila dibiarkan dominan salah satu yang akan terjadi orang tidak punya hati atau orang tidak punya perasaan.
Awal dari semua jawaban prinsipnya ada dua yaitu feeling dan rasio, tidak boleh ada dominan. Jika kejadian dengan feeling yang lebih dominan maka tarik di garis tengah yaitu antara feeling dan rasio jangan terlalu dominan ke samping kiri atau kanan. Keduanya harus saling mengontrol, itu berguna untuk seluruhnya. Untuk memulai keseimbangan tersebut harus dimulai dari diri sendiri tidak bisa mengandalkan orang lain. Tuntutan dunia sekarang laki-laki dan wanita yaitu dimana tindakan rasio lebih dikedepankan dibanding feeling. Sekarang tidak ada yang namanya wanita itu feeling dan laki laki itu rasio, contoh dari wanita yang sukses tetapi dia rasio
adalah Margaret Teatcher, Sandy. Beberapa tokoh wanita akhirnya adalah rasio. Jadi pernyataan tentang wanita dan laki laki yang umum itu mulai terkikis. Contoh ranah public yang dihuni kaum wanita itu hampir semuanya presiden, menteri, direktur BUMN, itu salah satu fakta bahwa rasionya lebih kuat. Andai ada orang yang seperti itu maka terserah orang yang bersangkutan mau memilih yang mana, mau yang bertindak yang irrasional atau yang rasional, kalau yang rasional maka harus mengontrol feelingnya.
TRAUMA TERHADAP LAKI-LAKI
Bagaimana pendapat bapak tentang wanita yang mengalami rasa trauma terhadap laki laki, misalnya menjatuhkan martabat perempuan dengan membuatnya malu di depan umum dan seorang laki laki yang memperlihatkan kemaluannya di depan umum?
Ubahlah mindset manusia terutama wanita bahwa yang menyakiti itu tidak hanya laki laki saja namun juga ada beberapa kasus dimana laki laki juga tersakiti wanita. Kondisi yang mengakibatkan rasa trauma merupakan hal yang masuk akal tetapi jangan hanya melihat masa lalu. Karena semua orang itu punya masa lalu. Tetapi jangan melupakan masa depan. Contonya pada kondisi kamu menyetir sepeda motor apakah kamu hanya akan melihat kaca spion terus terusan? Ketika ada truck didepan dan kamu terlalu focus pada spion yang akan terjadoi maka kamu menabrak truck tersebut. Itulah salah satu filosofinya bahwa orang itu bergerak bukan dimasa lalu tapi masa depan. Jadi boleh mengambil pelajaran dari masa lalu namun jangan mengambil masa lalu sebagai segala-galanya. Itu seperti manusia hanya
melihat spion. Orang harus berorientasi kedepan. Setiap mengalami rasa trauma atau masalah selalu berfikirlah itu merupakan salah satu ujian, masih banyak ujian yang lain. Hal itu juga hanya merugikan diri sendiri bukan orang lain. Ketika kejadian hal yang kurang senonoh maka itu termasuk salah satu bentuk kelainan seksual, salah satunya eksibisionisme {kelainan seksual dengan cara mentontonkan} hal ini bisa disembuhkan. Yang harus ditanamkan dalam diri korban adalah yang salah si orang yang mempertontonkan bukan yang ditontonkan. Ketika kejadian hal tersebut seharusnya dilihat saja karena semakin wanita berteriak si laki-laki tersebut akan berfikir bahwa misinya berhasil tetapi jika wanita melihat saja dan mungkin dengan tersenyum si laki-laki tersebut akan berhenti dan malu sendiri karena dia tidak berhasil memancing si korban. Filosofinya seperti ikan dan pancing, kalau memancing dan ikannya kepancing maka si pemancing akan bahagia, namun jika ikannya hanya menonton maka si pemancing akan frustasi sendiri. Beberapa kelainan seksual yaitu dengan menonton sesuatu, atau yang menikmati harus dengan disakiti terlebih dahulu. Jadi yang harus ditekankan adalah yang bersalah itu pelaku bukan korban, kalau menyalahkan terus terusan dan mengalami kejadian yang serupa lagi, itu tidak akan selesai. Bisa juga dengan melapor ke polisi karena hal tersebut merupakan salah satu bentuk mengganggu fasilitas umum.
