ingkungan hidup yang bersih dan layak merupakan suatu nilai positif tersendiri untuk suatu daerah. Pada dasarnya, tidak ada masyarakat yang menginginkan kota atau daerah yang ditinggalinya memiliki lingkungan hidup yang tidak layak. Namun, seringkali masyarakat lupa bahwa pengelolaan lingkungan pada kota atau daerah yang ditinggalinya merupakan tanggung jawab bersama, bukan sematamata tanggung jawab pemerintah ataupun dinas terkait. Berbicara mengenai pengelolaan lingkungan hidup, kota atau kabupaten yang dinilai berhasil dalam mengelola kebersihan dan lingkungan perkotaan secara berkelanjutan akan mendapatkan sebuah penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Republik Indonesia, yakni Penghargaan Adipura. Penghargaan Adipura sendiri terbagi menjadi 4 kategori, yaitu Kota Metropolitan (jumlah penduduk lebih dari 1 juta jiwa), Kota Besar (jumlah penduduk antara 500.001 – 1.000.000 jiwa), Kota Sedang (jumlah penduduk antara 100.001 – 500.000 jiwa), Kota Kecil (jumlah penduduk sampai dengan 100.000 jiwa). Kota Solo masuk dalam kategori Kota Besar. Kota asal Presiden Ir. H. Joko Widodo ini sempat puasa gelar selama 13
tahun hingga akhirnya berhasil meraih Adipura pada tahun 2016 dan 2017. Alasan yang menjadikan Kota Solo puasa gelar selama 13 tahun tersebut sebab utamanya terletak pada pengelolaan sampah yang kemudian dijadikan sebagai salah satu indikator untuk mendapatkan Adipura. “Untuk penghargaan Adipura biasanya kita terkendala di pengelolaan sampahnya terutama yang ada di TPA (Tempat Pembuangan Akhir), karena untuk mendapatkan nilai berapa itu TPA tidak boleh open dumping, tapi harus sanitary landfill. Jadi yang sering terkendala itu terutama pengelolaan sampah yang ada di TPA,” ujar Ir. Luluk Nurhayati, Kepala Bidang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Surakarta. Hal tersebut ditegaskan oleh Banny, S.E, M.M., Kepala Bidang Penataan Hukum dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan DLH Surakarta. “Dulu pada waktu sampah belum menjadi indikator, itu Solo selalu dapat juara, dapat penghargaan Adipura. Sampai-sampai Adipura Kencana, Solo juga. Selama 13 tahun, mulai dari tahun 2003 itu kosong, cuma mendapatkan sertifikat Adipura,” ujar Banny.
Lain Dulu, Lain Sekarang Seperti yang telah dijelaskan s e b e l u m n y a , Ko t a S o l o p e r n a h mendapatkan penghargaan Adipura sebanyak 2 kali. Suatu pencapaian menarik karena untuk meraih penghargaan Adipura, terdapat 4 indikator penilaian yakni pengelolaan persampahan, kebersihan lingkungan, pencemaran udara, dan pencemaran air, dengan standar nilai yang cukup tinggi. “Jadi begini, untuk Adipura kalo yang tahun 2016 dan 2017 ada pantauan yang namanya P1 P2. Nah baru diverifikasi, ada 3 tahap penilaiannya, P1, P2, verifikasi. Kalau P1, nilainya itu rata-rata di atas 70 80. Kalau P2 itu minimal harus standar dengan P1, itu minimal,” jelas Banny. Namun, semenjak tahun 2018, indikator penilaian Adipura sudah berbeda dengan tahun 2016 dan 2017. Berdasarkan keterangan dari Banny, Kementerian LHK telah meningkatkan standar penilaian yakni Kabupaten/Kota yang ingin memperoleh Adipura harus bisa menyusun Kebijakan Strategis Daerah (Jakstrada) dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga. Jakstrada ini meliputi perhitungan neraca pengurangan sampah, yaitu pembatasan timbunan sampah, pemanfaatan dan
9