Media Aesculapius Surat Kabar
Kedokteran dan Kesehatan Nasional Terbit Sejak 1970
September-Oktober 2019 / Edisi 04 / Tahun XLVIII / ISSN 0216-4996
@MedAesculapius |
beranisehat.com |
TIPS AND TRIK
ASUHAN KESEHATAN
ARTIKEL BEBAS
Tepat dan Cermat dalam Diagnosis Okupasi hlm 3
Intervensi PostStroke: Terapi Okupasi Bantu Rehabilitasi hlm 5
Kebaikan Itu Datang dalam Bentuk Rasa Asam hlm 6
0896-70-2255-62
Polusi Udara Jakarta, Akankah Berakhir?
D
Polusi udara telah menjadi masalah yang berlarut-larut, dengan dampak yang begitu besar pada manusia frekuensi KRL Commuter Line. “Sudah merespons itu sebenarnya bagus, namun perlu dilihat kembali hasilnya, kalau AQI Jakarta tetap tinggi, apakah berhasil?” kata Budi. Dengan demikian, Budi menggarisbawahi 4 penyebab penting mengapa terjadi pencemaran udara di Jakarta. Beliau mengatakan bahwa kualitas bahan bakar, teknologi kendaraan, manajemen transportasi, serta pemantauan kualitas udara menjadi faktor penting dalam terjadi pencemaran udara. Sebagai faktor pertama, kualitas bahan bakar menjadi titik tumpu bagi kualitas transportasi di Jakarta, terutama ketika dihubungkan dengan polusi udara. “Kualitas bahan bakar di Indonesia masih rendah. Katakanlah diesel, kalo dibakar kan akan keluar sulfur,” tegas Budi serasa menjelaskan pentingnya bagi kita untuk segera beralih ke bahan bakar yang memiliki kualitas yang lebih baik. “Semua pertimbangannya untuk kesehatan, supaya emisi yang keluar dari kendaraan bermotor tidak mengganggu kesehatan,” terangnya lagi. Selain kualitas bahan bakar, Budi juga menjelaskan bahwa teknologi kendaraan juga mengambil peran penting dalam terjadi pencemaran udara. Beliau juga menegaskan bahwa teknologi kendaraan ini juga berhubungan dengan kualitas bahan bakar yang
dijelaskan sebelumnya. “Sebagus apapun bahan bakarnya, kalau kendaraan ngga sesuai, tetap saja keluarin emisi yang polusi,” pungkasnya. Penjelasan beliau sekaligus ingin menyiratkan bahwa ternyata pemerintah juga perlu untuk membenahi peraturan terkait pembatasan umur kendaraan. Beliau menilai bahwa umur kendaraan tidak dapat dijadikan tolok ukur terkait emisi yang dihasilkan kendaraan tersebut. Faktor ketiga yang juga ikut ambil bagian adalah manajemen transportasi. Beliau menegaskan bahwa masalah ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, terutama dalam masalah mengatasi macet. “Kendaraan bermotor itu sebagus apapun kecepatan rata-ratanya harus antara 30-110 km/ jam. Bila tidak, pembakaran akan berlangsung kurang optimal,” jelas Budi. Oleh sebab itu, penting h/MA sakina
alam beberapa bulan terakhir, polusi udara di DKI Jakarta menjadi masalah yang sering diperbincangkan oleh masyarakat. Berdasarkan pantauan pada situs airvisual.com yang mengukur kualitas udara di seluruh belahan dunia secara langsung, Jakarta bertengger di peringkat ke-5 terburuk pada Senin (30/9/2019) malam dengan Air Quality Index (AQI) 155. Tingkat AQI setinggi itu termasuk dalam kategori tidak sehat. Pengukuran ini dilakukan menggunakan parameter PM (particulate matter) 2,5 atau debu berukuran 2,5 mikron. WHO menetapkan ambang batas udara sehat dengan konsentrasi PM 2,5 maksimal 25 μg/m3 dalam 24 jam. Namun, dengan AQI 155, konsentrasi PM 2,5 di Jakarta mencapai 63,8 μg/m3, yang mana sudah jauh dari batas udara sehat. Polusi udara bukanlah perkara baru bagi DKI Jakarta. “Tingkat polusi sebenarnya sudah tinggi dari dulu, namun orang-orang baru meributkannya saja sekarang,” ujar Prof Dr. R. Budi Haryanto, S.KM, M.Kes, M.Sc, Guru Besar Departemen Kesehatan Lingkungan FKM UI. “Menurut berbagai penelitian, sumber pencemar udara di Jakarta memang dominan dari transportasi kendaraan bermotor,” ujar Budi. Sumber polusi tersebut juga terus bertambah dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor tiap tahunnya. Pemerintah sering dituding kurang bertanggung jawab atas masalah polusi yang menahun ini. Namun, pemerintah juga sudah merespons masalah polusi ini salah satunya dengan memperluas kebijakan ganjil-genap. Selain itu, Pemprov DKI Jakarta juga telah berupaya untuk meningkatkan transportasi umum dengan pengadaan MRT dan peningkatan
untuk
Zonasi Industri & Residensial: Perlukah?
S
Banyaknya industri yang terlanjur menyelip di antara pemukiman menjadi PR untuk ibu kota
etelah transportasi darat, sumber polutan udara terbesar di Jakarta disusul oleh industri. Hingga saat ini, terdapat banyak industri yang berada di tengah ibukota. Industri berada di tengah-tengah zona residensial penduduk dan juga sebaliknya. Industri-industri ini sudah telanjur eksis di ibukota sejak puluhan tahun lalu. “Sebagai sebuah megapolitan, sebenarnya sudah harus melakukan pemisahan antara daerah tempat tinggal atau residensial, area tempat kerja nonpabrik termasuk sekolah, dan area kerja,” tegas Menaldi. Pabrik yang memberikan asap buangan ke atas perlu dipisahkan dari area residensial. Untuk itu, Pemprov DKI Jakarta sudah mengatur tentang kawasan industri pada Perda No.
1/2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi. Peraturan ini dibuat dengan tujuan adanya keselarasan antara pembangunan dengan lingkungan hidup. Beberapa industri akan direlokasi ke lahan yang termasuk dalam zona industri yang telah ditetapkan pemerintah di kecamatan tertentu. Sayangnya, hingga saat ini, sosialisasi terkait zonasi industri ini belum berjalan dengan cukup baik dan masih menimbulkan kebingungan bagi pengusaha industri. Selain dengan industri pabrik, zonasi antara area kerja nonpabrik dengan residensial juga perlu dipikirkan. “Di luar negeri, 10-15 menit dari perumahan sudah ada stasiun kereta dan halte bis dan bisa menaruh sepeda di stasiun.
Artinya, kendaraan umum terjangkau sampai pemukiman,” ujar Budi. Hal ini berbeda dengan kondisi Jakarta yang tidak karuan, contohnya saja mal-mal yang tersebar di berbagai tempat. Kondisi ini menyebabkan akses ke berbagai tempat tidak efisien sehingga membuat kemacetan semakin parah. Sebagai sumber polutan nomor dua setelah transportasi, zona industri pabrik perlu dipisahkan dari zona residensial untuk mengurangi dampak pencemaran terhadap kesehatan masyarakat. Area residensial juga sebaiknya dipisahkan dari area kerja agar akses transportasi menjadi lebih efisien. billy
membenahi transportasi Jakarta, terutama agar tidak menyebabkan kemacetan. Faktor yang terakhir adalah terkait pemantauan kualitas udara. Beliau menegaskan bahwa pemantauan menjadi sebuah hal yang harus dilakukan, terutama bila ingin menilai perbaikan kualitas udara. Pemantauan ini juga berkaitan erat dengan manajemen transpotasi. Apabila suatu area memiliki tingkat polusi yang tinggi, maka dapat dilakukan rekayasa lalu lintas sehingga moda transportasi dapat dialihkan dari daerah tersebut. Terlepas dari perdebatan terkait kebijakan pemerintah dan masalah polusi udara yang terus berlangsung, satu hal nyata yang penting untuk diperhatikan adalah dampaknya pada kesehatan. “Polusi udara itu jelas mengganggu kesehatan kita,” ujar Prof. dr. H. Menaldi Rasmin, Sp.P (K) dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pertama, yang paling mudah terlihat adalah gangguan pada kulit yang menjadi lebih kering dan mudah teriritasi. Dampak yang kedua adalah pengaruhnya pada mata karena iritasi terus-menerus pada kornea mata. Ketiga, tentunya adalah dampaknya pada sistem pernapasan yang akan dibahas lebih lanjut. Ketika kita menghirup udara yang berpolusi, polutan di dalamnya akan turut masuk ke saluran pernapasan. Pertama, partikel-partikel polusi akan menimbulkan iritasi di daerah saluran napas atas dari hidung, faring, laring, hingga masuk ke trakea. Selain itu, udara yang berpolusi suhunya juga cenderung lebih tinggi dan menyebabkan kehangatan saluran napas bawah dalam waktu yang lama. Hal ini akan memengaruhi silia, sehingga lama-lama bersambung ke halaman 11
SKMA untuk Anda! Mari bersama membuat SKMA menjadi lebih baik.
!
1. Apakah konten SKMA bermanfaat/ relevan dengan kondisi kesehatan saat ini? 2. Apakah anda masih membutuhkan SKMA edisi selanjutnya? Jawab dengan format: Nama-Umur_Kota/Kabupaten_Unit Kerja_ Jawaban 1_Jawaban 2 Contoh: Rudiyanto_43_Jakarta Pusat_RSCM_Ya_Ya Kirim melalui WhatsApp/SMS ke 0896-702255-62 atau mengisi formulir pada bit.ly/ surveyskma Lima orang pengisi survei yang beruntung akan mendapatkan cenderamata dari Media Aesculapius
2
SEPTEMBER - OKTOBER 2019
DARI KAMI Pembaca sekalian yang Budiman, tidak terasa sekarang kita sudah berada di bulan-bulan akhir penghujung tahun 2019. Seiring berjalannya tahun ini, kami tidak akan pernah lelah dan selalu setiap untuk menghadirkan berita-berita kesehatan dari seluruh penjuru negeri. Belum lama ini, kita seakan-akan dikejutkan oleh keadaan buruknya kualitas udara yang terjadi di hampir semua kota metropolitan di Indonesia, salah satunya di daerah pusat pemerintahan negara, yaitu DKI Jakarta. Keadaan ini tentu sangat mengkhawatirkan karena dapat menjadi faktor pencetus berbagai macam penyakit, terutama penyakit yang dapat terjadi di saluran pernapasan. Mengapa bisa terjadi penurunan kualitas udara? Dan apa langkah penanggulangan yang harus dilakukan untuk mencegah timbulnya penyakit akibat buruknya kualitas udara? Ulasan lengkapnya bisa dibaca di rubrik Headline! Bahasan lain yang tidak boleh dilewatkan adalah pembahasan khusus secara mendalam mengenali aerotitis barotrauma yang sewaktu-waktu dapat menyerang pengguna setia layanan transportasi udara. Penjelasan secara lengkap hingga bagaimana mengatasinya dapat dibaca di artikel MA Klinik! Selain itu, di beberapa bulan terakhir ini, dunia kesehatan gempar atas penarikan obat-obatan antihipertensi yang masuk ke dalam golongan angiotensin receptor blocker (ARB), padahal obat-obatan ini sering dijadikan sebagai obat antihipertensi lini pertama pada beberapa kondisi. Simak pembahasan secara tuntas mengenai kontroversi penarikan obat antihipertensi ARB di artikel info obat. Akhir kata, selamat membaca dan jangan pernah lelah untuk membuat karya!
Reyza Tratama Pemimpin Redaksi
MA FOKUS
Jemaah Melek Teknologi, Sehat dari Awal hingga Akhir Sejak tahun 2017, pemerintah Indonesia telah meluncurkan inovasi guna mempermudah proses pelayanan kesehatan jemaah haji melalui kartu kesehatan haji (KKH) elektronik. Kartu ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan jemaah dalam mengikuti pembinaan dan pemeriksaan kesehatan. Data yang tercakup di dalamnya antara lain riwayat kesehatan sebelum berangkat, selama berada di Tanah Suci, hingga pulang kembali ke Indonesia serta data diri. Kartu ini selain mempermudah jemaah karena tidak perlu lagi membawa-bawa buku catatan kesehatan, juga membantu petugas kesehatan untuk memantau risiko, kelayakan, dan kondisi terkini jemaah yang berdampak pada rencana penanganan secara komprehensif. Kementerian Kesehatan juga terus berinovasi dengan menciptakan Haji Sehat, suatu aplikasi berisi petunjuk kesehatan haji yang dapat diunduh melalui Play Store. Jemaah dapat menemukan nomor telepon penting dan tempat berobat jika sewaktu-waktu merasa tidak sehat selama di Arab Saudi. Melalui petunjuk ini, jemaah memiliki gambaran lebih jelas mengenai persiapan yang harus dilakukan sekaligus mengingat kembali informasi kesehatan yang telah disampaikan dalam pembinaan. Upaya pemerintah ini patut diacungi jempol mengingat saat ini teknologi telah semakin maju sehingga sebisa mungkin hendaknya dimanfaatkan untuk hal-hal positif. Hampir semua lapisan masyarakat juga memiliki telepon genggam, bahkan smartphone yang berarti informasi elektronik seharusnya dapat tersebar dengan mudah dan luas. Dari sudut pandang tenaga kesehatan, kemudahan di atas membantu pengawasan, terutama jemaah berisiko tinggi. Perlu diingat bahwa jemaah yang mengikuti ibadah haji umumnya sudah lanjut usia mengingat waktu tunggu menjadi jemaah bisa mencapai belasan tahun. Hipertensi, diabetes, dan penyakit ginjal merupakan penyakit kronis yang sangat mungkin diderita dan diuntungkan dengan adanya sistem seperti ini. Di lain pihak, alangkah baiknya bila pemerintah juga berusaha melihat dari sudut pandang jemaah yang telah berusia lanjut. Tidak semua jemaah memiliki status pendidikan tinggi. Tidak sedikit kelompok lanjut usia yang mungkin mulai mengalami penurunan kemampuan berpikir dan penerimaan informasi. Oleh karena itu, petunjuk yang jelas disertai bimbingan pada para jemaah terkait berbagai inovasi tersebut sebaiknya diberikan. Bagaimanapun, teknologi semacam ini tentunya diharapkan terus berkembang untuk memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat. Tak hanya menjelang keberangkatan, calon jemaah yang masih dalam masa tunggu pun sebenarnya terjangkau oleh inovasi tersebut. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 15 Tahun 2016 tentang Istithaah Kesehatan Haji juga tertulis bahwa pembinaan dapat diintegrasikan dengan upaya kesehatan masyarakat seperti posbindu, keluarga sehat, dan posyandu lansia. Dengan demikian, aplikasi teknologi juga dapat dilakukan sehingga semakin banyak pula pihak yang terlibat, tidak melulu merupakan urusan eksklusif petugas pelaksana haji.
