SEPULUH
DARI SUFISME KE SALAFISME 1905–1911
Hingga Snouck Hurgronje meninggalkan Hindia Belanda pada 1906, di negeri ini tak ada sesuatu pun yang diketahui mengenai reformisme atau modernisme, gerakan-gerakan keagamaan yang lebih baru dalam Islam. Selama tinggal di Indonesia selama tujuh belas tahun, Snouck Hurgronje mengenal Islam sebagaimana agama tersebut disampaikan oleh nenek moyang. Tak satu pun dalam tulisan-tulisannya dari periode itu bisa ditemukan jejak mengenai fenomena keagamaan pada masa-masa yang lebih baru.1
D
emikian ditulis G.F. Pijper (1893–1988), salah seorang administrator kolonial terakhir yang dididik oleh Snouck Hurgronje, dan seorang cendekiawan yang dikenal (seperti yang diharapkannya) karena minatnya terhadap reformisme dan dampaknya terhadap Hindia. Namun, meski reformisme Salafi Muhammad ‘Abduh (1849–1905) dan Muhammad Rasyid Rida (1865–1935) dari Kairo— demikian gerakan ini dikenal karena diklaim oleh mereka meniru praktik “para leluhur saleh” (al-salaf al-salih) yang terbukti sahih—tetap memasuki masyarakat Hindia ketika ‘Abd al-Ghaffar meninggalkan Batavia, kita menjadi tahu bahwa ketika gerakan ini mencapai Nusantara nyatanya punya tujuan yang sama dengan gerakan yang sudah berlangsung di Asia Tenggara. Snouck bisa jadi tidak merujuk modernisme Kairo dengan begitu banyak kata tapi, seperti yang akan ditunjukkan bab-bab berikut. Dia dan para pembantunya telah membuka pintu bagi penafsiran modernis terhadap Islam. Untuk memahami sampai pada titik ini, kita perlu melangkah mundur dalam waktu dan ruang untuk melihat perspektif yang lebih luas mengenai negeri-negeri Jawi.
AHMAD AL-FATANI DAN AHMAD KHATIB AL-MINANKABAWI MENGENAI TAREKAT Pada awal abad kedua puluh, karya-karya tercetak sudah selama beberapa dekade menyediakan akses untuk menjangkau ajaran Islam. Sejauh itu tentu