Diorama
CARA SEMBUH DARI
KEKERASAN SEKSUAL
Bagaimana cara menyembuhkan wanita dari sisi psikologisnya dimana wanita yang mengalami kekerasan seksual di kampus
Pertama yang harus dilakukan adalah dengan menghindari pelaku sehingga minim untuk terjadi kejadian yang sama lagi. Kedua, selalu tanamkan dalam diri korban bahwa, jangan hanya melihat ke masa lalu tetapi berorientasi kedepan. Ketiga yaitu dengan membicarakan kepada pelaku bahwa korban tidak menyukai tindakannya. Jika dirasa setelah berbicara dengan pelaku tidak ada pengaruh yang terjadi dan pelaku masih saja melakukan tindakan tersebut maka korban bisa mengancam dengan melaporkannya ke pihak yang berwajib. Untuk orang yang ada di sekeliling korban bisa dengan melakukan pendekatan verbal sehingga korban tidak merasa bahwa dalam kehidupannya dia sendiri dan korban mampu melanjutkan kehidupannya. Terakhir, jalur yang ditempuh yaitu dengan melaporkan ke jalur hukum atau serahkan kepada pihak yang berwenang, misal dosen, wakil dekan 3 dsb. Hal yang paling penting adalah jangan sampai hanya diam menerima semua perlakuan tersebut karena ketika kita diam yang akan terjadi akan semakin banyak korban yang berjatuhan. [E]
Judul
Pesta Remeh-Temeh
Penulis
Milan Kundera
Penerjemah
Lutfi Mardiansyah
Tahun terbit
2017 Penerbit Trubadur
Jumlah halaman
131 halaman
ISBN 978-602-50034-7-9
Peresensi
A.A. Prayoga
KeremehMerayakantemehan
“Kundera juga bertanggungjawab dengan memberi pencerahanpencerahan filosofis yang terkadang sulit dipahami. Ia menyajikan filsafat dalam percakapan-percakapan antar tokoh sehingga terdengar jujur dan tidak menggurui. Selain itu, masalah-masalah pribadi yang terdengar sederhana namun begitu kompleks dengan alur yang terkadang melompat.” ***
Apa yang terlintas di benak jika mendengar kata sederhana? Sepele? Remeh-temeh? Mungkin sesuatu yang kecil dan tidak penting akan terpikirkan. Sesuatu yang sama sekali tidak berpengaruh apa-apa terhadap apa pun. Pernah membayangkan sesuatu yang remeh menjadi sesuatu yang menarik?
Milan Kundera menyajikan keremeh-temehan ini dalam sebuah novel terbarunya. La fête de l’insignifiance atau diterjemahkan sebagai Pesta Remeh-Temeh berisi sekumpul lelucon-filosofis-sarkas yang menghibur. Meminjam perkataan Eka Kurniawan, mungkin novel ini cocok untuk Anda yang tidak dianggap.
Sepele yang Serius Cerita digerakkan oleh Alain, Caliban, Charles, dan Ramon yang masing-masing menghadapi permasalahannya masing-masing. Kundera menyuguhkan hal yang lazim dilupakan oleh orang-orang, seperti pusar. Apa yang terlintas ketika mendengar kata pusar dan payudara? Mana yang lebih ‘menantang’ Anda?
Saya berani bertaruh kata kedua membuat Anda merenung lebih lama, bahkan lebih dalam. Berbeda dengan Anda, Kundera, melalui Alain menjadikan pusar sebagai suatu daya tarik. Satu bahan perenungan menggelitik yang tak terpikirkan oleh kita. Ketika kita telah dewasa dan mengetahui bahwa semua pusar sama saja, lalu apa sisi menariknya?
Pertanyaan yang harus Anda jawab dengan membaca buku ini.
Kundera juga menyajikan olok-olokan terhadap rezim Soviet. Entah nyata atau maya, kelakar Stalin yang tertulis pada memoar Khruschev cukup bodoh. Keberhasilan Stalin membuat para kameradnya jengkel dan mengamuk di hadapan urinoir bukanlah lelucon yang mirip seperti D’Ardelo lakukan di hadapan orang lain— moralis, optimis, santun— melainkan lelucon receh yang oleh kameradnya dianggap omong kosong. Tidak ada yang tertawa terhadap lelucon ini kecuali Stalin sendiri. Kisah soal Kaliningrad— kota kelahiran Kant yang namanya diambil dari nama seorang kamerad Stalin, Kalinin. Padahal, nama Kalinin lebih remeh ketimbang nama Pushkin, Chekov, dan Tolstoy. Lalu apa alasan Stalin memilih nama Kalinin?