KLINIK
MEDIA
AESCULAPIUS
MA KLINIK
Aerotitis Barotrauma: Kenali Gejala dan Penatalaksanaannya Menurut Hukum Boyle, posisi pesawat yang berada di ketinggian menyebabkan tekanan atmosfer yang rendah. Siapa sangka, hal tersebut dapat berakibat buruk bagi kesehatan.
D
ari berbagai moda transportasi yang tersedia, pesawat adalah pilihan yang paling aman digunakan untuk perjalanan jauh. Menurut laporan International Civil Aviation Organization (ICAO), hingga tahun 2015 hanya ada 92 kecelakaan pesawat komersial dari 33 juta perkiraan penerbangan global, dengan total 474 korban jiwa. Sayangnya, penerbangan dalam durasi lama dapat menjadi faktor risiko terjadinya aerotitis barotrauma, suatu kerusakan jaringan pada telinga yang terjadi akibat perbedaan tekanan udara dalam tubuh dengan tekanan atmosfer. Berdasarkan data, kelainan ini paling banyak diderita oleh kelompok usia 21-40 tahun. Barotrauma dapat terjadi pada telinga tengah (aerotitis barotrauma), sinus (aerosinusitis) dan gigi (aerodontalgia). Salah satu karakteristik lingkungan penerbangan yang mendasari barotrauma adalah tekanan atmosfer rendah. Hal ini terjadi ketika ketinggian pesawat bertambah, di mana tekanan telinga tengah menjadi lebih besar dari tekanan atmosfer. Udara kemudian akan mengalir melalui tuba auditiva dan mendesak membran timpani. Barotrauma juga dapat terjadi pada kondisi penurunan ketinggian, di mana aliran udara masuk melalui telinga tengah dengan kondisi muara tuba auditiva cenderung menutup. Peristiwa itu menciptakan tekanan positif yang menyebabkan bulging pada membran dan kolaps tuba auditiva, sebagai respon tubuh tehadap perubahan tekanan. Terdapat beberapa faktor yang meningkatkan risiko seseorang mengalami aerotitis barotrauma. Beberapa kondisi yang menjadi faktor risiko meliputi hidung tersumbat (contoh saat flu), sumbatan tuba auditiva (bisa akibat kelainan kongenital atau merokok), kerusakan tuba auditiva (akibat tumor), obstruksi pada telinga, dehidrasi, obesitas, cleft palate, dan atau gangguan drainase sinus kongenital. Pada anak, tuba auditiva juga cenderung menutup sehingga lebih beresiko mengalami barotrauma. Diagnosis aerotitis barotrauma dapat ditegakkan apabila terdapat nyeri telinga atau pusing setelah melakukan penerbangan. Kumpulan gejala lain yang biasanya dialami oleh penderita barotrauma antara lain: rasa penuh dan tidak nyaman pada telinga, perasaan adanya sumbatan di telinga, penurunan pendengaran sementara, dan tinnitus. Gejala pada barotrauma dapat terjadi pada salah satu atau kedua telinga. Diagnosis barotrauma juga bisa dilakukan melalui pemeriksaan fisik menggunakan otoskop. Aerotitis telinga tengah sendiri terjadi akibat adanya penyempitan, inflamasi, atau edema pada mukosa tuba yang kemudian mempengaruhi kepatenannya, sehingga sulit menyeimbangkan tekanan telinga tengah terhadap tekanan udara sekitar. Oleh sebab itu, pada pemeriksaan menggunakan otoskop bisa didapatkan
MEDIA AESCULAPIUS
ketidaknormalan pada membran tympani. Menurut Wallace Teed, Narasumber abnormalitas pada dr. Retno Wibawanti, Sp.K.P membran timpani Staf Pengajar Program Studi Dokter dapat dibagi ke dalam Spesialis Kedokteran Penerbangan Dept. Ilmu Kedokteran Komunitas beberapa tingkatan, FKUI - RSCM mulai dari derajat retnowibawanti1980@gmail.com I hingga derajat V. Pasien yang tidak mengalami keluhan dan membran timpaninya terlihat baik, tergolong ke dalam derajat 0. Pada derajat I, membran timpani mulai terlihat adanya kemerahan yang bersifat difus disertai retraksi membran, namun belum terlihat adanya perdarahan membran. Hal utama yang memberdakan gambaran derajat II dan derajat III dengan derajat I adalah ada tidaknya perdarahan. Pada derajat II, membran timpani menunjukkan tampilan seperti derajat I dengan ditambah perdarahan memban yang ringan, sedangkan pada derajat III perdarahan yang muncul bersifat sedang. Selanjutnya pada derajat IV, membran timpani tampak membentuk bulging, dengan adanya efusi cairan. Apabila membran timpani sudah mengalami perforasi, pasien dapat dikategorikan sebagai derajat V. Penatalaksanaan bagi pasien dengan aerotitis barotrauma setelah mendarat adalah dengan memberikan obat-obatan simptomatik. Bila pasien sedang mengalami infeksi saluran nafas dan akan melakukan penerbangan, maka dapat diedukasi untuk mengunyah, menguap atau A menelan sesuatu saat lepas landas M / na fio atau mendarat. Selain itu, dapat juga dianjurkan mengonsumsi obat-obatan simptomatik sebelum terbang. Pada aerotitis barotrauma, penanganan terhadap kemungkinan ruptur membran timpani juga perlu diperhatikan. Teregangnya membran timpani dapat terjadi ketika ketinggian pesawat bertambah dalam waktu singkat. Perubahan tersebut membuat tubuh tidak memiliki cukup waktu untuk menyeimbangkan tekanan tersebut dan terjadilah ruptur membran. Pada kasus ruptur membran timpani, dapat diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi. Dibandingkan moda transportasi lain, risiko kecelakaan di pesawat memang tergolong lebih rendah. Akan tetapi, perubahan tekanan udara secara alami di dalam pesawat perlu kita waspadai sebagai bahaya potensial yang dapat mengancam kesehatan tubuh kita. leo
Pelindung: Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis M. Met. (Rektor UI), Prof. Dr. dr. H. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP (Dekan FKUI) Penasihat: Dr. Arman Nefi, S.H., M.M. (Direktur Kemahasiswaan UI), dr. Affan Priyambodo Permana, SpBS(K) (Koordinator Kemahasiswaan FKUI) Staf Ahli: Seluruh Kepala Bagian FKUI/RSUPNCM, Prof. Dr. Ma’rifin Husein (CHS), dr. Muki Reksoprodjo, dr. Boen Setiawan, dr. Sudarso, dr. E. Oswari, DPH, Prof. Dr. Arjatmo Tjokronegoro, PhD, dr. Hapsara, DPH (Kemenkes RI), dr. Fahmi Alatas, Prof. dr. Marwali Harahap, SpKK, Prof. Dr. Umar Fahmi Achmadi, MPH Pembantu Khusus: Seluruh Alumni Aesculapius dan Media Aesculapius
Pemimpin Umum: Fadlika Harinda. PSDM: Irfan Kresnadi. Pemimpin Produksi: Kania Indriani. Tata Letak dan Cetak: Anthonius Yongko. Ilustrasi dan Fotografi: Fiona Muskananfola. Staf Produksi: Arfian Muzaki, Aurelia Maria Prajna Saraswati, Hannah Soetjoadi, Gita Fajri Gustya, Marthin Anggia Sirait, Mega Yunita, Sakinah Rahma Sari, Vina Margaretha Miguna, Devi Elora, Nathaniel Aditya, Anthonius Yongko, Irfan Kresnadi, Shafira Chairunnisa, Teresia Putri, Hansel T. Widjaja, Itsna Arifatuz Z., Skolastika Mitzy, Meutia Naflah G., Dewi Anggraeni. Pemimpin Redaksi: Reyza Tratama Audandi. Wakil Pemimpin Redaksi: Rayhan Farandy. Redaktur Senior: Veronika Renny Kurniawati, Renata Tamara, Tiffany Rosa, Afiyatul Mardiyah, M. Ilham Dhiya, Filbert Kurnia Liwang, Alexander Kelvyn. Redaktur Desk Headline: Nur Afiahuddin Tumpu. Redaktur Desk Klinik: Dina Fitriana. Redaktur Desk Ilmiah Populer: Farah Qurrota. Redaktur Desk Opini & Humaniora: Nathalia Isabella. Redaktur Desk Liputan: Yuli Maulidiya. Reporter Senior: Phebe Anggita Gultom, Clara Gunawan, Farah Vidiast, Maria Isabella, Joanna Erin, Fadlika Harinda, Vanessa Karenina, Aisyah Rifani, Stefanus Sutopo. Reporter Junior: Sheila Fajarina Safety, Mariska Andrea Siswanto, Kevin Wijaya, Jessica Audrey, Aughi Nurul Aqilla, Lidia Puspita Hasri, Billy Pramatirta, Jonathan Hartanto, Elvan Wiyarta, Wira Titra Dwi Putra, Prajnadiyan Catrawardhana, Leonardo Lukito Nagaria. Pemimpin Direksi: Andi Gunawan Karamoy. Finansial, Sirkulasi, dan Promosi: Kevin Tjoa, Gilbert Lazarus, Sean Alexander, Nur Zakiah Syahsah, Angela Kimberly, Koe Stella Asadinia, Tiara Grevillea, Ainanur Aurora, Agassi Antoniman, Yusuf Ananda, Safira Amelia, Syafira Nurlaila, Lowilius Wiyono, Jeremy Rafael, Iskandar Geraldi. Buku: Vincent Kharisma, Muhammad Izzatullah, Regan Edgary Jonlean, Husain Muhammad Fajar Surasno, Nadira Prajnasari Sanjaya, Roberto Bagaskara, Tiroy Junita, Indah Fitriani, Sabrina Tan, Gilbert Mayer C, Marie Christabelle, Bunga Cecilia. Alamat: Media Aesculapius BEM IKM FKUI. Gedung C lantai 4, Rumpun Ilmu Kesehatan, Kampus UI Depok. E-mail: medaesculapius@gmail.com, Rek. 157-0004895661 Bank Mandiri Cabang UI Depok, website: beranisehat.com Alamat Redaksi/Sirkulasi: Media Aesculapius PO BOX 4201, Jakarta 10042, Harga Langganan: Rp18.000,00 per enam edisi gratis satu edisi (untuk seluruh wilayah Indonesia, ditambah biaya kirim Rp. 5.000,00 untuk luar Jawa), fotokopi bukti pembayaran wesel pos atau fotokopi bukti transfer via Bank Mandiri dapat dikirim ke alamat sirkulasi. MA menerima kiriman naskah dari pembaca untuk rubrik MA Klinik (khusus untuk dokter dan staf pengajar), Asuhan Keperawatan (khusus untuk perawat dan mahasiswa keperawatan) Sepuki, Suma, Suduk, Kolum, Arbeb, Kesmas, Seremonia, dan Konsultasi (berupa pertanyaan). Kirimkan email permohonan penulisan ke redaksima@yahoo.co.id dan kami akan mengirimkan spesifikasi rubrik yang Anda minati.
Kirimkan kritik dan saran Anda:
redaksima@yahoo.co.id
Website Media Aesculapius
beranisehat.com
Dapatkan info terbaru kami: @MedAesculapius
MEDIA
KLINIK
AESCULAPIUS
SEPTEMBER - OKTOBER 2019
3
KONSULTASI
Cadangan Kognitif: Harapan Baru bagi Demensia? Mungkinkah kita dapat mencegah demensia sejak dini? Lantas langkah apa yang dapat kita lakukan? Pertanyaan: Akhir-akhir ini kesadaran masyarakat terhadap demensia semakin meningkat. Tatalaksana apa yang dapat dilakukan pada layanan primer dan edukasi seperti apa yang dapat disampaikan kepada masyarakat untuk mencegah demensia? - dr. D, Lampung
T
anggal 21 September merupakan hari peringatan Alzheimer Sedunia. Hal ini menunjukkan semakin maraknya kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penyakit Alzheimer dan demensia secara keseluruhan. Oleh karena itu, kalangan medis khususnya layanan primer perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi gelombang kasus demensia beserta segala tantangan yang mungkin terjadi. Demensia merupakan payung istilah yang biasa digunakan untuk meggambarkan sindrom akibat penyakit otak. Penyakit ini bersifat kronik progresif yang ditandai dengan kemunduran fungsi kognitif multipel yaitu amnesia, afasia, apraksia, agnosia, atau fungsi eksekutif. Berdasarkan penyebabnya, demensia dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe yaitu demensia pada penyakit Alzheimer, demensia vaskular, demensia frontotemporal, demensia lewy bodies (DLB) dan demensia campuran. Epidemiologi demensia diperkirakan akan semakin meningkat dari 50 juta jiwa hingga 152 juta jiwa pada tahun 2050. Di Indonesia sendiri, jumlah penderita pada tahun 2015 mencapai 1,2 juta jiwa dengan proyeksi kenaikan hingga 4,3 jiwa pada tahun 2050. Prevalensi jenis demesia yang paling sering terjadi adalah demensia pada penyakit Alzheimer sebanyak 50-75% kasus.
