Cerita Pendek "Cara Bermain dengan Ilusi"

Page 1

Cara Bermain Dengan Ilusi

Tentang cara manusia dan permasalahannya hidup. Bagaimana bisa jika manusia hidup tanpa masalah? Dan bagaimana bisa masalah hidup tanpa solusi?

AntalogiCerpen inisayapersembahkanguna melengkapi nilaitugasakhir MataKuliahPenulisan Kreatifdansebagaibentuk curahanhatidalam menyajikankeresahankarena ilusidariratapandan kenikmatansebuahkehidupan.

Penulis:

Zulfa KhoirunNisa -13010119140118

Desain Sampul dan Tata Letak: Zulfa KhoirunNisa 13010119140118

Daftar Isi

Ilusi 1

Sampai Jumpa Lagi di Persimpangan 3

Ilusi 2

Kata Bagas: Ia Takut 12

Ilusi 3

Hidup Berulang Kali Tanpa Harus Mati 23

Ilusi 4

Validasi adalah Teman Manusia 33

Ilusi 5

Hazi 43

Ilusi 6

Tepuk Tangan Kepada Kesedihan 60

Ilusi 7

Batas Garis Kebebasan 71

Ilusi 8

Pisau Waktu 83

Ilusi 9

Gunung dan Tumbuhan. Manusia dan Kebohongan. 96

1

Ilusi 10

Tangan Untuk Meminta. Mulut Untuk Berdusta. 105

Ilusi 11

Lanyard Tanda Kelemahan 109

Ilusi 12

Lingkaran Sialan 119

Ilusi 13

Gelas Tua dan Kotorannya 129

Ilusi 14

Iring Iringan Derita 137

Ilusi 15

Keputusan dan Penyesalan 151

2

Sampai Jumpa Lagi di Persimpangan

Siapa sangka kegemaran dalam memotret akan menghasilkan warna lain dalam hidup. Suatu hari di taman kota, pagi hari yang penuh dengan orang dari berbagai kalangan berpindah tempat untuk melepaskan kepenatan selama enam hari. Kebahagian itu tentu harus diabadikan, dalam bentuk gambar salahsatu alternatifnya.

Di tengah keramaian itu, seseorang yang menenteng kamera analognya yang bisa dibilang harganya akan sangat membuat semua orang pusing mendengarnya. Laki - laki yang berjalan menawarkan jasanya untuk memotret kebahagiaan dalam bingkai frame foto selalu diberikan ruang olehorang orang sekitar.

"Wah ini gratis kan mas?" Selalu ucapan itu yang menjadi jawaban saat meminta izin untuk memotret seseorang. Anggukan manis itu selalu ia berikansebagaitandakenyamanan.

3

Langkah kaki yang mencari sebuah harta yang akan dijadikan objek berhenti seketika melihat wanita yang sepertinya sangat tentram memandang pepohonan yang dihinggapi oleh burung - burung cantik.

"Sepertinya udara saat ini membuat anda nyaman."

Lelaki yang sudah termakan oleh paras cantik wanitaakanselalu mencoba mendapatkannya.

"Bagaimana tidak nyaman, lihatlah kau bisa membayangkan diri kita ada disekitar kebahagiaan tanpa perlu membayar." Matanya yang tak terlihat sayu itu dengan berani menatap lelaki yang gagah. Bagaikan pangeran yang menemukan seorang pujaan hatinya, lelaki itu tampak sangat ingin berkenalan lebih dengan perempuan yang ia temukankaliini.

Pembahasan itu berlanjut di sebuah coffee shop dekat persimpangan arah rumah mereka. "Besok kalau senggang ajak aku kah potret kota ini." Kalimat perpisahan yang sangat menarik sebagai alasan untuk bertemu kembali. "Ya aku akan membuat warnabersamamu kaliini."

Bak orang yang sedang panas akan energi yang timbul, kedua orang itu menjadi sangat dekat kali ini. Sebuah tiket acara book talk yang tertulis judul yang sangat menarik, "Dari jauh, menjadi

4

dekat: Cara menarik lawan untuk tak menjadi musuh."

"Buku siapa ini?" Lelaki itu sepertinya tak mengenal soal perempuan yang ia ajak berbicara sekarang. Usia perkenalan yang sudah hampir tiga bulan ternyata tak bisa membuat mereka saling mengenal.

"Perempuandidepanmu."

"Kau seorang penulis?"

Tertawa mereka pecah saat privasi masing masing mereka mulai terbuka. Salah satunya pekerja bukan, yang benar itu hobi yang harus merekaceritakan.

"Kadang memang ada saatnya semua pintu akan terbuka." Sautan lelaki itu yang membuat perempuan itu berpikir.

"Bagaimana ya merancangnya."

"Kenapa harus merancang kalau langsung mengatakansajabisa?"

"Tidak, semua hal harus dipastikan sudah sesuaipada baut masing - masing."

"Harus, tapitak semua itu harus."

"Kau ini. Benar, akan ada waktu kau membuka kancing itu untuk memperlihatkan apa adatailalat dibalik baju itu."

5

Seperti sedang diraba, lelaki itu langsung memasang badan dengan tangan menyilang pada dadanya. Candaan mereka memang sangat menyatu, tak harus diberi garam dan gula ataupun lada untuk menciptakan rasa. Keterkaitan antara mereka sudah sangat cukup menjalin suasana bahagia. Tentu ini gratis, tak perlu bayar. Hanya bayar makanan atau minuman sebagai bentuk formalitas jamuanuntuk pertemuansingkat.

"Kamu kapan akan memamerkan hasil potret ini?"

"Tidak akan."

"Lalu tujuan kamu mengambil gambar semua iniuntuk apa?"

" hanya bersenang senang."

Memang semua omongan orang tidak harus dipercayai, saat ini perempuan itu berdiri dihadapan sebuah lukisan yang sangat cantik. Disampingnya ada sebuat potret foto kecil yang sepertinyasebagaiacuandalammenggambar.

"Kau, memang selalu berbohong…" "Jangan - jangan memang benar ada tai lalat dibalik bajumu?"

6

Perempuan itu giliran yang menghadiri acara pameran karya yang dihasilkan oleh lelaki yang ia temukan setahun lalu. "Simbol apa ini?" Jari lentiknya mencoba untuk memberikan arah maksud dariobjek yang ditunjukannya.

"Tak adaarti, hanyasebuah lingkaran." "Aku boleh memberiarti?" "Sudah sepantasnya kau penglihat yang membuat maknasesuaijalanotakmu yang liar itu."

Candaan yang selalu disajikan dalam percakapan membuat semakin nyaman hingga tak mengenal waktu, mereka akhirnya berpacaran. Menjalin kasih memang tidak seperti yang dibayangkan. Adanya keterikatan yang menyatu antar dua orang kadang membuat diri merasa tertekan.

"Kau ingin membuat buku dengan tokoh aku?"

Baru 3 bulan berjalan umur pacaran, mereka sudah saling beradu mulut dengan intonasi yang tinggi. Sang perempuan ingin mengabadikan lelakinya dalam sebuah buku, sama sepertinya lekaki yang ingin mengabadikan perempuannya dalam foto.

7

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Ketertutupan seseorang tak bisa langsung dikuliti secara langsung, menyakitkan. "Maaf…" Kata maaf dan mohon sekarang mengganti posisi candaan ringan yang selalu mereka sajikan saat sebelum berpacaran.

Tak ada kekerasan fisik dalam hubungan satu tahun pacaran mereka. Penggantinya adalah kelakuan toxic antar pasangan yang membuat gelas indah menjadi runtuh perlahan-lahan. "Aku akan selalu ada disini, jadi maafkan aku, aku tak akan mengulanginya lagi. Tolong maafkan."

Selalu ada kebutuhan seorang perempuan dalam dihidupnya untuk mengisi kekosongan. Memelas di depan kekasih sendiri bukan hal yang bagus untuk seorang perempuan. "Jangan pergi, tinggal disini lebih lama lagi ya. Aku akan berubah."

Berubah. Berubah. Dan berubah. Tak ada objek khusus dalam kata itu. Semua kata dan kelakuan sudah diberikan oleh perempuan. Kebosanan pasangan tak bisa diukur kapan akan datang. Bersujud untuk tak membuat dia pergi tindakan terbodoh yang pernah dilakukan sang perempuan.

Tahun keempat setelah putus.

8

Hari peluncuran buku keenam sang perempuan setelah hiatus selama dua tahun telah ditunggu parapenggemarnya.

Dalam sesi menjelaskan isi bukunya, tak tau kenapa sang perempuan seperti ingin menangis. "Kalian tau? Apa arti sebuah kesedihan? Dia tak datang saat kau ingin menangis saja. Ia juga akan datang saat kau sedang bahagia. Sama seperti hal bahagia, iaakanselalu datang dimanapunkalian."

Pernyataan yang disampaikan oleh sang perempuan merupakan refleksi diri dan penemuan makna dari objek lingkaran yang ia tanyakan kepada mantan kekasihnya dahulu. Sebuah lingkaran seperti kebahagiaan dan kesedihan. Berputar. Tak tau kapan berhenti dititik mana, karena hakikatnya lingkarantak pernahpunyatitik.

Kesedihan dan kebahagiaan akan selalu berdampingan. Sama halnya dengan menjalin hubungan. Kau akan selalu dihantui dengan sebuah akhir dari masa. Akan bahagia atau terluka? Dua hal itu menjadi pilihan kalian berakhir seperti apa dan bagaimana.

“Selamat. Bukan hanya aku yang kau jadikan tokoh. Kamu dan momen bersama kita dulu, kau

9

jadikan pilihan untuk mengakhiri perputaran masa hidup kita.”

“Kau sudah berani ya untuk mengoreksi aku….”

“Hahahaha… itu kebetulan mata sayu kau memperlihatkan ada ruang yang terbuka untuk kau renungkan.”

“Ya kau selalu memberi kalimat yang tak tau artinya apa.”

“Baru tau ya, warna dalam foto yang aku ambil saja sudah memberikan maksud siapa aku sebenarnya.”

Perpisahan yang mereka ambil adalah dengan berpura pura bahagia dan tetap berada pada pilihan untuk sama sama bersedih. Ya memang itu boleh, asal kuat saja. “Kadang sebuah foto atau lukisan memang harus hadir dalam hidup. Bukan untuk memberikan sebuah kesegaran saja. Tapi sebagairuang dalam merenungkan diri.”

“Ya benar. Kau bersedih pun akan ketahuan dalam sebuah foto atau lukisan yang kau buat.”

“Berarti kita payah dalam mengekspresikan maksud dong?”

10

Pria itu mengangguk dan berjalan untuk melambaikan salam perpisahan karena dia akan pergi untuk mencari warna baru lagi. Dan perempuan itu akan pergi juga untuk mencari mangsa yang akan dia jadikan sebagai tokoh dalam karyanya. Seperti judul book talk itu, “Dari jauh, menjadi dekat: Cara menarik lawan untuk tak menjadi musuh". Akan ada pilihan seseorang yang dekat untuk memilih menjauh, agar tak menjadikan lawansebagaimusuhdalam hidupnya.

TAMAT

11

Kata Bagas: Ia Takut

Gelas itu pecah bersamaan dengan suara guntur yang tak pernah mereda. Sejak kemarin, hujan menyelimuti kamar Nayla. Dingin dan lembab suasana kamar itu. Nayla perempuan yang tak pernah ingin bermalas-malasanselalu menyibukkan dirinya dikala guling, selimut, dan kasur mengajak untuk bermimpi indah. Keindahan yang tak pernah didapatkandirumahnya.

"Bagaimana ini, sudah jam 4 kenapa belum reda!" Hentak Nayla saat sedang bersiap-siap entah akankemanakakipenuhukirancantik itu berjalan.

'udahlah besok aja' suara yang tak tau datang darimana seperti ingin membuang Nayla ke genanganair diluar.

'bener nay, daripada lu kesana tapi ga ada orang'suara lain turut bergeming

"Sorry guys aku harus segera kumpulkan ini, nantikalianakan makanapa?"

12 Ilusi 2

Nayla langsung bergegas pergi tanpa menghiraukan suara suara kemalasan yang tak ingin beranjak darikasur itu.

Di sudut gerbong kereta Listrik, Nayla hanya menatap buku dengan seksama, ia masih tidak menghiraukan suara temannya yang mengajak ngobroltanpahenti.

Saat itu matanya hanya berjalan kanan-kiri menerjemahkan kata, kalimat yang membuat dua temannya muak. Hingga, salah satu temannya menyentil kepala Nayla sambil berkata, "Heh itu cowo ganteng amat nay, kataBima"

Setelah mendengar nama Bima, tanpa sadar Nayla langsung menengok arah jaritemannya. Tapi tak adasiapapun yang iacari. Bima.

Nayla dan Bima sudah 3 tahun tak pernah lagi menyapa semenjak kejadian itu menimpa. Beberapa menit nayla langsung menampar pipinya agar sadar, tanpa basa basi, Nayla langsung mengumpat pada teman temannya yang mencoba ejek dirinya yang sedang fokus.

Tak berapa lama, Nayla sampai di stasiun tujuan, matanya masih berpaku pada buku yang entah berisi apa. Ia hanya tersenyum dan bersuara

13

riang seakan ada keajaiban yang terjadi pada buku itu. Kedua temannya hanya mengangguk melihat tingkah temannya itu. Mereka berdua hanya fokus dengan percakapan yang dianggap Nayla tak berguna.

'Jahat banget asli lama lama Nayla nih' 'Udahlah emang dia lagi sok melupakan kita'

Dua kalimat itu membuat Nayla langsung menutup bukunya, ia memohon sangat keras kepada kedua temannya untuk memaafkan kelalaian dia. Tangannya gemetar hebat, ia menangis bersamaan dengan Guntur dan hujan Deras mulaiturunkembali.

Entah berapa pasang mata orang yang melihat Nayla menangis sambil memohon kepada seseorang, tapi tak ada seseorang di depan Nayla. Ia hanya berjongkok menghadap jalanan. Beberapa menit Nayla langsung berdiri, ia seperti tersadar bahwa iatelah melakukanhalgiladitempat umum. 'sudah aku bilang, jangan membuat masalah dengan kita'

Suara itu muncul lagi. Nayla hanya mengangguk dan berlari. Ia seperti meninggalkan seseorang, ia melambaitapientahkepadasiapa.

14

Ia sampai di coffee shop tempat tujuan yang membuat iatak bisa menikmatisoredengantenang. Sepasang matanya seperti mencari seseorang. Memandang satu persatu muka yang ia anggap orang -orang dengansegalakesalahannya.

Di tengah-tengah Nayla sedang memikirkan wajah seseorang, ada lambaian tangan dan panggilan lirih namanya. Ia tersenyum. Begitu pula dengan Nayla. Ia bergegas menemui seorang lakilakiitu.

“Gila ini yang namanya Nayla, Gas?” Suara perempuan cantik itu seperti menjadi pengantar kata kata yang tidak bisa dikatakan oleh Bagas. Ia terpaku melihat Nayla yang sepertinya tidak ada salah, baik pakaianatau riasan.

“Halo, Kak Nay, kenali aku tasha.” Perempuan itu mengulurkan tangannya kepada Naylasambil memamerkansenyumindahnya.

“Halo, Tas! Sudah lama nunggunya?” “Hahaha hampir seabad menunggu Kak Nay, sampai Bagas hampir ketiduran.” Celetuk Tasha yang membuat Bagaskembalisadar.

Tak lama, Bagas segera mengulurkan tangannya untuk menyapa perempuan yang ia puja akan karyanya. Nayla dan Bagas hampir tiga bulan

15

ini berbincang melalui sosial media tanpa pernah melakukan pertemuan langsung. Kesempatan bertemu ini lebih karena Nayla ingin bergabung dengan suatu project yang diadakan oleh Bagas. Mungkin jugabersamaTasha.

‘Nay ati ati lu, cowo itu sepertinya brengsek’ suara yang entah darimana membuyarkan kekaguman Nayla saat mendengarkansuaraBagas.

‘heh lu ga usah bikin malu Nayla’ suara lain muncul bersamaan dengan suara Bagas yang menatap anehNayla.

“Nay? Kamu baik - baik aja?” Lamunan Naylapecahsaat mendengar duasuaraitu.

“Ah, sorry tadi gue sempet mikir pintu udah dicabut belum.” Timpal Nayla dengan kebohongannya.

“Ya udah lanjut ya. Jadi, ini Tasha sebagai asisten dalam project ini. Ada Dimas, Toriq, Alpar, dan Elsa. Tapi mereka berhalangan hadir.’

“Betul, mereka juga titip salam buat kamu.”

“Oke, oke mungkin perkenalannya dicukupkan ya. Kita lanjut bahas soal karya yang akan dipakai nanti.”

16

Nayla langsung mengeluarkan gambarnya dari drafting tube hitam. Ia langsung menjelaskan bagaimana hal yang nantinya akan dibutuhkan dalam project itu. Properti lukisan sangat dibutuhkan pada project tersebut. Nayla yang dari tadi sempat merasa keberatan akan tugas yang harus ia kerjakan, sekarang ia kembali percaya diri akan omongan yang hadir dari mulut temannya. Bagas.

“Gimana, Nay?Sanggup?” Berpikir keras untuk mengerjakan 4lukisan dalam satu bulan adalah hal terpayah yang Nayla lakukan. Bukannya menjawab. ia malah mengambil minuman yang dipesan dan pergi ke luar. Bagas dan Tasha sempat kebingungan. Tapi mereka bantah dengan saling menatap yang bermaksud mengatakan “Cariangin”

“Hahahaha” Mereka berdua tertawa akan keanehan yang mereka terima sejak Nayla datang. Hanya beberapa jam saja mereka berbincang, Nayla dianggap memberikan warna atas kehadirannya.

Di luar, Nayla termenung memegang gelas minuman Tropical Blast yang ia pesan. Orang melihat Nayla termenung, namun sebetulnya ia sedang bercakap dengan teman temannya.

17

Bertanya, menanyakan saran, dan marah adalah kegiatanNaylasaat termenung.

‘Kali ini sih gue setuju aja ya lu ambil kerjaan itu’ ‘Tapi nihya… Lu kadangah udahlahsusah’

Suara perempuan itu membuat Nayla semakin berpikir, tak lama ia menimpal perempuan itu dengan berkata, “Ya gue tau, gampang ilang rasa ngerjain.”

‘Nah itu yanggue maksud’ “Sadar dia ndro….”

‘Hahahah’ “Hahahha”

Nayla dan kedua temannya tertawa bersama dalam dunia Nayla yang lain. Semenjak kematian orang tuanya, Nayla memang lebih banyak terdiam. Bagaimana tidak, ia anak tunggal dengan kasih sayang yang selalu bunda dan papanya pergi. Dua perempuan itu tak tau kapan datangnya. Nayla dengan segala keinginan mengubur suara buruk yang selalu berjalan dengannya semakin hari semakin menerima keadaan itu. Anggapan teman yang ia beri kepada suara perempuan itu adalah sebuahrasa menerimadalamhidupnya.

18

“Nay!” Bagas yang tiba - tiba disamping Nayla membuat percakapannya dengan kedua temannya berakhir.

Bagas melihat Nayla yang tersenyum sendiri dan seperti berbincang sendiri merasa khawatir akantanggungjawab yang iaberikantadi.

“Dari sekian bunga yang ada di depan lo, kenapa yang paling cantik mata hingga senyumnya tuh lo sih, Nay.”

Bagas mencoba menghibur Nayla yang kelihatansepertiingindikasihani. SedangkanNayla hanya meresponsenyumantanpa membalasnya.

“Sumpah, dari tiga bulan ini kita kenal. Gue ga berekspetasiNayla itu semenarik ini.”

Nayla seperti tertarik dengan kata yang dilontarkan oleh Bagas, ‘menarik’. Ia menoleh dan memandang intens mata Bagas. Di dunia lainnya, Nayla sedang bergembira telah dipandang seorang lelaki yang indahparasnya.

“Berarti, lo belum pernah nyoba minuman manis ini.”

“Apa hubungannya, Nay”

Nayla tak langsung menjawab pertanyaan Bagas. Ia memikirkan kata yang pas untuk disampaikan.

19

“Semua hal yang menarik dimata kamu akan selalu berganti. Kadang melihat hal baru lebih enak daripada melihat hal yang sudahkau pandang.”

Bagas yang kebingungan tanpa arahan langsung mengambil minuman Nayla. Ia mengikuti omongan teman perempuan baru itu. Memandang. Tapitak ada halyang aneh, pikir Bagas.

“Lihat, dalam gelas ini kamu lihat banyak warna bukan?”

Bagas mengangguk sambil melihat lekat minuman itu.

“Kamu mungkin akan merasa kebingungan akan fokus pada apa yang ada dalam gelas minuman ini.”

“Merah adalah warna paling banyak yang ada digelas itu.”

“Lalu?”

“Ya itu. Lo memposisikan gue sebagai warna merah dalam minuman ini. Padahal ada banyak warna lain. Karena merah melambangkan sebuah energi.”

“coba kalau Lo minum ini. Semua warna akan menyatu, warna merah akan semakin menghilang.”

Bagas terpaku melihat penjelasan Nayla terhadap sesuatu hal baru yang datang pada hidup. Kadang kala, semua yang dipandang indah tidak

20

akan selalu dikatakan indah. Ia hanya mampir sebentar lalu akan menjauh atau menghilang. Sama dengan Nayla, menganggap Orang tuanya sebuah keberuntungan yang ia dapat dalam hidup harus hilang. Digantikan dengan Bima, cowo kebanggaannya yang menghilang juga tanpa kabar dan salam. Semua hal datang pada Nayla dan semuaakanhilang darigenggamannya.

“Kurasa lo butuh teman Nay” Bagas yang sedari tadi diam menafsirkan kata - kata yang terlontar dari Nayla hanya mampu mengucap kalimat yang berisipenuhkasihan.

“Gak juga”

“Gue akan selalu dapat orang baru, lalu akan pergi.”

“Dari sekian banyak obrolan dengan orang lain. Baru kali ini lo ga tersinggung dengan perkataan tadi, Nay”

Nayla tertawa sembari memukul pundak Bagas. Ia tahu maksud Bagas dengan perkataan itu. Teman perempuannya selalu memberikan nasihat soalini.

‘Orang lain hanya memandang sekilas, lalu memberi saran seakan semua hidup yang kau jalani sudah diketahui mereka.’

21

Jika diposisi Bagas memang benar. Nayla penuh kehancuran. Ia ceria dibeberapa waktu, lalu akan cepat menhilang jiwanya tanpa butuh waktu lama.

“Gue ga butuh teman, gue butuh orang yang mau hidup tanpa menghilang.” Kalimat itu membuat Bagas serasa ingin membahagiakan Nayla. Tapi, ia tidak sanggup. Ia takut.

TAMAT

22

Hidup Berulang Kali Tanpa Harus Mati

Kupikir, semua berawaldari benturan hebat yang diterima aku sejak remaja - tidak mungkin sejak kecil Aku memandang semua orang dengan pemikiran beda. Kadang aku memandang Ibu Ratna, seorang guru les privat aku sebagai perempuan baik. Tak berapa lama, aku sepertiingin memukuldia.

Aneh memang tapi itulah yang aku rasakan semenjak kecil. Bukan hanya itu, aku kadang merasa seperti punya kakak. Tapi kadang tidak. Kata orang - orang itu hal yang biasa untuk kakak beradik. Aku tidak menyangkal. Hanya meyakinkan halitu benar.

"Charles tunggu." Aku sempat terpaku memandang diriku kenapa ada di taman bunga. Padahal tadi sedang di dapur. Mamah seperti dikejar hantu, terbirit birit tanpa mengenal napas untuk dirinya.

23

"Loh mamahkenapa lari?"