Namun, dibalik segala kelakar yang tertulis di novel ini, Kundera juga bertanggungjawab dengan memberi pencerahan-pencerahan filosofis yang terkadang sulit dipahami. Ia menyajikan filsafat dalam percakapanpercakapan antar tokoh sehingga terdengar jujur dan tidak menggurui. Selain itu, masalah-masalah pribadi yang terdengar sederhana namun begitu kompleks dengan alur yang terkadang melompat.
Saya tidak akan menyajikan yang lebih dari ini. Jika ingin tahu, lebih baik Anda segera membeli satu dan membacanya. Atau tidak sama sekali. Toh, novel ini hanya upaya merayakan kehidupan yang begitu remeh-temeh.
Tuhan dan Perbudakan
Wa maa adraaka mal’aqobah (13) Fakku Raqabah (14) Qs. Al Balad 13-14.
Bagaimanapun perbudakan manusia atas manusia lain banyak terjadi dalam sejarah panjang peradaban manusia dari masa ke masa. Dalam perbudakan, manusia adalah suatu barang yang diperjualbelikan, disamakan dengan propertiproperti yang lain. Salah satu yang sudah diketahui oleh masyarakat dunia adalah perbudakan yang terjadi di Amerika sekitar abad 15 hingga 18 M. Perbudakan itu dialami oleh orang-orang kulit hitam yang diperbudak oleh orang-orang kulit putih.
Kepingan perbudakan yang dialami oleh orangorang kulit hitam ini sangat baik disajikan dalam film berjudul 12 Years a Slave. Film yang rilis pada 2013 di Festival Film Telluride ini merupakan alih wahana dari buku memoar berjudul sama: Twelve Years a Slave karya Solomon Northup (terbit tahun 1968 terbit pertama kali disunting oleh Sue Eakin dan Josep Logsdon). Sebuah buku yang memiliki spirit sama dengan buku Uncle’s Tom Cabin karya Harriet Elizabeth Beecher Stowe (terbit tahun 1852).
Film 12 Years a Slave bercerita tentang perbudakan yang dialami oleh Solomon Northup (penulis buku memoar) seorang kulit hitam merdeka yang sudah berkeluarga dan bekerja sebagai pemain biola. Hingga pada suatu hari di tahun 1841 istri dan anak-anaknya pergi untuk beberapa Minggu. Setelah kepergian istri dan anak-anaknya, Northup dikenalkan dengan dua orang: Brown dan Hamilton. Berbasa-basi tentang pekerjaan, Brown dan Hamilton mengajaknya
untuk ikut dalam sebuah pertunjukkan. Tipu daya gaji lebih besar dalam waktu yang singkat membuat ia setuju. Inilah awal mula Northup terjebak dalam sebuah penculikan.
Northup diajak ke Washington. Semalaman ia berpesta dan mabuk berat hingga tertidur. Pagi harinya, ia bangun dan memberontak, berusaha melepas kerangkeng yang ada di tangannya, tapi tidak bisa. Ia kebingungan mendapati diri dalam keadaan dipenjara dengan kerangkeng di tangan. Seseorang masuk penjara lalu memukulinya. Oleh seseorang itu, ia disiksa dan dipaksa untuk tidak lagi mengingat nama dan tempat asalnya: Solomon Northup, orang merdeka dari Saratoga Springs New York. Ia sudah berganti nama menjadi seorang budak pelarian bernama Platt berasal dari Georgia.
Bersama dengan para budak yang lain (samasama diculik dan disiksa dalam penjara), Platt dikirim ke Orleans. Tempat yang jauh dari tempat mereka tinggal. Demi bertahan hidup, para budak hasil penculikan harus menyembunyikan jati diri. Terutama soal membaca dan menulis. Ini juga yang dilakukan oleh Northup, kecuali keterampilannya memainkan biola.
Sesampainya di Orleans, ia dan para budak yang lain dipajang untuk ditawarkan ke para pembeli. Platt dibeli oleh seorang pengusaha kayu bernama Ford. Sedikit beruntung, Ford adalah majikan yang baik. Sekali waktu, atas gagasan Platt yang berhasil memindahkan kayu lebih efektif, Ford memberinya sebuah hadiah: biola.