Kejadian kasus demensia biasanya terjadi pada individu lebih dari usia 65 tahun. Diagnosis demensia dilakukan pada pasien yang menunjukkan minimal dua gangguan signifikan pada fungsi mental utama meliputi memori, komunikasi, atensi, daya nalar dan penilaian, serta persepsi visual. Penurunan pada fungsi kognitif dapat diuji dengan tes neuropsikologi atau pemeriksaan kuantitatif lainnya. Perlu juga diperhatikan apakah defisit kognitif tersebut sudah mengganggu kemandirian dalam melakukan aktivitas seharihari. Manifestasi klinis setiap tipe demensia berbeda. Pada penyakit Alzheimer, terdapat gejala kehilangan memori jangka pendek, depresi fase awal, dan gangguan perilaku fase lanjut. Demensia vaskular sendiri memiliki onset mendadak dengan gejala awal mirip penyakit Alzheimer tapi disertai kania/M A perubahan mood yang fluktuatif dan memiliki kaitan dengan riwayat penyakit kardiovaskular. Selanjutnya, demensia badan lewy memiliki gejala kemampuan kognitif yang fluktuatif, halusinasi visual, tremor, serta rigiditas seperti pada penyakit Parkinson. Kemudian demensia frontotemporal lebih sering terjadi pada pasien di bawah usia 65 tahun dan terdapat gejala khas perilaku disinhibisi, apati atau inersia, kehilangan simpati atau empati, perseverasi, dan perilaku stereotipik atau kompulsif, hiperoralitas atau perubahan diet, dan gangguan fungsi eksekutif tanpa gangguan
memori dan visuospasial. Terakhir, demensia campuran biasanya terjadi pada pasien dengan usia sangat lanjut dengan berbagai penyakit komorbid. Proses degenerasi otak membutuhkan waktu yang cukup lama. Perubahan patologis otak terjadi secara bertahap selama satu dekade atau lebih sebelum gejala muncul. Setelah itu, dibutuhkan beberapa tahun sejak timbulnya gangguan kognitif ringan sebelum berubah menjadi demensia. Oleh karena itu, sangat mungkin untuk mencoba melakukan tindakan preventif terhadap demensia. Akhirakhir ini para peneliti mengalihkan perhatian ke arah pencegahan terhadap demensia, baik melalui obat-obatan maupun modifikasi gaya hidup—terutama setelah beberapa uji coba farmakologis terkini gagal menunjukkan perbaikan pada pasien yang telah menunjukkan gejala demensia. Pendekatan farmakologis sendiri mungkin menjanjikan untuk mencegah demensia, namun obat-obatan bukanlah satu-satunya solusi. Berbagai penelitian juga mengeksplorasi faktor-faktor kognitif dan gaya hidup yang dapat melindungi seseorang dari demensia. Konsep “cadangan” telah diusulkan untuk menjelaskan ketidakselarasan antara tingkat kerusakan otak atau patologi dan manifestasi klinisnya. Studi tersebut menunjukkan bahwa derajat patologi tidak selalu menghasilkan demensia klinis. Perbedaan individual dalam proses kognitif atau jaringan neural yang mendasari performa dalam suatu kegiatan memungkinkan beberapa
Narasumber dr. Profitasari Kusumaningrum, Sp. KJ Divisi Psikogeriatri, Departemen Psikiatri RSCM-FKUI
individu untuk beradaptasi terhadap kerusakan otak dibanding individu lainnya. Banyak penelitian telah meneliti mengenai hubungannya dengan faktor makanan, namun hingga saat ini tidak ada intervensi diet yang telah terbukti secara klinis efektif mencegah demensia. Faktor lain seperti aktivitas fisik rutin terbukti mengurangi risiko demensia. Melatih otak dengan banyak aktivitas yang merangsang secara mental seperti pendidikan, karir, dan aktivitas waktu luang juga dapat memperlambat laju penurunan kognitif. mariska Kirimkan pertanyaan Anda seputar medis ke redaksima@yahoo.co.id Pertanyaan Anda akan dijawab oleh narasumber spesialis terpercaya.
TIPS DAN TRIK
Tepat dan Cermat dalam Melakukan Diagnosis Okupasi Langkah tepat diagnosis okupasi sebagai kompetensi dokter umum
D
iagnosis okupasi adalah aktivitas yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis penyakit akibat kerja (PAK). Diagnosis ini penting dilakukan untuk menurunkan angka penyakit akibat kerja. Meski diagnosis okupasi termasuk dalam kompetensi dokter umum, masih sangat rendah pengetahuan dokter umum mengenai diagnosis okupasi. Sehingga, masih banyak pekerja yang meninggal akibat PAK yang tidak terdiagnosis dengan benar. Terdapat tujuh langkah dalam diagnosis okupasi. Langkah pertama adalah menegakkan diagnosis klinis. Diagnosis klinis dilakukan sesuai dengan prosedur medis yang berlaku untuk melihat kemungkinan penyakit yang diderita pasien. Jika dokter umum tidak bisa menegakkan diagnosis klinis, pasien dapat dirujuk ke spesialis terlebih dahulu. Langkah ke-2 adalah menentukan pajanan yang dialami pasien di tempat kerja. Untuk dapat mengetahui pajanan yang dialami, dilakukan anamnesis kepada pasien terkait aktivitas pekerjaan dan lingkungan kerjanya. Informasi lebih bernilai jika ditunjang dengan data objektif pajanan yang dialami pasien. Langkah 1 dan 2 wajib dilakukan sebelum ke langkah berikutnya. Langkah ke-3 dan ke-4 terdapat di tempat
kerja. Langkah ke-3 adalah menentukan hubungan antara pajanan dengan penyakit. Langkah ini dilakukan dengan metode evidence based. Apabila tidak menemukannya, dokter bisa call the expert karena ada beberapa kasus yang hanya ada di Indonesia. Langkah ke-4 adalah menentukan kecukupan pajanan. Penilaian dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Hal ini memerlukan pemahaman patofisiologis dan bukti epidemiologis penyakit. Langkah ke-5 dan ke-6 terjadi di luar tempat kerja. Langkah ke-5 adalah menentukan faktor marthin/MA individu yang berperan, seperti usia, jenis kelamin, kebiasaan, riwayat alergi, riwayat keluarga, dan komorbiditas. Langkah ke-6 adalah menentukan faktor eksternal tempat kerja. Faktor yang digali adalah pajanan lain yang mungkin dapat menyebabkan penyakit.
Dalam menentukan langkah ini, perlu digali lagi kegiatan pasien di luar tempat kerja seperti hobi, pekerjaan sampingan, dan pajanan di rumah. Langkah terakhir adalah penentuan diagnosis okupasi. Keenam langkah harus benarbenar dilakukan secara tepat dan cermat disertai dengan bukti dan referensi. Dalam menyimpulkan diagnosis, terdapat tiga kemungkinan, yaitu PAK, penyakit diperberat oleh pekerjaan, dan bukan PAK. Dikatakan PAK apabila langkah 1—4 terpenuhi namun tidak ditemukan bukti pada langkah 5 dan 6. Apabila langkah 1—6 terpenuhi, diagnosisnya adalah penyakit diperberat oleh pekerjaan. Bukan PAK jika tidak ditemukan bukti pada langkah 3—4. Diagnosis okupasi memang terlihat mudah tetapi harus dilakukan secara tepat dan cermat. Dokter perlu teliti dalam menyelidiki apakah penyakit yang dialami oleh pasien benar-benar diakibatkan oleh pekerjaannya atau bukan. Dengan demikian, terapi dapat diberikan dengan tepat sasaran. safety
JASA PEMBUATAN BUKU Media Aesculapius menyediakan jasa penyusunan buku yang sangat fleksibel baik dalam hal desain cover dan isi, ukuran dan tebal buku, maupun gaya penulisan termasuk menyunting tulisan anda. Tak terbatas hingga penyusunan saja, kami siap melayani distribusi buku anda. Adapun buku yang pernah kami buat: buku biografi tokoh, buku pemeriksaan fisik berbagai departemen, buku jurnal, dan Kapita Selekta Kedokteran.
Hubungi Hotline MA: 0896-70-2255-62 (SMS/WhatsApp)
4
SEPTEMBER - OKTOBER 2019
KLINIK
MEDIA
AESCULAPIUS
MA INFO
Hadapi Dermatitis Atopik, Atasi Gatal pada Anak Gatal teratasi, anak ceria kembali
D
ermatitis atopik, atau disebut juga eksim atopik, merupakan penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronik dan gatal. Penyakit ini biasanya terjadi pada anak-anak, tetapi juga dapat ditemukan pada orang dewasa. Dermatitis atopik mengikuti pola relaps dan sering dikaitkan dengan meningkatnya kadar IgE serum, riwayat alergi tipe I, rhinitis alergi, dan asma. Dermatitis atopik biasanya dimulai sejak usia 3-6 bulan. Walau sebagian besar individu mencapai resolusi ketika dewasa, 10-30% tidak mengalami hal tersebut. Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia (KSDAI) menyatakan prevalensi dermatitis atopik sebesar 23,67% dan menduduki 10 besar penyakit kulit anak di Indonesia. Manifestasi klinis dermatitis atopik meliputi kemerahan, edema, kulit kering, erosi, atau likenifikasi. Manifestasi klinis ini bergantung pada usia pasien dan berapa lama lesi tersebut ada. Tanda yang pasti muncul pada dermatitis atopik adalah gatal. Pada anak-anak dan balita, dermatitis muncul berpola pada wajah dan leher. Diagnosis dapat dilakukan dengan memeriksa tanda klinis yang muncul. Informasi lain seperti usia dini, onset, riwayat atopi, dan reaktivitas IgE dapat menunjang diagnosis. Pada beberapa kondisi, biopsi kulit dan tes lain (seperti serum IgE, tes genetik, dan tes patch) dapat membantu menyingkirkan dugaan
kelainan kulit lain. Menurut Guidelines of Care for the Management of Atopic Dermatitis yang dikeluarkan American Academy of Dermatology pada tahun 2014, tata laksana dermatitis atopik biasa dilakukan menggunakan agen topikal. Pelembab topikal digunakan untuk melawan kulit kering dan mengurangi kehilangan air transepidermis. Penggunaan pelembab meningkatkan hidrasi kulit dan memperkecil gejala serta tanda aure lia/M A penyakit, seperti gatal, eritema, fisura, dan likenifikasi. Pengobatan ini tersedia dalam bentuk krim, salep, minyak, gel, dan lotion. Selain itu, mandi dapat membantu menghidrasi kulit dan menyingkirkan kulit bersisik, zat iritan, dan alergen. Penggunaan pelembab setelah mandi disarankan untuk
menjaga status hidrasi kulit. Jika terdapat kulit dengan tingkat inflamasi yang cukup parah, perawatan dapat diberikan dengan merendamnya selama 20 menit dalam air dan diikuti pemakaian kortikosteroid topikal. Wet-wrap therapy (WWT) adalah salah satu cara untuk menurunkan gejala dermatitis atopik dengan cepat. Metode ini biasanya digunakan pada lesi signifikan dan dilakukan dengan agen topikal yang ditutup dengan lapisan perban basah, dan ditutup lagi dengan lapisan kering. WWT membantu meningkatkan penetrasi agen topikal, menurunkan hilangnya air, dan mencegah penggarukan. Kortikosteroid topikal (TCS) merupakan terapi antiinflamasi utama yang diberikan pada anakanak dan orang dewasa yang gagal merespon terapi dengan menjaga kelembaban kulit. Obat ini dianjurkan diberikan dua hari sekali, walaupun terdapat bukti yang menyatakan bahwa pemberian sehari sekali sudah cukup.
Penggunaan TCS biasanya sebanyak ujung jari dewasa (sekitar 0,5 gram) dan dioleskan pada daerah seluas dua telapak tangan dewasa. Pencegahan relaps dapat dilakukan dengan pemakaian 1-2 kali per minggu pada daerah yang sering muncul lesi. Untuk mengurangi penggunaan kortikosteroid berlebih, dapat digunakan inhibitor kalsineurin topikal sebagai penggantinya. Obat golongan ini lebih efektif daripada steroid pada beberapa situasi, seperti daerah sensitif (anogenital, lipatan kulit), daerah dengan atrofi karena steroid, dan penggunaan steroid topikal jangka panjang. Namun, terapi dengan obat ini dapat menyebabkan kebakaran kulit dan gatal, terutama pada inflamasi akut. Obat ini juga dapat mencegah munculnya lesi dengan penggunaan 2-3 kali per minggu. Selain penggunaan obat, kekambuhan penyakit dapat dicegah dengan modifikasi lingkungan. Hal ini dilakukan dengan menghindari iritan mekanik dan kimia, seperti wol, asam, pemutih, dan pelarut, atau alergen yang spesifik bereaksi pada penderita dermatitis atopik. Seprai khusus tungau debu rumah disarankan untuk mencegah memburuknya dermatitis atopik, rhinitis alergi, dan asma pada penderita. Memakai pakaian yang lembut dan menghindari kain yang mengiritasi juga dianjurkan untuk memperkecil iritasi kulit. catra
ASUHAN KESEHATAN
Intervensi Post-Stroke: Terapi Okupasi Bantu Rehabilitasi Rehabilitasi post-stroke dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien pasca pengobatan
R
isiko harga diri rendah situasional merupakan salah satu diagnosis keperawatan yang bisa muncul pada pasien post-stroke akibat hilangnya fungsi fisik tertentu yang mengganggu aktivitas. Stroke adalah gangguan peredaran darah pada otak yang tidak adekuat sehingga menimbulkan gangguan khusus seperti hemiparesis (kelemahan), hemiplegia (paralisis), afasia (bisu), disartria (pelo), disfagia (sulit menelan), apraksia (koordinasi otot menurun), agnosia (penurunan kemampuan indra), dan inkontinensia (tidak dapat menahan kandung kemih). Gangguan fungsi yang dialami akan menghalangi kemandirian pasien terhadap pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Sejak awal serangan stroke, intervensi yang dilakukan bertujuan untuk memperbaiki citra fisik dan kognitif. Salah satu usaha rehabilitasi yang dapat dilakukan dan diajarkan pada pasien serta keluarga adalah terapi okupasi Activity Daily Living (ADL). vina/MA Terapi okupasi ADL adalah usaha penyembuhan terhadap seseorang yang mengalami kelainan fisik atau mental dengan memberikan suatu keaktifan kerja yang dapat mengurangi keterbatasan yang dialami oleh penderita. Terapi
okupasional yang diberikan meliputi latihan aktivitas kehidupan sehari-hari, produktivitas, dan pemanfaatan waktu luang. Peran perawat dalam terapi ini adalah mengkaji kebutuhan terapi yang diperlukan oleh pasien. Tingkat keparahan stroke dan lama waktu pemulihan dari kejadian akut mempengaruhi tingkat terapi yang diperlukan. Hal selanjutnya adalah melakukan intervensi sesuai dengan perencanaan yang telah disusun. Terapi dilakukan dengan melatih otot-otot pasien yang melemah dengan kegiatan ringan seperti memegang sendok, mengancingkan baju, dan membersihkan mulut. Setelah mengalami kemajuan, kesulitan aktivitas dapat ditingkatkan menjadi makan minum mandiri dan merapikan tempat tidur sendiri. Semua kegiatan harus dibawah pengawasan perawat ataupun keluarga dan rutin dilakukan dengan jangka waktu tertentu serta tidak bersifat memaksa. Dengan latihan yang rutin ini, pasien secara perlahan akan kembali bisa melakukan aktivitas seharihari. Selain pada pasien, perawat juga harus melakukan intervensi keperawatan kepada keluarga berupa peningkatan pengetahuan
JASA TERJEMAHAN Kabar Gembira! Media Aesculapius menyediakan jasa terjemahan IndonesiaInggris dan Inggris-Indonesia dengan waktu pengerjaan singkat (3 x 24 jam) serta hasil terjamin. Tidak hanya jasa terjemahan, kami juga menyediakan jasa pembuatan slide presentasi dan poster ilmiah sesuai kebutuhan Anda.