Mamah hanya memegang pipi aku yang sepertinya terasa sakit. Mukanya merah, bukan, ia seperti ingin membunuh aku dengan muka padamnya. Aku yang ketakutan mencoba bertanya kepada mamah. Tapi ia langsung menarik diriku dengankeras hinggakerumah.

Tidak tahu apa yang akan mamah lakukan, tapi ia menjatuhkan diriku pada lantai hingga kepala aku terbentur pinggiran sofa dengan keras. Mata aku langsung kabur tak bisa melihat dengan jelas. Hanya saja mamah seperti memegang sebuah kayu danakan memukulaku.

***

Aku terbangun dengan suasana segar. Di kamar dengan warna warni disegala sudut. Beranjak dari tidur tepat pukul 6 pagi. Dikepala aku hanya sebuah roti dan susu yang harus ada dalampagihari.

Kring kring kring

Bunyi gawai pada pagi hari adalah hal yang membuat malasuntuk menikmatimakanan lezat. Terlihat dua telepon tak terjawab dan satu pesan yang nangkring di layar gawai aku. Ternyata

24

hanyalah ajakan berangkat kampus bareng dari Fika. Dia sahabat aku bukan, hanya teman biasa mungkin Hari ini terbilang akan menjadi hari berat bagiku karena ada kerjaan yang harus diselesaikan. Membuat jurnal dan membuat konten untuk kebutuhankerjaaku.

Setelah mandi seperti biasa aku meletakkan kameradan lighting untuk mengambilsebuahvideo review produk make up dari suatu brand. Ye begitulah pekerjaan aku sehari - hari. Belum mengambil video dengan benar, tiba tiba tubuh aku terjatuh tanpa sebab, aku hanya merasakan jantung berdekup kencang. Badan tak bisa bergerak, tubuhku terkunci.

Namun, tak berapa lama aku kembali sadar. Aku berada di rumah mamah. "Kak!" Aku melihat Kak Afi yang sedang asik dengan bukunya. Tapi kenapa aku memegang dua kotak yang beriis donat. Sejak kapanaku beli ini.

Kak Afi yang melihat ada sebuah makanan lekas membawanya di meja. "Tumben banget lo bawa makanan ginian." Aku hanya tersenyum tipis melihat Kak Afi dengan lahapnya memakan donatdonat itu.

25

Tak lama, mamah ikut bergabung dengan kita. Menikmati donat di sore hari sangat menyenangkan.

Tapi, tiba-tiba semua kebahagiaan yang terjadi itu kabur. Aku terbangun dari lantai rumah sakit yang seperti aku terjatuh dari ranjang. Sakitnya badan itu tak seberapa dengan rasa sesak yang aku rasakansaat ini. Entahrasasakit apa yang munculini.

"Lahkok ngilang?" Teriak Fika di bibir pintu kamar rumah sakit ini.

Ia yang kaget melihat diriku jatuh langsung memanggil perawat untuk membantu diriku kembali berbaring di ranjang. Kenapa aku tak bisa bicara. Kenapa tubuh aku kaku sekali. Fika dengan muka melasnya seperti ingin berbicara tapi aku tak mendengar suaranya. Aku hanya melihat mulutnya yang sepertisedang berbicara.

Dilain pihak, Fika dengan sekuat tenaga ingin membicarakan perihal yang Charles alami seperti tak mampu. "Gimana ya gue ngomong pun dia kagak denger."

Beranjaknya Fika dari kursi lalu pergi meninggalkan aku sendirian membuat

26

kebingunganku bertambah. Dalam batinku aku cuman ingin memaki Fika, tega teganya meninggalkan teman sendiri. Aku kembali tertidur dengan mata yang berat untuk ditutup.

Aku bermimpi diriku seperti sedang mengerjakan kegiatan seperti biasa, bersama Fika dan teman kerja lainnya. Pemotretan yang aku impikan akhirnya datang. Sebuah brand mengajak aku untuk melakukan photoshoot, kata salah satu pegawainya saat mendatangi diriku hanya mengucapkan sebuah kata yang bagiku tidak bisa ditafsirkan.

"Agar brand kita laris berkat kepopuleran kamu mbak Char"

Kepopuleran apa yang sudah aku dapat. Fika yang sekarang menjadi manajer aku hanya berbicara tanpa makna seperti orang - orang. Ya aku memaklumisepertibiasa.

"Ya ampun neng cantik akhirnya datang," Seorang MUA laki laki terkenal itu sepertisedang mendapatkanbarang berhargasaat aku datang.

"Ih, neng Char" suara manja dan tepukan itu membuat diriku jijik. Apasebabnya iasepertiorang kerasukan.

27

"Neng, aku harus kebagian juga jatah populeran kamu. Cepet you make videos with me terus you post on your instastory!" Perintah itu seperti menghipnotis diriku. Aku langsung membuat video dengan dirinya saat sedang menghias mukaku sendiri.

Tak lama setelah mengunggah video itu, direct massage aku penuh dengan notifikasi yang entah dari siapa saja. Tapi… kenapa semua orang sepertimarahdengandiriku.

'brengsek anjing masih hidup aja' 'dasar anak kurang ajar' 'gila ya, ibu bapak kakaknya mati aja masih bisa hidup tenang dia'

Tiga balasan instastory yang tidak tahu dari siapa pengirimnya membuat aku kaku, semua hal kembali berputar membuat penglihatan aku semakin kabur. Semua orang tertawa melihat diriku dengan segala kerapuhan. Aku menjambak rambutkutanpasakit, sepertiingin meninggaltanpa tahu penyebabnya.

Aku masih di rumah sakit, sebentar apakah tadi hanya mimpi. Aku memandang lekat langit

28
***

kamar rumah sakit itu. Wah aku bersyukur itu hanyalah mimpi.

"Serem banget gila mimpi gue," suaraku kembali muncul. Wah sejak kapan aku bisa sekuat ini. Lagi lagi tak ada Fika disisiku. Setelah memandang kanan dan kiri mengapa aku tidak di tempat kamar kemarin, ini seperti kamar operasi. Tidak ini memang kamar operasi. Penuh dengan alat-alat yang aku takketahuainamanya.

"TOLONG!!!" Aku berusaha dengan keras untuk keluar dari ranjang ini, aku masih kaku tak bisa berjalan atau berbalik badan.

Teriakan aku yang mungkin sangat lantang membuat beberapa perawat dan satu dokter datang. Mereka sama seperti MUA laki laki itu yang senang akankehadiranaku.

"DOK INI KENAPA GUE KAGAK BISA GERAKSIH"

Mereka sepertipatung tanpa bisa mengatakan sepatah katapun. Hebatnya lagi mereka seperti ingin menangis. Lagi - lagi aku seperti orang terbodoh di dunia yang tak tahu soal dirinya sendiri.

29

Sebentar, tunggu. Mengapa aku seperti tak punya kaki. Dokter yang melihat aku gelisah akhirnya datang dan berdiri tepat disampingku. Wah tanpa takut aku mencoba untuk melawan kekakuan diriku. Berontak adalah jalannya. Aku yang merasa mempunyai feeling buruk itu hanyabisaberontak.

***

Satu tahun setelah pulang dari rumah sakit, aku kembali beraktivitas seperti biasa. Bukan, aku menjalaniterapi.

Sebuah lelucon yang terjadidihidupku adalah saat dokter itu mengatakan hal yang tidak masuk dalampikiranaku.

Tujuh tahun lalu aku hidup dengan kebohongan kepada diri sendiri. Psikolog aku dengan sekuat tenaga mengatakan bahwa mamah tidak ada. Bahwa mamah hanyalah sebuat Rekaya. Bukan, mamah nyata. Hanya saja mamah asli hanyalah seorang yang jahat yang ingin anak perempuannya meninggal setelah anak laki laki kesayangannyapergimeninggalkandiaselamanya.

Aku teringat, pukulan mamah sewaktu kecil itu merupakan hukuman mamah yang menganggap diriku membunuh Kak Afi. Tidak. Aku tak

30

membunuhdia. Oke. Diakecelakaankarenadirinya sendiri. Semenjak itu mamah menganggap aku adalah anak kecil yang hanya merepotkan. Pukulan kecil itu menjadikan diriku ingin bertahan saat mamah menyerang diriku. Mamah lah yang menyebabkan kaki aku diamputasi. Aku kabur setelah mencoba mengamankan diriku saat setelah menjawab pukulan yang selalu aku terima. Ia terjatuh dengan darah yang seperti arus sungai deras.

Bukan, aku tidak kabur. Aku hanya menyelamatkan diriku. Bodohnya aku kabur dengan tak berdaya. Kaki yang sudah tercabik oleh pisau itu ku buat lari hingga membuat aku tertabrak.

Ya begitulah. Di ruang terapi ini, psikolog cantik itu menanyakan banyak hal. Salah satunya apakahaku masih hidup sendirian?

"Tunggu, Kak. Kenapa aku sendirian? Aku punya mamahdan Kak Afi."

Kalimat itu seperti selalu aku ucapkan, terlihat dari napas panjang yang psikolog aku keluarkansetelah mendengarkanomonganku.

31

"Char. Ingat. Kau sendiri. Iya kamu hidup sendiri. Bukan mamah bukan Kak Afi. Kamu hidup sebagaiCharles."

Ucapan itu kenapa membuat diriku semakin bingung. Padahal sepertinya aku sudah menerima kalimat itu sejak satu tahun lalu. "Coba sampaikanlah omongan mamah kamu." Perintah psikolog itu malah membuat diriku senang, ia memperbolehkan aku menjadi mamah akhirnya. Aku memandang lekat pada sebuah bunga yang aku tak tau namanya, tapi seperti bunga yang mamah aku suka. Aku berjalan dan mengatakan, "Wah char sini, Kak Afi beli bunga buat mamah"

Aku disana tersenyum melihat mamah dengan kebahagiaan yang didapat dari Kak Afi. Tak lama aku memandang diriku. Aku berontak. Kenapa hanya Kak Afi yang bisa dapat kebahagiaan. Tapi, tunggu aku masih tak paham. Kenapa aku menciptakan mamah dan Kak Afi dalam hidupku. Padahal mereka meninggal karenakekejamannyaterhadapku?

Lelucon kedua dalam hidup. Mengasyikan untuk hidup dengantiga orang sekaligus dalamsatu tubuh.

32
TAMAT

Validasi adalah Teman Manusia

"Eh lo taugasih?"

Awalanobrolanuntuk membahaskeburukan orang lain sepertinya memang sudahdipatenkan sepertiitu.

"Lo udahtau?"

"Lah lo tau juga?"

Merekasepertinya sudah mengertirumor yang beredar tanpaharus menunjukkankonteks bahasanya.

Aku yang melihat merekatak ingin ikut dalamperbincangan itu. Menatap layar leptop untuk segeramengerjakantugasadalahkeharusan, bukan mendengarkanhalyang tak berguna itu.

"Nir, kok lo diemajasih. Sibuk amat."

Aku yang sedaritadihanya membaca dokumen dokumen langsung menutup leptop karena merasatak enak dengankeduatemanku. "Gimanasih lo ajagakasihtau lagi bahas apa. Gue kankatro,lo tausendirikan."

33

Merekaberduatertawamendengar alasan yang aku sampaikan. Ya memang itu kebenaran. "Gini, guesejujurnyagaenak sama lo, Nir. Kenapa lo masihdementemenansamasiFajar."Aku yang tanpatahu penyebabnya hanya mengernyitkanalis.

"Hmgini…."

Fanyyang belum melanjutkanbicaranya, tiba -tiba munculFajar denganrasa melas yang ia tampakkandimukanya. Aku tak melihat muka Fany, ia hanyaberbicaratanpajelassaat Fajar mulaiduduk dibangku sebelahaku.

"Lha, kamu gimanakok sedih jar?" Diatak menjawabpertanyaan yang aku sampaikan, entahadaapa yang terjadi. Setelah kehadiranFajar, mejakitasepertitidak ada kehidupan. FanydanSasa yang sedaritaditertawa dan menunjukkanvideo lucu sekarang hanya termenung.

3 jamkitaduduk bersamadengankesibukan masing masing. Fany yang kembalisetelah melakukansholat Maghrib langsung mengajak kita untuk pulang. Tapiditahanoleh Fajar, "Kok lo padagangertiin guesih?!"Ucapannya membuat Aku, Fany, danSasasaling menatap kebingungan.

34

"Lahkok gueyang salah."Sasa yang mungkin sudahtidak bisa menyimpankesabaran akhirnya langsung berdiridankeluar dari coffee shop. Aku langsung menenangkanFajar namun malah mendapatkantolakansangat kerasmembuat diriku ingin memakinya juga.

"Kenapa yaada manusiakayagitu."Fany mencobauntuk mengeluarkanamarahnyasetelah Fajar berjalan jauhdarikitasepertinyasudah memendam lama. "Udahlah mungkin lagidatang bulandia"

Kami berduatertawabersamaansetelah mendengar omonganku sendiri.

***

"Kenapa hari ini capek banget ya. Perasaan kerjaandikit."

Aku langsung merebahkan di kasur yang penuh dengan kehangatan. Bagaimana tidak, kamar dan kasur adalah dua hal yang sangat membuat nyaman di hidup. Bermalas malasan dengan melihat berita atau cerita orang - orang yang dibagikan pada sosial media membuat energi aku ikut terforsir juga. Berhenti di salah satu cerita Fajar yang dibagikannya membuat aku terkejut.

35

Kenapa ia membagikan foto aku, Fany, dan Sasa dengantulisan,

"Orang lain memang bodoh dalam mengerti perasaan orang lain."

"KenapaFajar ginidah, maksudnyaapa ya." Aku ingin memaklumi tulisan itu sebetulnya, tapi keinginan mencari tahu seakan memenuhi tubuhku. Aku mencoba agar Fajar mau membagikan keresahannya - mungkin kepada aku atau orang lain namun itu pesan yang aku kirim tak ada hasil. Jawaban singkat, “gapapa” darinya terpampang pada bagan notifikasi gawai aku. “Udahlah orang mau ngebantu tapi gitu. Males mending gue tidur aja.”

***

Fajar hingga2 harihanya murung tanpaada kejelasanapa yang ia inginkanatau permasalahkan. Kami yang sudah mencobauntuk bertanya, ia masihtetap dengan jawabankemarin kemarin. Ya, ‘gapapa’ rasanya ingin memarahidia tapiapa daya.

“Udahlah, dia butuh waktu sendiri sepertinya,” “Oke.”

36

Kami memutuskanuntuktidak menghubungi dia lagiselamakeinginannya hanyadiam. Tiba waktunya nantidiaakan bicarakepadakita. Tapi pikiran itu dibatahkan lagi. Fajar membuat sebuah postingan yang iaunggahpadaakunInstagramnya. Terlihat jelasada bekassayatanpisau dengan warna merah yang kamipikir itu darah.

“Ayo kita ke kost dia…” Kami yang sedang mengerjakan project akhir bersama langsung pergimeninggalkan makanan yang telahkitapesandan masih belumkita makan.

Tok… tok… Pintu kost Fajar yang tertutuprapat menambah ketakutan kita. “Fajar! Buka! Kamu sedang apa!”

“Kita minta maaf kalau ada salah ke kamu….”

Masihdengankeheningan. Tak akan menyerahsebelumFajar keluar darikamar itu, kamicobauntuk bertanyakesemuatetanggakamar kostnya. Semua menjawabtidak tahu keberadaan Fajar sejak kemarin.

“Sialan tuh bocah….”

37

Kami memilih untuk pulang, Fany yang sudahsangat marahpunakhirnya mengeluarkan semuaperkataan yang buruk dantentunyatak enak didengarkan. “Gue kagak bakal bantu dia lagi. Ini terakhir kalinya.”

Sasapun ikut mengangguk mengiyakan perkataanFany. Perkataan yang bisadibilang sebuahhasutanatau ajakan.

Satu Minggu Setelah Kejadian 1

Pilihankamiuntuk meninggalkanFajar memang adauntungnya. Tapisetiap kaliada seseorang yang bertanyasoalFajar dankami menjawabtidak tahu, merekaakanselalu merespon denganomongan yang tak mengenakan, seperti,

“Yah temen deket kok gitu,” “Gimana sih katanya sahabat kok malah ninggalin.”

Telingakitasepertidicelupkankeair mendidih setiap mendengar itu. Padaakhirnya Fajar yang merasa bahwakita meninggalkan memang, tapiulahdiasendiri akhirnya melakukansebuahhal yang sangat membuat kita malu. Bukan hanyaperasaan itu saja, kami marah. Layaknyaanak kecilyang selalu merajuk, tapidia sudahdiluar batasdalamberbuat halitu.

38

Postingandisosialmedia memang benar selalu jadisenjatatajamseseorang untuk membunuhorang lain. Samahalnyadengan Fajar yang membunuhkitamelaluisebuahpostingan Instagramnya. Dalampostingan itu, dia menuliskan sebuahkeresahan yang iadapat dariberteman dengankita. Dia menyebutkanbahwakarenadia laki lakidan jarang berkumpul dengankawanan satu gendernya, kamiakhirnyadengan iba bukan karenasayang untuk bertemandengankita.

Mimik SasadanFanysaat melihat postingan itu masih biasasaja, sebelumia membaca postinganselanjutnya.

‘Sesungguhnya sangat menyakitkan mempunyai penyakit mental berteman dengan mereka. Sampai sampai saat aku mencoba menghilang untuk menguji mereka pun tetap dengan kebahagiaan tanpa merasa bersalah denganku yang disakiti.’

Teman seangkatan kami pun sudah membaca curhatan yang disampaikan oleh Fajar. Bagi kami, semua omongan Fajar adalah kesalahan. Bagaimana bisa dia menuduh kami yang setiap harinyaselalu mendukung dan beradadisekitarnya.

“Kurang ajar, nih bocah lama lama.”

39

“Kita sudah dicap jelek gegara bocah itu. Sia siakitabertemandengan dia.”

“Coba ajak dia ke psikolog, berani ga? Atau cuman pura pura sakit?” Nada Fany yang meninggi membuat selruruh wajah di kantin kampus langsung beralih dan fokus ke arah kita bertiga.

“Udah, Sa… biarin, dia hanya butuh validasi bahwa dia sakit.” Sasa yang sepertinya juga sudah kelewatan memberikan omongan seperti itu pun sebetulnyatak bisadisalahkan.

Empat Bulan Setelah Kejadian 2

Kami masih tak bisa memaafkan kelakuan Fajar yang membuat semua orang pun seperti berhati hati dengan kami. Aku mulai terbiasa dengan hal itu. “Besok besok kalau ada yang bicara aneh, diemin aja.” Setiap hari aku selalu berpesan kepada kedua temanku agar tak menimbulkankeributan laginantinya.

Memang benar dibalik cobaan tentu ada pertolongan. Disaat kami sedang tak ingin melakukan apapun di awal semester, terdapat ajakan seseorang untuk berlibur di tiga hari liburan panjang nanti. Mereka mengajak untuk bermalam bersama di sebuah Villa di Bali. Kami bertiga

40

menyetujuinya. Sebelum tanggal ditetapkan tiba, kami masih dengan keluguan bahwa hanya ada enam orang saja yang akan ikut. Tiga perempuan dantiga laki laki.

Rencana kita memang tidak selalu tepat. Liburan kita salah satunya. Fajar yang tiba tiba datang saat kita sudah melupakan kejadian itu membuat kita malasuntuk melanjutkan liburan.

“Gimana? Kaget ga?” Kedatangan Fajar ternyata sudah direncakan oleh ketiga teman laki laki kita. Untuk berbaikan salah satu alasannya. Tapi kita masih tak mau membahas itu di liburan ini, akhirnya kita pindah Villa dan berlibur sendiri tanpakeempat laki lakiitu.

Malam Hari Di Hari Liburan

Sebuah pesan dari keempat orang itu untuk meminta maaf atas kesalahannya dengan mengajak makan malam bersama pun kami terima. Dengan syarat takmengajak Fajar.

“Lo beneran ngasih syarat gitu, Nir?” “Tentu. Ngapain coba nanti kita makan harus saling diem atau colak colek misal ada hal yang dirasa ga enak?”

41

Syarat yang aku ajukan diterima dan ditaati oleh ketiga teman laki lakiku. Ku pikir memang akan malam saja pertemuan ini, ternyata selalu ada bahasan membicarakan orang lain di setiap pertemuanku dengan teman teman. Kali ini membahasatentang Fajar.

“Keren, bro... Kok bisa punya pikiran gitu.” Salah dari ketiga teman laki lakiku itu menemukan kebenaran dari permasalahan yang terjadi menimpa kita. Butuh validasi dari seseorang disekitar kita agar selalu mendapatkan perhatian adalah alasan Fajar dibalik postingan yang ia unggahempat bulan lalu,

Intrograsi yang dilakukan oleh temanku itu membuahkan hasil. Fajar akhirnya ingin meminta maaf atas kesalahannya. Tapi apa buat, nasi sudah menjadi bubur. Kami sudah terlalu capek memberikan kesempatan, kesabaran, dan maaf atas tindakan dia. Bukan dua kejadian itu saja yang membuat kita kesal, sudah berkali kali dia berperilaku seperti anak kecil yang tak punya akal danperasaan.

TAMAT

42

Hazi

Berawal dari rasa ingin tahu yang besar, Hazi berada disini. Jika benar arti kata lancong adalah perjalanan dengan tujuan bersenang senang sepertinya benar, saat ini ia pergi ke kota antah berantah untuk bersenang senang. Sejak ia ditinggalkan oleh kedua orang tuanya saat berada di pulau sebrang, ia merasa kesepian. Pikirnya, ia anak tunggal yang lahir dari keluarga berada, warisan yang berada di tangannya tidak main main nominalnya. Pada akhirnya ia memutuskan untuk pergi dari kehidupan lamanya. Berada jauh namun tidak sampai ia harus belajar bahasa asing seperti ‘excuse me’.

Benar apa yang dikatakan orang, hidupnya di pulau ini makmur. Ia akan semakin tampak kaya dengan harta yang berlimpah jika terus begini. Jawa, kota yang saat ini ia singgahi. Juga Kalimantan tempat dimana ia lahir dan dibesarkan. Usianya yang menginjak 17 tahun tidak menjadikan ia ragu untuk berkunjung di pulau padi ini. Namun ia salah, ia tak hanya berkunjung. Sudah 3 tahun sejak ia melarikan diri dengan embel embel penyembuhan dari luka masa lalu sebab ditinggal oleh kedua orang tuanya. Hazi saat

43

ini tinggal di sebuah kosan mewah, ia membiayai hidupnya hanya dari peninggalan ayah juga bundanya.

Dia memiliki banyak teman disini, dan mulai belajar cara berbicara Bahasa Jawa yang khas terucap oleh masyarakat ibu kota Jawa Timur. Ya, dia berada di Kota Surabaya. Katanya Jawa Barat dan sekitarnya sudah padat, jadi ia pergi ke kutub sebaliknya. Terserah apa kata Hazi, dia bahagia disini. Bertemu Jemi, Juan, Rendi bukan sebuah kesengajaan. Merekabertemu diStasiunsaat itu.

***

2017 Hazi pertama kali menapakkan kakinya dengan semangat setelah turun dari keretanya. Jujur, ia sangat bingung sekarang harus kemana. Ia memutuskan untuk duduk di kursi dekat peron, mengeluarkan gitar dan menyanyi, ia memang hobi bernyanyi dan bermain gitar. Saat tiba tiba seseorang datang dengan senyumannya dan berkata dengan santai “Mas, mbok ya topinya deleh isor ngunu iku. Biar dapet uang,” ujarnya. Hazi lantas memandang orang itu dengan tatapan yang seakan berkata ‘Dia siapa sih? Ngomong apa?’ Orang tersebut kemudian tertawa “Mase ngamen kan?” Sontak terkejut, Hazi bangkit “Maksudnya, kamu anggap saya pengamen? Ngga sopan tau,” Hazi

44

menggerutu sebal sedangkan orang di depannya tetaptersenyumhingga matanya menyipit.