Platt berharap beroleh kemerdekaan dari Ford dengan mengatakan bahwa ia bukanlah seorang budak. Tapi tetap tidak didengarkan oleh Ford. Karena beberapa sebab: pertama karena Platt diancam oleh John Tibeats (pengawas budak yang benci terhadap Platt), kedua karena Ford memiliki hutang. Demi membayar hutang Ford, Platt dijual kepada Edward Epps, seorang pemilik perkebunan kapas.
Di tuan Epps, siksaan demi siksaan dialami oleh Platt. Namun, sebab bekerja di majikan ini pula, ia beroleh kebebasan. Bukan karena tuan Epps, melainkan karena seseorang bernama Bass.
Usaha untuk memperjuangkan kemerdekaan sudah dilakukan Platt berkali-kali. Dua pengalaman bertemu dengan orang kulit putih yang berakhir tidak baik, membuat Platt merasa ketakutan terhadap orang asing. Dua pengalaman itu: pertama dengan Brown dan Homilton. Kedua dengan orang kulit putih yang bekerja di perkebunan kapas juga (Platt meminta tolong dengan membayarnya, untuk mengirimkan surat. Tapi orang itu ingkar janji). Sebab dua pengalaman itu, ia seperti kehilangan kepercayaan dan takut menyampaikan apapun terhadap orang kulit putih.
Tapi ketakutan itu ditepisnya ketika bertemu dengan Bass, tukang kayu yang membangun sebuah rumah Epps bersama Platt. Bass termasuk orang kulit putih yang menentang perbudakan, ia yakin bahwa pasti akan ada pembalasan bagi para pemilik budak. Hal ini disampaikan Bass kepada Epps.
Pada hari lain, Platt bertanya tentang asal Bass. Platt tahu tentang Kanada, tempat di mana Bass berasal. Bass heran, bagaimana bisa seorang budak tahu Kanada, lalu ia bertanya, “bagaimana kau sampai di sini?”.“Jika keadilan ditegakkan, aku takkan berada di sini,” jawab Platt.
Awalnya Platt takut ketika didorong Bass untuk bercerita. “Aku takut memberitahumu.” Tapi Bass menyakinkan, “setiap kata yang kau ucapkan adalah rahasia tersirat.” Kemudian Platt bercerita semuanya dan meminta tolong dengan semua kepasrahan.”Kau percaya keadilan, pak, seperti ucapanmu?” tanya Plat. “Aku percaya.” Bass menjawab mantap. Platt melanjutkan, “bahwa perbudakan adalah kejahatan yang
Judul: 12 Years a Slave
Sutradara: Steve McQueen
Skenario: John Ridley
Pemain: Chiwetel Ejiofor, Paul Dano, Scoot McNairy, Brad Pitt, Chris Chalk, Taran Killam, Bill Camp dan lainnya.
Tanggal Rilis: 30 Agustus 2013 (Festival Film Telluride)
08 November 2013 (Amerika)
10 Januari 2014 (Britania Raya)
Produksi: Regency Interprises, River Road Entertainment, Plan B, New Regency, Film 4
Durasi: 134 menit
Peresensi: ahmadaam
tak boleh dilakukan?”. “Aku yakin begitu,” balas Bass. “Maka kuminta, kumohon tulislah surat ke temanku di Utara, kabari mereka tentang kondisiku dan meminta mereka membawakan surat kemerdekaanku. Itu akan menjadi kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan...”
Dari pertemuan dengan Bass inilah, Platt akhirnya terbebas dari perbudakan setelah sekian lama. Perjuangan Platt membuahkan hasil. Platt atau Solomon Northup dijemput temannya dan seorang Sherif. Ia kembali ke rumahnya di Saratoga setelah 12 tahun diperbudak. Di rumah, ia disambut dengan satu menantu dan satu cucu.
Film arahan dari Steve McQueen ini berhasil mencapai inti dari tragedi yang dirumuskan oleh Aristoteles, bahwa rasa sakit adalah ibu dari tragedi. Menonton film yang mendapatkan penghargaan Drama Terbaik Golden Globe 2014, Film Terbaik Academy Award dan Film Terbaik BAFTA ini, kita akan turut merasakan rasa sakit itu. Rasa sakit yang dialami oleh para budak.