Meirina Nur Asih Mahasiswi Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya dalam perawatan pasien post-stroke yang boleh dipulangkan. Pengetahuan yang diajarkan meliputi terapi okupasi sederhana yang bisa dilakukan keluarga serta menjaga diet pasien. Peran keluarga sangat penting bagi perkembangan pemulihan stroke. Oleh karena itu, sebisa mungkin keluarga dianjurkan agar bersikap sabar dalam merawat pasien dan diharapkan mampu memberikan dukungan moral kepada pasien dalam menjalani proses pemulihan. lidia
Hubungi Hotline MA: 0896-70-2255-62 (SMS/Whatsapp)
MEDIA
ILMIAH POPULER
AESCULAPIUS
SEPTEMBER - OKTOBER 2019
5
KESMAS
Stigma Negatif Gangguan Jiwa di Indonesia Epidemi stigma negatif masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa perlu diatasi
G
angguan Jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan besar di Indonesia. Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan terdapat 14 juta jiwa di Indonesia pengidap gangguan jiwa. Dari jumlah itu, sekitar 400 ribu orang mengidap penyakit gangguan jiwa berat seperti skizofrenia. Hal ini berarti sekitar 6% dari jumlah penduduk Indonesia memiliki gangguan jiwa. Meskipun prevalensi yang cukup tinggi, stigma negatif terhadap orang dengan gangguan jiwa di Indonesia masih ada. Mereka menganggap persoalan kesehatan jiwa kalah serius dibandingkan kesehatan fisik. Data menunjukkan sekitar 75% orang dengan gangguan jiwa melaporkan bahwa mereka mengalami dampak negatif dari stigma publik terhadap dirinya dan mendapat perlakuan diskriminatif. Dari survei menurut Journal of Health and Social Behaviour, 38% orang tidak ingin tinggal bersebelahan dengan orang sakit jiwa, 33% orang tidak ingin berteman dengan orang sakit jiwa, 58% tidak ingin bekerja sama dengan mereka, dan 68% orang tidak ingin penderita gangguan jiwa menikah dengan keluarga mereka. Stigmatisasi negatif pada orang dengan gangguan jiwa menyebabkan mereka diisolasi dari lingkungan sosialnya. Di Indonesia,
stigma negatif ini berupa anggapan bahwa orang dengan gangguan jiwa berbahaya karena dapat mencelakai orang lain. Keluarga sendiri juga merasa malu dan cenderung sering menyembunyikan anggota keluarganya yang memiliki penyakit kejiwaan. Tak hanya itu, orang dengan gangguan jiwa juga sengaja diisolasi dengan pemasungan. Status pendidikan dan ekonomi yang rendah memperkuat stigmatisasi ini. Hingga saat ini, upaya dalam menimimalkan stigmatisasi masih sangat kurang sehingga efek MA an/ ketakutan fi r a masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa semakin meluas. Efek penolakan masyarakat ini menyebabkan orang dengan gangguan jiwa sulit untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan
yang layak. Hal ini pun menyebabkan mereka sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan memiliki kualitas hidup yang rendah. Dampak dari banyaknya gangguan jiwa yang tidak diobati adalah menurunnya produktivitas kerja. Hal ini disebabkan gangguan jiwa biasanya menyerang usia produktif yaitu 20 hingga 30 tahun. Data dari Kemenkes menyebutkan bahwa estimasi dampak kumulatif global masalah kesehatan jiwa akan mencapai 16,3 triliun dollar antara tahun 2011 dan 2030. Selain itu, dampak dari gangguan jiwa sendiri juga dapat memengaruhi kesehatan fisik seseorang sehingga pengeluaran asuransi negara meningkat. Oleh karena itu, menanggulangi stigmatisasi negatif terhadap orang dengan gangguan jiwa menjadi sangat penting untuk dilakukan. Upaya dalam mengubah stigma publik sendiri tidaklah mudah
dengan adanya budaya dan kepercayaan yang kuat tiap kelompok. Penelitian oleh Dybvig, et al. (2004) pun menunjukkan terdapat tiga tindakan anti-stigma yaitu protes terhadap individu yang bersifat diskriminatif, pendidikan atau informasi yang cukup kepada masyarakat tentang gangguan jiwa, dan kontak sosial dengan penderita gangguan jiwa. Dalam menghadapi masalah ini, Kemenkes pun melakukan berbagai upaya untuk menambah edukasi masyarakat tentang gangguan jiwa. Upaya ini membutuhkan pelibatan dan tanggung jawab semua aktor pembangunan dan tidak hanya berbasis fasilitas kesehatan tetapi komunitas dalam satu wilayah. Pemeriksaan rutin psikologis pun sebaiknya dilakukan secara rutin seperti pemeriksaan psikis. Mengurangi stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa bisa dimulai dari diri kita sendiri. Masing-masing orang harus menyadari bahwa setiap orang memiliki kemungkinan untuk terkena gangguan jiwa. Cara sederhana dan mudah untuk mengurangi stigma negatif ini adalah dengan menambah dan memperdalam ilmu mengenai fakta kesehatan mental. Kita juga sebaiknya tidak melabeli atau menghakimi orang dengan gangguan jiwa. mariska
INFO OBAT
Kontroversi Penarikan Antihipertensi ARB Beberapa jenis dari obat antihipertensi golongan ARB ditarik dari pasaran, mengapa?
H
obat antihipertensi golongan ARB ditarik dari peredaran karena ditemukan pengotor N-Nitrosodiethylamine (NDEA) pada bahan baku Irbesartan dari Zhejiang Huahai Pharmaceuticals, Linhai, China. Zat pengotor lain yang diduga terkandung dalam ARB adalah N-Nitrosodimethylamine (NDMA). Zat pengotor tersebut berada pada level melebihi batas yang dapat diterima. Batas kandungan NDEA dalam ARB menurut FDA Amerika Serikat adalah sebanyak 26,5 ng/hari untuk Irbesartan. Hal ini mengejutkan karena zat pengotor dalam jumlah tinggi mengarah pada kemungkinan karsinogenik. Data terbaru menunjukkan bahwa hal ini terkait dengan terjadinya kanker kulit termasuk melanoma. Obat ini dikatakan dapat merangsang adhesi dan invasi sel melanoma manusia. Menurut US Department of Health and Human Services, paparan A NDMA dosis tinggi juga dapat menyebabkan gita/M kerusakan hati. Hal ini didukung dengan penelitian pada hewan yang menunjukkan bahwa NDMA menyebabkan tumor hati, ginjal, dan saluran pernapasan.
ipertensi merupakan salah satu kondisi klinis yang paling banyak diderita oleh masyarakat Indonesia dan dunia. Sekitar satu dari tiga orang di dunia mengalami hipertensi. Oleh karena itu, tak heran lagi jika banyak jenis obat hipertensi yang beredar. Mulai dari diuretik, Calcium Channel Blocker (CCB), ACE inhibitor, Angiotensin Receptor Blocker (ARB), dll. Obat-obat tersebut memiliki indikasi dan mekanisme kerja yang berbeda-beda. Namun disayangkan, dari semua obat tersebut, pada awal tahun 2019, obat Irbesartan dari jenis ARB ditarik oleh BPOM (Badan Pengurus Obat dan Makanan) RI dari peredarannya di Indonesia. Menurut BPOM RI, Irbesartan merupakan obat keras yang dikonsumsi berdasarkan resep dokter untuk menangani hipertensi. Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat menyatakan bahwa
Penarikan ini didasarkan oleh hasil pengujian ARB yang berfokus pada analisis Active Pharmaceutical Ingeredient (API). Sebenarnya, penelitian tentang zat pengotor ini masih terus dikembangkan. Zat pengotor ini diduga dihasilkan oleh reaksi kimia dalam pembuatan obat atau penggunaan kembali bahan seperti pelarut. Sampai saat ini, FDA telah mempublikasikan metode pengujian untuk ARB yang mengandung zat pengotor. Metode tersebut di antaranya metode headspace, headspace gabungan, dan kombinasi injeksi langsung. Metode ini digunakan untuk mengevaluasi API dan produk obat jadi. Irbesartan seperti yang telah disebut di atas merupakan antagonis angiotensin II sehingga memiliki aktivitas antihipertensi. Irbesartan secara selektif dan kompetitif memblok pengikatan angiotensin II pada reseptor angiotensin I. Angiotensin II dapat merangsang sintesis dan sekresi aldosteron yang dapat meningkatkan retensi natrium dan meningkatkan ekskresi kalium, sehingga meningkatkan volume plasma darah. Selain itu, angiotensin II juga berperan sebagai vasokonstriktor pada otot polos pembuluh darah. Keduanya tentu memicu peningkatan tekanan darah atau hipertensi. Jika angiotensin II ini dihambat, hipertensi diharapkan dapat dicegah. Irbesartan dijadikan pilihan obat hipertensi apabila penggunaan ACE inhibitor tidak adekuat. Indikasi lain pemberian obat golongan ARB adalah gagal jantung kongestif, penyakit ginjal kronik, dan neuropati diabetikum.
Golongan obat ini memiliki efek samping batuk dan angiodema yang lebih jarang daripada obat golongan ACE inhibitor. ARB dapat meningkatkan risiko terjadinya hiperkalemia bahkan hipotensi. Irbesartan biasa dikonsumsi per oral dalam bentuk tablet. Di Indonesia, golongan ARB termasuk dalam kategori D, yaitu ada bukti positif mengenai risiko terhadap janin. Untuk itu, konsumsi oleh ibu hamil dan menyusui memerlukan konsultasi dokter. Setelah beredar lama di Indonesia, beberapa obat golongan ARB ini sudah tidak diperbolehkan diproduksi. Selain Irbesartan, obat lain dalam golongan ini yang telah digunakan untuk antihipertensi adalah Losartan, Valsartan, dan Kandesartan. Namun, sejak akhir 2018 ternyata Losartan dan Valsartan juga ditarik dari pasaran dengan alasan yang sama. BPOM RI menjelaskan bahwa prinsip utama dalam pemberian obat adalah kehatihatian dan mengutamakan keselamatan pasien. Melaui laman internetnya, BPOM RI telah meminta perusahaan farmasi terkait untuk menghentikan produksi maupun distribusi obat yang megandung bahan baku terdampak tersebut. Untuk itu sekarang telah dihentikan produksi dan distribusi obat yang mengandung bahan baku terdampak pengotor NDEA maupun NDMA. BPOM RI menegaskan kepada pasien yang sudah mengonsumsi obat yang terdampak tersebut untuk segera berkonsultasi dengan dokter/apoteker di fasilitas pelayanan kesehatan. lila
6
ILMIAH POPULER
SEPTEMBER - OKTOBER 2019
MEDIA
AESCULAPIUS
ARTIKEL BEBAS
Kebaikan Itu Datang dalam Bentuk Rasa Asam Suplemen vitamin C dilansir dapat membantu meringankan kondisi sakit, terutama pilek. Namun, apakah hal tersebut benar?
P
ilek, atau common cold, merupakan penyakit yang lazim ditemui dan ditandai dengan adanya hidung meler, bersinbersin, dan perasaan tidak enak badan. Dahulu, diduga bahwa seseorang dapat menjangkit penyakit ini apabila terpapar dengan cuaca dingin seperti pada musim hujan ataupun musim dingin. Walaupun sekarang telah diketahui bahwa penyakit ini disebabkan oleh adanya infeksi virus pada hidung dan saluran pernapasan atas, ternyata kejadian pilek memang dikaitkan dengan udara dingin. Hal ini diduga berkaitan dengan siklus hidup virus penyebab pilek yang bersifat musiman, lebih sering menginfeksi pada cuaca yang dingin. Selain itu, keberadaan udara dingin juga dapat menurunkan temperatur saluran pernapasan sehingga mengganggu fungsi pernapasan normal dan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit. Ketika merasakan gejala-gejala pilek, seperti merasa tidak enak badan dan bersinbersin, masyarakat umumnya mengonsumsi suplemen vitamin C. Tersedia secara luas dalam bentuk tablet, minuman ringan, maupun permen kunyah, suplemen vitamin C dianggap mampu meningkatkan daya tahan tubuh seseorang dan mencegah seseorang dari mengidap berbagai penyakit ringan seperti pilek. Bahkan, terkadang suplementasi vitamin C dianggap sebagai “obat� bagi masyarakat awam ketika sedang merasa tidak enak badan. Namun, apakah klaim-klaim
tersebut benar? Apabila benar, berapakah dosis terapeutik yang tepat untuk dikonsumsi ketika sakit? Berkenalan dengan Vitamin C Vitamin C merupakan salah satu mikronutrien yang esensial bagi manusia dan berfungsi sebagai antioksidan yang poten, memiliki kemampuan untuk mendonasikan elektron sehingga dapat melindungi jaringan dari stres oksidatif. Walau demikian, tubuh kita secara alami tidak dapat membentuk vitamin ini karena adanya enzim yang kurang dalam jaras biosintesis, sehingga kita hanya mendapat asupan vitamin C melalui makanan yang kita makan sehari-hari. Dewasa ini, ditemukan bahwa kekurangan vitamin C dapat berakibat pada penurunan imunitas tubuh dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Ternyata, hal ini disebabkan karena vitamin C memiliki peran yang cukup penting pada sistem perlindungan tubuh dengan mendukung berjalannya fungsifungsi seluler dari sistem imun bawaan maupun adaptif. Setelah dikonsumsi, vitamin C akan terakumulasi di dalam sel fagositik seperti neutrofil dan dapat meningkatkan kemotaksis dan fagositosis, sehingga pada akhirnya akan membantu pembasmian mikroba. Tak hanya itu, studi menunjukkan bahwa vitamin C dapat meningkatkan diferensiasi dan proliferasi sel
limfosit B dan T serta berperan dalam proses apoptosis bakteri oleh sel makrofag. Akibat perannya yang penting bagi kekebalan tubuh, kekurangan vitamin C akan berakibat pada berkurangnya imunitas tubuh dan peningkatan hkerentanan tubuh hhterhadap infeksi, terutama infeksi pernapasan.