“Oh, masnya ini bukan orang Jawa ya? By the way, aku Juan,” kata Juan dengan kekehan yang dianggap sangat mengganggu olehHazi.

“Iya, bukan. Sok kenal banget sih kamu? Namaku Hazi.”

“Ya ini kan kenalan toh mas, kok sensi banget sih,” Juan masih setia dengan cengiran khasnya.

Setelah perkenalan singkat yang aneh bagi Hazi, mereka saling bertukar cerita di bangku yang sebelumnya hanya ditempati oleh Hazi. Dari sana, mereka entah bagaimana mereka akrab. Hebatnya lagi, Juan merupakan seorang anak dari pengusaha sukses, seperti mendiang ayahnya, namun untuk sekarang Juan tinggal di kosan seorang diri. Beruntung sekali Hazi mendapat tempat tinggal untuk sementara di kosan Juan, tentu ia akan memakai kamarnya sendiri. Ia menyewa sebuah kamar dikosantersebut untuk sementaratinggal. Selama berada di kota ini, Hazi telah menjalin sebuah hubungan dengan seorang perempuan, Natasha namanya. Sudah sering diperingatkan bahwa hubungan itu tidak baik untuknya, Hazi tetap acuh dan melanjutkannya.

45
***

Memang hubungan mereka sangat salah, dimana dalam agama Hazi, hubungan seperti itu dilarang. Mereka adalah dua insan yang berbeda kepercayaan, kalau mendengar kata Rendi kala itu “Heh, Hazi. Natasha iku kaya si Jemi loh, mana anaknya blangsak kaya gitu. Ngga baik buat kamu.” Namun Hazi tetap Hazi.

Bisa dihitung jari pula berapa kali ia melaksanakan kewajiban sehari hari seorang muslim, yaitu sholat. Itupun harus dengan dorongan yang diberikan oleh Rendi, Jemi, atau Juan yang mana mereka memiliki kepercayaan yang berbeda dengan Hazi. Rendi yang cerewet itu beragama Buddha, sedangkan Jemi yang sama dengan gadisnya beragama Protestan, serta Juan yang menganut Katholik. Toleransi mereka besar, tak segan mengingatkan ibadah yang wajib untuk satu dengan yang lain. Namun teman baru mereka bebalsekali. *** 2021

Hazi dengan keadaan kacaunya tengah berbaring di sofa, sedang meracau akibat semalam ia meminum minuman haram yang katanya memiliki kekuatan magis untuk membuatnya lupa pada masalahnya. Tiba tiba Hazi dikejutkan oleh

46

seseorang berawak kecil yang merupakan temannya yang nampak sepertimusuh, Rendi.

"Hazi, tobat ga? Dasar manusia ora eling Tuhannya, mentang-mentang kaya tanpa usaha." Ujar Rendidenganekspresijengah.

“Apasih, Ko?Ganggu mulu kerjaanmu iku.” Hazi kesal melempari Rendi yang memang dipanggil dengan sebutan Koko oleh temantemannya itu dengan bantal.

“Zi, ga niat tobat? Kamu dah keterlaluan gini nyimpangnya. Sholat ngga dilakoni, ibadah lainpun ngga. Malah hobi maksiat, kasian ayah bundamu, masaanaknya bangor koyo ngene?”

Sebenarnya, Hazi sudah muak mendengar celotehan temannya yang paling cerewet tersebut. Ia juga sudah lelah melakukan segala hal yang dikiranya menyenangkan, padahal ia tidak merasakan kesenangan apapun ketika menjalaninya. Rasanya hampa, begitu cara dia mendeskripsikan apa yang selama ini ia rasakan. Namun, beberapa hari belakangan ia mendapatkan mimpi. Mimpi yang semula ia sepelekan, namun mimpi tersebut nyatanya berulang hingga membuatnya merasa tertekan. Juga, sebenarnya ia mabuk karena ingin menghilangkan mimpi itu. Usahanyagagal, semalammimpinyatetap sama.

47

“Ko, panggilin Jemi. Aku pengen cerita sama dia,” Hazi memukulpelan lengan Rendi.

“Karo aku wae ceritanya kenapa sih?” Rendi melihat Hazi tertawa kecil lalu mendapat jawaban “Awakmu cerewet ko, nanti aku ga fokus ceritanya.” Rendi mendengus kecil lalu pergi memanggilpartner Haziuntuk bercerita.

Jemi memasuki ruang tamu dengan muka datarnya. Ia memperhatikan sesosok temannya itu terlebih dahulu. Benar benar kacau dengan kaos putihnya yang lusuh, celana jeans yang dipotong setiap sisinya, serta rambut yang nampak berantakantentunya.

“Jemi, sini.” Ah, ternyata kawan kesayangan Jemi sudah sadar bahwa ia diperhatikan sejak 2 menit lalu.

“Apa? Males aku krungu curhatan ngga penting,” Hazi tertawa renyah namun dengan segera merubah ekspresinya menjadi serius kembali.

“Je, pernah mimpi aneh ngga sih?” “Mimpi ya aneh lah, namanya aja mimpi.” Jemi menyela dengan raut herannya. Ia mengira bahwa Hazi akan menceritakan hal-hal random juga seperti biasanya. Kalau kata Juan “Ceritanya Hazituh ngga bermutu.”

48

“Serius, Jemi.” Sekarang atmosfer yang terasa di ruang tamu kosan tersebut menjadi serius kalaHazi merendahkannadasuaranya.

Hazi kemudian bangun dari posisi tidurnya, mengambil segelas air di mejayang tadi sempat dibawakan oleh Rendi, lalu meminumnya seteguk. Ia tampak menyamankan dirinya di sofa dengan melihat sosok Jemi yang tampak kebingungan di hadapannya.

“Aku mimpi semalem. Mimpi ketemu sama orang. Dia perempuan, pakai hijab putih. Pas aku coba deketin dia, dia langsung pergi. Disitu dia ninggalin sesuatu, Je. Kotak warna biru, kotaknya antik. Aku ngga berani buka kotaknya, tapi yakin isinya seuatu yang berharga sih, Je. Menurutmu gimana?” Hazi membeberkan cerita singkatnya pada Jemi yang memperhatikan setiap ucapan yang keluar darilisantemannya itu.

“Siapa?” Jemi bertanya tentang perempuan tersebut, namun Hazi hanya menghela napasnya lalu menggeleng pelan.

Satu minggu setelah acara mabuknya, Hazi sontak bagaikerasukan berubah. Entah mengapa, ia memiliki perasaan yang kuat atas mimpi yang ia

49
***

Hazi merasakan hampa. Ia bermimpi sesuatu yang sama setiap harinya, hingga ia rasa ia sudah gila saat ini. Ia merasakan semilir angina sepoisepoi yang dihasilkan oleh udara dingin malam ini. Ia sudah lama tidak melepaskan pikirannya. Sebenarnya Hazi melakukan segala penyimpangan itu ada penyebabnya. Tentu saja, hazi merasa Allah tidak adil, Tuhannya terebut mengambil kedua orang tuanya secara bersamaan. Kehidupannya berubah sejak kehilangan orang terkasihnya. Dengan tekad itu pula ia memutuskan untuk pergi dari kampung halamannya dengan dalih bersenangsenang juga melampiaskan kesedihan yang saat itu iarasakanseorang diri.

Hazi melamun cukup lama hingga ia meraakan suhu dingin dan lembap di pipi kirinya. Seseorang rupanya menempelkan kaleng minuman dingin pada pipi gambulnya. Sosok tersebut hanya diam sembari membuat gesture akan memberikan Hazi minuman yang ternyata kopi dingin tersebut. Lantas orang tersebut tidak pergi dan malah duduk

50 alami beberapa hari belakangan ini. Jika mengira ia akan merubah diri dengan menjauh dari kemaksiatan, tentu saja salah. Ini sudah larut malam, Hazi sekarang nampak berada di emperan sebuah toko yang telah tutup, lengkap dengan jaket jeans kesayangannya juga penampilannya yang beberapa harisepertiorang gilasepertikataJuan.

di samping Hazi dengan meneguk minuman yang sama. Kemudian orang tersebut mulai berbicara padaHazi.

“Sampeyan lapo, Mas?” Ucap seseorang itu tanpa menoleh.

“Gapapa.” Hazi menjawab pertanyaan tersebut dengan tanpa gairah juga tidak bersemangat.

“Ya ngga mungkin toh. Wong kelihatan sekali kalau lagi stress. Tapi ngga sampe depresi, to?”

“Sembarangan banget. Ngga lah,” Hazi kemudiantertawakecil.

“Putus cinta?” Sontak mata hazi terbelalak atas pertanyaan dari sosok yang belum ia kenal tersebut.

Hazi sudah lama sekali tidak menghubungi Natasha. Ia seakan lupa bahwa ia memiliki hubungan yang bisa dianggap spesial dengan seorang gadis. Jika dihitung, sudah 2 minggu lamanya ia tidak bersua dengan gadis yang merupakan kekasihnya itu. Ia lalu menoleh pada orang asing yang beradadisampingnya.

“Ngga ada acara putus cinta. Tapi makasih, masnya bikin inget aja sama pacar.”

51

“Jadi kenapa? Btw, namaku iki Tama.” Orang tersebut akhirnya mengenalkan dirinya dengan cengiran lebar.

“Oh Mas Tama,” Hazi mengangguk pelan lalu meneguk kopikaleng yang adaditangannya.

“Sampeyan kenopo? Galau?” Tama mengulangi pertanyaan yang belum dijawab oleh Hazi.

Hazi menghela napas berat. Ia merasa membutuhkan sandaran saat ini. Semuanya mendadak menjadikan dirinya melankolis. Sejak adanya mimpi aneh tersebut, ia sering kali teringat pada masa lalunya. Hazi kecil merupakan sosok anak yang ceria, baik, juga taat dengan agamanya. Hazi merupakan seorang putra tunggal dari pasangan religius, tidak heran jika Hazi diajarkan untuk selalu taat pada agamanya, yaitu Islam oleh kedua orang tuanya. Namun, sejak kedua orang tuanya tiada, jalan pikiran Hazi yang cerah tertutup dengan perasaan marah, sedih, dan gelisah setiap waktu. Perubahan keadaan yang terlalu tiba-tiba juga turut merubah suasana hati dan pikiran seorang Hazi yang saat itu sedang ada dalam fase labil pada remaja. Sekian lama ia berubah, pada akhirnya ia juga merasa lelah dan hampa. Saat ini adalah fase dimana ia merasa kosong, ia merasa ada yang salah dalam dirinya. Tentu saja berkat tekanan yang datang dari segala sisi terutama dari

52

sosok cerewet Rendi juga mimpi anehnya belakangan ini.

Mereka berdua masih sama-sama diam. Hening menikmati pikiran mereka maisng-masing. Hingga atmosfer tersebut berubah ketika Hazi menceritakan bagaimana ia sampai disini, perjalanan panjang yang ia lewati selama 3 tahun, tentang sosok Natasha, juga yang terakhir adalah mimpianeh yang mengganggunya. tama menyimak dengan baik apa yang Hazi ceritakan selama 45 menit.Tama tidak berniat menyela karena ia tahu bahwa Hazi butuh mengeluarkan apa yang ada di pikirannyasaat ini.

“Tujuan awalmu kesini apa, Zi?”

Hazi mengernyitkan dahinya. Ia sama sekali tidak merespon atas pertanyaan dari Tama. Ia tidak paham dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Tama. Bukan, bukannya tidak memahami pertanyaan tersebut, ia sekarang tidak tahu apa tujuannya kemari, pergi ke kota ini. Pada awalnya, ia mungkin bertujuan untuk melupakan semua kesedihan dan penderitaan yang ia alami lantaran ia ditinggalkan sendirian. Namun, setelah 3 tahun ini ia baru menyadari bahwa ia tidak memiliki tujuan pasti. Ia kemari dengan perasaan kacau, ia tidak melanjutkan pendidikan lalu hanya bersenang senang dengan harta peninggalan orang tuanya.

53

Untung saja, selama 3 tahun belakangan ia dapat bertahan hidup, akhir akhir inipun ia juga merasa kekurangan harta karena lama kelamaan harta akan habis. Ia baru menyadari bahwa dia telah hilang arahsaat ini.

“Ngga punya tujuan ya? Sebenarnya keputusan awalmu itu udah ngga benar, Zi. Orang iku kalau buat keputusan pas kacau yo ngunu iku. Kacau, Zi. Kacau.” Tama berujar sambil sedikit terkekeh.

“Jadi manusia itu kudu liat peluang, liat jalan hidupnya bakalkaya apa. Manusia kan emang ngga tau takdir mau bawa dia kemana. Sekali manusia itu ambil keputusan, disitu juga awalnya. Awal yang harus dia terima juga perjalanan sama akhirnya nanti. Kalau sekarang kamu cuma diem aja, cuma nyesel yo percuma. Kamu isih labil, isih bocah kan pas rene? Saiki wes gede.Wes ngerti. Mimpimu itu bisa jadi petunjuk kalau kata aku. Jadi rencanamu kedepan gimana?” Hazi diam sambil berusaha mencerna perkataan yang diucapkanTama.

Hazi menyesal sekarang. Tapi ia tidak tahu bagaimana cara memperbaiki takdirnya saat ini. Satu mimpi berhasil merusak suasana hatinya. Nyatanya mimpi tersebut adalah sebuah guncangan besar bagi jiwanya. Ia merasa penasaran, sungguh.

54

Mimpi tersebut menggantung dalam pikirannya, namun tidak pernah selesai. Ia selalu bangun saat perempuan dalam mimpinya beranjak pergi dengan meninggalkansebuahkotak antiknya.

Sekarang ia berada disini dengan orang asing yang sudah mengetahui cerita hidupnya. ia saat ini kehilangan semangat hidupnya, istilah yang tepat adalah kehilangan jiwanya. Lantas tak lama, air matanya perlahan jatuh. Ia menangis, entah menangisi apa. ia merasa sedih, teringat masa lalunya yang bahagia, juga meratapi nasibnya bertahan hidup seorang diri disini tanpa ada tujuan. Ia juga baru merasa beruntung dan bersyukur memiliki teman teman seperti Juan, Rendi, dan Jemi. Mereka bertiga sering menegurnya bila melakukan hal yang dilarang oleh agamanya. Hazi baru sadar jika teman temannya itu menyayanginya dengan bentuk seperti itu. Saat ini juga mungkin mereka khawatir karena Hazi belum kembali ke kosan mereka.

Tama dengan rasa tak teganya merengkuh Hazi, ia merasa remaja di hadapannya ini sangat rapuh. Karena itu pula, ia menghampiri Hazi dan memang berniat untuk mendengarkan keluh kesahnya.

“Wes gapopo, Zi. Semua itu takdirnya Allah. Kamu disini juga karena Allah. Mungkin Allah

55

pengen naikin derajatmu, makannya dikasih ujian kaya gitu.” Tama berusaha untuk menenangkan Hazisebisanya.

“Tapi, Allah itu ga adil sama saya. Pas saya seneng, semuanya dibalik. Makannya saya berbuat maksiat seperti itu,” Hazi masih sedikit merasa sesak setelah menangis saat mengatakan itu.

Tama kemudian hanya tersenyum mendengar ucapan yang keluar darilisanHazi. Iarasaperasaan seperti itu wajar dimilikioleh Hazi. Ia adalah sosok yang belum tau makna hidupnya sendiri. Ia juga kehilangan sesuatu yang besar pada masa pencarian jatidirinya, wajar jika ia tak mengerti maksud Sang Maha Kuasa. Oleh karena itu, Tama hanya berusaha memberikan pengertian kecil pada Hazi. Hidupnya memang berat, tapi Tama yakin sebentar lagi Hazi akan menemukan jati dirinya yang sebenarnya Hazi berusaha untuk mendapatkannya tanpa iasadari.

***

Hazi saat ini berhadapan dengan sebuah kotak biru. Kali ini, ia tidak bertemu dengan sosok perempuan seperti sebelumnya, ia juga merasa aneh karena mimpi kali ini berbeda. Ia kemudian berjongkok lalu berusaha untuk meraih kotak tersebut. tetapi tiba tiba ada tangan lain yang meraih kotaknya. Tangan tersebut membuatnya

56

terkejut tentu saja, dari awal sama sekali tidak ada orang lain. Ia masih belum berani untuk menatap sosoktersebut, tangannya juga masih berada diatas kotak itu. Namun ebuah suara lembut berhasil menghancurkan fokusnya, “Hazi, lihat Ummi.” Tangan Hazi bergetar mendengar suaratersebut, itu suara yang ia rindukan selama ini. “Ummi?” Hazi kemudian mencoba untuk meluruskan pandangannya, itu adalah sosok ibunya. Perempuan yang selama ini ada dalam mimpinya adalah orang yang membawanyakedunia.

Saat Hazi menatap Ummi, ia langsung menangis. Ibunya terlihat sangat cantik dengan balutan hijab putih bersih. Ia lantas memeluk ibunya yang berada di hadapannya sekarang. ia sama sekali tidak menyangka bahwa selama ini ia telah bertemu dengan orang yang paling ia rindukan.

“Nak, gimana kabarnya?” Ummi bertanya dengan nada yang terdengar lembut.

“Hazi ngga baik, Ummi. Hazi ngga patuh, Hazi banyak bawa dosa. Hazi menyesal. Menyesal,” Hazi membalas pertanyaan Umi dengansuara yang bergetar penuhnadapenyesalan.

Umm hanya diam, ia seperti membiarkan anaknya itu melepas rindu dan mengadu padanya. Hingga ia melepaskan pelukan tersebut. Hazi

57

menatap Umminya, hingga ia merasakan tangannya diusap lembut kemudian ia diberi kotak yang selama ini menghantuinya.

“Ini buat kamu, Hazi. kenapa ngga diambil?” Ummibertanyasembariterkekeh.

“Hazi ngga tau. Hazi lebih penasaran sama Ummi, kenapa Ummi pergi terus? Hazi aja ngga tahu kalau itu Ummi. Terus, Abi kemana?” Hazi menjawab pertanyaan tersebut sembari menanyakanhal yang lain padasosok ibunya.

“Ummi pengen kamu kejar Ummi, tapi kamu selalu diam. Kalau Abi, dia di tempat yang aman kok. Abisama Ummi cuma berharap dapat doa dari Hazi.” Ucapan Ummi berhasil membuat Hazi kembali menangis.

Hazi menerima kotak tersebut, lalu membukanya perlahan. Kotak itu kosong, hanya berisi sebuah kertas lusuh tanpa ada tulisan apapun. Ia kemudian menatap ibunya, bermaksud untuk bertanya lewat tatapan matanya. Namun, ibunya hanya tersenyum lalu berdiri lalu berkata “Assalamu’alaikum, anak Ummi.” Ibunya lalu melangkah. Sosok itu meninggalkannya lagi. Tetapi Hazi lega, ia sudah merasa jika mimpi ini tidak akandatang kembalipadanya.

58
***

Haziterbangun diatas kasurnya. Ia kemudian melihat sekelilingnya. Ia masih tidak percaya siapa yang baru saja ia temui dalam mimpi aneh yang selama ini mengganggu hari-harinya. Tak lama kemudian, sosok Jemi masuk berniat membangunkan Hazi untuk menunaikan sholat shubuh. Jemi kemudian heran melihat Hazi yang sudahbangun.

“Tumben, Zi?” Jemi sepertinya menyindir Hazi yang selalu susah dibangunkan untuk sholat shubuh. Namun, Hazi tidak merespon dan malah tersenyumpadanya.

“Jemi, nanti antar aku ke Natasha. Aku mau putus. Aku ngga bisa terus koyo ngene, Je.” Hazi beranjak dari ranjangnya menuju kamar mandi dengan raut yang sulit ditebak lalu meninggalkan Jemi dengan raut kebingungannya. kemudian tak sadar, Jemi tersenyum karena sepertinya sahabatnya satu itu sudah berubah. Tentu saja, berubah menjadilebih baik.

59

Tepuk Tangan Kepada Kesedihan

Suatu hari, di sebuah sudut kota terdapat restoran yang menjual makanan asal Korea Selatan. Kurasa memang akhir akhir sedang banyak yang tersanjung akan budaya Negeri Ginseng itu. Salah satu meja di restoran itu terdapat sepasang kekasih yang sedang menikmati kebersamaanya setelah pulang bekerja. Terlihat dari dandanan mereka yang masih memakai pakaian kantor lengkap dan layard yang mereka simpan di atas meja. Aku termenung melihat banyak orang dengan kepala yang berbedakumpuldalamsatu ruangan.

Kehadiranku tentu saja bukan sekedar untuk makan. Aku menunggu kekasih ku juga. Perempuan cantik berasal dari kota kecil di utara Jawa. Ia manis seperti namanya, Deinia. Seorang mahasiswi jurusan arsitek. Katanya ia ingin membuat rumah kecil yang jauh dari kebisingan. Ntah dimana. Makanan datang, Deinia pun ikutan datang, seperti biasa ia memesan makanan yang samasepertiku.

“Halo sayang. Apa kabar?” Salam pembuka setiap kita bertemu. Padahal kita baru bertemu tadi

60

dijam sarapan. Ya itulah salam khas dari dirinya. Aku langsung mengambil barang yang ia bawa, sangat banyak, untuk membantunya agar duduk dengan nyaman.

“Oh ya, esok kamu mau kemana?”

“Zar, kita aja baru ketemu berapa detik udah langsung tanya plan besok.”

“Nggak lho. Jadi, gue mau ngajak lo ke suatu tempat gitu. Asik pemandangannya.”

Percakapan pembuka itu berlanjut hingga perjalanan pulang mengantar ke kostan Deinia. Tepat setelah mengantar, ntah kenapa ingin sekali membuka WhatsApp seperti ada feeling ga baik. Benar sekali. Sahabat kecilku, Classy mengirimkan pesan hingga 15 pesan. Salah satunya sebuah foto yang terlihat tangannya penuh luka dan darah. Telepon dia sepertinya sedang tidak aktif, aku yang kebingungan akhirnya mendapatkan jawaban untuk menelpon salah satu sahabatnya. Tak kusangka hari yang indah ternyata harus ada hari yang menyedihkan. Classy tertabrak oleh mobil saat ia hendak menyebrang jalan. Mata minusnya yang selalu ia benci ternyata membuat keburukandatang kehidupnya.

“Gimana, Jel? Mana Classy?!”

Ejel yang ikutan panik dan mungkin ia sempat menangis langsung mengantar diriku ke

61

sebuah ruangan operasi. Tidak, ternyata aku masih belum bisa melihatnya. Bunda Classy sudah di sana. Aku langsung teringat pesan Bunda kemarin saat mengantar Classy selepas kerja kelompok bersama. Bunda hanya tersenyum sekilas melihat diriku. Tidak sepertibiasanya. Aku merasa bersalah karena Classy dijam 4 sore mengajak aku dengan Deinia untuk makan bareng. Namun, apa daya aku ingin menghabiskanwaktu denganDeinia berdua.

“Jel, ceritain dong ini masalahnya gimana?”

“Ya lo tau sendiri. Sassy anaknya gimana, kelupaan kacamata dan ga pake softlens. Intinya doi mau nyebrang di jalan besar depan indomart deket Gramedia mau ke mobil ceritanya.”

“Lah udah tau dia ga pake kacamata sama soflens kenapa lo masih aja ngebiarin dia jalan sendiri.”

“Dengerin dulu. Gue lagi ada meet dadakan. Doi kagak mau nunggu gue selesai meet. Asal nyebrang aja.”

