DUA
MENERIMA SEBUAH AJARAN BARU 1750–1800
MENINGGALKAN ISTANA
D
ibandingkan Aceh, Banten, dan Mataram, kita hanya mengetahui sedikit hal mengenai perdebatan di negara-negara muslim lain yang kerap berperang di bagian timur Nusantara, meski tampaknya perdebatan di sana mengikuti jejak Sumatra. Berbagai legenda Makassar, misalnya, mengklaim penggunaan diplomasi seorang ratu Aceh yang meyakinkan raja mereka untuk memeluk Islam Mekah. Meskipun dibuat-buat, tetapi dongeng-dongeng semacam itu menggambarkan jalur penyebaran Islam di seluruh kawasan ini.1 Tentu saja dongeng-dongeng itu hanya memberi kita sedikit informasi mengenai cara-cara perpindahan agama, kecuali beberapa petunjuk yang masih ada, tempat ikonografi dan tampilan lisan bisa memainkan peranan. Tepat sebelum menggambarkan buah yang berduri dan berbau menyengat yang kita kenal sebagai durian, Mansur al-Misri, orang Mesir yang merapat di istana Ratu Safiyyat al-Din, menulis bahwa dirinya pernah diminta oleh beberapa orang Belanda di Batavia untuk mengenakan pakaian cendekiawan keagamaan setempat (yang dia sebut bukan kostum ulama Mesir atau Utsmani) dan berpose untuk para seniman lokal, biasanya menggambarkan para “utusan/nabi” (anbiya’ihim) yang mengempit AlQuran. Objek mereka yang lebih lazim sebenarnya adalah para wali seperti Sunan Kalijaga. Setidaknya, sebuah sumber Jawa dari awal abad kesembilan belas menunjukkan adanya garis pembeda yang samar antara para wali dan para nabi.2 Gaung dari penggambaran demikian ditemukan dalam sebuah sketsa yang dikirimkan kepada Orientalis Belanda, Snouck Hurgronje, oleh Muhammad Yasin dari Kelayu di Pulau Lombok. Sketsa itu menggambarkan sosok berjanggut seperti orang Arab, memegang sebilah tombak di tangan kanan dan mengempit tas berisi kitab suci di lengannya.3 Sosok itu menyerupai darwis Sufi, yang masih bisa difoto di Timur Tengah pada abad kesembilan