sakit pilek selama setengah hari, lama waktu seseorang menghabiskan waktu di tempat indoor akibat sakit selama 10 jam, dan meringankan gejala pilek seperti hidung berair dan nyeri otot. Walaupun memiliki efek yang baik secara umum, dosis vitamin C yang perlu dikonsumsi Kadar Vitamin C Tubuh Menurun berbeda-beda Ketika Pilek tergantung tujuan Studi telah menunjukkan bahwa konsumsinya. Dosis penurunan kadar vitamin C plasma harian yang kecil, yakni dijumpai pada sekitar 1.0g/hari, dapat pasien-pasien dikonsumsi apabila dengan hendak digunakan infeksi sebagai profilaksis pernapasan untuk mencegah akut seperti terjadinya infeksi. pneumonia Pada dosis tersebut, dan tuberkulosis. terdapat jumlah Peristiwa yang serupa juga vitamin C yang adekuat telah diamati pada kondisi untuk dapat bersirkulasi pilek, di mana pada kondisi ini di dalam plasma darah dan terdapat penurunan kadar vitamin C meningkatkan imunitas intraleukosit dan ekskresi vitamin C dalam tubuh. Dosis yang lebih hannah/MA urin. Hal ini menunjukkan bahwa vitamin besar, sekitar 3.0—4.0g/ C dipergunakan oleh tubuh kita ketika terjadi hari, dapat digunakan pada keadaan sakit infeksi virus pilek. Sebuah meta analisis telah pilek untuk mengkompensasi penurunan vitamin menunjukkan bahwa suplementasi vitamin C C tubuh akibat adanya respons inflamasi dan pada pasien pilek dapat menurunkan lama waktu tuntutan metabolik. jonathan
SEGAR
Teka Teki Silang: Ayo Asah Ingatanmu! Mendatar 2. Gangguan peredaran darah pada otak yang tidak adekuat sehingga menimbulkan gangguan khusus. 4. Penyakit akibat kerja. 6. Barotrauma pada gigi. 8. Mikronutrien esensial bagi manusia, berfungsi sebagai antioksidan yang poten. 9. Otot pada jantung 12. Metode atau alat pencegah kehamilan 13. Saluran yang cenderung masih menutup pada anak sehingga anak lebih beresiko mengalami barotrauma. Menurun 1. Salah satu gangguan jiwa berat 3. Efek yang dapat dianalogikan sebagai kondisi tubuh saat relaksasi. 5. Magnetic Resonance Imaging 6. Dermatitis ... adalah penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronik dan pruritus. 7. Orang dengan gangguan jiwa 10. Teknik yang secara umum berusaha untuk menyatukan aspek pernafasan, postur tubuh, dan meditasi. 11. Wet-wrap therapy
safety/MA
MEDIA
ILMIAH POPULER
AESCULAPIUS
IPTEK
Yoga pada Pasien Gagal Jantung: Apakah Bermanfaat?
Yoga dikenal sebagai akitvitas untuk meningkatkan kebugaran tubuh. Lantas, bagaimana jika konsep yoga diaplikasikan sebagai terapi untuk pasien gagal jantung?
Y
oga kian lama kian dikenal masyarakat. Teknik yoga secara umum berusaha menyatukan aspek pernafasan, postur tubuh, dan meditasi. Yoga mengajarkan seseorang untuk mampu mengontrol pikiran, laju pernafasan, dan meningkatkan fleksibilitas tubuh melalui gerak yang lembut dan ritmis. Tujuan dari yoga adalah menyelaraskan dan menenangkan jiwa, raga, dan pikiran seseorang. Perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran mulai mempertimbangkan yoga sebagai pilihan terapi alternatif. Yoga pada dasarnya tidak berusaha menggeser peranan terapi medis, melainkan berperan sebagai terapi komplemen terhadap terapi medis yang telah ada. Terapi yoga juga dapat bersifat sebagai profilaksis, dalam konteks mencegah munculnya pikiran-pikiran yang tidak sehat, seperti rasa cemas dan depresi. Yoga juga terbukti mampu mengurangi derajat gejala penyakit yang dirasakan pasien. Salah satu manfaat konkret dari yoga adalah meningkatkan kesehatan jantung dan pembuluh darah. Pada tahun 2017, penelitian meta-analisis oleh Seffens P, Thompson WR dan Seffens W, yang dipulikasikan dalam International Journal of Yoga berhasil mengevaluasi manfaat yoga terhadap kesehatan jantung pasien dengan gagal jantung kronik. Hasilnya, pasien yang mengikuti kombinasi terapi medis serta yoga menunjukkan prognosis yang lebih baik. Hal ini dapat dijelaskan melalui beberapa mekanisme. Aktivitas yoga memliki efek terhadap sistem saraf otonom, yaitu dengan mengaktivasi sistem saraf parasimpatis. Efek parasimpatis
dapat dianalogikan sebagai kondisi tubuh saat relaksasi. Aktivasi saraf parasimpatis membuat aliran darah menuju organ tubuh menjadi lebih lancar, sehingga kerja jantung menjadi lebih ringan dan tekanan sistolik pembuluh darah menurun. Selain itu, yoga juga mampu membuat laju pernafasan menjadi lebih teratur, meningkatkan fraksi ejeksi dan mengurangi keluhan yang dirasakan pasien. Di tahun yang sama, Comes-Neto, Rodrigues-Jr, Silva-Jr, et al. berusaha menilai
marthin/MA
manfaat yoga dari sudut pandang lain. Hasil penelitian mereka yang dipublikasikan melalui jurnal Arq Bras Cardiol menunjukkan bahwa yoga memiliki pengaruh baik terhadap volume oksigen yang dikonsumsi pasien serta kualitas hidup pasien secara keseluruhan. Pada penelitian tersebut, pasien yang menjalani terapi yoga menunjukkan peningkatan konsumsi oksigen
hingga mencapai volume rata-rata 19,05 mL/ kg/menit. Sesuai teori, konsumsi oksigen yang dibutuhkan untuk menunjang aktivitas secara adekuat harus berada dalam rentang 15-18 mL/ kg/menit. Yoga juga mampu memberi manfaat pada sisi kejiwaan pasien. Menurut data, 1 dari 5 pasien gagal jantung mengalami depresi saat menjalani perawatan. Kondisi depresi ini bila dibiarkan dapat menyebabkan meningkatkan risiko timbulnya kelainan kardiovaskular, yang berujung pada kematian. Oleh sebab itu, pasien dapat melakukan yoga sebagai upaya dalam mengontrol emosinya, sehingga mencegah timbulnya depresi dan, secara tidak langsung, meningkatkan performa klinis pasien. Secara formal, yoga belum dianggap sebagai terapi utama bagi pasien gagal jantung. Berdasarkan guideline resmi dari American College of Cardiology, beberapa tatalaksana yang dianjurkan meliputi pemberian agen farmakologi (isosorbid dinitrat bentuk hidral nitrat) serta terapi resinkronisasi jantung. Akan tetapi, kelak yoga dapat menjadi pilihan terapi yang menjanjikan. Hal ini mengingat gerakan dan postur yoga mampu disesuaikan dengan kondisi pasien, sehingga bisa dilakukan oleh pasien gagal jantung sekalipun. Yoga memang menjanjikan sebagai terapi komplemen yang efektif dan praktis untuk pasien gagal jantung. Studi yang ada saat ini pun menunjukkan respons pascaterapi yang terbilang baik, sehingga peran terapi ini sebaiknya mulai dilirik oleh praktisi klinis. leonaldo
ADVERTORIAL
NeuroArm, Tangan Ajaib untuk Pembedahan Saraf yang Efisien
Pernahkah terpikir untuk menjalankan MRI sembari melakukan operasi pada pasien? Ternyata hal itu sudah tidak mustahil.
P
embedahan saraf pusat, terutama pada area otak bukanlah hal mudah untuk dikerjakan. Struktur saraf otak yang kompleks seringkali mempersulit proses pembedahan. Oleh sebab itu, sebagian besar pembedahan akhirnya tidak dapat dilakukan secara total. Peneliti pun mulai mencari langkah efektif dalam melakukan pembedahan untuk kasus kelainan saraf pusat. Berdasarkan masalah diatas, terciptalah suatu alat yang bernama NeuroArm. Alat ini dikembangkan pertama kali di University of Calgary, Kanada pada tahun 2001, dengan mengaplikasikan konsep robotik dalam pembedahan saraf. Secara umum, NeuroArm tersusun atas dua tangan yang dilengkapi dengan alat-alat bedah mikro dan mampu menampilkan visualisasi Magnetic Resonance Imaging (MRI) melalui layar gambar tiga dimensi (3D). Berkat penemuan alat ini, ahli bedah kini mampu melakukan pembedahan sembari pasien menjalani prosedur MRI. NeuroArm menggunakan sistem haptik, suatu sistem yang mensimulasikan sensasi sentuhan pada pengguna alat. Tangan ahli bedah akan dipasangi alat sensor yang tersambung dengan tangan robotik NeuroArm. Dengan demikian, tangan robotik akan mengikuti gerakan operator, yang seolah-olah sedang mengoperasi langsung pasien. Selama operasi, dokter ahli bedah akan memakai kacamata khusus agar membiasakan matanya untuk
melihat gambar 3D dalam waktu lama. Fitur yang tidak kalah penting adalah motion scalling. Fitur ini aktif ketika operator melakukan gerakan besar ataupun menyesuaikan gerak dengan ukuran target. Sang ahli bedah dapat memodifikasi kecepatan serta intensitas gerak alat sesuai kebutuhan. Alat ini juga dilengkapi dengan z-lock, fitur yang mengarahkan alat agar tetap lurus menuju target tanpa terlalu terpengaruh orientasi tangan dari operator. 2 Saat ini, laporan penggunaan NeuroArm dalam dunia klinik masih terbatas. Alat ini dilaporkan pengunaannya oleh Maddahi, Zareinia, Gan, et al. dalam jurnal Biomed Research International tahun 2016. Dalam kasus tersebut, NeuroArm digunakan untuk menangani pasien tumor glioma otak. Alat ini juga berpotensi digunakan pada kasus lain seperti meningioma. Keunggulan utama dari alat ini adalah operasi dapat dilakukan sejalan dengan pencitraan MRI. Sebelum adanya alat ini, operasi harus dihentikan dahulu ketika akan mengambil pencitraan saraf pasien di MRI. Penemuan NeuroArm akhirnya berhasil menutupi kekurangan tersebut. Alat ini bahkan memungkinkan ahli bedah untuk melakukan evaluasi di tengah-tengah operasi berdasarkan hasil temuan MRI. NeuroArm juga mampu menampilkan data operasi dalam bentuk digital. Data ini akan
diamati oleh operator di ruangan lain. Data ini dapat disimpan sebagai rekaman operasi ataupun dianalisis untuk mengurangi potensi kesalahan operasi kelak. Data-data operasi bahkan bisa di transfer secara digital ke pihak lain sesuai kehendak operator. Sayangnya, alat ini masih memiliki keterbatasan. Klinisi yang akan mengadopsi NeuroArm diharapkan mengikuti latihan khusus terlebih dahulu, mengingat teknologi ini cukup rumit. Dengan sesi latihan simulasi, klinisi diharapkan semakin terbiasa menggunakan NeuroArm, sebelum benar-benar digunakan pada pasien nyata. Di tahun 2013, penerapan NeuroArm di Kanada dilaporkan sudah mencapai fase pengujian klinis. Berdasarkan laporan, NeuroArm sudah digunakan terhadap 35 kasus nyata. Setiap pasien akan diberikan lembar informed consent sebelum menjalani prosedur dengan alat tersebut. Hingga saat ini, belum ditemukan adanya laporan penggunaan NeuroArm oleh klinisi Indonesia. Akan tetapi, NeuroArm memang menunjukkan kondisi klinis pascapembedahan yang membaik dibanding metode bedah konvensional. Oleh sebab itu, alat ini baiknya juga diterapkan di Indonesia, dengan melakukan beberapa penyesuaian sesuai kebutuhan. leonaldo
SEPTEMBER - OKTOBER 2019
7
JOURNAL READING
Sel Punca Embrio Manusia: Solusi Regenerasi Jantung
T
ata laksana gangguan sistolik sudah maju pesat terutama untuk meringankan gejala dan memperlambat progresi penyakit. Cedera jantung menyebabkan kehilangan jaringan kontraktil miokard secara ireversibel, dan belum ada tata laksana dengan pendekatan mengembalikan jaringan yang hilang. Gagal jantung terjadi sebanyak 23 juta kasus di dunia dan setengahnya meninggal dalam 5 tahun setelah diagnosis. Dengan kedokteran regeneratif, digunakan human embryonic stem cell (hESC) yang berpotensi membentuk jaringan baru yang tersusun atas kardiomiosit, endotel, dan otot polos. Namun, terdapat beberapa kendala yang muncul, seperti sel tidak matur, retensi cangkok tidak optimal, proliferasi sel tidak baik, dan ukuran cangkok yang kecil. Sampai saat ini, tidak banyak penelitian yang membahas sel penyokong yang mendukung maturasi kardimiosit turunan hESC dan meningkatkan ukuran cangkok. Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo. hESC dikembangkan menjadi sel epikardium dan diinjeksikan pada embrio ayam yang diinkubasi. Uji pada tikus dilakukan dengan mensimulasikan infark miokard, yaitu dengan torakotomi dan ligasi arteri koronaria anterior descendens sinistra selama satu jam. Empat hari setelahnya, transplantasi sel intramiokard dilakukan dengan torakotomi kedua. Dilakukan uji dengan ekokardiografi untuk memeriksa fungsi jantung dan pengurutan RNA untuk memeriksa molekul ekstraseluler. Pemeriksaan histologi juga dilakukan untuk mengukur ukuran infark dengan pewarnaan picrosirius red/fast-green dan ukuran cangkok dengan antibodi mitokondria manusia dan ι-aktinin. Epikardium memiliki peran trofik pada masa perkembangan yang mencetuskan hipotesis epikardium turunan hESC (hESC-EPI) akan mendukung proliferasi dan pematangan kardiomiosit. Hasil penelitian menunjukkan epikardium turunan hESC mengalami transisi epitel menjadi mesenkim dan berubah menjadi sel mirip fibroblas. Pada jaringan jantung yang direkayasa tiga dimensi (3D-EHT), sel turunan epikardium (EPDC) memperbaiki struktur dan fungsi jaringan. Kultur kardiomiosit bersama epikardium menghasilkan pemadatan dan pematangan fungsi serta struktur 3D-EHT. Ukuran kardiomiosit, panjang sarkomer, penghasilan gaya, dan penanganan kalsium meningkat. Ketika diberikan pada infark miokard bersama dengan kardiomiosit turunan hESC (hESC-CM), EPDC menstimulasi proliferasi hESC-CM hingga 2,6 kali lipat, meningkatkan vaskularisasi di daerah batas infark, deposisi fibronektin, dan fungsi ventrikel pascainfark. Studi ini menyimpulkan bahwa hESC-EPI merupakan alat yang menjanjikan untuk kedokteran regeneratif. Diperlukan studi lain yang menjelaskan mekanisme sel epikardium memberikan keuntungan yang dipaparkan. catra Referensi: Bargehr J, Ong LP, Colzani M, Davaapil H, Hofsteen P, Bhandari S, et al. Epicardial cells derived from human embryonic stem cells augment cardiomyocyte-driven heart regeneration. Nat Biotechnol [Internet]. 2019;37(8):895–906. Available from: http:// dx.doi.org/10.1038/s41587-019-0197-9
8
OPINI & HUMANIORA
SEPTEMBER - OKTOBER 2019
MEDIA
AESCULAPIUS
SUARA MAHASISWA
Membangun Peradaban dengan Merangkul Perbedaan Menolak paham LGBT tidak harus mendiskriminasi pelakunya.
