34
Esai
Masyarakat Konsumerisme “…Para konsumer kini mencari sesuatu yang personal dan menyenangkan pada objek-objek yang mereka beli. Akibatnya, objek harus bisa dimuati kualitas sensual; selain dapat dimengerti ia juga harus dapat ‘dirasakan’.” (Francois Burkhardt).
H
ari ini, ungkapan itu sepertinya pantas disematkan dalam diri manusia generasi abad 21. Sebuah dentum diskursus sedang didedahkan. Ada gempita, sepertinya, yang menyongsong nalar diskursus tersebut. Postmodernisme; sebuah risalah filosofis yang tak terpisahkan dalam tatanan sosiologis, melahirkan masyarakat konsumtif. Namun, pemaknaan masyarakat konsumtif bukan lagi dipahami sebagai kehidupan yang mengakumulasi benda atau barang material melainkan, halusinasi tentang citra diri dan makna simbolik yang, menyelinap di balik benda-benda konsumsi tersebut. Film bollywod berjudul Confessions of a Shopaholic, telah menggambarkan bagaimana budaya konsumerisme memorakporandakan manusia. Tokoh Rebecca Bloomwood menjadi bukti dari emanasi gaya hidup konsumerisme masyarakat kita yang, kemudian dijuluki sebagai manusia Shopaholic; suka berbelanja. Pada dasarnya, potret konsumerisme telah lahir sejak awal peradaban manusia seperti masa-masa kerajaan Mesir kuno, Babylonia kuno, dan zaman Romawi kuno. Yang masih menjadi pertanyaan, mayoritas manusia postmodern tidak menyadari tanda yang telah nampak dalam budaya konsumerisme. Manusia postmodern adalah masyarakat konsumtif. Masyarakat yang terus menerus berkonsumsi. Namun, konsumsi yang dilakukan bukan lagi dimaknai sebagai kegiatan yang berasal dari produksi. Konsumsi tidak lagi sekadar kegiatan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar dan fungsional manusia. Lebih dari itu, budaya konsumerisme perlahan beranak pinak dalam saban generasi. Konsumerisme, dalam Alquran dikatakan sebagai bagian dari sikap israaf (QS. al-A‘raf: 31)
dan tabziir (QS. al-Isra’: 26-27). Israaf oleh Alquran digunakan untuk menunjukkan pengonsumsian sesuatu yang pada dasarnya halal, namun terlarang karena kadarnya yang berlebihan. Sedangkan tabziir diartikan sebagai sikap konsumtif yang melampaui batas secara mutlak terhadap segala sesuatu. Islam juga menggugat tradisi konsumerisme karena darinya, karakteristik masyarakat yang hedonis itu bermula. Terlepas dari pemaknaan akan sikap israaf dan tabziir, ingin penulis katakan bahwa konsumerisme itu tak ubahnya seperti ajang sayembara, yang di dalamnya terdapat manusia dengan hasrat tinggi;berlomba-lomba untuk memiliki sesuatu. Masih segar dalam ingatan penulis, bagaimana kemudian Jean Baudrillard menelanjangi konsumerisme dengan karya besar tentang masyarakat konsumsi. Lalu, Yasraf Amir Piliang mencoba untuk meretas konsumerisme lewat bukunya Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Semua itu adalah upaya mengonstruksi dan meleburkan nilainilai untuk menumbuhkan kesadaran bahwa, konsumerisme siap menerkam kita kapan saja dan di mana saja. Agaknya, budaya konsumerisme yang telah mengakar rumput ini, perlu untuk dijadikan perhatian. Akankah kita sebagai masyarakat postmodern mampu terhindar dari realitas semu konsumerisme atau, malah terjebak dalam infinitive tsukoyomi — kenyataan palsu — seperti yang dirancang oleh Uchiha Madara pada Perang Dunia Shinobi ke-4 dalam anime Naruto?
Edisi 23 |Februari 2020
Faiq Yamamah