Alur film yang dibangun Steve adalah suatu bentuk alur tragedi--menurut Aristoteles-yang tepat: ketika orang bernasib baik, karena kesalahannya sendiri ia beroleh kemalangan. Solomon Northup digambarkan sebagai orang yang bernasib baik, tapi karena kesalahannya sendiri: gampang percaya pada orang asing, ia mendapatkan kemalangan: diculik dan diperbudak hingga 12 tahun.
Apakah Tuhan ada?
“Mereka milikku,” ungkapan Epps itu tak ubahnya mendudukkan manusia sama dengan tanah dan barang-barang kepemilikan yang lain. Sebagai sebuah barang, ia berhak diperlakukan apa saja sesuai kehendak yang memiliki barang. Termasuk menyiksanya.
Siksaan demi siksaan yang diterima oleh para budak itu membuat saya bertanya-tanya, apakah Tuhan adalah penolong? Saya terombang-ambing membayangkan, bila perbudakan hingga kini belum terhapuskan, apakah saya masih percaya akan adanya tuhan?
Karena Tuhan dalam film itu juga ikut diseret untuk melanggengkan dominasi dan siksaan terhadap para budak melalui pemalsuan pasalpasal dalam Alkitab. Tuan Edwin Epps melakukan itu. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah supaya ada pembenaran tindakannya menyiksa para budak.
“Adapun hamba yang tahu akan kehendak tuannya. Tetapi yang tidak mengadakan persiapan atau tidak melakukan apa yang dikehendaki tuannya ia akan menerima banyak cambukan.”
Scene pembacaan pasal palsu itu menunjukkan bahwa kesucian Tuhan ikut dikotori oleh para majikan untuk melanggengkan kekuasaan. Maka tak heran, Karl Marx mengatakan agama itu candu. Karena agama juga ikut dijadikan sebuah alat penyiksaan dan para budak menurutinya, tidak melakukan perlawanan karena ada ayat-ayat agama yang dipercayainya.
Dengan perlakuan seperti itu, lalu kepada siapa lagi para budak harus percaya? Saya tidak bisa lagi membayangkannya.
Tetapi, Tuhan benar-benar Maha Penolong dan benar-benar Maha Ada: wabah terjadi di perkebunan Epps, usaha dan doa Platt dikabulkan oleh-Nya: Platt bebas dari perbudakan, perjuangan Northup menuntut keadilan bagi para budak yang lain membuahkan hasil: perbudakan sudah dihapuskan. Meski Northup tidak mengetahui itu, karena ia sudah meninggal jauh sebelum perbudakan dihapuskan.
Melihat perjuangan Solomon Northup untuk menuntut keadilan atas perbudakan (bisa dibaca setelah film selesai), ia patut disandingkan dengan Nabi Muhammad, Nabi Isa dan orang-orang lain yang juga berjuang. Karena mereka samasama memperjuangkan ayat-ayat Tuhan yang diturunkan kepada pembawa risalahnya: Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan (Qs. Al balad 13-14). [E]
BIMBEL ONLINE
Di era milenial teknologi sudah merambah hampir di segala aspek kehidupan, khususnya pendidikan. Pendidikan tak hanya dilakukan melalui lembaga formal seperti sekolah dan universitas namun merambah pada pendidikan nonformal seperti adanya Bimbingan Belajar (Bimbel). Bimbel atau yang bisa disebut kursus merupakan salah satu lembaga yang menyediakan pelayanan pendidikan di luar jam sekolah, dimana peserta didik belajar berbagai mata pelajaran dengan bimbingan seorang tutor. Pada mulanya Bimbel di Indonesia tumbuh dan berkembang dengan tujuan membantu siswa SMA sederajat yang ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi agar lolos pada ujian penerimaan mahasiswa. Selain itu bimbel juga biasanya dipandang efektif meloloskan siswa dalam menghadapi Ujian Nasional (UN). Bimbel dipercaya oleh orang tua siswa karena dianggap mampu dengan mudah memberikan pemahaman dan memberikan kiat-kiat mengerjakan soal dengan cepat dan tepat.