S
etiap aksi menimbulkan reaksi. Demikian juga ekskalasi gerakan lesbian, gay, bisexual, transgender (LGBT) di penjuru dunia menimbulkan reaksi: tentangan. Hak asasi manusia (HAM) selalu beradu dengan dengan nilai-nilai “wajar” masyarakat yang menganggap LGBT sebagai sebuah aib peradaban. Kita bisa saja terus berdebat tentang legalisasi pernikahan dan status gender LGBT tetapi diskriminasi terhadap kaum LGBT apakah perlu terus dipersoalkan? Apa pun bentuknya dan siapa pun subjeknya, diskriminasi tidak dapat dibenarkan. Permasalahannya, sejauh mana batas-batas diskriminasi? Menengok KBBI, diskriminasi merupakan pembedaan perlakuan terhadap warga negara berdasarkan apa pun. KBBI bahkan secara tidak langsung menjadikan diskriminasi sebagai subjek hukum karena berhubungan dengan status warga negara. Hal ini sejalan dengan konstitusi dalam pasal 27-34 dan pasal 28A-J UUD NRI 1945. Sangat jelas bahwa diskriminasi melanggar hukum dan HAM. Negara sudah sepatutnya mencegah diskriminasi dan menjamin hak-hak masyarakat, termasuk kaum LGBT. Bicara soal hak, kaum LGBT seharusnya memiliki hak yang sama. Kita merasa bahwa kita dapat sepakat untuk hak-hak dasar, seperti hak hidup, memiliki kepercayaan, bekerja, mengenyam pendidikan, dan melanjutkan keturunan. Namun, hal itu hanya bualan belaka. Faktanya, sebanyak 70 negara menetapkan hukuman mati bagi pelaku seks sesama jenis. Sementara itu, hanya 28 negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Kekerasan terhadap kaum LGBT yang marak adalah realitas tak
terelakkan. Apakah ini adalah pelanggaran masif terhadap HAM? Untuk menjawabnya, kita akan terjerumus dalam perdebatan sifat HAM yang universal. Pergeseran nilai membawa kita pada kenyataan bahwa tidak seluruhnya nilai bersifat universal. Salah satu contoh pergeseran nilai yang terjadi adalah nilai agama yang seharusnya bersifat universal (setidaknya untuk penganutnya). Mayoritas negara yang melegalisasi pernikahan sesama jenis adalah negara dengan
anthon
/MA
mayoritas penganut Katolik Roma seperti Argentina yang menempati posisi pertama yaitu sebesar 92% penduduk. Menarik, mengingat posisi Gereja Katolik akan selalu sama, yakni pernikahan yang sah hanya dapat dilakukan dalam bingkai sakramen pernikahan antara laki-laki dan perempuan. Di sisi lain, kebanyakan negara yang memberlakukan hukuman mati bagi LGBT adalah negara mayoritas muslim.
Namun, tidak semua negara mayoritas muslim melakukannya, termasuk Indonesia dengan penduduk muslim terbanyak. Semua hal ini menunjukkan bahwa nilai yang kita anut akan mengalami pembentukan ulang oleh tempat kita tinggal. Akhirnya, tidak ada nilai yang benar-benar universal. Saat ini, penyesuaian nilai-nilai HAM tampaknya lebih relevan sehingga dapat sesuai dengan hajat hidup orang banyak di ruang yang terbatas, dalam hal ini negara. Ada ungkapan bahwa hukum akan selalu tertinggal dari kenyataan. Demikian juga Indonesia, kita tertinggal dalam menyikapi LGBT. Lalu, bagaimana caranya kita memulai? Landasan hukum perlu diperjelas dengan menurunkan undangundang antidiskriminasi, seperti yang telah dilakukan Filipina dan Thailand. Perlu dipahami bahwa HAM yang terdapat di dalam UUD NKRI 1945 tidak absolut. ni adalah dasar Mahkamah Konstitusi tetap melegalkan hukuman mati. Selain kesetaraan hak LGBT, kita juga perlu sepakat bahwa paham LGBT adalah sebuah penyimpangan. Merujuk International Statistical Classification of Disease and Related Health Problems 10 (ICD-10) dari WHO dan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III), kaum LGBT dinyatakan sebagai orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) – bukan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Artinya, LGBT hanya memiliki risiko mengalami gangguan jiwa saja tetapi tidak tergolong gangguan jiwa. Meskipun panduan kesehatan mental milik Amerika Serikat
Kevin Tjoa Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tingkat III tidak lagi mengelompokkan LGBT menjadi masalah kejiwaan, tampaknya panduan lokal dan internasional lebih relevan dibandingkan panduan milik negara adidaya. Indonesia adalah negara hukum. Semuanya membutuhkan landasan hukum. Batas-batas diskriminasi kaum LGBT harus dapat dispesifikasi melalui undang-undang. Demikian juga dengan paham LGBT, restriksi penyebarannya memerlukan landasan hukum. Pertarungan semacam ini jauh lebih elegan dibandingkan persekusi. Sebab, apa bedanya kita dengan binatang jika tidak memiliki peraturan? wira
KO L U M
Ujian Hidup Datang Tanpa Permisi, Mari Hadapi!
M
“Ujian sekolah bisa dipersiapkan; belajar untuk ujian. Ujian hidup tidak bisa; ujian untuk belajar.”
ungkin ungkapan di atas sudah sering kali Anda dengar terutama ketika seseorang mencoba mendeskripsikan ujian hidup yang kerap datang tiba-tiba tanpa peringatan terlebih dahulu. Kita seakan-akan tidak diberi kesempatan oleh dunia untuk mempersiapkan diri. Namun, tak jarang kita mendapati diri sedang membayangkan segala skenario terburuk yang mungkin terjadi. Kita berupaya mempersiapkan hati jika suatu saat dihadapkan dengan situasi sulit. Namun siapa yang bisa menjamin bahwa kita benar-benar siap? Ujian hidup yang tidak terduga ini sering kali datang saat kita sedang berada di puncak. Hal ini memperberat segalanya karena kita sedang dipenuhi beribu harapan bahwa masa-masa bahagia ini akan berlangsung selamanya. Kita lupa bahwa waktu bukan urusan kita. Semua mungkin saja berakhir dalam sekejap. Namun, pertanyaan yang lebih sulit adalah bagaimana kita memberikan respons terhadap ujian tersebut. Tidak hanya masalah waktu, ujian juga dapat datang dalam berbagai bentuk. Mungkin kita akan mendapatkan sesuatu yang tidak kita inginkan atau kita tidak akan mendapatkan sesuatu yang kita inginkan. Ironi sekali, bukan? Terkadang kita diuji dengan kekurangan; bagaimana kita menghadapi ujian ketika kita harus kehilangan sesuatu? Di lain waktu
kita diuji dengan kelebihan; kala meraih keberhasilan, akankah kita lupa pada mereka yang pernah membantu? Jangan sampai tertipu. Ujian bukanlah ujian jika tidak sulit. Ujian seakan-akan didesain khusus sesuai kelemahan hati masing-masing vina/MA orang. Melihat bahwa kelemahan setiap orang berbedabeda, maka ujian yang datang pun berbeda-beda. Mungkin bagi seseorang yang kerja keras membanting tulang setiap hari sejak bertahun-tahun lalu, jabatan dan kekayaan adalah harta karun. Suatu saat, ia hancur karena dipecat. Seakan-akan belum cukup, saat pulang dengan memikul
beban yang berat, ia mendapati rumahnya habis terbakar akibat ledakan gas. Semua jerih payahnya selama puluhan tahun hilang begitu saja dalam satu hari. Di lain tempat, seorang ibu hanya tinggal berdua dengan anak semata wayangnya. Suatu saat, kecelakaan merenggut nyawa anaknya. Harta karun terbesarnya harus terkubur di bawah nisan. Coba kenali apa kelemahan Anda dan bayangkan apabila ujian itu tiba-tiba datang. Memilukan, bukan? Namun, ketahuilah, Penyelenggara Ujian ini tahu kemampuan masing-masing orang. Ia tahu apa yang kita butuhkan. Tidak jarang pula, Ia memberi ujian guna menegur kita atas kesalahan yang kita lakukan agar kita bisa kembali ke jalan yang benar. Kita juga bisa mendapati diri kita semakin kuat untuk menghadapi ujian-ujian kedepan. Semua yang baik belum tentu baik, semua yang buruk belum tentu buruk. Ujian yang buruk bagi kita bisa saja memberi manfaat yang luar biasa baik. Anda harus bisa terus berjalan. Apabila jalan yang kita lalui seakan tanpa arah, kita hanya perlu percaya bahwa semua akan baik-baik saja. Boleh saja kita terjatuh dan tersesat. Lalu, seakan-akan tidak ada pilihan lain, kita akhirnya memilih untuk berhenti. Tidak pernah ada larangan untuk berhenti tetapi yang harus Anda ketahui berhentilah hanya sejenak. Ketika anda siap, berdiri dan hadapi perjalanan yang memang harus terus dilalui.
Prajnadiyan Catrawardhana Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tingkat III
Tidak ada pilihan menyerah bagi kita karena ujian ada untuk membuat kita berkembang. Pernahkah kalian menyelami kembali perkembangan kalian? Tanpa melihat orang lain, bandingkanlah diri Anda saat ini dengan diri Anda di masa lampau. Sudah sejauh mana Anda berevolusi sejak dulu? Adakah rasa bangga dan bahagia melihat betapa hebatnya Anda berhasil melewati berbagai ujian tersebut? Semoga dengan ini, kita dapat belajar berprasangka baik kepada ujian, pada dunia, dan pada diri kita sendiri. catra
MEDIA
OPINI & HUMANIORA
AESCULAPIUS
9
SEPTEMBER - OKTOBER 2019
SUKA DUKA
Prof. dr. Chaula Luthfia Sukasah, SpB, SpBP-RE(K): Menjadi Ibu, Istri, dan Dokter Bedah pada Saat Bersamaan
P
Memiliki profesi sebagai dokter dan keluarga yang sangat dikasihi: bagaimana menyeimbangkannya?
rof. dr. Chaula Luthfia Sukasah, SpB, SpBP-RE(K) adalah seorang dokter bedah plastik lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Terinspirasi dari orang tuanya yang berprofesi sebagai dokter, Chaula memantapkan diri untuk berkuliah kedokteran di FKUI hingga lulus pada tahun 1974. Setelah lulus dari FKUI, Chaula mengikuti program residensi di Departemen Ilmu Bedah FKUI dan mendalami ilmu bedah plastik setelahnya. Ia pun lulus dengan gelar Sp.B pada tahun 1981 dan Sp.BP-RE pada tahun 1983. Selanjutnya, Chaula sempat mengikuti pendidikan bedah plastik di Showa University hingga akhirnya dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Bedah Plastik FKUI pada tahun 2008. Awalnya Tak Mau Masuk Bedah Plastik Semenjak mengikuti stase bedah sebagai koas, Chaula jatuh hati dengan alur kerja ilmu bedah yang cepat dan praktikal. Lain hal dengan pilihannya untuk mendalami bedah plastik. “Tadinya saya gak tertarik karena menurut saya bedah plastik itu susah. Saya merasa bahwa saya gak punya bakat,” ungkapnya. Keberanian untuk mendaftar akhirnya datang setelah mendapat penyemangat dari guru-gurunya yang menyatakan bahwa bakat dapat dilatih dan semuanya akan bisa dilakukan apabila sudah terbiasa. Menurut Chaula, ilmu bedah plastik memang berbeda dari ilmu-ilmu bedah lainnya. Jika dibandingkan dengan bedah pada umumnya, bedah plastik memiliki tuntutan yang lebih banyak yaitu harus merapikan luka secara
komprehensif dari dalam hingga luar. Walau demikian, Chaula mengaku sangat menikmati pekerjaannya, terutama kegiatan operasi, meskipun kerap harus melakukannya selama berjam-jam. “Operasi itu saya paling suka karena kita kerja, otak kita jalan, jadi kita berpikir terus,” tuturnya. Menyeimbangkan Karier dan keluarga Pekerjaannya sebagai dokter bedah tidak pernah menghalangi Chaula untuk menunjukkan kasihnya pada keluarga. Menurutnya, efektivitas waktu yang baik memegang peranan kunci. Saat menjadi residen bedah, Chaula selalu menggunakan waktu setelah pulang kerja untuk bertemu dengan anaknya. Rasa lelahnya setelah bekerja seakan lenyap ketika mengurus anak. “Kalau ngeliat anak jadi gak capek, jadi sehat lagi,” tuturnya. Tidak hanya berhenti sampai situ saja, Chaula juga sempat menggunakan waktu malamnya untuk memasak lauk esok hari. Namun, ia kemudian mempekerjakan asisten rumah tangga sehingga jauh lebih terbantu. Usaha Chaula untuk menyeimbangkan karier sebagai dokter dan perannya sebagai ibu tidak terlepas dari dukungan suaminya. Chaula mengaku memiliki suami yang sangat pengertian. Ia pun menekankan pentingnya mencari pasangan yang mendukung karier kita sebagai seorang dokter. “Dukungan dari suami itu penting. Itu yang utama,” tegasnya. Di lain pihak, Chaula pun selalu berusaha meluangkan waktu bagi suaminya, salah satunya dengan membuatkan makanan yang disukai oleh suaminya ketika memiliki waktu luang.