Ejel dengan intonasi tingginya membuat orang orang disekitar langsung menoleh ke arahku. Aku langsung menarik ke sudut yang lebih tenang agar Ejel bisa melanjutkan ceritanya. “Udah habis itu gue mau jemput doibiar nyebrang bareng, Zar. Tapi ntah yang ada diotaknya kenapa tetep nyebrang sendiri.”

62

“Dia langsung pingsan?”

“Iya pingsan seketika. Posisinya gue lagi megang dua handphone dan dipikiran aku langsung nyalain handphone milik dia buat ngehubungin lo sama keluarganya.”

“Zar, Jel sini.” Suara ayah Classy yang ternyatamengetahuikeberadaankita. Kami seperti orang kebingungan saat mengikuti beliau. Tak tau akan ke arah mana kita berjalan, hanya saja berbeda dengan arah menuju ruang operasi tadi. Sepertinya ada kebahagian yang datang. Aku sekilas melihat papan petunjuk arah, dimana ayah Classy berjalan kesuatu tempat yang membuat kebahagiantadilangsung berubahdengan kepanikan.

Ejel yang mungkin mempunyai perasaan yang sama denganku ikutan gementar memegang tangaku dengan kuat. Benar saja seperti apa yang aku takutkan. Di ujung tempat itu tertulis ruang jenazah membuat langkah kakiku semakin berat. Ayah Classy menengok ke belakang saat mendengar tangisan Ejel yang mulai keras. Ia menghampiridan memeluk kita.

“Tak apa kuatkan hati kita, ya” Kata penenang itu menyayat kami. Seharusnya aku dan Ejel yang mengucapkan kata penyemangat dan menuntun pada ruangan itu, bukan Ayah Classy. Aku tetap jatuh saat pintu itu terbuka. Tapi…

63

Aku terbangun dari tidur. Masih pukul setengah dua pagi. Aku buru - buru mengecek gawai. Tidak ada pesan soal kecelakan tadi. Tak berpikir panjang aku menelpon Classy. Ya setelah menunggu hampir 3 telepon tidak terjawab, akhirnyaClassymengangkat.

“Halo, Sy.” “Ah ngapain sih Zar, ini masih pagi banget.”

Aku langsung menangis, itu hanya mimpi. Iya mimpi. “Jaga diri, Sy” Setelah mengucapkan pesan itu. Aku langsung menutup telepon dan melanjutkantidur.

Kehadiran mimpi itu membuat kehidupanku berubah total. Aku selalu mengingat kejadian itu, rasanya aku harus menjaga Classy setiap harinya. Tentu aku harus memperhatikan kekasihku juga. Hingga suatu hari, Deinia mengirim pesan mengajak bertemu setelah hampir dua minggu kita tidak bertemu. Di taman bunga kota ini, aku mengajk untuk berbincang membahas hal - hal yang tak perlu dibahas juga.

“Nia, gimana kalo kita main petak umpet? Kayanyakamu lagibutuh hiburan?”

64 ***

Deinia mengiyakan. Kami bermain hampir setengah jam. Bercanda. Tepat giliran dia menjadi penjaga dan aku yang bersembunyi. Tiba - tiba gawaiku bergetar seperti ada suara telepon yang masuk. TelepondariEjel. Aku langsung berpikir ke arah mimpi itu, hingga melupakan kekasihku sendiri yang sedang mencariku. Ejel mengatakan kalau minta bantuan karena Classy sempat tertabrak motor. Ya dengan pikiran tak tentu arah itu aku dijalan hanya berpikir untuk segera sampai di rumah sakit yang ditunjukan oleh Ejel, menutup telepon yang aku pikir harus fokus padaClassysaat ini.

“Sy? Baik - baik aja?” Aku melihat Classy yang sedang diberikan obat dan perban pada lukanya.

Dia hanya mengangguk dan mengatakan, “Jangan bilang mamah ya aku naik motor sendirian.” Aku yang merasa lega Classy baik baik saja langsung melakukan proses pembayaran pemeriksaannya dan melanjutkan untuk mengantar diakerumahnya.

“Besok - besok lo kalo mau pergi bareng gue aja. Gimanapun lo udah bisa motoran tetep harus hati hatiSy.”

65

“Iya, Zar. Gue cape apa - apa ga boleh sebetulnya. Gue juga mau bisa mandiri.”

Terlihat wajah murungnya yang menandakan dirinya sangat tertekan dengan penderitaan sebagai seorang anak dari orang tua yang tidak membebaskandia.

sesampainya di rumah Classy, seperti biasa aku mengobrol sebentar dengan orang tuanya dan mengatakan seperti apa yang dikatakan olehnya saat dimobiltadi.

“Nanti lo ngomong ke ayah mamah aku habis kena serempet motor aja ya.” “Siap, tuan putri.”

Hanya mengobrol sepatah dua kata aku langsung pergi hendak pulang. Tapi kenapa perasaan aku kali ini masih tidak nyaman. “Deinia mana? Kamu ga main sama dia?” Celetuk Classy yang membuat aku langsung melajukan mobil dengan kencang. “Bodoh lo, Zar Anjing.” Makian dalam jalan aku lontarkan kepada diriku sendiri. Sampai taman itu aku langsung menelpon Deinia yang sudah tidak ada. “Ya iyalah bodoh, udah sejam lebih ditinggal.”

Telepon Deinia masih tidak ada jawaban. Dipikiranku harus ke kostnya dan meminta maaf. Tapi tetep tidak ada hasil, ibu penjaga kost masih

66

dengan keyakinannya bahwa Deinia tidak ada di kost.

Aku yang pasrah memandang gawai menunggu Deinia di kamar, masih dengan makian yang aku lontarkankediriku.

***

Sudah dua hari pesan - pesanku tak ada jawaban. Teman-temannya pun masih dengan ketidaktahuan akan keberadaan Deinia. Aku pikir diapulang kerumahkarena minggu initelah masuk waktu liburan. Saat itu aku masih mencari Deinia melalui beberapa teman organisasi dan kawan dekatnya. Hingga ada satu berita tanpa terduga yang membuat diriku lemah tak berdaya. Aku menemukan Deinia melalui sebuah cerita yang dibagikan kerabat Deinia di Instagram. Saat itu, muncullah notifikasipesan masuk dariDeinia.

Ini saya. Kakak Deinia. Dia sekarang sedang dalam perawatan di rumah sakit akibat penyakitnya yang membuat dia koma.

Dua kata terakhir itu membuat diriku ingin bersujud dan meminta maafkepadaDeinia. Dengan segalakekuatanku mencoba menjawabpesan itu. "Sorryguys, guecabut dulu."

67

Setelah mendapatkan alamat rumah sakit tempat Deinia berada, aku langsung menancapkan gas mobil. Aku seperti merasa dejavu. Mencoba menghilangkan pikiran buruk, mulutku disibukan denganucapando'auntuk kesembuhannya.

Di sini, aku seperti orang baru. Berbeda saat di mimpi itu, semua keluarga Classy sangat tenang. Aku seperti dipandang menjijikan oleh orangorang. Mungkin itu hanya perasaan. Aku melihat tubuh kekasihku yang telah berbaring dua hari. Satu hal yang lebih menyakitkan dibanding melihat Deinia tertidur pulas di ranjang itu adalah ia terkena serangan jantung saat aku dalam perjalanan menjemput Classy di rumah sakit. Kekurangan oksigen akibat berlarian saat petak umpet adalah salahsatu yang menimbulkanpenyakit diakumat.

Sepertinya orang - orang disini sudah mengetahui bahwa aku kekasih Deinia. Mereka tak menanyakan diriku siapa. Mereka hanya berjalan dan menatap diriku. Tak lama, perempuan bersama anak kecilnya mengajak aku keluar dari kamar pasien. "Sebelumnya maaf kalau kita terkesan acuh kepadamu. Sejujurnya saya sendiri kecewa saat melihat sebuah bingkisan ini dan menemukan sebuah surat yang ternyata ada nama kamu disini." Perempuan itu yang merupakan kakak Deinia

68

langsung memberikan aku bingkisan dan waktu untuk membacasurat yang taktau berisiapa.

Dua Minggu yang ternyata sebuah waktu pendek bagiku, bagi Deinia adalah waktu yang panjang. Selama dua minggu itu, Deinia tanpa memberikan sebuah pengumuman kalau dia sedang sakit membuat diriku seperti seseorang yang berdosa. Dalam dua minggu aku hanya berfokus pada Classy, dalam pikiranku hanya Classy yang harusaku jaga.

"...Sehat sehat ya. Aku harus sehat juga, agar kamu tak perlu memikirkan diriku, jagain Classy juga biar kamu tenang hidupnya."

Salah satu kalimat yang membuat aku ingin menghakimi diriku sendiri. Aku tak bisa membagi waktu antara sahabat dengan kekasih, hingga salah satu darimereka harusaku alihkan fokusnya.

Di malam hari, aku menikmati suguhan kopi dengan rokok untuk melepas penat. Aku masih belum menyangka, aku kehilangan dua orang sekaligusdalamsatu bulan.

Kejadian yang aku pikir itu mimpi adalah sebuah pengalihan. Aku hanya bermimpi bahwa

69
***

Classy baik - baik saja sampai tidak bisa menghabiskan waktu bersama Deinia. Surat itu nyata, aku terbangun dan mendapatkan panggilan dari Kak Seila, kakak perempuan Deinia memberikan kabar buruk setelah satu minggu kehilangan Classy, bahwa aku juga kehilangan Deinia. Ia meninggal tanpa mengetahui bahwa Classy jugasudahterlebih dahulu pergi.

Kejam memang dunia. Tidak ada kebahagiaan yang abadidihidup ini.

TAMAT

70

Batas Garis Kebebasan

Sebulan, tiga bulan, enam bulan, sembilan bulan, satu tahun berlalu dengan cepat. Tapi perasaan aku masih berpaku pada dirinya. Penyesalan telah meninggalkan mantan kekasih adalah sebuah kegiatan sia sia. Suatu ketika, ada sebuah perkataan yang muncul disaat aku memandang langit, mensyukuri pemandangan biru dan putih yang jernih.

"Tuhan ini sepintar apa ya, kenapa pandai melukiskeindahansepertiini."

Tanpa sadar aku seperti memandang diriku yang kini telah bebas dari belenggu kehidupan yang katanya orang orang adalah kesesatan. Hari itu aku berniat untuk pergi ke sebuah Perpustakaan Nasional di pusat Jakarta. Hendak mengerjakan sebuahtanggung jawabperkuliahan. Skripsi.

"Sulit juga harus mengubah style." Semua lemari pakaian aku berisi dengan pakaian warna warni dan pendek. Seperti outfit perempuan pada umumnya. "Sudah pas ini." 3 kata itu kujadikan pujianuntuk diriku sendiri.

71

Hanya menempuh 10 menit jalan kaki ke Perpustakaan Nasional, tapi kenapa tubuh aku mengeluarkankeringat yang sangat banyak.

"Payah."katadiriku.

Padahal ya memang udara Jakarta dengan polusinya membuat semua orang akan merasa ingin segera turun hujan es untuk mendinginkan kepala dan badanditerik siang ini.

"Aduh kenapa panas banget sih, untung gue ga meleleh." Sesaat setelah masuk perpustakaan dengan udara yang segar dengan bau harum buku yang merebak di seluruh ruangan. Lantai 21 adalah sebuah pilihan tepat sebagai tempat mengerjakan tugas.

Tapi, bangku favoritku telah ditempati seorang perempuan berhijab yang terlihat sedang serius dengan IPad dan laptopnya. Aku meminta izin untuk duduk di depannya, tapi aku hanya mendapatkan anggukan dan ia tak menoleh ke arahku sebagai jawaban yang ia berikan. Seakan aku hanyalah bayangan yang taktampak.

Diam diam aku selalu mencuri pandang ke arahnya. Ia tampak manis dengan matanya selalu

72

tersenyum padahal ia hanya menatap lurus pada kerjaannya.

Sempat membaca salah satu judul buku yang ia pinjam. Seperti judul salah satu buku pegangan perkuliahanku. "Kakaknya anak bahasa?" Tanpa takut aku membukapercakapandengannya.

Ia kembali mengangguk. Jawaban itu membuat pikiranku mengarah bahwa ia bisu. Oh my god kalau benar, aku sangat merasa bersalah. Hingga setelah saling diam, ia memberikan sebuah kertas berisi tulisan, "Semangat. Kamu pasti bisa." Perempuan itu kenapa seperti bisa membaca diriku dengankepasrahan yang aku hadapi.

"Ah! Mungkin wajah gue kali ya yang keliatan melas banget!" Aku ingin mengucapkan terima kasih kepadanya, tapi mengapa ia langsung menghilangkan pikiran seperti seorang yang bisa teleportasisaja, anggap diriku.

Sudah 5 jam aku duduk dibangku ini, tak terasa hari mulai petang. Aku harus segera pulang untuk mengisi tenaga kembali. "Gak deh gue langsung pulang aja, pesan makananonline."

Salah satu pikiran yang selalu tampil terdepan disaat mengerjakan tugas adalah makanan.

73

'Hari ini masak apa ya?' 'Kira kira di kulkas ada bahan makanan apa?'

Di tengah perjalanan, aku harus berhenti karena mencium harum makanan yang terlihat sangat menggoda. Ujung mataku bukan hanya melihat sebuah makanan, tapi aku melihat perempuanperpustakan itu.

"Hai, maaf ya tadi sepertinya aku mengganggu kamu."

Perempuan perpustakan itu sepertinya sudah mengenali diriku, dia melemparkan senyum. Indah sekali. "Iya." Satu kata membuat jiwaku berbungabunga.

Sehari, seminggu, sebulan, dua bulan kegiatan kita selalu bersama tiap sore rabu. Pergi ke perpustakaan. Ya, aku dengannya seperti sedang menempuh perjalanan panjang. Sempat mengobrol sepatah dua kata, tak banyak tapi membuat diriku bahagiawalau sedetik.

Suatu hari, di bulan ketiga minggu pertama. Dia tidak terlihat, dalam perjalanan pulang pun aku tak menemuidirinya. "Ah mungkinadaurusan."

74

Hingga bulan - bulan berikutnya, ia masih tidak hadir di perpustakaan ini. "Oh dia udah lulus mungkin." Sebuah pernyataan yang tak ada landasan mencoba menghibur diriku dari mulut diriku sendiri.

Waktu telah berakhir, aku mendapatkan giliran untuk mengakhiri masa studi sarjana selama 4 tahun dengan predikat bagus. Beban terangkat seketika, tapi aku masih belum tau akan berjalan kemanasetelah ini.

"Kirim email ke perusahaan apa lagi ya." Suatu hari saat lamaran pekerjaanku tak pernah mendapatkan jawaban. Melamun memandangi orang - orang di coffee shop dengan segala kesibukannya membuat aku iri. "Kapan ya gue bisa sibuk kerja juga."

Kalimat yang keluar dari mulut itu memang seperti doa dan harapan. Tiga hari setelah mengucapkan kalimat harapan itu, undangan datang melalui email, tertulis bahwa aku bisa lanjut ke tahap selanjutnya. Persiapan aku lakukan dengan matang dengan membaca semua buku, melihat video dengan judul, "Tips and Trick: Lolos Tahap Focus Groups Discussions", lucu memang tapiitu harusdikerjakan.

75

Sampai pada waktunya, aku sampai tepat waktu dengan pakaian yang sudah sopan dan rapi menurutku. Tapi…"Ini orang orang kenapa ngelihat aku kaya orang aneh?!" Batinku memandang orang -orang tersebut.

Giliran aku dengan 4 orang lainnya masuk dalam ruangan tahap Focus Groups Discussions atau FGD. aku duduk di depan seorang perempuan yang sepertinya aku kenal dengannya. "Ah fokus!" Perempuan itu membuat pikiranku buyar.

Belum sempat keluar aku dipanggil salahsatu pegawai disana. "Kau nih laki, kenapa harus pakai warna merah muda." Suara lantangnya membuat aku merinding. Memang benar, aku memakai setelan jas warna merah muda. Tapi apa salahnya seorang laki lakiharus memakaiwarna itu.

“Dasar tidak tahu malu.” Intonasi pria itu mulaimeninggi.

“Sudah, Pak. Ga sopan.” Pegawai perempuan yang sedari tadi membuat aku tak fokus mencoba menenangkan pria bodoh yang ada di depanku.

“Apa? Kau kata aku tak sopan? Kurang ajar!!!” Tangan pria itu yang sedari tadi mengepal tiba -tiba memukulpipiperempuan itu.

plak…

76

Suara nyaring daripukulan kulit tangan pria dengan pipi halus pegawai perempuan membuat semua orang tertuju pada kami. “Waduh.” Suara salah satu pegawai yang menuju ke arah kami. Perempuan itu lariterbirit - birit sepertiorang ingin menangis karena menahan malu. Tentu saja aku harus mengejar dia. “Karna gue jadiribut gini.”

“Bu… Ibu…” Suara panggilanku tidak membuat dia berhenti. Dia hanya berlari ke arah keluar kantor dan sepertinya menuju tempat sepi untuk mengeluarkan kesedihannya. Memang sudah sepatutnya kesedihan dan kemarahan harus dikeluarkan, tidak harus mengenal tempat bagus atau seorang teman diposisi ini. Seseorang akan lebih membutuhkan waktu untuk bersedih dan marah, ya itulahwaktu untuk memakidirisendiri.

“Hm tamat riwayat gue gak bisa kerja di sini.” Hanya kalimat itu yang mampu aku keluarkan kali ini. “Dasar tak tahu diri.” Aku kembali mengucapkan kalimat makian untuk diri sendiri. ***

Dua bulan setelah kejadian itu, aku sepertinya takut untuk melamar pekerjaan kembali. Melihat seorang bawahan yang diperlakukan tanpa

77

“Sudah lama aku tak menemuinya.” Rasa bosanku membuat keinginan melihat foto foto lama, khususnya saat berfoto bersama dengan mantankekasihku.

Sampai hari ini aku tidak bisa melupakan Brandon. Sudah banyak berkenalan dengan perempuan, tapi tak ada yang membuat aku melupakan mantanku. Hanya membuang waktu. batinku.

Hingga suatu hari aku mendapatkan pekerjaan di Bali, ya bekerja sambil liburan juga pikirku. Tepat hampir satu bulanaku dipulau indah ini, keinginan aku segera pulang memudar. Rasanya ingin selalu ada di sini, tenang. Kepenatan pekerjaan yang aku lakukan membuat aku jarang berkeliling untuk liburan adalah suatu alasan agar

78 belas kasih membuatku takut. “Aku pria pengecut ternyata.” Kesadaran diriku yang hari ini berkutik dengan layar laptop mengerjakan project dari perusahaan besar. Aku sekarang hanyalah pria dengan pekerjaan freelancer menulis konten promosi, mendesain untuk kebutuhan postingan suatu perusahaan, dan masih banyak lagi. Rasanya ingin hidup normal memang sangat sulit. Kegiatanku masih bersinggungan dengan masa laluku. mengerjakan tulisan persoalan kebebasan gender dan seksual memang sangat sulit. Tapi lebih sulit menjadibagiandarikehidupan itu.

aku bisa tinggal beberapa bulan ke depan di Bali. Laman Insagramku sekarang juga mendukung untuk berlibur, banyak postingan penawaran wisata alam.

“Silakan, Kak.” Suara manis dari waitress restoran yang baru aku kunjungi ini membuat keinginan berkenalan memuncak.

Tapi… mengapa waitress itu seperti kaget melihat diriku. Setelah memberikan makanan dan minuman yang aku pesan, ia langsung berlari ke arahdapur restorantanpa menatap wajahku.

“Ah sudahlah, dimana mana orang selalu takut dengan diriku.”

Memang tidak mengenal tempat orang akan selalu merasa bingung melihat seorang pria dengan dandanan perempuan. Aku terbiasa dengan make up. Kenapa orang seperti melihat hantu di siang bolong.

Aku yang merasa kurang nyaman dengan pelayanan itu membuat keinginan makanan lezat di hadapanku hilang. Tanpa menyentuh makanan itu, aku langsung membayar danpergi.

“Bodoh juga aku kenapa masih memakai lipstik ini.” Sangat susah untuk memulai menjadi pria seutuhnya menurutku. Aku buru - buru menghapus riasan bibir, tak lama gawaiku berdering, “Perasaan gue lagi ga ada urusan kenapa ada telepon.” Oh ternyata itu hanyalah pesan direct

79

message dari akun seorang perempuan yang sepertinya aku mengenal dia. “Lha? ini kan waitress tadi. Kenapa dia tahu akunku?”

‘Halo, Kak Rian. Perkenalkan aku Farah, pegawai dari restoran yang Kak Rian datangi tadi sore. Niat aku menghubungi Kak Rian untuk mengajak bertemu agar permintaan maaf aku dapat tersampaikan dengan baik. Kalau berkenan, nanti akan aku informasikan tempat untuk pertemuannya.’

Begitulah isi pesan darinya. Tentu aku berat hati untuk bertemu orang asing, tapi sepertinya dia telah dimarahi oleh atasannya akibat perlakuan dia terhadapku.

Tepat pukul empat sore aku sudah ada ditempat yang Farah infokan. Disalah satu restoran kecil pinggir pantai. Hanya menunggu lima menit, Farah datang membawa banyak paperbag warna merah muda dan biru muda yang tak tahu barang apa yang adadisitu.

“Halo Kak…” Senyum lebarnya mengingatkanaku keduaorang yang berbeda.

“Oh ya…Halo juga. Sepertinya kau terlambat hahaha…”

“Maaf, Kak…” Ia menunduk seperti orang ketakutan

“Eh…Tidak apa apa. Aku hanya bercanda.”

80

Rambut pirangnya sangat cantik, sama halnya wajahnya seperti ukiran indah. Farah langsung berdiri saat seorang waiters menyajikan makanan, sepertinya insting dia sebagai waitress sudah tertanam. Bukannya duduk, ia malah memberikan paperbag yang sedaritadiaku perhatikan.

“Sebelumnya maaf kalau lancang, kak. Ini hadiah sebagai tanda minta maaf atas kelancangan yang aku buat kemarin di restoran.”

“Ah ya ampun, tak apa, aku hanya sedang merasa tidak pantas untuk diperhatikan sebagai orang normal…”

“Oh sorry, kenapa aku malah curhat.”

“Bukan tidak pantas, semua orang akan selalu punya hak untuk diperhatikan secara normal. Kemarin aku tidak berniat untuk melukai Kak Rian tentang hal itu. Aku sungguh paham, tapi kasus kemarin aku merasa kaget melihat kamu berada di sini.”

Aku merasa kaget saat Farah mengatakan itu. Iasepertisudahbertemu denganku sangat lama.

“Tunggu…”

“Iya, Kak. Aku Farah, perempuan yang kau ajak bicaradanpegawai yang ditampar atasannya.”

81

Mukaku seperti orang yang kebingungan melihat kebetulan ini. Farah akhirnya bercerita tentang kehidupannya menjadi seorang mualaf tapi semua keluarga dan orang terdekatnya merasa dirugikan. Ia malu harus berpura - puratelah keluar dari Islam dengan memakai pakaian terbuka kembali. Sampai saat ini pun ia tetap tidak punya kebebasan dalam memakai pakaian yang tertutup dan menyatakan bahwa ia masih berada pada agama Islam. Tentu aku yang mendengarkannya sangat kasihan, seperti sedang berkaca mengenai penerimaanseseorang terhadap dirikita.

“Kau sepertiku, Kak Rian.”

“Aku melihat kamu sudah lama sebelum kita bertemu di perpustakaan. Kamu malu dengan masa lalumu. Aku pun malu dengan niatku masuk agama ini ternyata belum kuat. Aku ingin diterima tapi takut.”