Hingga kini, peserta bimbel tak hanya terdiri dari
siswa kelas akhir, namun banyak dari mereka yang sudah ikut bimbeldari kelas 4 SD. Menurut data yang dikutip dari halaman tirto. id, bimbel mulai diakui oleh pemerintah lewat UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 26 Ayat 5. Dalam peraturan tersebut disebutkan Bimbel merupakan lembaga Pendidikan Luar Sekolah atau nonformal,bagian dari Lembaga Kursus dan Pelatihan. Tirto juga menyebutkan, berdasarkan data Sensus Ekonomi 2016 oleh Badan Pusat Statistik terdapat sedikitnya 1.866 unit lembaga bimbel yang tersebar di seluruh Indonesia yang kebanyakan masih berpusat di Pulau Jawa. Beralihnya Bimbel Offline ke Online
Memasuki era digital 4.0, perkembangan bimbel semakin maju dengan hadirnya inovasi bimbel Online. Quipper, Zenius, Ruang Guru, hingga Prime Mobile merupakan beberapa layanan bimbel online yang tengah menjamur di Indonesia. Bimbel ini memberikan pelayanan dengan menyediakan materi pembelajaran berupa video,audio, maupun artikel
. Siswa dapat mengakses pembelajaran kapanpun dan dimanapun selama masih terhubung dengan internet. Kelebihan lain yang dikantongi bimbel online dapat dilihat dari biaya yang dikeluarkan. Bimbel online diakui lebih menghemat biaya pengeluaran setidaknya setengah dari biaya bimbel offline biasanya. Bimbel Online menjadi solusi yang dapat ditawarkan kepada orang tua dari segi ekonomi.
Setelah terpilih sebagai menteri Pendidikan, Nadiem Makarin melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan aplikasi daring gratis bernama “Rumah Belajar” yang dirilis mulai 23 November 2019. Aplikasi ini bisa dinikmati gratis oleh masyarakat Indonesia baik dari tingkat SD, SMP, SMA sederajat.
Ajang Komersialisasi
Maraknya bimbel online tidak harusnya kita sikapi dari segi positifnya saja. Semakin hari muncul berbagai bimbel baik offline maupun online yang menjanjikan siswa meraih peringkat di kelas. Banyak lagi yang menjanjikan lulusan dari bimbel A medapat nilai tertinggi di mata pelajaran
UN. Mereka mengklaim begitu masuk bimbel, siswa dapat lulus masuk univertas negeri terbaik. perusahan bimbelpun menawarkan berbagai paket mulai dari ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah per bulan. Dilansir dari Tirto.id, salah satu bimbel menawarkan paket Super Quantum dengan harga 57 juta, dengan jaminan masuk Universitas Indonesia. Paket ini dilengkapi dengan metode belajar eksklusif dan dikarantina di sebuah apartmen. Dengan diresmikannya bimbel sebagai salah satu lembaga nonformal memberi peluang bagi para pebisnis untuk meningkatkan pasar harga. Semakin mahal paket yang siswa ambil, jaminan masuk perguruan tinggi negeri akan lebih besar. Hal ini juga yang menimbulkan sterotip masyarakat bahwa mereka yang diterima di perguruan tinggi terbaik negeri adalah mereka yang mengikuti bimbel A. Mengaca dari fakta ini, pendidikan sudah tercampur menjadi komoditas yang diperjual belikan. Pendidikan menjadi barang mahal yang anak Indonesia tidak dapat menjangkaunya.
Perlunya Perbaikan Sistem Pendidikan IndonesiaKomersialisasi pendidikan melalui bimbel harusnya tidak dipandang sebelah oleh pemerintah. Adanya bimbel sendiri mengartikan bahwa siswa tidak mendapat materi yang cukup di sekolah. Belum lagi, standar kurikulum yang tinggi tidak sepadan dengan materi yang diajarkan di kelas. Hal ini yang membuat siswa beralih ke bimbel demi mampu menguasai materi.
Pada tahun 2012 Kompas menyurvei 770 responden mengenai peran bimbel dalam keberhasilan ujiannya. Dari survei tersebut didapatkan kesimpulan hampir 88 persen murid beranggapan bimbel sangat membantu mereka mendapatkan nilai bagus. Memang, nilai ujian tidak dapat menjadi tolak ukur kualitas sistem pendidikan. Namun, mengapa bimbel lebih mampu mendidik murid ketimbang sekolah formal?