Kebahagiaan yang Tidak Dapat Dibeli Kemampuan Chaula untuk terus menyeimbangkan profesi dan keluarga patut diacungi jempol. Keseimbangan tersebut dibuktikan dengan Chaula yang tetap berhasil menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Terdapat sebuah kisah yang sangat berkesan bagi Chaula selama menjadi dokter bedah plastik. Suatu ketika, ia pernah melihat seorang anak penjual koran dengan bibir sumbing ketika sedang berhenti di lampu merah. Ketika ditawarkan untuk operasi, anak tersebut menolak dengan alasan tidak punya uang. “Nggak, tidak usah bayar,” balasnya saat itu. Tak terasa, lampu lalu lintas sudah kembali hijau. Seraya diklakson oleh kendaraan di belakangnya, Chaula pun memberikan kartu namanya. “Kamu datang ke sini. Telepon saya. Ibu kamu suruh dateng,” dan ia pun melaju pergi. Akhirnya, anak tersebut datang dan dioperasi oleh Chaula. Usut punya usut, ternyata ia selama ini tidak bersekolah karena malu dihujat oleh temantemannya. Tertegun, Chaula pun menyemangati anak tersebut untuk kembali bersekolah, “Kamu gak boleh minder. Kamu belajar yang bener, kalahin mereka. Biar aja mereka ngata-ngatain, yang penting kamu jadi bintang kelas.” Beberapa
hannah/MA
tahun kemudian, anak tersebut datang kembali menemuinya dengan mengenakan seragam SMA. “Itu saya masih ingat sampai sekarang. Itu rasa bahagia yang nggak bisa dibeli,” kenang Chaula. jonathan
RESENSI
W
What the Health: Sebuah Ajakan untuk Menjadi Vegetarian?
hat the Health merupakan film dokumenter berasal dari Amerika Serikat yang dirilis pada tahun 2017. Film tersebut dibuat oleh Kip Andersen dan Keegan Kuhn. Film berdurasi 1 jam 37 menit ini berusaha mengungkap fakta dibalik meningkatnya kejadian penyakit-penyakit tidak menular serta mencari tahu mengapa organisasiorganisasi kesehatan nasional seakan-akan merahasiakan fakta tersebut. Film dibuka dengan cerita Kip yang sedang menjalani terapi akibat hipokondria yang dialaminya. Pasalnya, banyak keluarga Kip yang meninggal akibat penyakit tidak menular. Ayahnya menderita sakit jantung, kakeknya mengalami diabetes, serta kedua kakek dan neneknya menderita kanker. Kip cemas akan mengalami hal yang sama dengan keluarganya. Sejak muda, Kip selalu berusaha untuk menerapkan pola hidup sehat. Dia meminum banyak vitamin dan suplemen. Kip juga banyak membaca buku terkait self-diagnosis dan mengikuti semua rekomendasi yang diberikan oleh organisasi-organisasi kesehatan yang ada di Amerika Serikat. Suatu hari WHO mengumumkan bahwa daging merupakan karsinogenik. Kip memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut, terlebih lagi daging masuk ke dalam rekomendasi diet oleh organisasi kesehatan seperti organisasi kanker, diabetes, dan penyakit jantung. Kip memulai investigasi dengan membaca beberapa jurnal dan website. Setelah itu, ia menghubungi organisasi-organisasi
kesehatan untuk wawancara namun tidak ada satu pun yang bersedia. Selain daging, makanan hewani lain seperti telur, ikan, dan produk susu ditengarai menyebabkan penyakit tidak menular. Kip pun mewawancarai ahli pada bidang tersebut. Hasilnya, semua menegaskan bahwa sejatinya manusia tidak memerlukan makanan hewani. Manusiadapat cukup hidup hanya dengan mengonsumsi makanan nabati karena tanaman lah yang menghasilkan semua jenis protein. Kip yang penasaran akhirnya mencari tahu mengapa beberapa organisasi kesehatan tetap merekomendasikan makanan hewani. Kip menemukan fakta bahwa organisasi-organisasi tersebut didanai oleh perusahaan-perusahaan produsen makanan hewani. Tidak hanya itu saja, industri farmasi juga banyak menjadi sponsor untuk mereka. Film ini disajikan dengan investigasi dilakukan ke berbagai sektor seperti pemerintahan, klinisi, peternakan, perekonominan, hingga wawancara langsung dengan penderita. Secara keseluruhan, film ini mengajak penontonnya untuk menjadi seorang vegetarian. Pada akhir film disajikan testimoni atlet dan penderita penyakit kronis yang merasakan peningkatan kualitas hidup setelah menjadi vegetarian. Kekurangan film ini adalah argumen hanya berasal dari satu sudut pandang. Akan lebih baik jika argumen pro dan netral terhadap makanan hewani juga ditampilkan. Dengan demikian, film tidak terkesan berat sebelah dan penonton bisa
menentukan sendiri sebaiknya hal apa yang dilakukan agar tidak mengalami penyakit tidak menular. sef
JASA PEMBUATAN SYMPOSIUM HIGHLIGHT Media Aesculapius menyediakan jasa pembuatan Symposium Highlight. Symposium highlight adalah peliputan sebuah seminar atau simposium, yang kemudian hasilnya akan dicetak dalam sebuah buletin, untuk dibagikan pada peserta seminar. Simposium yang telah kami kerjakan antara lain PIT POGI 2010, ASMIHA 2011, ASMIHA 2016, ASMIHA 2017, JiFESS 2016, JiFESS 2017, dan lain-lain.
dokumen penerbit
Judul
: What the Health
Genre
: Dokumenter
Tahun rilis
: 2017
Durasi
: 1 jam 37 menit
Directors
: Kip Andersen, Keegan Kuhn
Produser
: Keegan Kuhn
Hubungi Hotline MA: 0896-70-2255-62 (SMS/Whatsapp)
10
SEPTEMBER - OKTOBER 2019
LIPUTAN
MEDIA
AESCULAPIUS
R UBRIK DAERAH
Menengok Pengalaman Internship di Ambon Melayani dengan tepat di tengah keterbatasan yang ada
adit/MA
S
etelah menjalani pendidikan dokter umum, kini saya mengikuti program internship sejak Februari 2019. Saat ini saya berpraktik di salah satu rumah sakit tingkat 2 dan juga puskesmas di Kota Ambon, Maluku. Selama beberapa bulan bertugas di sini, saya menemukan banyak perbedaan dalam layanan kesehatan yang ada di Ambon. Perbedaan dalam layanan kesehatan yang ada mencakup ketersediaan obat, ketersedian alat, dan kompetensi petugas. Beberapa obat standar yang seharusnya tersedia, seperti albendazol, DEC, dan atropine, masih sangat minim jumlahnya. Demikian juga ketersediaan alat, seperti alat radionuklir, alat pemeriksaan patologi anatomi, serta alat diagnostik terkalibrasi standar, juga masih sedikit jumlahnya. Kompetensi petugas
kesehatan pun belum merata. Pernah terjadi kesalahan penyebutan hasil laboratorium oleh petugas kesehatan pada kasus malaria vivax. Kesalahan tersebut baru diketahui setelah 3 hari pascapemeriksaan. Faktor utama timbulnya berbagai kekurangan tersebut adalah wilayah Ambon yang merupakan kepulauan. Wilayah kepulauan ini membatasi akses keluar masuk pulau Ambon. Rujukan ke luar pulau sangat sulit dilakukan karena mahalnya biaya transportasi bagi pasien. Selain itu, kondisi ombak laut yang tidak menentu dan sedikitnya jadwal perjalanan yang tersedia juga mempersulit proses rujukan. Di antara semua hal yang telah saya lalui di sini, terdapat pengalaman yang menurut saya unik. Suatu hari, saya pernah menangani seorang pasien dengan kaku di seluruh tubuh
setelah muntah berisi air dan makanan sekitar 10 kali dalam sehari. Saya memerlukan pemeriksaan penunjang berupa elektrolit. Akan tetapi, pemeriksaan tersebut tidak tersedia di rumah sakit tempat saya bekerja. Jika ingin memaksakan untuk memeriksa di tempat lain, dibutuhkan biaya sekitar Rp600.000,00-Rp800.000,00 serta harus menunggu 1 hari. Karena tidak memungkinkan, akhirnya saya mencari cara lain. Saya pun menggunakan pendekatan klinis dan melakukan diagnosis banding penyakit lain. Saya memutuskan untuk melakukan pemeriksaan jantung menggunakan EKG. Diagnosis yang ditegakkan adalah hipokalemia meskipun hasil EKG kurang spesifik. Dalam kasus tersebut, tata laksana yang saya berikan cukup unik. Injeksi kalium intravena saat itu tidak memungkinkan karena adanya aritmia ventrikel yang dapat menyebabkan kematian. Saya memutuskan untuk memberikan infus ringer laktat cepat dalam 30 menit. Lalu saya meminta keluarga pasien untuk membawa pisang dan menyuruh pasien untuk memakannya sebanyak tiga sampai lima buah. Setelah satu jam, terjadi perbaikan dan pasien diizinkan pulang. Berpraktik di tempat yang memiliki banyak keterbatasan memberikan kesan tersendiri. Berbagai kasus yang ditemukan sangat menarik untuk dieksplorasi. Dalam situasi yang sulit seperti yang saya ceritakan, menurut saya dokter perlu mempertajam anamnesis dan pemeriksaan fisik. Ketajaman klinis seharusnya cukup untuk memikirkan beberapa diagnosis banding. Intinya, apa pun kesulitan yang dihadapi, jangan takut
Brian Santoso Dokter Internship Kontak : line @brianvermes E-mail : brian_santoso@yahoo.com Alamat : RS JA Latumeten Tingkat 2 Ambon dan Puskesmas Ch. M. Tiahahu untuk bertindak jika telah memiliki dasar yang kuat. Jangan lupa untuk tetap belajar rendah hati. Semoga pengalaman yang dibagikan ini bermanfaat.
SEPUTAR KITA
JACOST: Mengenal Lebih Jauh Fraktur Tulang Panjang Fraktur tungkai tidak dapat disamakan dengan fraktur lengan
T
ungkai memiliki fungsi untuk menyokong tubuh, sedangkan lengan untuk membantu aktivitas. Perbedaan fungsi ini mempengaruhi penanganan awal hingga evaluasi penyembuhan tulang yang patah. Namun, hal ini kurang dipahami sehingga banyak dokter yang masih terjebak dalam konsep bahwa kedua ekstremitas manusia sama-sama tersusun atas tulang panjang. Untuk itu, Jakarta Course in Orthopaedic and Seminar in Trauma Management (JACOST) 2019 mengangkat tema mengenai fraktur femoral dan tibial, yang diadakan di Gedung IMERI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 3
gita/MA
Agustus 2019. JACOST 2019 diselenggarakan oleh PABOI DKI Jaya dan Departemen Orthopaedi & Traumatologi FKUI/RSCM. Simposium ini terdiri atas empat sesi utama: Penilaian Awal Fraktur Femoral (dr. Bambang Gunawan, SpOT(K) ); Tujuan Tatalaksana dan Masalah Fraktur Femoral (dr. Yogi Prabowo, SpOT(K) ); Jenis Fraktur Kruris dan Open Fracture TibiaFibula (Prof. Dr. Dr. Ismail Hadisoebroto Dilogo, SpOT(K) ) dan Sindrom Kompartemen serta Rehabilitasi Fraktur Kruris (dr. Ihsan Oesman, SpOT(K) ).