Kalimat akhir seorang perjuangan seseorang terhadap penerimaan dari pandangan masyarakat adalah makanan keseharianku juga. Bagaimanapun aku pergi dari masa lalu, selalu ada orang atau momen yang menyakitkan datang untuk mengingatnya. “Mungkin, mulai daridiri kita untuk tidak malu dan takut adalah solusinya, Far”

82

Pisau Waktu

Jam weker berbunyi sangat keras seperti suara lolongan anjing tengah malam. Kesadaran seketika adalah kebiasaanku yang membuat kepalaku terasa pusing. Jam dua pagi adalah rutinitasku akhir akhir ini untuk mengejar ketinggalan aku dalam proses pembelajaran masuk universitas. Aku menyalakan laptop di meja belajar itu dulu. Mengganti pakaian saat akan belajar adalah solusiku agar tidak mengantuk saat belajar tadi.

Hampir jam lima pagi aku masih terjaga, kali ini aku hanya memakai pakaian tanktop karena AC kamar sedang rusak membuat suasana sangat panas. Tak ada keganjilan yang aku dapat beberapa hari ini. Hanya suara serangga yang selalu menemaniku belajar. Tepat setelah pukul lima pagi, aku yang sedang mengantuk langsung terjaga kembalisaat mendengar gawaiku berdering.

“Sial, siapa yang mengirim pesan sepagi ini…”

Tak lama aku langsung merebahkan badan di kasur sambil melihat pesan itu. Belum selesai

83 Ilusi 8

membaca, aku langsung merinding menatap fotofoto yang dibagikan oleh seorang yang tak dikenal. Semua foto itu adalah aku. Tidak, ini bukan bohong.

Aku langsung melemparkan barang barang yang berada pada rak buku sebelah kasur. Sepertiada yang memataiku. Ya, inibukan bohong. Seseorang mengambil fotoku saat bergantipakaian. Pesan itu aku diamkan. Pikiranku hanyalah membuang barang - barang itu. Badanku masih denganpakaianterbukua.

“AAAAAA!!!” Ya, itu teriakanku yang membuat semuakeluargaku terbangun. “Sarah, ada apa yaampun kenapa kamu menangis.” Ibu yang melihat aku dipojokan dengan suasana kamar seperti kapal pecah langsung mendekapku. “Bu…tidak, Bu. Aku anak baik, aku tidak seperti itu.” Dipikiranku hanyalah aku tidak melakukan hal menjijikan seperti itu - melihatkan bagian dada atas yang tanpa busana Kakakku yang sedari tadi bengong melihat ke arah gawaiku langsung menampar pipiki. “Apa apaan ini! Kau disekolahkan buat lakuin ini?”

Ia langsung memperlihatkan foto yang ada digawaiku ke Ibu dan Ayah. “Tidak, Bu, Yah. Aku tidak melakukan itu. Aku mungkin dijebak.”

84

Tanpa sadar, terdapat dua pesan yang telah dihapus. Aku tidak mengerti isi dari pesan itu. Mereka langsung pergi, seperti seorang yang telah diputuskan harapannya. Aku pun, merasa jijik dengan diriku sendiri. Aku tidak ingin berangkat ke sekolah. Aku takut.

***

“Eh lo gatau Sarah kemana? Tumben banget dia kagak berangkat.”

“Lha lo belom tau berita panas soal Sarah, Zak?”

Zaki yang baru ingin menanyakan perihal berita yang dimaksud harus terpotong karena suara teriakan dari belakang mereka. “Zaki… Lea!! Gawat!” seorang perempuan tinggi berlari ke arah mereka. “Aduh capek banget… ini beneran sarah?”

Zaki langsung mengalihkan pandangannya dari foto yang sangat tidak pantas untuk dilihat untuk seorang laki laki. “Zak lo udah tau?” Lea seperti meyakinkan bahwa Zaki belum melihat foto itu. Zaki menggelengkan kepalanya tanda ia benar tidak tahu.

“Ini Sarah kok bisa gini. Dia ngirim ke siapa foto kaya gini?” Silvi yang sedari tadi bernapas berat tetap masih tidak percaya soal berita itu.

85

“Gimana aku tau anjir…”

“Sebentar deh, foto itu kalian dapat darimana coy?”

Lea pun cerita asalusul foto itu munculdari sebuah akun anonim Facebook menyebarkan tangkapan layar dari percakapan sebuah group di Telegram. Sepertinya group itu berisipesan - pesan yang membagikan foto telanjang perempuan lainnya. Tanpa diketahui nama group itu dan siapa pengirimnya. Dalam isi postingan pada akun anonimFacebookitu hanyatertulis,

‘Bagaimana bisa anak pintar dan rajin seperti Sarah 12 1 melakukan hal bodoh seperti ini.’

“Mungkin itu yang buat Sarah ga berangkat?” Zaki memastikan dengan mata yang sedikit ketakuan. Lea hanya mengiyakan dengan mengangguk. Kali ini Silvi seperti orang biasa saat mengetahui hal itu. Tidak seperti tadi yang merasa ketakutan.

“Kayanya dia kali ini bakalkena hukuman.” Lea melanjutkanpembicaraannya.

“Heh Le, kamu jangan gitu. Dia temen dekat kita juga.”

Lea yang mendengar itu hanya tertawa dan membuat muka tak enak dipandang. Ia langsung berjalan meninggalkanZakidanSilvi.

“Waduh kurang ajar, Lea. Bukan teman.”

86

Di tempat lain, Lea sepertinya senang melihat kehebohan yang terjadi akibat Sarah. Semua orang bertanya padanya soal Sarah, tapi ia tidak menjawab. “Basi banget hari ini pertanyaannya.” Ando yang mendengar Lea seperti mendengus kesal akhirnya menghampirinya. “Lo padahal temen deketnya, tapi malah kaya orang senang melihat keadaan gini.” Ando yang mengejek Lea akhirnya kena pukul kepalanya oleh Zakidaribelakang.

“Anjing, kenapa mukul gue bro ” Spontan Silvi melerai keributan itu. “Gimana kita temuin Sarah? Kasian coy dia.” Zaki yang seperti memohon kepada Lea agar mau ke rumah Sarah akhirnya mendapatkan jawaban, “Oke.”

Ando seperti melihat keanehan antara tiga orang ini. Zaki selepas mendapatkan jawaban dari Lea langsung mengajak bertepuk tangan dengan Silvi. Sedangkan teman dekat Sarah seperti menikmatikeadaangaduh ini.

Selepas pulang sekolah, lanjut ke arah jalan rumah Sarah seperti rencana yang dibuat di kelas. “Kalian jangan terlalu frontal bahas masalah itu. Pura pura gatau. Ajak Sarah ke luar dari

87 ***

Sudah tiga kali bel rumah ditekan tapi tidak ada jawaban dari tuan rumah. “Sepertinya dia ke rumah sakit. Ayo pulang aja.” Lea yang sepertinya sudah malas menunggu mengajak semua orang pulang. Tapi…”Tunggu aja, dia pasti lagi di kamar.” Zaki meyakinkan untuk menunggu beberapa menit lagi.

Ternyata benar dugaan Zaki. Tapikenapa ia tau kalau Sarah ada di kamar. “Hm mungkin perasaan dia aja.” Ando yang merasa bingung tetap meyakinkan diri. Semua orang sepertinya patuh dengan perintah Zaki. Menemani Sarah, tapi ia hanyadiamtak berbicaraapapundantak menjawab pertanyaan yang diajukan.

“Sar, lo tuh sebenarnya kenapa?” “Mau main?” “Main monopoli aja?”

Ando yang masih kuat agar Sarah mau bicaraa tetap ga ada hasilnya. “Kalian pulang aja gimana? Gue lagi males. Kalian pasti udah tau masalah itu.” Sarah langsung pergi ke lantai 2 ke arah kamarnya. Zaki dan Silvi yang sedari tadi diam langsung menghentikan Sarah. Tapi ia tetap beranjak ke kamarnya. “Zak… udah pergi aja.”

88 kamarnya.” Perintah Zaki. “Iya terus dihibur aja.” TambahSilvi. Leadan Ando hanya mengangguk.

Terlihat Zaki yang berada di tengah anak tangga coba menghentikan Sarah. “Ya bener, kita semua udah tau… Tapi disini kita bukan ada maksud buruk. Kita mau hibur lo, Sar.” Tanpa sadar Sarah sepertinya sudah ingin menangis melepaskan kemarahan atas kejadian itu. Ia menangis di dada Zaki.

Zaki langsung mengajak Sarah untuk turun kembali ke ruang keluarga tadi. Ando ke arah dapur untuk mengambil minuman. Lea yang sedari tadi duduk di teras rumah sudah tak terlihat. Mungkin sudah pulang, batin Ando, yang sedari tadi melihat kanan kiri mencari Lea. Silvi tak tau hilang kemana.

Di ruangan itu, Ando dan Zaki menenangkan Sarah. Ia hanya menangis tanpa bisa mengatakan satu kata pun soal perasaannya. Silvi yang sedari tadi hilang ternyata mengambilkan sebuah tissue dan selimut untuk menutup Sarah. “Sabar ya Sar. Nanti kita bantu bicarain.” Ando yang sedari tadi merasa iba dengan perempuan yang sudah lama ia sukai.

“Lho…” Zaki yang kaget melihat Lea ternyata masih di rumah Sarah seperti seseorang yang kaget karena ketahuan melakukan hal buruk. “Kenapa? Sarah temen gue mana aku tega ninggalin atau nakalin dia.”

89

Ando yang sedaritadibingung melihat semua orang seperti ada hal yang ditutupin langsung bertanya, “Nakalin?” Ia berdiri seperti menantang Lea. Tapi Lea balas dengan ringan, “Kenapa, Ndo? Lo mikir aneh apa ke gue?”

“Nggak, maaf.” Ando melihat mata Lea seperti mengancam yang membuat dia duduk tenang kembali. Selepas Sarah merasa reda tangisannya. Mereka berempat pamit. Sarah masih diam seribu bahasa, berbeda dengan Sarah sebelum kejadian itu. Dia yang dikenal sebagai cewek ceria, baik, dan sopan sekarang berakhir menjadi cewek yang ketakutandanpendiam.

***

Hingga hari keempat, Sarah masih tidak beraniuntuk berangkat. Tapihari ini, harikelima ia harus masuk ke sekolah. Ia dipanggil oleh komite sekolah. Sudah dibayangkan Sarah pasti akan mendapatkan hukuman. Bersama Ibunya, ia berangkat dengan ketakutan yang menyelimutinya. Semua badan bergemetar dan jantung berdegup kencang.

Sesampainya di sekolah. Semua orang sangat berbeda kepada Sarah. Mereka malah menyemangati Sarah dan berebut minta maaf. Keanehan yang terjadi, dipikiran Sarah hanyalah

90

makian yang akan ia dapatkan, tapi kenapa ini kebalikannya?

Belum usai kebingungannya, Lea yang dari jauh memasang muka berbeda dari hari kemarin mereka bertemu. Lea seperti bahagia akhirnya temannya datang. “Kamu hebat, Sar…” Kata dia sambil memeluk aku kencang.

“Hebat bagaimana? Dia udah memalukan nama keluarga.” Intonasi Ibu yang meninggi dibalas dengan suara Lea yang sangat ramah. “Nanti ibu akan tau sendiri.”

“Iya, Bu. Sarah akan selalu jadi anak baik.” Tambah Ando yang sedari tadi juga ikutan tersenyum.

Sarah dan Ibunya masuk ke ruangan yang bertuliskan Kantor Rapat. Sudah ada beberapa orang yang duduk disana. Tapi…

“Zak? kok lo disini?” Ya, ada Zaki dan ternyata disebelahnya adalah Silvi. Kenapa mereka disini…

Semua orang kaget setelah ada dua orang polisi ikut masuk ke dalam ruangan itu. Ibu Sarah yang sedari tadi berjauhan dengan Sarah langsung memeluk anaknya, “Jangan bawa Sarah tolong, dia anak baik, Pak.”

91

Dari depan, seorang pria yang sepertinya seorang Komite Disiplin Sekolah langsung menyalakan layar proyektor. “Bu, tenang ya. Kami jelaskan benang merah daripermasalahan ini.”

Satu jam berakhir dengan tangisan Sarah dan kepalan tangannya yang sudah siap memukul Zaki dan Silvi. “Tega ya lo berdua anjing!!!” plak….

Suara tamparan itu sangat nyaring sampai luar ruangan. Lea dan Ando langsung masuk memisahkan Sarah yang sekarang sedang menjambak rambut Silvi. Lea dengan kejutekannya terhadap permasalahan Sarah kemarin ternyata ada kebaikan yang ia lakukan. Ia menghilang sebentar ternyata pergi untuk mengecek CCTV yang ada di dalam rumah Sarah. Sesampainya disuatu ruangan, sepertinya sebuah gudang terletak sebuah layar seperti layar TV yang melihatkan beberapa sisi ruangan yang terdapat CCTV.

“Tunggu, ini kenapa Silvi ke arah kamarnya Sarah?” Tanpa berpikir panjang. Lea langsung pergi untuk mengintip apa yang sedang dilakukan oleh Silvi. Lea seperti menemukan harta karun, dia melihat Silvi mengambil kamera kecil yang sepertinya terpasang disalah satu sudut rak buku di kamar Sarah. Bukan hanya itu. Ya, Silvi seperti

92

mengobrak - abrik bagian laptop milik Sarah. Tidak tau apatujuannya.

Selepas pulang dari rumah Sarah. Lea langsung mengajak Ando untuk bertemu membicarakan hal - hal yang ia temukan tadi. Mulai dari mengunduh file rekaman CCTV saat teman - teman Sarah main di kamarnya. Dalam rekaman itu menunjukan enam hari sebelum kejadian itu, mereka berempat main dikamar Sarah dan menemukan gerak gerik Silvi yang memasang sesuatu dibagianrak buku itu.

Waduh. “Lea cepet kumpulin, kita aduin ke guru kita.” Ando yang sudah naik pitam tidak pernah berpikir jernih ke depannya. “Tunggu bodoh. Gue mau mastiin satu haldulu.”

“Lihat, Silvi juga lagi mengobrak abrikin laptop Sarah. Ngapain dia?”

“Laptop Sarah bukannya kemarin katanya lagirusak ya? Mungkin dia lagi benerin?”

“Ya itu rusak pas 6 hari sebelum kejadian. Dan Zaki lagiperbaikin Laptop Sarah.”

Lea memperlihatkankembalirekaman itu.

Beberapa hari selanjutnya. Ando sepertinya ingin memecahkan masalah itu membuat ia memberanikan diri buat bertanya ke Zaki. “Zak lo bisa ga benerin kamera gue?”

93

Zaki mengiyakan dan sepulang sekolah dia diajak ke rumah Zaki untuk memperbaiki kerusakan yang Ando bilang. Diam diam memperhatikan barang milik Zaki. Tapi ada satu hal yang membuat dia bingung. Ada satu gawai milik Zaki yang tidak pernah ia pakai untuk bermain game atau hal seperti yang lainnya. Ya mungkin gawai itu khusus untuk suatu hal. Iya hal khusus itu adalah memantau kamera yang ia sembunyikan di balik pekerjaan ia memperbaiki laptop orang - orang. Tentu, Zaki mengeluarkan gawai itu sekarang dan saat sedang memperbaiki kamera laptopnya.

“Anjing, gue harus ambil hp dia.” Batin dan pikiran Ando hanya hal itu. Tentu sulit. Hingga pada saat hari ketiga kejadian itu. Ando dan Lea yang sudah memantau gawai yang dimaksud, mereka mencoba mengambil cara agar bisa merebut gawaiitu.

“Otak lo bisa aja dipakai, Ndo.” Ando dengan lihai mengambil gawai yang ada di tas Zaki saat ia sedang lengah bercanda dengan kawan kawannya.

Tentu saja, mereka berdua mendapatkan harta karun lagi. Hubungan Zaki dan Silvi bukan sekedar teman biasa. Mereka bersekongkol untuk menjebak Sarah dengan kejadian itu. Tak tau

94

niatnya apa. Tapi grup telegram yang membagikan foto foto telanjang Sarah ada di gawai tersebut dengan dua anggota di dalamnya. Salah satunya adalahZaki.

“Orang bodoh mau menjadi jahat emang banyak salahnya ya, Ndo.”

Lea menunjukan beberapa pesan saat Zaki mengirim pesan dan memanggil lawan bicaranya dengan sebutan “Sil”.

Pada malam keempat tanpa pikir panjang, Lea dan Ando langsung berlari menuju rumah wali kelasnya untuk membagikan barang bukti agar Sarah tidak dihukum karena itu bukan kesalahannya.

Teman dekat adalah satu dari jutaan lebel kebohongan yang adadidunia. Tidak ada yang bisa kita percaya, mereka akan memangsa saat waktunyasudahtepat.

TAMAT

95

Gunung dan Tumbuhan. Manusia dan Kebohongan.

Bunyi derit jendela itu tampak tidak ditutup rapat, hampir satu menit sekali bunyi angin menembus ruangan gelap yang penuh dengan tumpukan buku membuat suasana semakin tidak nyaman. Ia hanya menatap bingkai foto yang terpampang ditembok ruangan dapur, tepat sebelah ruang buku itu. Ia menertawakan senyuman seorang perempuan tua yang terlihat senang bisa berfoto bersama dengan anak-anaknya sekian lama. Hilang suara ketawanya yang membuat badanku merinding, sekarang hanya tangisan kecil yang mulaiterdengar.

Tak berlanjut lama, ia tiba tiba menurunkan bingkai foto besar itu dan mengatakan, “Bikin susah saja.”

Hari berikutnya, aku mengunjunginya lagi. Namun, Nampak tidak ada orang. Hanya ada kertas yang menempel di pintu rumahnya. Kertas itu bertuliskan, “Jika penting, tunggu 1 bulan saya akan pulang.” Aneh bukan? Tapi entahlah, aku langsung menempelkan kertas itu lagi ditempat

96

Disudut taman, terlihat perempuan cantik bersama anak kecil yang manis sedang merawat bunga bunga yang tampak cantik juga. Mereka tertawa tanpa mengenal waktu sudah mulai malam. Hanya bunyi lonceng dari arah lain yang bisa menyadarkan mereka untuk segera masuk rumah. Pukul 9 malam sebagai waktu istirahat anak anak membuat rumah itu terlihat mulai sepi. Perempuan itu mulai membuka buku yang berisi cerita untuk menidurkan anak anak tersebut. Belum sempat ia duduk untuk membacakan cerita, terdengar suara ketukan dari pintu depan. Perempuan itu tak mempedulikannya, ‘kenapa harus membuka pintu untuk tamu yang tidak tahu diri,’ batinnya. Ketukan mulai keras berbunyi membuat semua orang di rumah itu turun untuk melihat siapa yang datang. Tanpa merasa takut, perempuan itu membuka pintu untuk melihat siapa yang datang diwaktu istirahat.

97 semua. Berniat menanyakan maksud itu kepada tetangga rumahnya, terdengar suara laki laki tua yang berteriak kencang, “Jangan kau ganggu dia.” Lelaki tua itu menunjuk diriku, tanpa mengerti maksudnya, aku hanya mengangguk dan segera meninggalkan rumah ini. Aku cepat cepat ingin menanyakan maksudnya yang tiba tiba menghilang, namun yang terlihat pada layar gawaiku hanyalah akun yang menghilang. “Sial, kemana jalang itu!” Tak kuasa menahan amarah, aku mengumpat tanpa mengenaltempat.

Brakk

Bunyi keras berasal dari kepala perempuan yang menghantam sisi kursi jati membuat anak anaknya menangis keras. Tidak disangka, tamu itu merupakan mantan ayah dari keempat anak anak tersebut. Laki laki itu tidak terlihat seperti sedak mabuk, ia sadar. Yang terucap setelah ia mendorong tubuh mantan istrinya hanyalah kata, “Dasar kau jalang!” dan langsung membawa salah satu dari keempat anak yang sedang menangis melihat bundanya terkujur kaku tak sadarkan diri. Ia membawa Lasti, anak sulung yang berumur 10 tahun dengan paras paling manis dari ketiga adiknya. Salah satu adik terkecilnya menjerit meminta bantuan, namun nahas tidak ada yang mendengarkannya.

Berjalan 17 tahun kemudian, Lasti tumbuh menjadi perempuan tercantik di pemukiman barunya. Tidak disangka, ia masih mengingat siapa yang mewariskan kecantikannya. Tubuh langsing dan senyuman indah itu membuat semua orang iri menjadi dirinya. Lasti sudah menikah tapi enggan mempunyai anak. Suaminya sama seperti ayahnya yang memisahkan dirinya dengan bunda, gemar berganti pasangan dan mabuk. Jika dipandang dari jauh, Lasti tumbuh menjadi perempuan kuat.

98

Berbeda dari dekat, ia selalu menahan diri untuk marah. Kecantikannyaakan luntur katanya. Berbagai masalah selalu ia selesaikan dengan mudah dan sabar, salah satunya menjadi budak suaminya. Hingga sekarang, kewarasan dirinya mulai hilang. “Esok aku akan pergi.” Ucap dirinya telepon, entah dia menelepon siapa di malam saat dia sedang bersama suaminya di rumah kecil. Ia tertawa melihat bingkai foto yang terpasang. Melihat senyum perempuan yang tak cantik sama sekali merangkul dirinya dan suaminya. Terlihat juga ayahnya yang bergaya mengacungkan ibu jarinya dengan senyum lebar. Ya, perempuan tua itu merupakan ibu dari suaminya yang menikah dengan ayahnya. Cukup rumit memang. Lasti dendam dengan ketiga orang itu, memisahkan dirinya dengan bunda dan ketiga adiknya.

“Sudah waktunya aku tak diberbudak dengan orang bodoh seperti mereka.” Lasti mulai menyiapkan barang barangnya untuk kabur dari ketiga orang tersebut setelah suaminya pamit pergi untuktidur denganperempuan lain.

“Kemana lagi aku harus cari mereka.”

Sudah lima hari Lasti pergi mencari bunda danadik adiknya. Ia lupadimanarumah lamanya. Hanya berbekal gambar yang ia buat 17 tahun lalu

99

yang tak sengaja terbawa saat kejadian sial itu. Di kamar hotel tempatnya singgah, ia sibuk mencari keberadaan mereka dan rumahnya melalui sosial media.

“Satu persen aja ga nyentuh kayanya kalau lu cari lewat situ.” Celetuk perempuan yang sepantaran dengannya. Neli, teman kecilnya. Hubungan mereka sangat dekat untuk bertukar cerita pedih masing masing. Lasti hanya tersenyum melihat Neli yang mulai lelah melihat temannya mengumpat terusmenerus.

“Kita cari besok aja ya, Las.” “Gue udah capek.”

Pagi pukul 4 pagi, mereka sudah siap untuk pergi mencarikeberadaan keluarga Lasti. Bermodal mobil milik Neli, mereka tempuh misi pencarian keluarganya dengan semangat. “Bodoh sebenarnya gue carinya setelah 17 tahun ga sih, Nel?” Belum setengah perjalanan Lasti mulai pasrah, ia takut tak bisa menemukankeluarganyasampai ia mati. Di daerah perbukitan sejuk itu Lasti mulai menyadari bahwa ia seperti berjalan saat kecil bersama bundanya.

“Bentar nel, gue harus turun disini.” Ucapan dadakan itu membuat Neli berada dalamduasituasi, kaget dansenang.

100

“Disini?!” Ucapan Neli tidak digubris Lasti. Ia hanya langsung turun untuk memastikan. Mata Lasti mulai melihat sekeliling, tidak ada pohon kecil yang mati seperti dulu yang ia lihat. Namun, semangatnya mulai bertambah setelah melihat puncak bukit seperti ada gubuk rotan yang ia percayai bahwa itu salah satu tempat menaruh bunga hasil petikan dia dulu. Lasti langsung menuju bukit itu dengan jalankaki.