Ini menandakan bahwa ada yang tidak baikbaik saja di sistem pendidikan Indonesia. Sekolah hanya difungsikan sebagai produsen ijazah sebagai pemenuhan persyaratan administrasi untuk masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
Dari
fenomena ini,pemerintah perlu menata ulang sistem pendidikan di Indonesia. Sekolah harus mampu menyediakan kebutuhan siswa yaitu ilmu. ilmu tidak didapatkan dengan proses yang instan, seperti kiat-kiat yang diberikan bimbel untuk menjawab soal dengan cepat dan tepat. Dalam proses belajar di kelas siswa melakukan interaksi dengan guru dan teman, di sinilah proses transfer of
value terjadi. Dalam bimbel online proses ini mustahil dilakukan. Oleh sebab itu, ketimpangan yang terjadi harus menemukan solusi. Dalam pendidikan yang ideal, kapitalisme harus dihapuskan. Pendidikan adalah hak manusia seutuhnya. Tidak boleh diberdayakan untuk kepentingan penguasa atau menyedia modal.
[
E]
Komersialisasi pendidikan melalui bimbel harusnya tidak dipandang sebelah oleh pemerintah. Adanya bimbel sendiri mengartikan bahwa siswa tidak mendapat materi yang cukup di sekolah
Puisi
INSOMNIA
Aku tidak mau jadi orang seperti dalam puisi Aan Mansyur; Siang yang penuh kemalasan dan bangun pada malam hari hanya untuk mengingat orang-orang yang hilang
Di desaku malam begitu cepat dan lengang Puisi-puisi mungkin banyak dilahirkan saat bulan terang Di kota, malam adalah percakapan panjang Di angkringan atau kafe-kafe orang membicarakan negara, negara yang katanya butuh kasih sayang
Kaktus dan Mimpi-Mimpi Lain
Seseorang bilang kaktus adalah simbol kebahagiaannya Kaktus di puisi ini; akan terus tumbuh bersama mimpimimpi lainnya.
ASMAHAN AJI RAHMANIA, Saat ini, ia merupakan mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris (FITK)
UIN Walisongo Semarang angkatan 2017.
Siluet
Mereka Masih Sendirian
Ruang gelap, mati lampu dan malam. Saat itulah bapak hadir di ingatan. Waktu kami masih akrab, kami hanya duduk, bercanda dalam gelap malam. Bapak dan ceritanya selalu tumbuh dalam ingatan saya dengan gedung petronas dan lalu lintas rapi Malaysia, di rumah kami yang gelap. Bapak terus bercerita dan saya meraba kota asing itu. Seperti halnya meraba cerita dari Azhari Aiyub dalam Tembok, Polanco dan Alien tentang negara Meksiko.
Satu sisi cerita bapak terdengar meragukan dalam gulita, sebab mati lampu telah menghalangi saya dalam memastikan kesungguhan bapak. Saya tidak pernah simpati kepada cerita bapak, namun terus mendengarkan. Apa gunanya mendengar kehebatan negara lain? Tapi beliau bapak saya, saya tidak bisa mengadili bahwa beliau kurang nasionalis dengan menyanjung Malaysia.
Namun pada satu titik, saya mendengar dengan seksama, mengamini dan mengingatnya. Bapak pernah bercerita tentang bagaimana gerombolan pekerja Indonesia menggoda anak sekolah setingkat SMA setempat. Merayu, melempar pujian dan memberi imbuhan siulan. “Itu sangat fatal” kata
bapak dalam gelap. Para pekerja lelaki itu dibawa pergi polisi setempat karena aduan pelecehan dari anak SMA tersebut. Cerita bapak usai sampai di sana, terpotong dan berganti tentang banyaknya perselingkuhan di antara para pekerja Indonesia di sana.
Saya hanya menerka, kesungguhan bapak dan negara asing itu.
/1/
Lain waktu, saya teringat betul banyaknya pelecehan seksual di dalam negeri sendiri. Tidak sekadar memuji atau memberi siulan, kadang lebih. Namun apakah betul nasib wanita negeri ini akan baikbaik saja dengan keadaan seperti itu? Pelecehan terhadap perempuan akan mengendap seperti sari pati yang mengerikan. Trauma menjadi hamparan ilalang subur dalam diri seorang wanita, menenggelamkan dan mengasingkan setiap perempuan. Apalagi negara tidak pernah ada, selain dalam bangku rebutan jabatan.
Hampir dalam semua hal, negara selalu menjadi bulan yang berpendar
jauh, tampak tapi berjarak demikian jauh. Begitupula di dalam kasus pelecehan seksual. Para perempuan terus menjadi bahan olokolok. Tubuhnya adalah uang. Seperti kisah kecil yang terjadi pada seorang kawan ketika melaporkan kehilangan sejumlah uang, aparatur sipil negara hanya bilang “untuk menjual diri” agar bisa menambal semua kehilangannya.
