Di Singapura, eksploitasi seksual diatur dalam Prevention of Human Trafficking Act of 2014. Pada pasal 2 peraturan tersebut disebutkan bahwa eksploitasi seksual adalah yang berhubungan dengan pelibatan individu dalam prostitusi, perbudakan seksual atau penyediaan segala bentuk layanan seksual lainnya, termasuk pelaksanaan tindakan cabul atau tidak senonoh oleh individu atau penggunaan individu dalam audio atau rekaman visual atau representasi dari tindakan tersebut. Dari sini dapat diketahui bahwa peraturan perundang-undangan Indonesia memiliki definisi yang lebih luas dibandingkan dengan Singapura karena menurut peraturan perundang-undangan Indonesia, eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan.
Unsur-unsur eksploitasi
seksual menurut Pasal 3 (1) Prevention of Human Trafficking Act of 2014 adalah setiap orang yang merekrut, mengangkut, memindahkan, menampung atau menerima seseorang (selain anak) dengan cara ancaman atau penggunaan kekerasan, atau segala bentuk pemaksaan lainnya; penculikan; penipuan atau penipuan; penyalahgunaan kekuasaan; penyalahgunaan posisi kerentanan individu atau pemberian kepada, atau penerimaan oleh, orang lain yang memiliki kendali atas individu tersebut atas uang atau manfaat lain untuk menjamin persetujuan orang lain itu untuk tujuan eksploitasi, Unsur-unsur yang ada pada pasal ini juga terdapat pada unsur-unsur yang terdapat dalam UU PTPPO di Indonesia. Dengan demikian unsur-unsur eksploitasi di Indonesia tidak berbeda dengan di Prevention of Human Trafficking Act of 2014 Singapura. Menurut peraturan perundang-undangan Inggris, eksploitasi seksual adalah sesuatu yang dilakukan atau sehubungan dengan orang yang melibatkan pelanggaran berdasarkan Pasal 1 (1)(a) Protection of Children Act 1978 (foto anak-anak yang tidak senonoh) atau Pasal 1 Sexual Offences Act 2003 yang berlaku di Inggris dan Wales yang akan melibatkan pelaksanaan pelanggaran seperti demikian di Inggris dan Wales (Pasal 3 Modern Slavery Act 2015). Inggris memberikan definisi eksploitasi seksual yang limitatif dibandingkan Indonesia dan Singapura karena cakupannya terbatas pada peraturan mengenai pornografi terhadap anak-anak serta terkait dengan pasal mengenai perkosaan Sexual Offences Act 2003. Mengenai unsur-unsurnya, tidak ada pengaturan spesifik tentang eksploitasi seksual, tetapi Pasal 2 Modern Slavery Act 2015 mengasosiasikan eksploitasi dengan perbuatan perdagangan manusia yang unsurnya