“Nel cepet parkir mobil, gue kayanya nemu.” Tak lama, Neli cepat mengikuti perintah Lasti. Mereka berjalan kaki menuju puncak bukit itu. Tapi, bukit ini seperti tidak pernah ada yang datang. Tidak ada orang yang bercocok tanam di bukit ini. Neli mulai bergidik melihat sekelilingnya yang gelap.

“Las, bener ini?” Neli menggandeng tangan temannya. Lasti hanya bilang, “Mungkin.” Sudah berjalan hampir 20 menit dengan susah, mereka masih belumsampaidipuncak bukit itu. Lastitidak berkata sedikit pun, ia hanya berjalan lurus membuat Nelibertambahketakutakannya

“Keknya harus dipastikan dulu deh sama gambar yang lu bawa ke orang orang dibawah Las.” Lasti tetap diam, tak menoleh dan tak mengatakan satupun kata. Padahal ia naik saat

101

masih siang dan langit masih cerah tapi kenapa disiniterasasepertihampir maghribpikir Neli.

“Las gue takut, turun aja yuk.” Lasti yang mulai lelah mendengar keluhnya Neli langsung menarik tangan temannya. Masih tak berbicara, ia hanya menarik dengan menatap sengit padaNeli.

“Lasti kesurupan apa ya,” batin Neli yang takut melihat langkah mereka sangat cepat. Tiba tiba, langkah itu mulai lambat, tubuh Lasti mulai tumbang karena sudah tak makan selama tiga hari, tak lama tubuhnya terjatuh pingsan terlihat wajahnya sangat pucat.

“Heh lu kenapa anjir, las bangun cepet!”

Neli yang sedang ketakutan mulai tidak bisa berpikir panjang. Ia berteriak kencang meminta bantuan orang, namun hasilnya nihil. Hingga ia hanya meletakan tubuh Lasti disandarkan dengan pohondanpergiturunmencaripertolongan.

“Kurang ajar Lastikenapa pingsan begini.”

“Gila gue harus gimana yaa, ga ada orang. Gimana nih.”

Neli turun dengan bergumam ketakutakan. Kaki yang lelah itu mendadak bisa berjalan cepat demi temannya. Setelah 15 menit turun, ia menemukan satu orang yang terlihat sedang menanam. “Pak tolong saya, teman saya pingsan di

102

atas.” Neli yang belum melihat wajah lelaki itu langsung memintatolong tanpaberpikir panjang.

“Ha?Pak?Saya masih muda neng!”

“Ngapain kalian ke atas bukit, kalian sudah izin belum!”

Neli menggelengkan kepalanya dan menyuruh laki laki itu untuk cepat membantunya. Mereka pun bergegas untuk naik, namun setelah sampai ditempat, Lasti tidak ada. “Hah kok ga ada! Lastikamu dimana! Las!!!!!”

“Sebentar neng, Lasti? Temen kamu namanya?”

“Iya temen gue Lasti, lu kenal?” Neli mulai ketakutan.

“Kita ngomong dibawah aja deh neng.”

“Hah, terustemen gue gimana, ilang disini.”

Neli dipaksa untuk turun oleh lelaki yang tak dikenalnya. Dan mereka sampai pada tempatnya ia parkirkan mobilnya. Lelaki tua itu sempat kebingungan menjelaskan maksudnya.

“Neng, kamu kayanya nanti setelah aku ceritakan ini harus lapor ke Pak Kades biar bisa dibantu ya.”

“Hmmm, Neng Lasti itu sudah meninggal.” Lelakiitu tampak kaku untuk menyampaikannya Neli seperti orang bodoh sekarang mendengarnya. “Kang ga usah bongong, please anjir gue pukul lu. Temen gue td pingsan diatas!”

103

“Neng Lasti meninggal 4 hari yang lalu saat mencari bunda dan adiknya. Ia meninggal saat sampai di puncak bukit itu. Benar itu rumah masa kecilnya.”

“Neng Lasti marah melihat rumahnya telah terbakar, rumahnya lenyap. Hangus saat neng Lasti dibawa ayahnya saat kecil.”

“Kemungkinan dia tak sadarkan diri saat dibawa ayahnya, tapi itulah ulah ayahnya membakar rumah beserta istri dan anak anaknya yang masih didalam.”

Neli termenung, ia berpikir siapa Lasti yang 4 hari ini bersamanya dan membawa dirinya kesini. “Ga, gue ga percaya. Gue harus kesana bawa Lasti kesini cepet Kang.” Neli mulai menangis menyadari bahwa ia tidak menyadari bahwa temannya membutuhkan dirinya di saat waktu hendak mengambil nyawanya. Lasti sebenarnya sudah tahu rumah lamanya, dia meminta Neli datang untuk menemaninya menjenguk keluarganya. Tapi ia menolak karena ada urusan lain. Malam saat Lasti menelpon Neli, ia sedang bermesraan bersama seorang laki laki yang dari parasnya tidak tampak baik, lelaki itu adalah suaminya Lasti. Neli yang mulai sadar dirinya menjijikan berteriak kencang seperti orang gila baru.

104

Tangan Untuk Meminta. Mulut Untuk Berdusta.

Suara klakson yang tak pernah berhenti di persimpangan jalanan kota sudah tidak asing ditelingaku, mungkin orang lain juga. Sore yang penuh kebisingan membuat aku merindukan suara kicauan burung burung, ayam berkokok, dan sapaan orang orang di desa. Sudah lebih dari 5 tahun hidup di kota yang sesak ini, namun aku masih merindukansuasanakampung halaman.

Hanya gawai sebagai teman setia hidup di kota yang acap kali membuat kebosanan semakin meluap.

“Hari kok cepet banget sih.” Ucapku saat sampai di apartemen yang telahku beli 3 tahun yang lalu. Terdapat 3 ruangan yang sudah cukup luas untuk diriku yang selalu menyukai kesendirian. Tidak ada orang yang menggelegar memarahiku atau merisaukan jika aku ingin berdiam diri merupakan poin bagus tinggal di perkotaan. Selepas membersihkan tubuh, saatnya untuk melihat segala informasi hari yang berat ini.

105

Belum sempat membuka layar kunci gawaiku, munculpemberitahuan telepon darinomor yang tak ku kenal.

“Ya? Dengan siapa…” belum sempat menyelesaikan ucapanku terpotong dengan suara yang sedikit ku kenal berteriak meminta pertolongan. Aku terbujur kaku setelah mendengar berita itu, aku sudah lama tidak pulang kampung hampir

8 tahun membuat diriku seperti anak tak ada guna. Adikku menelepon setelah sekian lama tak pernah menyapa, Ibu, salah satu seseorang yang berharga di duniaku jatuh sakit sejak satu tahun lalu, ia sedang kritis. Sangat bodoh aku memutuskan hubungan dengan orang kampung karena permasalahan yang hebat menimpaku 8 tahun lalu. Tanpa basa basi, aku segera berangkat pulang ke desa untuk melihat keadaan ibu. Menempuh 7 jam perjalanan, aku hanya termenung mengingat nasih buruk yang sudah terkubur rapat kembali terbuka. Tak kuasa menahan tangis, mengingat kejinya orang orang mengatakan buruk saat hendak mencari kehidupan di kota membuat aku enggan pulang. Rindu akan kampung tapi keganjalan dan dendam itu terus singgah di hati.

106

“Permisi, ibu… bapak?”

Suara yang dirasa sudah keras tetap tak menimbulkan sebuah jawabannya. Hanya angin yang berlalu lalang melihat diriku mengetuk pintu tanpabalasan.

Desa ini mulai sepi. Khas para tetangga yang yang selalu berlomba suara siapa yang paling keras punsekarang takterdengar. Sekeliling rumah ini, aku melihat taman yang bagus dan asri berkat bunga yang seperti menyapa kedatanganku. Rindu sekali. Sudah 5 menit lebih berlalu, tidak adaorang yang keluar menyambutku.

Aku tanpa malu mencoba masuk rumah kecilku yang masih sama saja seperti 8 tahun lalu. Tetap tidak ada orang. Aku lekas pergi ke sawah bapak untuk melihat bagaimanakeadaannya.

“Pak!”

Panggilku setelah melihat wajah tegasnya yang terlihat gagah di bawah sinar matahari. Namun, iatak membalas, hanya melihat sekilasdan melanjutkan pekerjaannya. Aku hanya terpaku melihat bapak, tanpa mengetahui bahwa ada adikku yang berlarikearahku.

“Mbak!” Aku menatap mata adik perempuanku yang terlihat manis.

107

“Mana Ibuk?Dirumah sakit mana?” Adikku hanya terdiam tanpa menjawab kata apapun.

“Masa ya harus ngomong ibu meninggal atau sakit biar kamu pulang, nduk.” Terdengar suaraIbu dari belakang. Ia bugar tanpa cacat. Ia sehat. Adikku hanya tersenyum tanpa bersalah. Benar, harusnya aku yang merasa bersalah terlalu merasa suksesdikotadan melupakankeluarga.

TAMAT

108

Lanyard Tanda Kelemahan

Suasana jalanan pagi sangat membuat sesak bagi pernapasan maupun kesabaran. Semua ingin cepat sampai tanpa memperhatikan keamanan sekitar. Mengendarai kendaraan yang tak mengenal aturan adalah kebiasaan orang orang yang menyia nyiakan waktu berharga. Namun, ada satu orang yang tengah bersantai di ruangan kantornya. Ia sepertinya bukan pegawai penting, terlihat dari tali lanyard yang ia pakai. Warna orange yang dalam aturan perusahaan itu adalah pegawaidengan posisi rendah.

“Sepertinya aku harus merasakan kesejukan kantor dipagi hari sendirian terus.”

Ia memandang jam tangan yang dipakainya masih menunjukan jam setengah tujuh pagi. Padahal jam masuk kantor adalah jamdelapanpagi. “Kopi dan kertas di pagi hari memang bukan perpaduan bagus…” Ia sepertinya memberikan kesankesaldengan intonasi menyenangkan, terlihat dariraut mukanya yang sangat bahagia.

109

Pegawai lainnya mulai berdatangan, mereka saling menyapa. Tapi, pria itu hanya memandang dan tak pernah menjawab salam dari pegawai lain. Bukan sombong, ia hanya tidak disapa oleh orangorang sini. Hanya satu - mungkin teman - pria yang mempunyaitali lanyard warnasama.

Pria itu tetap dengan pendiriannya. Setiap hari berangkat pagi dan masih belum dianggap ada oleh orang - orang sekitar. Pekerjaan yang ia lakukan memang hanya mengerjakan suatu hal di depan layar dan mencetak dokumen yang nantinya ia letakan di atas meja atasannya. Terlihat mudah, tapi ia selalu pulang hampir jam delapan malam setiap harinya ya dia berangkat pagi untuk pulang malam hari- “Kapan gue bisa naik pangkat.” Suatu ketika saat kebosanan yang mungkin dia alami karena selalu diperlakukan semena mena oleh semua orang di kantor. Termasuk temannya yang sama - sama memakaitali lanyard warna orange.

***

“Heh bagaimana mungkin dia berbuat keji seperti itu.” Suatu hari di pantry kantor divisinya pegawai perempuan berkumpul seperti mendapatkan emas sebagai bahan obrolan. “Aku tiap hari selalu memperhatikan gerak geriknya. Sampai aku menemukan berita itu.” Tambahnya.

110

Crrrtttt….

Suara pintu pantry itu membuat semua orang di dalamnya langsung menunduk, seperti ketakukan. Ternyata kepala divisi datang. “Bukannya kerja, malah gosip. Kalian di sini mau ngapain sebenarnya hah!!!” Teriakan itu membuat semua orang dalam ruangan divisi mendadak menghentikan pekerjaannya. Tidak menunggu lama, perempuan yang membawa gosip ke kantor maju dan meminta maaf.

“Maaf, Bu. Kami tidak akan mengulanginya lagi.”

“Cih…” Jawaban menyakitkan yang pernah didengar olehperempuan itu.

“Gue kalo jadi lo, Sa, udah gue jambak rambut dia.”

“Bisa bisanya dia memperlakukan lo kaya gitu.”

“Ya gimana dia baru diangkat jadi kepala divisi aja langsung belagu.”

Percakapan tiga perempuan di pantry itu berlanjut saat merek pulang kantor. Selalu ada hal yang harus manusia keluarkan, baik kejadian buruk atau baik. Seperti tiga perempuan itu, mereka memilih jalan mengeluarkan keresahan dengan membicarakanorang lain.

111

“Halo, Sasa.”

Ditengah perjalanan pulang mereka dihadang oleh seorang perempuan yang sepertinya sangat sedang butuh pertolongan. “Nana? Kenapa kamu sangat… berantakan?” Sasa yang sepertinya kaget melihat seseorang yang ia kenali memakai pakaian sangat kacau. Kemeja kantornya tidak teratur, rambut acak dan wajah yang penuh dengan lebam. Ia langsung mengajaknya pulang terlebih dulu dan membatalkan janji bermain dengan kedua temannya.

“Sa, guetakut masadepangue…” “Minum dulu terus napas, tenangkan diri…”

Setelah dirasa tenang, Sasa menanyakan kembali apa yang temannya alami. Nana dengan gagap menceritakan sesaat pulang kantor ia berniat untuk melewati jalanan kecil ke arah kostnya karena harus mengambil pakaian yang ia laundrykan di arah jalan itu. “Terus terus…” Ketidaksabaran Sasa membuat temannya menangis. “Ih kenapa, sorry banget gue jahat ya?” Pertanyaan Sasa dijawab dengan gelengan kepala dan, “Gue masih takut, Sa…”

“Kenapa gue harus diikuti seseorang. Dia menjerat aku ke suatu tempat. Omongannya sangat aneh.”

112

“Ngomong apa dia emang, dia minta duit?”

“Nggak! Dia bilang….”

“Cepet bilang apa?”

“Dia tuh menyebut nama kamu terus!”

Sasa yang ikutan ketakutan tetap dengan sikapnya tegar untuk mencoba membantu temannya. Tapi keingintahuan Sasa membuat ia makin takut, sebab cerita dari Nana. Laki laki yang menculik Nana ingin Sasa yang menggantikannya. Kalau tidak, Nana akan dibunuh olehnya. Bayangan itu selalu dipikirkan Sasa setiap hari hingga tepat pada hari kedua setelah kejadian menimpa Nana, ia sepertinya diawasi seseorang mulai dari keluar kostnya sampai di kantor. Tapi ia tak tau siapa orang itu. Ia hanya memantau dari jauh, tapi kenapa pria itu bisa masuk ke dalam kantor. “Sa…kamu harus fokus, gapapa itu halusinasimu aja.” Sasa terus mengucapkan kalimat - kalimat itu sampai tak terhitung berapa kali membuat mulutnyakomat kamit.

“Sa gue anterin lo pulang ya, kayanya lo demam.” Salah seorang temannya mencoba untuk menawarkan bantuan. Tapi Sasa menolaknya. Ia menghabiskan waktu dengan kekhawatirannya hinggawaktu pulang kantor.

“Gue pusing banget…”

113

Dalam perjalanan ia berjalan seperti orang mabuk. Memang buah akan jatuh saat waktunya. Bantuan langsung datang saat Sasa hendak terjatuh di jalan. Seorang pria itu menawarkan bantuan tapi masih dengan pegangan kuat yang dimiliki Sasa, ia menolaknya. “Udah deh gue bisa sendiri!” Intonasi tinggi itu membuat pria yang kemungkinan sedang berbaik hati terluka hatinya. Ia langsung meninggalkanSasatanpa memberikansalam.

***

“Mah… mah… Sasa, Mah….” Dalam panggilan itu, seorang anak mengadu kepada ibunya sesaat setelah mendapati kabar buruk bahwa temannya tergeletak lemas tak berdaya di kamar kostnya. Di sore hari saat Nana hendak memberitahukan bahwa pria itu datang lagi menagih janji agar cepat membawakan Sasa, ia terbujur ke tanah melihat suasana depan kostan Sasapenuhdenganorang danpolisi.

“Pak, Bu ini siapa yang meninggal?” Suara seseorang yang sama paniknya memandang ada kain putih yang diangkat oleh pihak ambulance. “Itu… yang kerja kantor samping jalanan Haryati itu.”

“Oh…Mbak Sasa?” “Iya! Mbak e yang cantik itu.”

114

“Sayang banget, Bu, anak cantik baik meninggal gitu.”

“Kalo baik mah ga bakal bunuh diri, Pak.”

Bisa - bisanya seorang yang sudah meninggal masih tetap dijadikan bahan gosip. Amal dan perlakuan selama hidup akan selalu dibawa hingga mati. Kadang seseorang hanya hidup tanpa memandang seseorang, baik hati atau fisik. Mereka hanya akan keluarkan ego untuk memenuhi keinginannya. Sekalipun bergosip sebagai alat mengungkapkan ego mereka yang terluka ataupun hanya ingin mengajak orang lain untuk membenci.

Sasa dimakamkan di kampungnya. Nana ikut serta dalam pemakaman itu. Kehidupan mewah di kota besar ternyata berbeda dengan kehidupan orang tuanya. Semua tetangga dan kerabat ikut serta menghakimi bahwa Sasa meninggal bunuh diri sebagai bentuk tidak bersyukur ataskenikmatan yang iadapat. ***

Dilain pihak sepertinya ada orang yang berpestadengankematianSasa.

“Kamu berhutang banyak kepadaku.”

“Ternyata kamu seorang pendendam juga, ya, hahaha.”

115

tertawa yang melengking itu sangat mengerikan. Bagaimana tidak seorang bawahan akhirnya dapat menduduki posisi tinggi dari hasil membunuh yang ia lakukan. Pria dengan setelan jas itu sangat bebas sekarang, tak ada yang dapat memarahinya karena keterlambatan yang ia lakukan.

“Lihatlah orang di sana. Tidak pernah melakukan hal yang membanggakan kenapa ia bisa duduk di bangku yang diidamkan banyak orang. Ruangan yang dimasuki pria dengan tertawa lengkingan itu adalah ruangan wakil kepala divisi. “Kasian Sasa. Dia berusaha keras tapi harus tersingkirkan dengan gampang oleh laki - laki yang tak pernah punya muka.”

Semua orang dalam kantor ini jika dipikir memang sangat bodoh. Kenapa sangat mudah untuk dicuci pikirannya. Kepala divisi menenangkan kejadian kematian partner kerjanya hanya dengan, “Tak apa. Lanjutkan pekerjaan kalian. Posisi Sasa sudah digantikan oleh Pak Hendri.”

Perkenalan Hendri dengan tali lanyard orange adalah penyebab semua orang merendahkannya. Memang betul, banyak pegawai disini yang lebih mumpuni untuk maju

116

mendapatkan posisi Sasa. Kebetulan semua orang bodoh, tidak mengecek keganjilan kedekatan seorang pegawai bawahan dengan Kepala Divisi semenjak sebelumSasa meninggal.

“Bu, tolong bantu untuk menutupi kejadian itu.”

“Tentu saja sayangku. Aku tidak akan menembak diriku sendiri.”

Suatu hari percakapan Hendri dan Kepala Divisi terdengar oleh salah satu teman dekat Sasa. Ia kali ini tidak menjadi seorang yang bodoh. Keinginan mencari tahu sebab Sasa meninggal berawal dari kejadian Sasa yang merasa khawatir dan selalu melihat ke arah tempat duduk Hendri sebelum naik pangkat. “Tentu, ini masih ada sangkut pautnya. Dia meninggal setelah seharian dia ketakukan.” Tapi dia tak melihat gerak gerik Hendrimemantau Sasa.

Telinga Tasya yang mencoba mendengarkan percakapan itu tiba - tiba dikagetkan dengan tangan yang memegang bahunya. “Astaga.”

Mata Hendridan Kepala Divisi itu langsung beralih pada sumber suara yang ditimbulkan oleh Tasya. Untungnya tangan yang memegang bahu Tasya dengan sigap mengajak sembunyi dibalik lemarisamping pintu ruangan Wakil Kepala.

117

“Kamu siapa?” Setelah situasi aman, mereka langsung beranjak ke ruangan yang sepi. Sepertinya Tasya sangat terkejut akibat perlakuan pegawaipria itu. “Halo, Bu… Saya Anton.”

“Ada apa kau mengajak diriku kesini?” “Aku hanya ingin menyampaikan pesan saja, Bu. Kalau ibu harus berhati hati dengan Hendri.”

Tasya yang kebingungan tetap ingin memecahkan permasalahan itu. “Kalau boleh jujur, kamu tau apa soalHendri?”

“Hahahaha, tentu aku tau. Mana mungkin seseorang akan tegar dicaci maki atas keterlambatan satu menit yang membuat dirinya tidak pernah dilirik orang lain?”

“Bu Sasa telah melukai Hendri. Bu Sasa telah memancing emosi Bu Kepala Divisi dengan menyebarkan rumor mereka melakukan hubungan dikantor.”

Tasya mendengar penjelasan dari Anton serasa seperti patung yang membeku. Memang benar jangan pernah sekalipun memberikan pisau kepadaorang gila.

118

Ilusi 12

Lingkaran Sialan

Pernah melihat diri kamu dengan dua wajah berbeda?

Aku saat ini berada ditengah sebuah lingkaran wajah yang menentukan aku akan melangkan menjadi manusia seperti apa. Bawah kakiku hanyalah pantulan wajah dengan kesedihan dan kebahagiaan. Tentu aku akan memilih kebahagian. Hingga inilah aku. Kebiasaan tersenyum adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan, kata ibu. Beliau selalu bilang, “Kau laki laki termanis yang pernah aku temuin. Terima kasih sudah datang.”

“Kak, ayo main!” Aku mempunyai dua adik yang memiliki kepribadian masing - masing. Mungkin mereka di dunia sana sempat kebingungan melihat pantulan wajah saat akan dilahirkan di dunia. Hanya aku dan adik perempuanku, Nurani yang memilih kebahagiaan. Adik keduaku, Tata sepertinya memilih kesedihan, ia selalu murung tiap saat berkumpul atau berpapasan. Semua terasa pahit dimukanya. Padahal dia ahli dalam riasan tapi mengapa dia

119

tidak bisa menciptakan wajah serinya.

“Ta, besok kau jaga Rani, ya.” Ia hanya mengangguk

“Ta, kau mau makan apa? Aku belikan.” Ia hanya bilang, “Terserah.” Tipikal cewek memang seperti itu. Bilang terserah tapi barang atau jasa yang dikasih hanya dianggurkan. Tak adfa belas kasihan.

Tapi, suatu hari saat aku sedang menjemur pakaian di rooftop aku meihat Tata diantar seorang perempuan dan mereka saling tertawa terbahak bahak. Sangat berbeda jika bersama kami. “Siapa tuh, kok ga diajak masuk?” Suaraku yang mendadak itu paling membuat Tata terkejut. Mukanya berubah secara drastis. Dari muka yang enak dipandang, langsung berubah tanpa pandang situasi. Ibu yang mungkin sudah terbiasa dengan hal itu selalu mengatakan, “Gapapa. Kepribadiannya.”

Ya apa salahnya untuk mengubah kepribadian. Bukannya kebiasaan yang sering dilakukan adalah asal kepribadian seseorang terbentk? Bukan hanya itu, Ibu selalu mengatakan, “Lagi puber dia.” Ya masa setiap hari, setiap waktu,hausselalu puber.

120

“Orang kok doyan urusin keperluan orang lain.”

“Emanganya apa hak dia mengatur aku. Hanya sebatas Kakak yang tak pernah punya pemikiran dewasa.”

Aku mendengar suara kesal yang disampaikan Tata saat ia aku beri nasehat karena dia tetap ingin diperbolehkan untuk pergi bermain bersama teman temannya. “Apa salahnya seorang kakak memberikan nasihat, HAH!” Aku yang sudah muak dengan sikap Tata langsung mendobrak kamarnya.

“Lo pikir udh dewasa? Dengan ninggalin mamah yang lagi sakit dan sendirian dirumah?”