Mungkin kisah itu bukan yang terpahit dari yang terpahit. Kisah terpahit antara persinggungan negara barangkali bukan di negara kita. Tetapi di Banglades 25 Oktober 2019, Nusrat gadis berumur 19 tahun dibakar hidup-hidup karena melaporkan pelecehan seksual yang diterima dari kepala sekolahnya. Meskipun negara menjatuhkan hukuman mati kepada 16 pelaku, tapi bukankah itu sudah menakutkan. Terbentang ruang begitu jauh hanya untuk melindungi korban.
Barangkali suasana kesendirian Nusrat dapat digambarkan dalam salah satu kisah delusi di Memories, Dreams, Refleksions karya Carl Jung. Jung mengisahkan tentang seorang gadis yang terjebak
dalam sebuah delusi akibat pelecehan dari keluarga, teman dan lingkunganya, lalu pada akhirnya mengidap skizofrenia.
Gadis tersebut bercerita kepada Carl Jung dalam delusinya telah menjadi seorang kesatria bulan. Seorang kesatria dengan pisau suci dan jubah untuk membunuh sang vampir. Ia menggambarkan dirinya begitu perkasa. Berdiri di menara menunggu vampir lelaki. Ia telah menempatkan diri sebagai simbol perlawanan dari kaumnya di bulan.
Meskipun dalam delusi dan imajinasi berlebih, kisah gadis tersebut tetap menyimpan tragisnya sendiri. Kisah sang gadis menggambarkan sebuah kesendirian saat menghadapi ketidakadilan. Tidak ada seorangpun di belakangnya dan membantu melawan vampir.
Sehingga terasa heroisme yang diceritakan terasa begitu utopis. Ia sendirian tetap tak berdaya dalam menghadapi vampir, sebuah simbol yang saya tafsirkan sebagai dominasi lelaki dan negara yang begitu besar.
Kemudian saya terkenang kembali kesendirian Nusrat,
gadis dalam kisah Carl Jung, juga seorang teman. Bahwa orang-orang seperti mereka sedang melawan teman, lingkungan bahkan negaranya sendiri.
Tidak berhenti pada kesendirian dan kekalahankekalahannya, perempuan bahkan bisa dianggap sebab-sebab pelecehan terhadap dirinya sendiri terjadi. Lebih menyakitkan lagi bukan hanya lakilaki yang menganggap itu, melainkan kaumnya sendiri ikut menuduhnya. Di sebuah kantin tempat saya kerja misalnya, saya bercerita kisah orang-orang yang tiba-tiba diperkosa dan dilecehkan lainnya kepada para karyawati di sana. Kadang menambahkan pelecehan itu dilakukan orang yang punya kuasa dan lelaki. Para karyawati tidak peduli, tidak banyak punya sanggahan dan pembelaan. Yang mereka lontarkan semua adalah kesalahan mereka, perempuan titik porosnya: berbaju minim, centil dan lain sebagainya.
Pada puncaknya, kekalahan para perempuan seperti apa yang dilontarkan oleh salah seorang Dirjen Ismuanandar Kemenristekdikti pada sebuah video Apakah Perguruan Tinggi Indonesia
Gagal Melindungi Korban Kekerasan Seksual? milik
Vice di Youtube. Bahwa semua adalah bukti secara statistik.
/2/
Lalu cerita Bapak hadir di malam gelap itu, tak bisa aku tangkap kesungguhan Bapak. Aku hanya mendengar suaranya, tapi tidak sikap simpati Bapak. Kepada siapa ia meletakkannya, kepada teman-teman yang tertangkap atau kepada gadis Malaysia yang melaporkan teman-temannya itu?
Dan Negara ini adalah saya, mendengar itu dalam ruang gelap, terus menerus menuntut bukti dalam laporan statistik. Dan Negara ini adalah putri malu, menutup diri ketika pelecehan terjadi. Dan Negara ini adalah siput, lamban memutuskan sesuatu untuk melindungi perempuan. [E]
*) Sarjana lulusan Pendidikan Agama Islam UIN Walisongo Semarang pada 2020. Sempat menjabat sebagai Pimpinan Redaksi LPM EDUKASI pada 2017