TIGA
REFORMASI DAN MELUASNYA RUANG MUSLIM 1800–1890
K
ita sekarang sudah melihat betapa, pada pengujung abad kedelapan belas, para cendekiawan Jawi terkemuka menjalin hubungan dengan wacana “Mekah” yang tengah bangkit yang menegaskan kembali norma-norma Ghazalian yang memisahkan hukum dan mistisme. Sebagiannya kemudian memungkinkan bentuk-bentuk Islam ortodoks, yang mewujud dalam madrasah, bagi kaum beriman yang terdidik, dan tarekat bagi kelompok terpilih. Mengingat langkanya informasi yang bisa diandalkan, kita harus menyimpulkan, setidaknya untuk saat ini, bahwa bentuk-bentuk semacam itu bukannya tidak ada atau sangat terbatas di tanah Jawi pada abad-abad sebelumnya. Untuk melaksanakan program mereka, para cendekiawan seperti al-Falimbani dan al-Banjari membutuhkan dukungan para pangeran yang kuat, baik untuk membiayai persinggahan mereka ke luar negeri atau untuk kesediaan mendengarkan pesan mereka setelah mereka kembali. Namun, Palembang dan Banjarmasin lebih merupakan pengecualian ketimbang kelaziman. Dalam banyak contoh lain, raja-raja pribumi terus terpinggirkan oleh kekuatan Eropa, khususnya di Jawa. Seperti yang sekarang akan kita lihat, penerapan berbagai rencana untuk mereformasi Islam di pulau-pulau itu segera terjerumus menjadi rencana dengan berbagai sumber kekayaan alternatif dan menghadapi beragam penafsiran liar yang berkobar di tengah ketiadaan pengawasan kerajaan. Banyak penulis memandang marginalisasi berbagai kelompok elite kerajaan sebagai sebuah gejala guncangan yang ditimbulkan oleh “modernisasi” atau “globalisasi”, tetapi secara umum kita harus hati-hati dalam menerapkan istilah-istilah tersebut. Dan, istilah-istilah itu kian penuh tendensi jika diterapkan pada konteks abad kesembilan belas ketika sebagian orang mengacaukan kebangkitan gerakan-gerakan puritan dengan apa yang dianggap sebagai bentuk cikal bakal modernisme. Pencampuradukan ini merupakan produk sampingan yang anakronistis dari persekutuan para