“Lha terus gue harus dikurung juga? Lo juga ga pernah mikir untuk diemdi rumah!”

Cekcok antara aku dan Tata membuat Rani menangis disudut ruang tamu itu. Ia terbangun mendengar kedua kakaknya beradu. “Kak Tata kenapa jahat ke kamu?”

Pertanyaan yang tak tahu aku harus jawab apa. Posisiku memang salah mengatakan dia tak tahu diri, tapi ini untuk kebutuhannya. Melarang dia pergi ke acara party yang akan membuat dia terjerumusdihalyang buruk.

Teriakanku sore itu tidak membuat Tata diam di kamarnya. Ia ternyata mencoba kabur dari

121 ***

berbagai arah. Hingga menemukan jalan keluar. Jendela gudang ia gunakan sebagai pintu keluar. Aku hanya merasa kasihan dia mempunyai kepribadian dengan ego yang tinggi. Aku menyembunyikan perlakuan yang dilakukan Tata dari Ibu. “Gue harus kasih hukuman.” Sudah pukul 7 pagi, dia masih belum muncul di hadapanku. Telepon yang dimatikan itu membuat aku kembali berada di tengah pantulan wajah. Khawatir dan marah. Aku tak bisa memilih, disisi lain aku ingin memukulnya, disisi lain aku takut dia mengalami hal buruk diluar sana.

"Sayang, kamu kenapa?" "Lagiada masalah, gapapa!"

Suatu ketika aku sedang pergi berdua bersama kekasihku untuk makan malam bersama. Pikiranku kacau masih dengan masalah 2 hari yang lalu. Aku akhirnya memilih untuk menjadi kakak pemarah.

"Aku menampar adikku." Ditengah perjamuan makanan malam, Friska, kekasihku langsung tak berselera untuk makan. Ia membalikan garpu dan sendok. "Ada apa?" Aku mencoba untuk bertanya kenapa ia seperti merasa kaget.

"Tidak, aku sepertinyasudahkenyang."

122

"Hmmm?Makanannyagaenak?"

"Enak enak saja."

"...Yang tak enak adalah… kau menyajikan makanan lain ditengah - tengah aku sedang menikmatimakanan ini."

Napas panjang yang aku keluarkan tidak membuat dia takut. Egoku tergores mendengarkan jawaban kekasihku. 'Wah, memang benar lebih baik diam karena itu emas.' Dalam batinku yang seketika ingin menampar kekasihku tapi tak bisa, initempat umum.

Kalau tidak di tempat umum? Ya tentu aku akan menamparnya. Sama seperti aku menampar Tata. Jiwa priaku harus tetap tegak di depan khalayak umum. Hingga suatu saat Friska menelponku dan mengatakan bahwa ia tak ingin lagi bersamaku, "Kita putus ya, aku ga baik buat kamu."

Telepon itu membuat pekerjaan yang sedang aku jalani di Luar Negeri terpaksa banyak hancurnya. Semuaorang marahdengandiriku.

"KALAU KERJA YANG BENER! DIKIRA

KAU KE SINI UNTUK MAIN?!" Suara dari atasanku berbarenga dengan tamparan yang hebat menambah amarahku memuncuk. Ingin aku pukul mulutnya, tapi jika ya aku akan mengalamidua hal. Lagi lagi aku berada ditengah sebuah lingkaran berisipantulan. Marahatau meminta maaf.

123

Kali ini aku memilih minta maaf. "Lo kalau ajak tarung si bos udahlah kelar masa depan." Omongan temanku benar adanya. Semua perusahaan lainnya tentu tidak akan pernah menerima karyawan sekalipun mau digaji rendah tapipunyatingkatanemositinggi.

Beribu percobaan untuk merayu Friska agar mau aku ajak kembali berpacaran tetap tidak ada hasil. Kesabaranku sudah diujung tanduk, aku tak pernah berpikir untuk menyelusup ke apartmentnya hingga saat ini aku mencoba untuk membuka ruangan itu.

"Ada apa? Kenapa kau sepertinya gugup sekali?" Suara Friska yang ternyata sedang di luar ruangan.

'Sial, dia mengganti password kamarnya."

"Fris, ayo kita balikan. Aku minta maaf… aku ga akan lakukan kesalahan lagi…"

"Emang kau salahapa?Tau kesalahanmu?"

Pertanyaan Friska membuat aku berpikir ulang. Ya memang aku melakukan hal apa? Aku tak pernah selingkuh. Aku tak pernah bermain wanita lain. Aku tak pernah berbohong. Pikiran itu berputar abstrak seketikadalam benakku.

"Hahaha kau tak salah, Bri. Aku yang salah. Aku punya cowo lain…"

124

Kalimat terakhir dia membuatku yang tadinya ingin sekali mengharap dia akan memaafkan aku, tapiaku yang harus memaafkannya.

Plak….

Tanganku yang sedari kemarin ingin menghajar semua orang dan akhirnya mendarat sebagai tamparan atas perbuatan Friska. Aku bahagia menampar dia. Friska dengan raut amarah tak membalas apapun. Ia berjalan ke dalam kamar. Hingga 6 bulan aku dan Friska tak pernah bertemu kembali.

Selama 6 bulan, aku masih menjadi pria dengan pilihan kebahagiaannya. Disetiap keadaan aku selalu tertawa dan senang, sampai semua orang sepertinya terlalu muak dengan hal itu. Tak ada yang bisa aku ajak bicara sekarang, teman kantor hanya menyapa lalu pergi, kadang acap kali mereka tak pernah memandang sekilas. 'Apa salahnya?'

"Aku pulang!"

Kepergian mamah tepat seminggu aku menampar Friska seperti sebagai hukuman. Di rumah hanya aku dan Nurani. Aku sering meninggalkan dia selepas mamah pergi untuk menghapus kesedihan tiap pulang tak ada suara, "Anak gantengku sudahpulang, ayo makan!"

125

"Kak, Bri! Aku di sekolah buat ini!" Rani yang sekarang sudah mulai sekolah selalu senang tiap kali aku pulang, menunjukan setiap hal yang ia lakukan disana. Syukurlah dia tidak harus merasa sedih.

Tata? Dia semakin liar. Aku sampai sudah lelah memberikan ia hukuman. Sekarang aku membebaskannya. Suatu hari, dia pulang dini hari dengan pakaian tak enak dipandang. Rok yang sangat pendek, belahan dada terlihat sangat jelas. Dan yah, bau alkohol yang sangat terasa dari tubuhnya. "Hah ini dia pahlawan nasional yang membanggakan! Kapan kau pulang? Tumben sekali." Omongan itu sepertinya memang sangat ingin dikeluarkan oleh Tata, dia melemparkan tas yang sedari tadi menghasut untuk dilempar ke mukaku akhirnya terjadi. Kali ini aku bukan menamparnya. Aku menyeret dia kearah belakang rumah, melilit tubuhnya dengan tali di sebuah pohonbesar. "RASAKAN ITU."

Malam itu juga aku membawa Nurani yang sedang terlelap dan perlengkapan lainnya ke apartment yang baru aku beli. "Aku muak mengurusi anak kuranh ajar seperti dia." Dalam benakku, aku hanya akan membesarkan Nurani dengan hati hatiagar tidak sepertikakaknya.

126
***

Ya, bukan seperti kakaknya. Tapi dia mempunyai dua kakak. Apa yang aku maksud? Tataatau aku sendiri?

"Rani… ku dengar kamu dipecat dari pekerjaanmu?"

Dia seperti sedang asik bermain game di kamarnya. Kini ia sudah besar menjadi seorang pelajar SMA. Aku yang memilih untuk tidak menikah sekarang seperti menjadi seorang Bapak memakai tubuh seorang Kakak. Ya kakak bagi Nurani. Sudah hampir 10 tahun aku tak bertemu denganTata. Akutak pernah mengunjunginya.

"Iya kemarin aku menampar seorang pelanggan."

"Apa… Kenapa kau berperilaku seperti itu!" "Ya karena pelanggan itu merusak mood bahagiaku."

Tunggu, sejak kapan aku menjadikan dirinya seperti diriku. Kali ini aku bukan berada dalam tengah lingkaran pantulan. Nurani seperti cermin dari pantulan sikapku dari dulu. Tertawanya aku bukan sebuah kebahagiaan semata, ada campuran rasa amarah, sedih, dan takut dalam diriku. Tapi aku luapkan itu dalambentuktertawa.

127

"Ran, tolong besok jangan seperti itu ya. Kau belajar dewasa."

"Lha sejak kapan kakak memberi nasehat dewasa. Kan kakak sendiri yang bilang, jangan sampaiada yang merusak kebahagiaanaku."

Kata yang kuambil ternyata salah. Aku berdosa menjadikan adik dari anak mamah berubah menjadi seorang monster yang menakutkan. Aku ingin bertemu dengan Tata, aku ingin bertemu dengan Friska. Aku ingin meminta maaf atas perlakuan tangan tanganku, oh tidak maksudnya atas perlakuan egoku yang tak bisa pandang buruk atau baik. Aku menyesal tak pernah mengerti apa arti pantulan itu. Orang akan memilih kebahagiaan maupun kesedihan, ia akan tetap selalu menyembunyikanrasa lain yang iaambil.

TAMAT

128

Gelas Tua dan Kotorannya

Berita buruk itu sangat cepat sampai di telinga para gelas gelas tua. Sudah waktunya posisi mereka akan segera disingkirkan oleh gelas baru. “Mah, kenapa kita harus pergi. Ini rumah kita.” Rengekan ketidakterimaan anaknya membuat ibu gelas itu semakin tak berdaya, menangis di pojokanruang lemarikaca yang gelap, sendirian.

“Wahai sayang, ada apa gerangan?” “Anakmu…aku tak bisa menjawab pertanyaannya.”

“...Kita harus segera diungsikan dalam sebuah kotak kosong dan gelap…Anak kita sayang…bagaimana?”

Sepasang orang tua itu terjatuh pada muara kesedihan akan takdir ia terima, sudah saatnya. Jauh jatuh untuk kesekian kalinya. Kadang hiasan sebuah diri akan hilang mengikuti waktu yang kian bertambah. Tepat di pukul 10 pagi, sang pemilik lemari kaca itu menyingkirkan gelas gelas yang tua. Menggantikan dengan gelas yang lebih baru dan bersih.

129 Ilusi 13

“Ini kenapa hanya dua gelas? Mana dua gelas lainnya?”

Tuan yang merasa ada keganjilan dengan kehilangan dua gelas yang merupakan anak dari ayah dan ibu gelas yang telah menangis tersedu sedu ternyata merencanakan rencana buruk. Tepat saat sang tuan pergi mencari kedua anak gelas, mereka berduasegera mendorong gelas gelas baru sehingga menyebabkan masalah.

Prang….

Tuan hanya menatap sedih gelas barunya telah rusak, dalam pikirannya ia salah memposisikan gelasnya. Padahal ulah buruk gelas tua yang tak mau posisinya hilang. Kelicikan itu menghasilkan sebuah kebanggaan. Mereka masih mendapatkan sebuah ruang kaca yang megah itu. Tapi….

“Dasar tak tahu malu.”

‘Terlalu keras kepala.”

“Kalian kenapa sejahat itu.”

“Andaikan tuan tau, kalian sudah mati dalam sekali genggam.”

Kebanggan yang diterima ternyata tidak seberapa dengan omongan warga ruangan lemari kaca yang melihat kelakuan buruk dua gelas tua.

130

Setiap harinya mereka mendapatkan banyak cacian olehparawarga.

Musimdingintelahtiba.

Kegusaran para warga lemari kaca adalah kedinginan yang menyelimuti rumah tuan selalu membuat kaca lemari akan berembun. Tak bisa melihat keindahan rumah sang tuan beberapa bulan ke depan. Kondisi gelas - gelas pun akan cepat pecah jikadalamkondisidingin.

“Sayang, bagaimana kita nanti pergi sebentar ke dalam kotak dalam bulan musim ini?” Ajakan suami gelas tua itu sebetulnya sebagai bentuk kepedulian keluarga agar tak ada yang pecah bentuk gelasnya. Sang istritetap dengan sifat keras kepalanya, ia mau anaknya tinggal di sini, bersamaparawarga yang berkastatinggi.

“Kau pikir dengan tinggal di kotak, kita tidak akan pecah juga?”

Kemarahan istri yang membuat kedua anaknya merasa harus ikut turut mengajak agar sang ibu menurut kali ini. “Bu… disini tak baik juga… aku lebih ingin tinggal di lingkungan yang baik perlakuannya, Bu.” Demi Tuhan, ibunya seperti batu yang dikutuk untuk tetap keras. Masih tetap teguh hati, tapi kali ini berbeda. Saat rumor gelas kata baru akan menggantikan posisi mereka. Dengan sombongnya sang Ibu menyebutkan bahwa

131

dirinya akan tetap di sini, semua warga yang lain lah yang harus pergi. Rencana demi rencana mereka buat demi keselamatan bukan kali ini demi nama baik keluarga - katanya disetiap malam tepat hendak tidur.

Musimsemidatang.

Tentu waktu yang tepat untuk Tuan membeli barang cantik di luar sana dengan menikmati suasana indah di jalanan kota. Gelas maupun warga lain seperti piring, hiasan kaca, dan lainnya akan senang melihat Tuannya tersenyum saat membeli barang baru. Berbeda dengan keluarga gelas tua. Mereka merasa sebagai keluarga yang telah tinggal pertama kali di lemari kaca ini seharusnya yang dihormati dan tak dibuang.

Tapi anggapan itu salah. Bel pintu yang menandakan ada orang masuk membuat semua warga lemari kaca bangun menyambut warga baru. Kesedihan keluarga gelas tua masih sama saja sepertibulan bulankemarin.

“Kita harus pasang posisi tepat.” Bisik sang Ibu.

“Sayang kau harus cepat untuk bersembunyi.” Peringat sang Ibu kepada kedua anaknya.

132

Pintu lemari terbuka saatnya dua anak itu bersembunyi. Benar saja seperti yang dikatakan sang ibu tempo hari. “Dengarkan, Tuan sudah tak banyak mengingat kita. Tuan melupakan kita. Sangat tepat untuk kalian tinggal di sini. Ayah dan Ibu akan menunggu kalian dikotak.”

Pemikiran yang di luar logika membuat kedua anaknya takjub. Mereka yang setengah hati masih tetap ingin tinggal di sini akhirnya menuruti.

“Baik, Ibu Ayah… Kalian harus jaga diri juga.” Salam perpisahan itu menguatkan kedua anaknya untuk tinggal jauh dengan kedua orang tunya.

“Kalian sudah dewasa. Saling jaga diri satu sama lain.” Pesan terakhir ayah gelas yang tak tau kapan merekaakanbertemu kembali.

“Gelas kaca tua, apa yang kau lakukan disini!”

Bentakan piring klasik tua itu membuat gelas baru seperti ingin menangis. Semua warga mengerumuni gelas gelas itu. “Cantik, ya Kak.”

Adik gelas tua sepertinya merasa tersakiti karena semua warga kali ini tidak pernah melihat dirinya sebagaigelas indah.

Ketidakadilan yang diberikan oleh dua anak gelas tua membuat mereka tumbuh menjadi kuat.

“Ingat, kau harus tetap kuat untuk mengalahkan mereka.” Setiap harinya dua anak gelas itu mempercantik diri agar bisa bertahan di ruangan

133

lemari kaca ini. “Ingat, ruangan ini milik kita. Kita yang mendapatkan pertama kalinya.” Sebuah ingatan yang saling diberikan oleh dua anak gelas tuatakadaberhentinya.

MusimGugur Keenam.

Hampir enam tahun dua anak gelas tua masih bertahan dengan kuat. Padahal jika dipikir, tak ada yang bisa untuk bertahan selama itu tanpatrik licik. “Kau kali ini sangat hebat, Kak.” Adiknya yang sangat bangga akan kecerdasan kakaknya untuk tetap hidup di lemari ini. “Aku bangga padamu.”

“Mereka kenapa masih betah disini. Kalau aku jadi mereka, aku lebih memilih pergi ke kotak.”

“Betul, disini hanya mengoles dan memperindah sendiri tanpa ada kasih sayang dari orang tua secara langsung.”

Diam diam sang adik mendengar obrolan yang sudah diulang hampir 980674x dalam enam tahun ini. “Benar, kenapa kita tak pulang saja?” Dia mulaigoyah,tapilangsung dihentak olehkakanya.

Sampai suatu hari, di tahun ketiga setelah kejadian pertama kalinya sang kakak menampar adiknya. Tuan rumah meninggal. Rumah yang semakin kotor, debu berterbangan mencari rumah

134

baru menjadi tantangan baru warga lemari kaca. Bukan hanya itu, warga kotak pun harus bertahan dari gangguan tikus yang mulai banyak bermunculandisekitar.

MusimGugur kesembilan.

Kedatangan tuan baru yang membeli rumah ini seperti sebagai kebahagiaan terbesar seluruh warga. “Kita akan dirawat lagi.” teriakan yang tak menghasilkan apa - apa. Semua warga dalam kotak dan lemari kaca terbuang. Sia sia mereka mempercantik diri, jika sudah tak berharga akan selalu dibuang, kapanpun, bagaimanapun, dan dimanapun. Seharusnya semua warga harus berbahagia karena mereka ditemukan dengan keluarga lamanya. Berbeda dengan keluarga gelas tua. Anak anaknya yang tak pernah membahas kedua orang tuanya sekarang tumbuh menjadi anak yang tak tau terima kasih. Mereka bukannya bahagia, malah mendorong keduaorang tuanyasaat akan memeluk melepas kerinduan selama sembilan musim gugur berganti. Dorongan kuat itu membuat ayah dan ibu gelas harus melepaskan beberapa bagiantubuhnya yang sudahtuarusak.

“Kenapa kalian seperti ini?”

“Siapa yang mengajarikalian?”

“Apa gunanya kalian di sana jika menjadi orang bodoh!”

135

Demi Tuhan. Anaknya hanya tertawa terbahak bahak mendengar kemarahan kedua orang tuanya yang sudah tua dan tak terawat. “Mengapa aku harus baik terhadap kalian?” Kakak yang hanya menjaga nama dirinya agar tidak mendapatkan ejekan oleh warga sekarang telah berani mengucapkan kata menyakitkan. “Ya… kami menjaga diri sendiri. Kenapa kalian marah?” Tambah sang adik.

Warga yang sedang bahagia sekarang beralih merasa iba atas kelakuan empat gelas yang seperti buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. “Sungguh miris. Kalian jangan seperti mereka esok nanti.” Salah satu warga mengingatkan pada anakanaknya.

“Apa yang kau tanam, itulah yang akan kau tua.” Begitulah peribahasa yang tepat untuk kedua orang tua gelas tua yang telah mengajarkan anaknyacara membuang suatu halyang baik.

136

Iring Iringan Derita

Liburan di musim semi adalah suatu keberuntungan menjadi seorang manusia. Kegiatan untuk bersantai bersama teman maupun keluarga sangatlah kewajiban dalam liburan ini. Tepat pada hari keempat liburan, aku bersama teman teman merencanakan sebuah liburan dengan camping bersama disuatu destinasi wisata yang terkenal denganpemandangan yang indah.

"Syabila… Dimana kamu berada…" Dari lantai1 sepertinya sudahadateman - temanku yang menunggu.

"Wah!Siapa ini yang datang!" "Pagi pagisudahcantik!" "Kamu pikir nyawaku ada berapa, kenapakau tegabuat akutersipu."

Ketiga suara itu berasal dari Jordan, pacarku. Sudah biasa ia selalu berlebihan dalam menyampaikansuatu hal.

"Udah deh Jor, ga malu apa yaa diliat tementemen."

137

Pukul 10 pagi kami berangkat ke destinasi wisata yang telah kita tentukan sebelum liburan tiba. Pada saat jam pulang ujian sekolah tentunya. Di dalam mobil kami sangat bersenang senang, menyanyikan lagu banyak hal, ada yang bercerita, dan ada yang hanya makan snack yang telah kita bawa sebagai bekal camping nanti. Perjalanan ini ditempuhhampir 6 jam.

Satu keanehan yang terjadi di mulai. Suasana di luar mobil kenapa sangat berbeda, saat itu kita telahsampaidiperkemahan yang dimaksud.

"Ini jam berapa kenapa sepi banget?" Salah satu temanku sepertinya merasa ganjil. Tapi jam tanganku dan teman - teman menunjukkan pukul 16.24 dan seharusnya suasananya tak sepi seperti ini.

"Udah ayo kita jalan ke arah sana, barangkali ada orang." Perintah Jordan dituruti oleh semua orang.

"Sebentar,itu kenapaadatruck besar disana?

Perasaan tak ada satu pun mobil yang seharusnya bisa lewat jalan itu." Ku tunjukan jalan awal tadi. Teman teman hanya mengangguk keheranan, hingga Jordan dan Erlangga mencoba mengecek keadaantruck itu.

138

"Ini sepertinya sudah lama ditinggalkan oleh pemiliknya!"Teriak Erlanggadaripintu truk itu. Erlangga yang baru saja akan masuk langsung lariterbirit-birit kearahkami.

"Jordan bil, Jordan… matanya hilang!!!" "Apasih Er,"

Aku yang tak percaya coba mendekati truk itu, Jordan masih berada di dalam sana. Belum selesai melangkah menuju truk, tiba tiba Jordan keluar dengan teriakan yang sangat keras. Semua orang langsung ketakutan. Aku yang berada paling di depan coba menenangkan tapi hasilnya nihil. Jordan berlarike arahku, perkataan Erlangga benar, mata Jordan menghilang, hanya bagian putih mata saja yang terlihat.

"Jordan!!! Ga usah bercanda," Aku yakin dia hanya bercanda sampai Jordan yang mencoba untuk memakanku, sepertiadegan film zombie. Dia meraung dan berteriak dengan bahasa yang aneh. Erlangga yang sedari tadi ketakutan dibelakangku ia berlari untuk menenangkannya. "Singkirkan itu! Cepat!" Kali ini cara bicara Jordan kembali, ia hanya bicara untuk menyingkirkan terus tanpa menunjukkanobjek yang dimaksud.

139

Sudah 10 menit Jordan yang sepertinya kerasukan. Aku baru mengingatnya. Dia pernah berbicara untuk menyingkirkan suatu hal yang membuat dirinya tak suka. Tapi kita masih tak mengerti.

"Apa maksudnya?Benda macamapa itu?"

Kami yang lengah saat mencoba berpikir maksud benda itu. Tiba - tiba, Jordan meraih sepotong kaca, tak tau asal kaca itu dari mana, kenapa benda itu ada di tangan dia. Jordan langsung bunuh diri dengan menancapkan kaca sialan itu kelehernya.

"Jordan, Jordan… bangun, cepat bangun! Kenapa kalian diam saja anjing, bantu aku, cepat bantu aku." Aku menangis sesenggukan melihat kejadiananeh itu didepan matasendiri.

"Kau tak perlu risau, ini hanya jebakan. Kita telah masuk dalamperangkap seseorang. Dia hanya hilang jiwanya." Suara asing datang dari belakang kerumunan teman - temanku. Tak tau dia siapa, ia hanya bicarabawah jiwanyaadadiluar sana.

"Sela cepat obatin dia. Bawa perban dan betadine disana." Kami sekuat tenaga mencoba mengobati leher Jordan, salah satu dari temanku yang merupakan anak Kedokteran mengobati

140

dengan menjahit sisi leher yang telah terpotong. "Ayo cepat kitabawaJordankerumahsakit."

Rencana berkemah kita gagal. Kejadian aneh ini membuat kaki dan badanku gemetaran, kita membawa tubuh Jordan yang mungkin sekarang bisa dikatakan sebagai mayat. Johny yang sedari tadi seperti kebingungan melihat maps membuat semua orang takut, karena dia mengatakan bahwa sudah 3 kali dia berputar pada jalanan ini. Gerbang itu tak bisa mengeluarkankita.

