su lingkungan kini menjadi perhatian dunia internasional, tak terkecuali pula Indonesia. Permasalahan lingkungan dari waktu ke waktu tak kunjung teratasi bahkan semakin menumpuk, salah satunya terkait sampah plastik. Berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton/tahun yang mana sebanyak 3,2 juta ton merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut. Penanganan terkait masalah sampah plastik sendiri seakan tidak menimbulkan efek yang signifikan, mulai dari kantong plastik berbayar, kampanye untuk tidak menggunakan sampah plastik sekali pakai pun sudah digalakkan. Terlebih lagi plastik memerlukan waktu hingga sekitar lima ratus tahun untuk proses penguraian. Efek sampah plastik juga seolah menjadi 'bola salju' terhadap permasalahan lingkungan. Permasalahan baru muncul akibat penanganan yang salah terhadap sampah plastik, seperti apabila dibuang di sungai akan mengakibatkan pendangkalan dan penyumbatan aliran sungai hingga mengakibatkan banjir, dan apabila ditimbun berlebih mengakibatkan tanah longsor. Sampah plastik yang masuk ke dalam air dapat terbelah menjadi partikel-partikel kecil yang disebut mikroplastik dengan ukuran 0,3–5 milimeter. Mikroplastik ini berasal dari plastik yang hancur tapi tidak terurai. Sangat mudah untuk dikonsumsi hewan laut, alhasil banyak hewan laut yang teracuni sampah plastik. Bukan hanya hewan laut, mikroplastik menjadi ancaman bagi seluruh mahluk hidup karena berpengaruh juga pada kualitas air. Menurut M. Reza Cordova, peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dari 76 juta plastik yang
manusia gunakan, hanya dua persen yang didaur ulang, sementara 32 persen sisanya masuk ke ekosistem. Jumlah ini tentu sangat memperihatinkan, bahkan kampanye 3R (reduce, reuse, recycle) belum mampu mendorong kesadaran masyarakat secara signifikan. Namun tak banyak diketahui saat ini industri lokal mulai ramai mengembangkan plastik ramah lingkungan. Salah satunya yang dirintis oleh Kevin Kumala, seorang pemuda asal Bali, yang menciptakan tas ramah lingkungan yang ia namakan Bioplastik. Bioplastik mengandung pati singkong, minyak sayur, dan resin organik. Bahan bioplastik ini diklaim biodegradable dan dapat menjadi kompos. Bioplastik dapat rusak atau hancur dengan sendirinya selama beberapa bulan di darat atau di laut dan dapat langsung larut dalam air panas. Produk plastik ini diklam juga tidak meninggalkan jejak residu beracun. Oleh karena itu, dalam pengenalan produknya ia tak ragu meminum larutan plastik temuannya tersebut. Perusahaan Kumala yang didirikan pada tahun 2014, yakni Avani Eco, telah memproduksi semua jenis produk sekali pakai dan ramah lingkungan tentunya, mulai dari cangkir kopi hingga ponco. Namun tidak semuanya terbuat dari singkong, ponco misalnya, baju atau jas hujan yang terbuat dari jagung, kedelai dan biji bunga matahari. Sementara itu bioplastik tentu saja harus didukung baik oleh masyarakat, karena produk plastik berbasis minyak bumi perlahan-lahan menghancurkan lautan dan lingkungan kita. Tentunya dengan ditemukannya bioplastik setidaknya dapat menjadi alternatif bagi orang yang masih sering menggunakan plastik sekali pakai. Kedepannya diharapkan akan banyak lagi penemuan-penemuan yang dapat bermanfaat untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan.
43