Fraktur Femoral Pada dasarnya, fraktur bukan hanya tentang bagian tubuh yang patah, melainkan menilai cedera lain yang ada. “Pastikan tidak ada lifethreatening condition, dan selalu pikirkan ada cedera lain”. Seringkali, dokter jaga hanya berfokus pada bagian tulang yang patah dan lupa memastikan adanya ancaman nyawa. Evaluasi yang diperlukan adalah manajemen Airway, Breathing, Circulation (ABC) lalu menilai adanya cedera lain (politrauma) dan pemeriksaan sistematis. Terjadinya cedera yang termasuk highimpact trauma seperti jatuh dari ketinggian 6 meter, tabrakan dengan kecepatan 40 km/jam atau pejalan kaki/pengendara yang terlempar dari tempat asal berpotensi menyebabkan politrauma. Hal penting yang juga perlu dinilai dari kondisi awal trauma adalah syok hipovolemik. Tidak jarang syok hipovolemik luput dari pemeriksaan karena tidak ditemukan perdarahan, seperti perdarahan thorax, abdomen, fraktur pelvis bilateral, dan femur. “Femur termasuk tulang yang keras, jika terjadi fraktur pada femur kemungkinan disebabkan high-impact trauma, sehingga ada fraktur di tempat lain. Jika ditemukan Lavallee Lesion, artinya ada gesekan antara kulit dengan jaringan otot yang menyebabkan hematoma.” Femur memiliki fungsi untuk menahan
beban dan mobilisasi sehingga kunci dari keberhasilan penanganan frakturnya adalah mobilisasi pada kondisi yang tepat. Penyembuhan fraktur dapat dilakukan dengan manajemen nonoperatif (traksi, imobilisasi, reduksi tertutup, hingga reduksi terbuka – ORIF atau bahkan eksisi fragmen). Fraktur Tibia Fraktur tibia merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi pada pengendara motor. “Karena letaknya yang dekat dengan kulit, fraktur tibia juga disebut sebagai cedera jaringan lunak yang menyebabkan fraktur. Apabila mekanisme cederanya melibatkan lutut, dapat terjadi fraktur tibia proksimal dengan fraktur tibia distal yang menyebabkan floating-knee.” Berkaitan dengan kruris yang memiliki tulang tibia dan fibula, sindrom kompartemen akut dapat muncul dengan cepat. Apabila tidak dikenali segera, sindrom kompartemen dapat berlanjut hingga terjadi kontraktur iskemik, miolisis, amputasi akibat ascending necrotizing infection, hingga kematian akibat sepsis. Keterlambatan penanganan sindrom kompartemen sering terjadi akibat konsep yang salah mengenai sindrom kompartemen menyebabkan iskemia. Tanda awal yang justru perlu ditemukan segera adalah passive stretch pain, diikuti paraesthesia. lila
MEDIA
LIPUTAN
AESCULAPIUS
SEPTEMBER - OKTOBER 2019
11
SEPUTAR KITA
DEVICE 2019 : Dermatovenerology in Everyday Clinical Practice Sebuah persembahan tahunan terhadap disiplin ilmu kedokteran kulit dan kelamin
P
enyakit kulit dan kelamin masih menjadi kasus yang sangat umum dan banyak dijumpai oleh tenaga kesehatan dalam kondisi klinis sehari-hari. Kulit kita merupakan organ tubuh dengan luas permukaan yang paling besar dan terpajan secara langsung dengan dunia luar. Oleh karena itu, tidak heran apabila penyakit kulit dan kelamin memiliki spektrum yang cukup luas, mulai dari kasus “biasa” seperti cacar air dan jerawat, hingga kasus kegawatdaruratan seperti sindrom Steven Johnson. Tak jarang, beberapa penyakit kulit yang hanya terjadi di daerah endemik, layaknya penyakit kusta, dianggap “terlupakan”. “Negara kita, Indonesia, masih menjadi negara dengan insidensi penyakit lepra terbanyak ketiga di dunia. Dari sepuluh tahun lalu tetap di peringkat tiga, ini sedih sih,” tutur dr. Melani Marissa, Sp.KK, dalam presentasinya yang berjudul “Neglected Tropical Diseases: Updates on Mycobacterial Skin Infections”. Presentasi tersebut merupakan salah satu topik dari acara DEVICE 2019: Dermatovenerology in Everyday Clinical Practice yang diadakan oleh Pelantikan Lulusan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (PLD FKUI) 2020/2021. Acara yang jatuh pada tanggal 31 Agustus 2019 ini bertempat di Auditorium IMERI FKUI Salemba dan dibagi-bagi menjadi empat sesi seminar dan dua workshop. Dimulai dari jam delapan pagi, acara ini dibuka dengan seminar-seminar
yang dibedakan berdasarkan topik, di antaranya terdapat sesi infeksi, alergi dan imunologi, kegawatdaruratan, serta dermatologi kosmetik. Usai berlangsungnya sesi seminar, acara pun dilanjutkan dengan sesi workshop mengenai penentuan diagnosis dan tata laksana pada kasus dermatologis serta update terbaru mengenai penggunaan balutan luka, baik pada luka infeksi maupun non infeksi. Presentasi yang diberikan oleh Melani termasuk ke dalam sesi seminar infeksi. Pada awal presentasi, dijelaskan bahwa kasus-kasus penyakit kulit yang terlupakan (neglected) sebenarnya jarang ditemukan sehari-hari dan lebih sering terjadi di daerah endemis dibandingkan daerah perkotaan. Walau demikian, hal tersebut tidak menutup kemungkinan bagi kita sebagai tenaga kesehatan untuk menemukan pasien dengan kasus-kasus tersebut. Penyakit kulit yang tergolong neglected adalah infeksi Mycobacterium pada kulit dan morbus hansen ( juga dikenal sebagai kusta/ lepra). Dalam SKDI, infeksi Mycobacterium tuberculosis dengan tipe skrofuloderma dan kusta ini termasuk kompetensi 4A, sehingga harus dapat ditangani hingga tuntas oleh dokter umum. Tuberkulosis kutis didefinisikan sebagai infeksi pada kulit oleh kuman Mycobacterium. “Utamanya akibat mycobacterium tuberculosis, bisa juga akibat mycobacterium bovis tapi jarang,” ujar Melani. Tuberkulosis kutis
Adit/MA
memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi, dipengaruhi oleh jalur masuknya dan respons imun dari host. Berdasarkan gambaran klinisnya, tuberkulosis kutis dibagi menjadi skrofuloderma, lupus vulgaris, tuberkulosis kutis verukosa, tuberkulosis chancre, tuberkulosis kutis miliaris, dan tuberkulosis kutis gumosa. Ada pun lepra merupakan penyakit infeksi akibat kuman
Mycobacterium leprae yang menyerang kulit dan sistem saraf perifer. Diagnosis penyakit ini ditegakkan dengan melihat adanya satu dari tiga tanda kardinal kusta dengan bantuan pemeriksaan bakteriologis dengan pewarnaan basil tahan asam Ziehl-Neelsen. jonathan
R UBRIK DAERAH
Sebuah Kisah Internship yang Berarti Pengalaman adalah guru yang paling berharga. Dari pengalaman mengabdi di Lamongan, saya belajar banyak hal
S
dr. Gadisa Aulia Pratami gadisa.aulia@yahoo.co.id RSUD dr. R. Soedjono, Selong Lombok Timur
ikap empati merupakan sikap yang harus dimiliki sebagai seorang dokter. Pentingnya empati dalam menghadapi pasien sangat dirasakan oleh dr. Gadisa Aulia Pratami saat menjalani internship. Gadisa merupakan dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 2011 yang telah menjalani program internship di RSUD Kabupaten Lombok Utara. Ia memilih untuk kembali mengabdi ke daerah tempatnya dilahirkan dan dibesarkan agar dapat kembali dekat dengan orang tuanya setelah beberapa tahun ia habiskan di perantauan untuk mengenyam pendidikan. Saat ini, Gadisa tengah bertugas sebagai dokter umum di IGD RSUD Dr. R. Soedjono, Selong.
Akses menuju lokasi internship –dengan waktu tempuh 3 jam dari rumah Gadisa– bisa dibilang sulit dijangkau. Akan tetapi, jalur pantai dan jalur perbukitan dengan medan yang rawan longsor serta pohon tumbang tidak menyurutkan semangat Gadisa untuk tetap mengabdi. Peralatan dan obat-obatan di RSUD Kabupaten Lombok Utara ini juga terbatas. Tidak hanya itu, bahkan terdapat juga keterbatasan dalam sumber daya manusia di bidang kesehatan, terutama untuk dokter spesialis. Segala keterbatasan ini menjadi tantangan bagi Gadisa dan melatih kesabarannya dalam mengatasi berbagai keadaan. Dari berbagai peristiwa yang telah dilalui selama menjadi dokter internship, terdapat pengalaman yang akan selalu berkesan bagi Gadisa. Pada suatu malam pukul 12, Gadisa mendapat pasien perempuan berusia lebih dari 40 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri dada. Dari keluhan tersebut, salah satu diagnosis yang terpikirkan oleh Gadisa adalah Acute Coronary Syndrome (ACS). Oleh sebab itu, ia telah bersiap untuk melakukan pemeriksaan EKG. Namun, setelah ia lakukan anamnesis lebih lanjut, pasien tersebut menyatakan bahwa ia merasakan nyeri dada dikarenakan khawatir dan merasa terdapat benjolan di payudara ketika dalam posisi tidur. Kemudian, Gadisa melakukan pemeriksaan fisik dan ia tidak menemukan ada tanda-tanda benjolan seperti yang dikatakan pasien tadi. Pada awalnya, Gadisa merasa kedatangan pasien ini di tengah malam terkesan ‘berlebihan’. Namun, seketika Gadisa pun sadar dan berusaha menempatkan dirinya sebagai pasien tersebut, yang notabene Gadisa juga merupakan seorang perempuan.
Apalagi pasien tersebut tidak memiliki latar belakang pendidikan yang mengerti mengenai kesehatan, hal ini pasti sangat membuat pasien cemas akan kondisinya. Selanjutnya, Gadisa pun mengedukasi pasien tersebut mengenai cara SADARI (Periksa Payudara Sendiri) dan menganjurkan untuk check up rutin. Setelah kejadian tersebut, Gadisa merasa bahwa empati sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Empati yang merupakan kemampuan dalam menempatkan diri di posisi orang lain bukanlah hal yang mudah pada realitanya. Menumbuhkan sikap empati yang benar-benar
membutuhkan banyak latihan dan pengalaman. Sebab itu, sejak pendidikan preklinik, empati sangat ditekankan untuk kemudian terus diasah dan diterapkan. Hal ini akan sangat berguna ketika dihadapkan di dunia kerja dimana sebagai seorang dokter setiap hari akan berhadapan dengan pasien, yang merupakan sebuah kewajiban untuk melayani dengan empati. Pasien pun akan merasa lebih nyaman dan tenang apabila dokter mengaplikasikan sikap empatinya saat menghadapi dan berkomunikasi dengan pasien.
Polusi Udara... sambungan dari halaman 1 fungsinya untuk melakukan pembersihan jalur napas akan terganggu. Sel-sel mukosa yang terpajan akan menghasilkan sekret yang lebih banyak sebagai bentuk kompensasi. Akibatnya, lendir yang menumpuk tersebut akan menghalangi liang keluar masuknya udara. Lendir juga menjadi sarang bagi mikroorganisme sehingga menyebabkan saluran napas menjadi rentan terhadap infeksi berulang. Ketiga, dampak yang juga ditakutkan adalah masuknya partikelpartikel yang karsinogenik. Faktor genetik mungkin berperan besar dalam memengaruhi timbulnya kanker pada seorang individu, tetapi tentu ada peran pemicu dari luar yang turut berkontribusi seperti halnya zat karsinogenik dari polusi ini. Orang dengan penyakit kronik, menurut
Menaldi, merupakan kelompok yang terutama paling rentan terhadap dampak polusi, misalnya orang dengan gangguan ginjal kronik, penyakit hati kronik, dan sebagainya. Selain itu, kelompok usia anak-anak dan lanjut usia juga memiliki imunitas tubuh yang lebih rendah terhadap polusi, sehingga lebih rentan terkena dampaknya. “Jadi, artinya kita merusak dua kelompok besar loh sebenarnya,” tegas Menaldi, merujuk pada kedua kelompok usia tersebut. jessica,billy,elvan
12
SEPTEMBER - OKTOBER 2019
LIPUTAN
MEDIA
AESCULAPIUS
SEREMONIA
Melayani Masyarakat dengan Sirkumsisi Massal
dokumen penyelenggara
M
inggu, 1 September 2019, dilaksanakan sirkumsisi massal bagi anak-anak di Madrasah AlKhoeriyyah, Kabupaten Bogor. Kegiatan ini diadakan oleh Departemen Pengabdian Masyarakat Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Departemen Bedah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menjadi supervisor kegiatan ini. Selain sirkumsisi massal, dilakukan pula edukasi kesehatan bagi peserta. Acara ditutup dengan dengan pemberian buah tangan. wira
#ReFest: Festival Pencegahan Bunuh Diri
dokumen penyelenggara
M
inggu, 15 September 2019, diadakan lokakarya #ReJuvenate: “Mindful Living in A Fast-Changing World�. Acara ini merupakan bagian dari #ReFest, festival yang diadakan oleh komunitas Into The Light Indonesia. Acara ini diselenggarakan untuk memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri
Indonesia. Festival ini terdiri dari serangkaian acara berupa seminar, lokakarya, kelas dengan materi khusus, board games, kegiatan amal, dan penggalangan dana. Acara berlangsung dari bulan September hingga November 2019. mariska
SENGGANG
Memaksimalkan Potensi Diri dengan Tari Selain untuk melepas penat, menari menjadi sarana untuk melestarikan budaya bangsa
K
eseimbangan otak kanan dan otak kiri merupakan hal yang penting. Dr. Dr.med. Bulantrisna Djelantik, dr SpTHT-KL (K) merupakan salah seorang yang memaksimalkan keduanya. Beliau memaksimalkan otak kanan dengan bidang keilmuannya sebagai dokter dan otak kiri dengan hobinya sebagai penari. Bukan sekadar hobi, menari membawa Bulan menorehkan banyak prestasi pun melestarikan budaya bangsa sampai tingkat dunia. Tumbuh besar di Bali membuat Bulan terbiasa menari di upacara dan berbagai kegiatan adat. Sejak kecil, Bulan bahkan sudah terlibat dalam berbagai misi kesenian mewakili Indonesia di luar negeri. Bagi beliau menari adalah hobi, bukan pekerjaan. Beliau pun akhirnya mengambil jurusan kedokteran di Universitas Padjajaran Bandung agar dapat menjadi seorang dokter. Keputusan ini diperkuat dengan ketertarikan beliau ketika melihat ayahnya yang juga seorang dokter.Di sela-sela jadwal kuliah, menari tetap menjadi salah satu prioritas Bulan. Tak jarang, beliau harus meninggalkan jadwal kuliah untuk menerima undangan dari pemerintah dalam misi kesenian di luar negeri. Namun, hobi ini sama sekali tidak mengganggu akademisnya. Tak jarang pula ketika menjalani misi kesenian, beliau membawa serta buku pelajaran kedokteran untuk dipelajari. Beliau tetap menyempatkan belajar di sela-sela latihan dan penampilan. Kedua kesibukan ini membuatnya terampil dalam mengatur waktu. Siapa sangka, menari membuatnya lebih mudah
Nama Lengkap Dr. dr. Ayu Bulantrisna Djelantik, MD, Sp. THT Jabatan Pengajar di Akademi Audiologi Indonesia Alamat Email btrisna@gmail.com
dokumen pribadi
untuk menerima pelajaran di perkuliahan. Setelah lulus menjadi dokter, beliau melanjutkan studi hingga mendapat gelar spesialis Telinga, Hidung, Tenggorokan (THT) di Universitas Padjajaran. Beliau juga sempat mengambil S2 di Jerman dan melanjutkan S3 di Belgia. Pengalamannya di bidang THT terutama bidang pendengaran membawa beliau bergabung di WHO (World Health Organization)-SEA menjadi konsultan pendengaran. Lagi-lagi di tengah kesibukan yang ada, beliau tetap menyempatkan diri untuk menonton beberapa
pementasan tari. Bulan telah membentuk komunitas tari bernama Bengkel Tari Ayubulan. Terbentuk sejak tahun 1994, bengkel tari ini telah menggubah banyak tari antara lain Drama Tari Legong Asmarandana, Legong Witaraga, Topeng Sitarasmi, Legong mintaraga, dll. Hal ini mengantarkan Bulan mendapat penghargaan MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai pelatih dan penari aktif selama 55 tahun lebih untuk tarian Legong dan Goak Legong. Menyeimbangkan antara menari dan
belajar ilmu kedokteran tentu tidak mudah. Bulan harus memanfaatkan waktu luang sebaik mungkin untuk belajar. Lingkungan bukan menjadi hambatan beliau untuk tetap menari. Tari dan ilmu kedokteran merupakan dua hal yang cukup berbeda. Meskipun demikian, kedua hal yang membuat Bulan bahagia itu mampu berjalan maksimal secara bersamaan.Saat ini Bulan telah pensiun sebagai dokter. Kini, waktu dan tenaganya dicurahkan untuk melatih tari. Bulan juga mengajak teman-temannya untuk ikut melatih tari di daerah tempat tinggalnya masing-masing. Sudah ada banyak cabang pelatihan tari Bulan yang tersebar di Jakarta dan Bandung. Baginya, menari bukan hanya bergerak untuk menghibur. Melalui tari, beliau membuka kesadaran banyak orang akan baik dan buruk serta menyampaikan pesan moral dari ceritacerita bangsa ini. Menari membawa kesenangan pribadi bagi dirinya. Dengan menari, beliau merasa tidak memikirkan diri sendiri. Beliau mengatakan “Jika bukan kita, siapa yang akan melestarikan budaya bangsa ini?� lila