"John, itu ada bangunan, kita berhenti disana dan memikirkan agar bisa keluar dari Gerbang itu." Sela dengan cepat memberikan perintah. Bangunan tua dengan gaya klasik itu sepertinya tak asing bagiku. Banyak orang disana, tapi mereka hanya diam. Pakaian yang menempel pada tubuh orang orang itu mengapa sama? Seperti seragam khusus jika masuk kedalamgedung tuaitu.

"Sel, lo jangan gila ya nyuruh kita kesini. Lihat, ada orang yang menatap kita sedari tadi." Sela yang ketakutan mencoba menarik baju Erlangga dari belakang. Seseorang yang kami bicarakan tiba - tiba ke arah kami dan mengambil tubuh Jordan secara paksa ke suatu ruangan. "Pak, maksudnya apa ini? Kenapa mengambil tubuh temansayatanpa izindulu!"

141

Kami mengikuti arah jalanan bapak yang sepertinya belum terlalu tua untuk dikatakan sebagai seorang bapak. Tanpa kata kata, seseorang itu membaringkan tubuh Jordan di salah ranjang di satu kamar yang besar. Lalu ia menyembuhkannya hanya dengan sekali sentuhan. Bagaimana tidak merasa kaget melihat kekuatan yang membuat matakitalangsung tak bisa bicara.

"Kau tau. Aku juga sama seperti kalian. Ya kami disini berniat untuk camping juga. Tapi entah adahalapakamitersesat samasepertikalian."

Dari mulut pintu kamar, muncul seorang perempuan yang membicarakan bahwa ini bukan hanya sebuah jebakan. Kita harus berperang untuk membawakembalijiwaJordan.

"Cepat kenakan pakaian ini, kalian harus berpura - puramasuk dalamgolongankitaagar bisa membawa jiwa temanmu kembali." Seperti sebuah tantangan berat, kami mengiyakan perintah perempuan itu. Sebuah seragam dengan warna putih dan hijau sebagai coraknya seperti tak pantas ditubuhku.

Malam hari telah datang. Kami diberikan kamar besar ini untuk singgah. "Tidak, kita bukan singgah di sini. Kita terjebak!" Sela yang mulai ketakutan mulai berpikir yang aneh. Tapi memang

142

benar, kalau bukan singgah, semua orang disini tak akan ada di gedung tua yang mereka tempati sekarang.

Pagi harinya kami disuruh untuk keluar, ke sebuah stadion yang terletak diujung gedung tua. Kami membawa tubuh Jordan juga. Kami berbaris sepertiyang diperintahkanolehorang orang.

"Kau jaga Jordan ya, Bil." Erlangga menempatkantubuhJordandibariskedua. Danaku dibelakangnya, baris ketiga. Belum selesai seseorang di depan sana berbicara, ada seseorang yang seperti membawa balon. Tapi kenapa ia membawa balonaneh itu kedalamstadion ini.

Ia tersenyum melihat ku, mengarahkan tangan kanan yang sedari tadi ia sembunyikan dibelakang tubuhny. Aku yang seperti terhipnotis tidak sadar ternyata tangan itu melempao sebuah benda yang menghasilkan ledakan besar yang tak pernahkitaharapkan.

"JOHNY! ERLANGGA! SELA! KAU DIMANA!"

Ledakan itu menghasilkan kepulan asap hitam, aku tak bisa melihat dan mendengar apapun. Aku hanya melihat sekilas bahwa semua orang di sekitarku meninggal, hanya beberapa dari mereka

143

yang selamat. Aku mencari tubuh Jordan yang seharusnya masih didepanku, kenapa tubuhnya menghilang. Kakiku tanpa arahan langsung mencoba mencari semua temanku, aku kembali ke ruangan kamar yang ku pikir akan ada tubuh Jordan. Tapi, yang aku lihat hanyalah jiwa teman temanku.

"Sel, kenapakau tak bisadisentuh?"

"Kau kenapa, Er?! Johny mana? Kenapa kalian menghilang!"

Jiwa jiwa temanku tak bisa aku sentuh. Aku langsung mencaribapak yang telah menyembuhkan Jordan kemarin, dengan harapan ia akan bisa membantuku. Dia berada di taman samping gedung, diasepertinyasedang menangis.

"Pak, tolong saya. Teman temanku menghilang. Hanya jiwanya saja yang ada." Aku mengacuhkan tangisan bapak itu. Aku hanya ingin teman temanku kembali.

"Kau pikir aku juga tak kehilangan? Bil, inilahwaktunya, kau haruskuat."

"Kuat bagaimana, aku harus cepat menemukan mereka, ayo bantu,Pak."

"Kau ada dalam misi sekarang. Ya kau harus cepat menemukanteman temanmu, aku juga."

144

Dia bercerita kalau dia bertemu dengan seseorang yang tak pernah ia temui sebelumnya. Gambaran seseorang itu seperti yang Syabila temui saat Jordan kesurupan di dekat truk itu. Orang itu menyampaikan pesan bahwa Syabila dan bapak itu harus cepat menemukan mayat dari teman temannyadengan bataswaktu hanyaseminggu.

"Hah?Lalu kita menemukannyadimana?"

Pertanyaan itu langsung dijawab oleh bapak itu. Dia menunjukkan ke arah hutan yang sangat sepi dan menakutkan. "Kau tak bisa kembali dan mengembalikan jiwa teman temanmu jika dalam seminggu ini tak berhasil menemukan mayat mayat itu."

Perintah yang seperti ancaman membuatku tambah merinding, bagaimana bisa aku harus menemukan mereka sendirian, tidak, maksudnya bersama bapak itu.

Pada hari kedua, aku yang kehabisan pikir langsung kembali ke gedung itu. Aku mencoba berkomunikasi dengan jiwa teman temanku, mereka bisa menjawab, tapi jawaban dengan bahasa asing yang pertama kali aku dengar. Siasia saja aku kembali. Hari ketiga aku langsung menemukan tiga mayat teman temanku. Aku

145

"Tapi, Jordan kenapa begitu sulit untuk ditemukan."

Hanya sisa satu misi yang harus segera aku pecahkan. Jiwa maupun mayat Jordan tak berhasil kutemui. Pencarian ku kali ini bukan dengan bapak tua itu saja. Aku mencari Jordan bersama 3 teman dan bapak itu yang membawa 5 temannya juga. Sampai pada akhirnya, aku telah menyerah. Hari terakhir mungkin bisa menjadi jawaban bahwa aku akan menemukannyaatau merelakannya.

"Kau harus kuat, Bil! Kita bisa menemukan Jordan." Kekuatan dari teman - temanku adalah alasan aku tetap teguh mencari Jordan. Hingga saat kami akan pergi untuk mencarinya, datang seseorang yang sering kami temui di Gedung ini. Dia mengatakan bahwa kami harus segera pergi ke hutan.

"Kalian jangan pergi ke hutan sebelah barat. Pergilah ke arah timur. Cepat! Waktu hampir habis." Seseorang itu kenapa sepertinya tau akan suatu hal. Anehnya kenapa dia menyuruh kami ke

146 langsung membawanya. Tentu, bapak itu juga berhasil menemukannya. Tak harus berjalan jauh dari gedung tua, kita telah menemukannya. Aku sangat bersyukur bisa mengembalikan jiwa mereka ketubuhnya.

"Udah, mungkinkatadiabenar." "Ayo, Bil. Kitacoba."

Kami akhirnya benar benar pergi ke hutan. Banyak sekali jebakan yang ada di hutan sebelah timur ini berbeda dengan hutan barat yang sepertinya tidak terlalu menakutkan jalanannya. Sepanjang kami melangkah, hutan itu selalu meledakan sebuah ledakan kecil. "Kecil seperti ini kita harus tetap hati hati." Perintah bapak itu. Benar jangan pernah menyentuh sesuatu yang mencurigakan disana, karena akan menghasilkan sebuah ledakan yang besar nanti.

"Sudah hampir jam8 malam, Bil!" "Kitaharuscepat."

Setengah perjalanan kami belum menemukan apapun. Tepat saat Sela berhenti untuk minum, dia langsung berteriak saat melihat ada batu besar yang diatasnya tertutup oleh daun sulur yang sangat banyak. Aku melihat diatas batu bukan hanya daun sulur saja, "Adatangan!Jordan itu!"

147 hutan sebelah timur, padahal semua orang mengatakan bahwa hutan baratlah tempat mayat jiwa menghilang itu berada.

Aku melihat tangan itu memegang sebuah kaca yang nampak seperti kaca yang Jordan buat untuk membunuhdirinya. Danbenar itu Jordan.

Tantangan baru dimulai, sepertinya ada seseorang yang lebih mencintaiJordan. Hinggasaat kita akan mengambil tubuhnya, ada tubuh besar yang dariarahbelakang kitaakan mengejar.

"Cepat lari!Jordancepat dibawa."

Perintah Erlangga yang tak sempat membawa mayat Jordan. Bapak itu yang membawa Jordan. Kami berlari kencang hingga akhirnya sampai di gedung tua tepat pukul 9 malam. Kami berhasil! Aku akanbertemu Jordankembali.

Kegembiraan itu langsung dipatahkan oleh teman - temanku yang berkata, "Kenapa Jordan masihtertidur?"

Kemarin tepat aku mengembalikan badan ke jiwa teman - temanku, mereka langsung bangun. Ini berbeda dengan Jordan. Semua orang di gedung yang melihat kamitelahdatang, mengajak masuk. Salah satu dari mereka berkata, "Kalian terlambat."

Aku yang sedari tadi tak bisa berkata apapun, aku memarahinya. "Terlambat apa! Kami datang tepat sebelum jam 12 malam. Ini tubuh Jordan kami bawa." Saat aku menunjukkan tubuh Jordan

148

Helaan nafas panjang dan tangisanku pecah. Aku harus merelakan bahwa aku tak bisa menemui Jordankembali. "Mari." Ajakan itu aku turutiuntuk menuju kesuatu ruangan. Langkahku berhentitepat di depan sebuah tulisan nama bangunan, "RUMAH SAKIT", sejak kapanadatulisan ini.

Aku mendadak pusing seketika saat masuk ke ruangan orang yang berkumpul mengelilingi sebuah tubuh yang terbaring lemas. Aku melihat sekitar, ke pakaian yang melekat di tubuhku. "Kenapa aku sekarang pakai baju ini? Kenapa ini sepertibaju pasien?"

Semua mata melihat diriku, bayangan orang di depanku langsung kabur seketika. Aku seperti akan pingsan. Sebelum tubuhku terjatuh, aku mengingat banyak hal. Aku ternyata sudah sadar bahwa Jordan telah meninggal tepat hari pembagian nilaiujian.

"Bil, bil, bil… semua orang disekitarku seperti memanggil aku yang semakin mulai lemas." Tapi bayanganku hanya ada Jordan yang melompat dari rooftop sekolahtepat dihadapanku.

149 yang diletakkan di lantaibelakang badanku, ia tibatiba langsung menghilang.

Tepat saat Jordan jatuh. Aku terbangun, aku merasa semua itu hanyalah mimpi. Tapi mengapa aku sekarang berada disebuah ranjang rumah sakit. Kesadaranku mulai muncul kembali, kesakitan akan penerimaan bahwa Jordan telah meninggalkanku dan ya memang benar dia telah lama pergi dengan bunuh diri menjatuhkan dirinya dari lantai 6 gedung sekolah. Kemudian semua ledakan besar, berbicara dengan jiwanya, hutan, semua kejadian tragis itu hanya halusinasiku selamaperawatandirumahsakit jiwa.

TAMAT

150

Keputusan dan Penyesalan

Lana tengah bergelut dengan pekerjaan yang mengharuskan ia untuk tetap sibuk di akhir minggu. Seperti biasa, ia akan melakukan hal yang merupakan kewajiban demi turunnya gaji tersebut dengan sepenuh hati dan ambisi. Lana telah lama melakukan pekerjaan yang ia gilai ini tanpa merasakan bosan, justru ia sangat suka disibukkan seperti ini. Hal ini juga yang membuat dirinya memutuskan untuk tidak menjadi seperti perempuan di luar sana yang memilih untuk memiliki keluarga kecil di usia 30 an. Tidak ada yang tahu pasti dibalik keputusannya tersebut, orang-orang hanya berasumsi bahwa Lana tengah memfokuskandiripadakarir sajauntuk saat inidan suatu saat akan memutuskan untuk berkeluarga suatu saat nanti, mereka tidak mengetahui bahwa keputusan lana sebenarnya adalah ia tidak mendambakankehidupanpernikahansamasekali.

151

Pada usia belia, ia sempat menerima sebuah lamaran dari seorang pria yang bahkan ia tak mengenalnya. Dengan keputusan telak, ia melayangkan penolakan kepada pria tersebut. Sejak dirinya kecil, ia tidak pernah merasakan apa yang namanya jatuh cinta, itu adalah salah satu alasan mengapa ia memutuskan hal ini. Lana merupakan sosok yang tidak mempercayai cinta. Alasan lain yang tepat yaitu ketika ia merasa bahwa kehadira makhluk kecil akan mengganggu dirinya. Benar, ia tidak menyukai kehadiran anak kecil di dekatnya. Lana merasa bahwa ia akan menjadi ibu yang buruk jika ia terpaksa menjalani sebuah pernikahan, ia merasa bahwa ia tidak memiliki kasih sayang yang begitu banyak. Hidupnya ia jalani dengan hanya mengkhawatirkan kehidupannya sendiri, berusaha untuk melakukan hal halsesuaidenganpikiran idealnya. ***

TING!

Bunyi lift apartemen menunjukkan bahwa pintu akan segera terbuka, tepatnya di lantai 10,

152

dimana lana selama ini menjalani kesehariannya. Ia memutuskan untuk pergi ke mini market di lantai dasar untuk membeli kudapan, tentunya untuk menemani waktu santainya di malam hari setelah tadi pagi ia disibukkan dengan pekerjaan kantorannya. Lana sudah berencana untuk menikmati waktu liburnya esok di hari Minggu. Memang biasanya ia akan berusaha untuk menuntaskan pekerjaan agar tidak mengganggu hari Minggu yang hanya berdurasi sebentar sebelumkembalipadapekerjaannyadihariSenin.

“Lana!” Seseorang di ujung lorong memanggilnya dari ujung lorong. Lantas lara menengok setelah ia membukapintu unitnya.

“Oh, hai, perlu bantuan?” Lana berbasa-basi kepada orang yang memanggilnya, dan raut muka seseorang tersebut terlihat sangat panik.

“Iya, bisa bantu aku untuk menjaga anak anakku hingga besok malam? Orang tuaku sakit, ayah anak anak ini sedang berada di luar kota karena tugas. Aku tidak mungkin membawa mereka.” Sedetik kemudian ia menengok gendongan tetangganya tersebut, dia baru menyadari ada seorang bayi disana, dan disamping tetangganyatersebut tampak adaseorang anak yang

153

Lana jelas kebingungan, berbagai macam alasan telah ia susun dalam benaknya sebelum ia melihat mata berbinar dari tetangganya tersebut. “Oh baiklah, Anne. Ajak saja mereka masuk.” Sebuah keputusan telah ia pikirkan, entah ini adalah keputusan yang tepat atau tidak. Kemudian mereka ber empat masuk ke dalam unit apartemen Lanadengandirinya yang akhirnyaturut membantu membawatasperlengkapananak-anak Anne. ***

Tangisan bayi terdengar untuk pertama kalinya di tempat tinggal Lana. Demi Tuhan, ia sangat kebingungan, bahkan dalam hal menggedong saja ia memerluka penyesuaian yang cukup lama. “Tante Lana, biasanya Bunda membuatkan susu untuk Lily ketika menangis,” Lana saat ini merasa sangat bodoh, bagaimana bisa ia tidak terpikirkan oleh hal sederhana itu. Dengan segera ia membongkar tas perlengkapan yang telah

154 usianya lebih tua. Oh, nahkan ia tidak tau bahwa di lingkungannya terdapat dua makhluk kecil yang tinggal disana, ia kurang berinteraksi dengan orang orang.

ditinggalkan oleh Anne. Dirinya terpaku dengan berbagai peralatan tersebut cukup lama sampai Julian mengangkat satu buah botol dan satu karton susu yang masih disegel dengan baik. “Ini botol dan susu milik Lily.” Lana hanya mengangguk menanggapi ucapan Julian dan segera membawa dua barang itu ke dapurnya, tidak lupa ia berpesan pada Julian untuk menjaga adik kecilnya yang sejak tadibelumberhentimenangis.

Setelah beberapa saat, akhirnya ia paham bahwa Lily sejak tadi hanya mengantuk.Sesaat setelah Lily meminum susunya yang berada di botol dengan berbaring, ditemani oleh Julian yang memeluknya, juga Lana yang sejak tadi berada di ujung kasur juga memegangi botol susu Lily, akhirnya Lily tertidur pulas. Julian yang sejak tadi memeluk adiknya dengan sayang juga tampak sudah tertidur. Lana yang melihat dua anak itu tertidur, juga pada akhirnya merebahkan diri di kasur besarnya yang kini diisi tiga orang. Mereka tertidur dengandamai.

155
***

Pagi harinya entah karena Lana kelelahan atau karenaapa, iaterlambat bangun. Sesaat setelah ia mengumpulkan nyawanya di atas kasur, ia menoleh kepada dua anak disampingnya tersebut, mereka belum bangun. Tentu saja Lana bersyukur karena si bayi tidak menangis tadi malam, ia tidak bisa membayangkan bagaimana ia akan menyikapi situasi tersebut. Ia kemudian memutuskan untuk keluar kamar meninggalkan mereka, ia juga menaruh beberapa bantal di pinggiran kasur agar merekatidak jatuh.

Lana langsung saja pergi ke arah kamar mandi, kemudian ke dapurnya untuk melakukan aktivitas Minggu paginya. Setelah ia menyiapkan sarapan berupa bubur untuk si bayi dan makanan yang lebih berasa dan bertekstur untuknya juga Julian, suara tangisan Lily terdengar. Segera ia menujut ke kamarnya dan menenangkan bayi tersebut. Ia lalu teringat perkataan Anne seputar cara mengurus Lily, ia teringat pasal popok Lily yang harus diganti secara berkala, bodohnya ia tak mengingat hal tersebut tadi malam.Lana mengecek popok bayi tersebut, kemudian dengan canggung dan gerakan kaku ia memutuskan untuk memandikan Lily dengan air hangat. Benar saja, ia

156

sangat kesusahan dengan hal itu, namun ia juga menikmatinya, setidaknya ia tidak hanya berbaring dan menonton series saja di hari Minggunya kali ini.

Tak lama kemudian Julian bangun dan menyusulnya ke dapur dengan gaya berjalan sempoyongan, kemudian ia melihat Julian yang mendekati adiknya yang sedang meminum susunya setelah memakan semangkuk bubur, kemudian mengajaknya berbicara seolah mereka mengerti satu sama lain. Lana tidak habis pikir dengan hal tersebut, pasalnya itu terlihat tidak masuk akal namun juga menggemaskandimatanya.

“Julian, kau tidak ingin makan?” Julian kemudian menolehpadaLana.

“Mau mau, Julian boleh minta untuk diambilkan?” Lana lalu menyanggupi apa yang dimintaolehanak tersebut.

Tidak dapat dipungkiri oleh Lana, hari Minggunya terasa berbeda sekali semenjak kehadiran dua bocah yang dititpkan kepadanya tadi malam. Lana bahkan sudah dapat sedikit sedikit mulai merasa terbiasa mengurusi Lily juga menanggapi segala ocehan Julian yang memiliki

157
158 rasa penasaran tinggi. Sosok Lana juga tidak dapat merasakan lamanya waktu yang sudah berlalu. Ia sangat menikmati waktunya di akhir minggu kala itu. Kemarin malam bahkan Lana tidak dapat memikirkan halseperti ini, ia kira akan sangat amat melelahkan bila mengurus anak kecil. Memang benar, itu sangat melelahkan, namun juga dapat menghibur di tengah kesibukannya. Lana sudah tidak merasa canggung untuk berinteraksi dengan Julian dan Lily. Lana juga menyempatkan waktu mereka untuk bermain di taman yang tersedia sebagai fasilitas apartemen yang mereka tinggali. Lana hanya duduk memperhatikan Julian dengan memangku Lily dan terus-terusan mengoceh dengan bahasa bayinya, tentu saja lana tidak mengerti dan hanya terkekeh kecil. Beruntung saja tidak ada orang yang menanyai dirinya yang membawa kedua anak tersebut di taman. Karena Lana juga sejujurnya tidak banyak melakukan interaksi dengan orang-orang yang tinggal di apartemen tersebut. Namun, suatu ketika ia dapat mengenal Anne karena ia salah menuliskan alamat saat memesan suatu barang di minggu pertama ia tinggal di apartemen tersebut. Alhasil, paket tersebut diterima oleh Anne, hal tersebut membuat
159 keduanya mengenal satu sama lain walau tidak dekat. Hari sudah menjelang sore. Julian dan Lily sudah bangun dari tidur siangnya setelah lelah bermain di taman dengan Lana yang menemani mereka. Anne juga sudah menghubungi Lana bahwa dia sudah berada dalam perjalanan pulang, yang manaartinyakeduaanak yang iatitipkanakan segera ia jemput. Lana memutuskan untuk membereskan tas keperluan anak-anak Anne yang kemarin diberikan kepadanya. Ia membereskan barang barang tersebut sambil melihat kedua anak anak Anne di dekatnya sedang berceloteh ria dengan mainan yang ada di tangan mereka. Setelah Julian dan Lily dijemput oleh Anne nanti, rumah ini akan terasa perbedaannya. Kembali sepi dengan suasana khas yang dihadapi oleh Lana sehari hari, suasana hectic, kesibukannya di tempat kerja juga akan segera menjemputnya di malam hari nanti.Lana jelas tidak memahami perasaan apa yang saat ini ia rasakan, namun ia sedikit tidak rela anak-anak ini akan dijemput oleh Anne, dimana ia sangat menikmati hari ini bersama mereka. Lana juga tidak sempat untuk memikirkan pekerjaannya,

yang mana ia merasa sangat rileks dengan keberadaanduaanak tersebut.

Tak lama kemudian, bel unitnya berbunyi, jelas Lana telah mengetahui siapa yang sedang berkunjung, itu adalah Anne yang tampak tersenyum. Kemudian Lana mempersilahkan Anne untuk masuk ke dalamunitnya. Lana melihat Julian dan Lily yang terlihat sangat senang ketika ibunya menyapa mereka, hal tersebut masih terlihat asing di mata Lana, hatinya juga menghangat namun ia juga merasa sesak. Anne langsung saja berpamitan dan juga mengucapkan terima kasih kepada Lana yang telah mau membantunya, begitu pula si kecil Julian yang juga mengucapkan terima kasihnya dan memberikan sebuah bingkisan yang tadi dibawa oleh ibunya untuk Lana. Si bayi Lily juga terlihat mengoceh dan sepertinya juga mengucapkan hal yang sama kepada Lana. Dalam sekejap, unitnya terasa sangat sepi, berbeda sekali dengan beberapa waktu yang lalu. Tidak sampai satu hari durasinya, namun Lana tetap merasakan perbedaan yang sangat jelas. Kehadiran dua anak-anak Anne mungkin saja telah merubah perasaan dan pola pikirnya. Tak menyangka, lana kemudian menangis dalam diam, ia bahkan sudah merindukan ocehan

160

kedua anak tersebut. Terbesit rasa penyesalan melewati pikirannya. Berbagai pengandaian ia gumamkan disela tangisan tersebut. Dia juga tidak mengetahuiapa yang ia inginkansaat ini.

TAMAT

161

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.